Psikotik
Abstrak
Gangguan jiwa atau masalah psikiatri di dunia terus bertumbuh dan memberikan akibat yang
signifikan, termasuk di Indonesia. Dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial
dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah. Salah
satu kelainan jiwa adalah gangguan suasana perasaan atau mood. Orang dengan gangguan
mood tidak dapat mengontrol emosi atau mood nya dan hal ini akan berefek kepada aktivitas
dan fungsi hidupnya. Gangguan bipolar yang termasuk dalam kelompok gangguan mood
memiliki episode manik saja ataupun campuran dari manik dan depresif. Seperti penyakit
lainnya, gangguan mood juga perlu diagnosis yang tepat sehingga dapat memberikan strategi
terapi yang tepat sesuai kebutuhan pasien. Pasien yang tanpa terapi akan sangat mungkin
mengalami progresivitas dari gejalanya dan akan mengganggu fungsi sehari-hari pasien
maupun keluarga.
Abstract
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia,
termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena
depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena
dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan
keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang
berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka
panjang. 1,2
Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan
dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14
juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa
berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000
penduduk. Data riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional di
Indonesia pad apenduduk usia diatas atau sama dengan 15 tahun sebanyak 9,8%.1
Tingginya angka penderita gangguan jiwa pun berjalan beriringan dengan sejumlah kasus
bunuh diri di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya ada 812 kasus bunuh
diri di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2015.
Salah satu gangguan mental adalah ganguan perasaan/mood dimana oleh Pedoman Praktis
Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III secara umum terdapat gejala depresif, manik,
siklotimia, distimia, hipomania maupun campuran. Orang yang mengalami gejala depresif saja
sering digolongkan gangguan depresif mayor, sedangkan bipolar adalah yang mengalami
manik saja, atau campuran manik dengan depresi.
Anamnesis3
Riwayat psikiatri merupakan rekaman kehidupan pasien, yang membuat psikiater dpaat
mengerti siapa pasiennya, apa saja yang terlah dilalui pasien, dan seperti apa kemungkinan
kedepannya. Riwayat psikiatri ini adalah cerita hidup pasien yang diceritakan sendiri oleh
pasien kepada psikiater dalam kata-kata pasien dan menurut sudut pandangnya sendiri. Sering
kali riwayat yang mencakup informasi pasien ini didapat dari sumber lain, speerti keluarga
pasien. Mendapatkan riwayat yang komprehensif tentang pasien penting untuk membuat
diagnosis dan merencanakan terapi yang spesifik dan efektif. Selain untuk mengumpulkan data
konkret dan factual berhubungan dengan kronologi dari terbentuknya simtom dan riwayat
psikiatri dan medis, psikiater dapat mendapat gambaran mengenai ciri kepribadian pasien,
termasuk kekuatan dan kelemahan pasien. Riwayat (history) psikiatri memberikan tilikan
hubungan pasien dengan orang-orang terdekatnya, juga semua orang yang penting dalam hidup
pasien.
Teknik paling penting dalam mendapatkan riwayat psikiatri pasien adalah dengan membiarkan
pasien bercerita dalam kata-kata mereka sendiri sendiri. Sambil pasien bercerita, psikiater
dapat mengambil poin-poin dimana dapat dibuat menjadi pertanyaan yang relevan demi
menggali lebih dalam tentang garis besar riwayat dan status mentalnya.
Status Mental :
A. Deskripsi Umum :
1. Penampilan : Posture, sikap, pakaian, perawatan diri, rambut, kuku,
sehat, sakit, marah, takut, apatis, bingung, merendahkan, tenang, tampak lebih tua, tampak
lebih muda, bersifat seperti wanita, bersifat seperti laki-laki, tanda-tanda kecemasan–tangan
basah, dahi berkeringat, gelisah, tubuh tegang, suara tegang, mata melebar, tingkat kecemasan
berubah-ubah selama wawancara atau dengan topik khusus.
2. Perilaku dan aktivitas psikomotorik : Cara berjalan, mannerisme, tics, gerak
isyarat, berkejang-kejang (twitches), stereotipik, memetik, menyentuh pemeriksa, ekopraksia,
janggal / kikuk (clumsy), tangkas (agile), pincang (limp), kaku, lamban, hiperaktif, agitasi,
melawan (combative), bersikap seperti lilin (waxy)
3. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif, penuh perhatian, menarik perhatian,
menantang (frack), sikap bertahan, bermusuhan, main-main, mengelak (evasive), berhati-hati
(guarded)
F. Tilikan
Tilikan merupakan derajat kesadaran dan pengertian pasien tentang dirinya yang sedang sakit.
Pemeriksaan Fisik3
Dalam menghadapi pasien dengan gangguan mental, pikiatri harus memutuskan apakah pasien
memiliki masalah medis, surgical, atau neurologi yang menjadi penyebab. Walaupun psikiater
biasanya tidak melakukan pemeriksaan fisik secara rutin kepada pasiennya, pengetahuan dan
pengertian tentang tanda-tanda dan gejala fisik termasuk dalam pelatihan mereka. Psikiater
juga harus dapat mengenali efek smaping dari obat-obat psikotropik dan harus tetap
mempertimbangkan status medis pasien di permulaan evaluasi psikiatrik. Psikiater juga harus
memutuskan apakah pasiem mebutuhkan pemeriksaan medis, pengambilan riwayat medis, dari
anamnesis, peemriksaan fisik semua sistem organ, dan pemeriksaan laboratorium yang relevan.
Keluhan utama dikelompokan menjadi keluhan pada tubuh, pikiran, dan interaksi social. Gejala
pada tubuh memerlukan pemeriksaan fisik yang teliti untuk kemudian dapat diketahui kelainan
terdapat di bagian apa dan apakah proses somatic tersebut bermain peran dalam menyababkan
distres. Gejala mental juga dapat sebagai ekspresi dari proses somatic. Contohnya adalah pada
penyakit Alxheimer dimana terjadi perubahan kepribadian karena masalah medis. Namun, jika
masalahnya jelas merupakan lingkup social, mungkin tidak perlu dilakukan pemeriksaan fisik.
Dalam pemeriksaan fisik pun dapat menyebabkan efek samping, misalnya panik, ketakutan,
atau curiga; dan hal ini juga dapat menjadi catatan bagi klinisi untuk menggali lebih dalam
semua respon dari pasien ketika hendak dilakukan pemeriksaan fisik maupun saat dilakukan
pemeriksaannya.
Jika psikiater curiga adanya gangguan somatic yang menjadi penyebab, seperti diabetes
mellitus atau sindrom Chusing, rujukan biasa dibuat kepada klinisi medis untuk diagnosis dan
terapi. Namun psikiater biasanya akan menangani bila masalahnya asalah gangguan kognitif.
Dalam beberapa kasus, evaluasi neurologi yang teliti diperlukan.
Pemeriksaan penunjang3
Dalam psikiatri klinis, tes laboratorium dapat membantu mengeksklusi penyebab organic dari
gejala psikiatri. Pemeriksaan lab juga kemudian dapat digunakan untuk memonitor terapi
seperti mengukur kadar antidepresan darah dan memeriksa efek lithium terhadap elektrolit,
metabolism tiroid dan fungsi renal.
Differential Diagnosis3,5
Gangguan skizoafektif
Sesuai dengan namnya, gangguan skizoaktif memiliki ciri keduanya dari skizofrenia dan
gangguan afektif (gangguan mood). Penyebab gangguan skizoafektif tidak diketahui.
Gangguan ini dapat merupakan tipe skizofrenia, tipe gangguan mood, atau ekspresi bersamaan
keduanya. Beberapa studi mengindikasi adanya relasi genetik namun belum pasti. Pasien
dnegan gangguan skizoafektif memiliki prognosis yang lebih baik disbanding pasien
skizofrenia tetapi prognosis lebih buruk bila disbanding pasien dengan gangguan mood. Pasien
dengan gangguan skizoafektif juga berespon lebih baik kepada lithium dibanding pasien
dengan skizofrenia.
Gangguan skizoafektif menurut PPGDJ masuk ke dalam klasifikasi F25.
F25.0 GANGGUAN SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK
F25.1 GANGGUAN SKIZOAFEKTIF TIPE DEPRESIF
F25.2 GANGGUAN SKIZOAFEKTIF TIPE CAMPURAN
F25.8 GANGGUAN SKIZOAFEKTIF LAINNYA
F25.9 GANGGUAN SKIZOAFEKTIF YTT (yang tidak tergolongkan / unspecified)
1. Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik yang tunggal
maupun untuk gangguan berulang dengan sebagaian besar episode skizoafektif tipe
manik.
2. Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak begitu
menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang memuncak.
3. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi dua,
gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia, F20.-
pedoman diagostik (a) sampai dengan (d)).
Working Diagnosis3,5
Mood adalah tingkat perasaan yang dirasakan secara internal dan memengaruhi perilaku dan
persepsi seseorang. Afek adalah ekspresi eksternal dari mood. Mood dapat mengalami elevasi,
atau depresi, atau normal. Ornag yang sehat dapat mengalami berbagai tingkatan mood dan
dapat mengeluarkan berbagai ekspresi afektif; mereka dapat mengontrol mood dan afek.
Gangguan mood adalah kondisi klinis yang ditandai dengan kehilangan kemampuan untuk
mengontrol dan mengalami distress yang subjektif. Pasien dengan mood elevasi terlihat
ekspansif, loncatan gagasan (flight of ideas), berkurangnya tidur, dan pikiran-pikiran muluk.
Pasien dengan mood depresi mengalami kehilangan energi dan minat, perasaan bersalah, sulit
konsentrasi, kehioangan nafsu makan, dan pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Tanda dan
gejala lain dari gangguan mood adalah perubahan tingkat aktivitas, kemampuan kognitif,
bicara, dan fungsi vegetative (tidur, nafsu makan, aktivitas seksusal, dan ritme biological
lainnya). gangguan ini biasanya kemudian berakibat pada gangguan fungsi interpersonal,
social, dan pekerjaan.
Pasien dengan hanya episode depresif mayor dikatakan memiliki gangguan depresif mayor
atau depresi unipolar. Pasien dengan episode manik dan depresi atau pasien dengan manik saja
dikatakan memiliki gangguan bipolar. Istilah “mania unipolar” atau “pure mania” terkadang
digunakan untuk pasien bipolar tetapi tidak mengalami episode depresi.
Kategori tambahan gangguan mood adalah hipomania, siklotimia, dan distimia. Hipomania
adalah episode dengan gejala manik tetapi tidak terlalu parah hingga mencapai kriteria manik.
Siklotimia dan distimia masing-masing diartikan DSM-IV-TR sebagai gangguan yang muncul
tidak separah gangguan bipolar dan depresi mayor.
Bidang psikiatri telah memisahkan depresi mayor dan gangguan bipolar menjadi dua gangguan
berbeda. Kemungkinan bahwa gangguan bipolar adalah sebenarnya ekspresi lebih parah dari
depresi mayor masih dipertimbangkan. Banyak pasien terdiagnosa depresi mayor ternyata
setelah diperiksa lebih teliti pernah mengalami episode manik atau hipomanik. Banyak ahli
mempertimbangkan kelanjutan antara depresi rekuren dan gangguan bipolar. Hal ini membuat
banyak diskusi dan debat tentang spektrum bipolar.
Mania
Episode mania adalah periode mood elevasi, ekspansi, atau iritabilitas secara abnormal
dan persisten yang berlangsung setidaknya 1 minggu, atau kurang jika pasien harus dirawat di
rumah sakit. Hipomanik berlangsung setidaknya 4 hari dan mirip dengan manik tetapi tidak
terlalu parah untuk mengakibatkan gangguan fungsi social dan pekerjaan, dan tidak ada ciri
psikotik. Mania dan hipomania berhubungan dengan meningkatnya rasa harga diri,
berkurangnya kebutuhan tidur, mengganggu atau mengalihkan, aktivitas fisik dan mental yang
hebat, dan meningkatnya kegiatan atau perilaku demi kesenangan pribadi.
Berdasarkan DSM-IV-TR, gangguan bipolar I yaitu keadaan dengan satu atau lebih
episode manik dan kadang depresi mayor. Episode campuran adalah periode dnegan setidaknya
1 minggu dimana episode manik dan depresi terjadi hampir setiap hari. Varian dari gangguan
bipolar yaitu gangguan bipolar II dimana terjadi depresi mayor dan hipomania.
Episode ini ditandai dengan elevasi, ekspansi, dan iritabilitas dari mood. Mood ter-elevasi
sampai euphoria. Mereka yang mengenal pasien dari sebelum sakit dapat mengenali episode
ini adalah abnormal. Mood pada awalnya biasanya terdominasi oleh euphoria lalu jika berlanjut
lama, akan berubah menjadi iritabilitas. Diluar rumah sakit, pasien manik dapat mengonsumsi
alcohol berlebihan, menggunakan telepon berlebihan dan pada waktu yang tidkak tepat
(misalnya pada pagi-pagi buta). Ada pula pasien manik yang memiliki kecenderungan
membuka pakaiannya di tempat umum, menggunakan pakaian atau pehiasan dengan warna
mencolok atau terang dengan kombinasi warna yang tidak biasa, dan tidak memerhatikan detail
kecil. Mereka sering memiliki banyak ide-ide atau pikiran dari berbagai topik dan
membicarakannya tanpa henti dengan tema yang berubah-ubah cepat.
Bicara
Pasien manik tidak dapat diinterupsi ketika bicara dan mereka sering mengintrusi orang
lain. Pembicaraan mereka kacau. Ketika mania menjadi lebih intens, bicara mereka menjadi
lebih keras, lebih cepat, dan sulit diartikan. Isi pembicaraan ketika sdang meningkat intensitas
manianya adalah lelucon, sajak/irama, permainan kata, dan hal-hal yang tidak relevan. Disaat
seperti ini, kemampuan asosiasi berkurang, konsentrasi memudar, flight of ideas, dan
mendentang-dentangkan benda. Pada mania akut, bicara menjadi sangat inkoheren dan tidak
dapat dibedakan dengan skizofrenia.
Persepsi
Persepsi pasien manik terganggu dan 75% mengalami delusi. Delusi ini sering berisi
kekayaan melimpah, kemampuan hebat, atau kekuatan yang tidak biasa. Halusinasi juga dapat
muncul pada mania
Pikiran
Pikiran pasien mania berisikan semua yang bertema kepercayaan diri dan pembesaran
diri. Pasien sering mudah teralihkan atau terganggu, dan fungsi kognitif saat manik memiliki
ciri tidak terkendali dan aliran ide atau pikiran yang meningkat.
Kontrol impuls
75% pasien manik menyerang atau mengancam. Mereka dapat melakukan usaha bunuh
diri atau membunuh orang lain.
Tilikan dan penilaian
Penilaian merupakan kemampuan penilaian terhadap social, pengertian akan akibat
perilaku dan apakah mereka dipengaruhi oleh pengertian ini, dan apakah pasien dapat
memprediksi hal yang akan mereka lakukan dalam suatu keadaan imajiner. Penilaian sosial
mereka terhadap social terganggu sehingga mereka sering melanggar peraturan. Tilikan
merupakan derajat kesadaran dan pengertian pasien tentang dirinya yang sedang sakit. Mereka
memiliki kesadaran yang minimal akan penyakitnya sehingga mereka merasa tidak sedang
sakit.
Epidemiologi
Gangguan mood adalah umum. Dalam survey terakhir, depresi mayor menempati prevalensi
tertinggi (hampir 17%) dari semua gangguan psikiatri. Insiden tahunan penyakit bipolar adalah
kurang dari 1%, tetapi tidak pasti karena banyak pasien dengan bipolar ringan yang tidak
terdeteksi. Menurut data WHO tahun 2016, sebanyak 60 juta orang terkena gangguan bipolar.
Wanita dua kali lebih banyak mengalami depresi mayor dibandingkan pria. Kemungkinan
alasannya adalah perbedaan hormonal, efek melahirkan, dan perbedaan stressor psikososial
pada wanita dan pria. Bipolar I memiliki prevalensi yang sama antara wanita dan pria. Episode
manik lebih banyak pada pria dan episode depresi lebih banyak pada wanita. Jika wanita
mengalami episode manik, mereka lebih mungkin mengalami episode campuran. Wanita juga
lebih banyak yang mengalami siklus cepat/rapid cycler yaitu mengalami 4 atau lebih episode
dalam 1 tahun.
Onset bipolar I bervariasi dari umur 5 atau 6 tahun sampai 50 tahun, dengan rata-rata 30 tahun.
Rerata umur onset depresi mayor adalah 40 tahun. Data epidemiologi terakhir menunjukan
bahwa insiden depresi mayor bertambah pada kelompok usia dibawah 20 tahun.
Depresi mayor banyak terjadi pada orang-orang tanpa hubungan interpersonal yang dekat atau
pada pernikahan yang sudah cerai atau berpisah. Bipolar I lebih umum pada orang yang sudah
cerai dan yang tidak mempunyai pasangan.
Bipolar I lebih banyak ditemukan pada kelompok social ekonomi tinggi dan pada yang tidak
lulus perguruan tinggi.
Etiologi
Factor biologis
Dari amina biogenic, norepinefrin, serotonin, dan dopamin adalah
neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Perubahan
regulasi hormonal, perubahan neurofisiologi tidur, gangguan imunologi, kelainan
structural atau fungsi otak, kelainan neuroanatomi, semua dapat bermain peran dalam
patofisiologi gangguan mood.
Faktor genetic
Factor psikososial.
Kejadian-kejadian dalam hidup dan stress dari lingkungan dapat memengaruhi
keadaan perasaan, terutama bila ada gangguan kepribadian. Banyak teori yang
mengatakan bahwa episode manik merupakan suatu pertahanan dari depresi yang
terjadi.
Gangguan mood/afektif dalam klasifikasi PPGDJ III masuk ke dalam F30 - F39.
Kelainan fundamental dari kelompok gangguan ini adalah perubahan suasana perasaan (mood)
atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau kearah
elasi (suasana perasaan yang meningkat). Perubahan afek ini biasanya disertai dengan suatu
perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas, dan kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder
terhadap perubahan itu, atau mudah dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut.
Pedoman Diagnostik
Derajat gangguan yang lebih ringan dari mania (F30.1), afek yang meninggi atau
berubah disertai peningkatan aktivitas, menetap selama sekurang-kurangnya beberapa
hari berturut-turut, pada suatu derajat intensitas dan yang bertahan melebihi apa yang
digambarkan bagi siklotimia (F34.0), dan tidak disertai halusinasi atau waham.
Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial memang sesuai dengan
diagnosis hipomania, akan tetapi bila kekacauan itu berat atau menyeluruh, maka
diagnosis mania (F30 1 atau F30.2) harus ditegakkan.
Pedoman diagnostic:
Gambaran klinis merupakan bentuk mania yang lebih berat dari F30.1 (mania tanpa
gejala psikotik).
Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi
waham kebesaran (delusion of grandeur), iritabilitas dan kecurigaan menjadi waham
kejar (delusion of persecution). Waham dan halusinasi "sesuai" dengan keadaan afek
tersebut (mood-congruent).
Yang khas adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik
biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sarnpai 4 - 5 bulan, episode
depresi cendrung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar 6 bulan) meskipun jarang rnelebihi
1 tahun kecuali pada orang usia lanjut. Kedua macam episode itu seringkali terjadi setelah
peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma mental lain (adanya stres tidak esensial untuk
penegakkan diaglosis).
Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik tanpa Gejala Psikotik (F31.1)
Pedoman diagnostic
episode yang sekarang harus memenuhi kriberia untuk mania tanpa gejala psikotik
(F30.1)
harus ada sekurang-kurangnya satu episode afehtif lain (hipomanik, manik, depresif,
atau campuran) di masa lampau
Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik dengan Gejala Psikotik (F31.2)
Pedoman diagnostic:
episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan gejala psikotik
(F30.2)
harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik, depresif,
atau campuran) di masa lampau
Prognosis3
Factor yang berhubungan dengan prognosis buruk yaitu pasien dengan episode durasi lama,
disosiasi sementara antara gangguan mood dan gejala psikotik, ketergantungan alcohol, ciri
depresif, depresi interpeisode, jenis kelamin laki-laki, dan riwayat adaptasi social yang buruk.
Pasien dengan ciri psikotik biasanya membutuhkan obat antipsikotik juga selain antidepresan
atau mood-stabilizer.
Pasien bipolar I biasanya mulai dengan episode depresi (75%) dan gangguan berulang.
kebanyakan pasien mengalami depresi dan manik, walaupun 10-20% hanya mengalami manik.
Episode manik biasanya memiliki onset cepat (hitungan jam atau hari), tetapi dapat sampai
berminggu-minggu. Manik yang tidak diterapi dapat berlangsung sampai 3 bulan sehingga obat
tidak boleh stop sebelum waktu itu. Orang yang memiliki episode manik sekali cenderung akan
mengalami lagi. Jika gangguan berkembang lebih lanjut, jeda antara episode akan berkurang.
5-15% pasien bipolar mengalami 4 atau lebih episode per tahun (rapid cyclers).
Pasien dengan bipolar I mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan gangguan
depresif mayor. Lebih dari 40-50% pasien bipolar I mengalami episode manik kedua dalam 2
tahun setelah episode pertama. Walaupun profilaksis lithium meningkatkan prognosis, hanya
50-60% mencapai control yang signifikan dari gejala mereka dengan lithium. Prediksi hasil
yang lebih baik terjadi pada pasien dengan episode manik durasi yang sebentar, onset bukan
pada usia muda, sedikit pikiran tentang bunuh diri, dan beberapa masalah psikiatri atau medis
co-existing.
Sekitar 7% pasien Bipolar I tidak mengalami gejala rekurensi, 45% mengalami lebih dari 1
episode, dan 40% mengalami gangguan kronis. Pasien dapat mengalami 2-30 episode manik,
dengan rerata sekitar 9. Sekitar 40% mengalami lebih dari 10 episode. Pada follow-up jangka
lama, 15% keadaan pasien tergolong baik, 45% baik namun mengalami relaps multiple, 30%
remisi parsial, dan 10% gangguan kronis. Sepertiga dari semua pasien bipolar I memiliki gejala
kronik dan bukti penarikan diri dari aktivitas social.
Prognosis bipolar II masih dalam studi, namun beberapa data sebelumnya menyebutkan bahwa
diagnosis akan stabil dimana pasien dengan bipolar II akan mendapat diagnosis yanga sama
sampai 5 tahun mendatang. Bipolar II adalah penyakit kronis yang membutuhkan strategi terapi
jangka lama.
Tatalaksana3
Terapi pasien dengan gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa tujuan yaitu: 1)
keselamatan/keamanan pasien harus terjamin, 2) evaluasi diagnostic lengkap bila diperlukan,
3) rencana terapi yang mencakup penyembuhan gejala dan kesejahteraan pasien. Walaupun
terapi lebih ditekankan pada farmakoterapi dan psikoterapi untuk pasien individual, kehidupan
penuh stress berhubungan dengan meningkatnya jumlah relaps. Sehingga, terapi harus
memperhitungkan jumlah dan keparahan stressor dalam hidup pasien.
Gangguan mood adalah penyakit kronis sehingga psikiater harus mengedukasi pasien dan
keluarga tentang strategi terapi kedepannya. Karena prognosis tiap episode (manik dan depresi)
baik, pasien dan keluarga biasanya bersikap optimis.
Hospitalisasi
Dokter harus dapat memutuskan apakah pasien harus di rawat inap atau rawat jalan.
Indikasi untuk rawat inap adalah risiko bunuh diri atau membunuh orang lain, pasien sangat
tidak mampu untuk mendapatkan makanan atau perlindungan, kebutuhan untuk prosedur
diagnostic, riwayat gejala dengan progress yang cepat, dan jika sistem support pasien tidak
bisa diandalkan. Pasien manik sering memiliki tilikan yang sangat kurang tentang penyakitnya
sehingga mereka merasa tidak butuh dirawat di rumah sakit.
Terapi psikososial
Untuk depresif mayor, banyak klinisi yang percaya bahwa kombinasi psikoterapi dan
farmakoterapi adalah yang paling efektid untuk terapi, namun beberapa juga percaya bahwa
salah satu, farmakoterapi atau psikoterapi, saja sudah efektif, setidaknya untuk gejala yang
ringan. Studi NIMH Treatment od depression Collaborative Research program menemukan
bahwa farmakoterapi, dengan atau tanpa psikoterapi, dapat menjadi terapi pilihan untuk pasien
dengan depresi mayor berat.
Tiga tipe psikoterapi jangka pendek adalah terapi kognitif, terapi interpersonal, dan
terapi perilaku/behavior. Terapi kognitif yang dikenalkan oleh Aaron Beck berfokus pada
distorsi kognitif yang ada pada depresif mayor. Distorsi tersebut yaitu pehatian yang selektif
terhadap aspek-aspek negative dari keadaan dan dugaan-dugaan buruk mengenai hal-hal yang
akan terjadi. Tujuan terapi kognitif adalah meredakan episode depresi dan mencegah rekurensi
dengan membantu pasien mengidentifikasi dan menguji kognitif negative; membangun cara
bepikir yang alternatif, fleksibel, dan positif; dan melatih respon perilaku dan kognitif yang
baru. Terapi interpersonal dikenalkan oleh Gerald Klerman, nerfokus pada satu atau dua
masalah interpersonal pasien yang sekarang. Terapi interpersonal juga merupakan metode
efektif untuk episode depresif mayor jika pilihan terapinya adalah psikoterapi saja. Terapi
perilaku berbasiskan hipotesis bahwa adaptasi pola perilaku yang salah dapat berakibat orang
itu mendapatkan sedikit feedback positif dan bahkan penolakan dari masyarakat. Dalam terapi
perilaku, pasien dpaat berlajar untuk berfungsi sedemikian rupa sehingga ia mendapat feedback
positif.
Terapi Keluarga
Terapi ini bukan menjadi terapi primer pada depresi mayor tetapi dapat membantu
pasien dengan gangguan mood untuk mengurangi dan menghadapi stress dan mengurangi
peluang relaps. Terapi ini diindikasikan bila gangguan pasien merusak fungsi keluarga atau
pernikahan pasien atau jika gangguan mood ini justru dipromosi atau dipertahankan oleh
keadaan keluarga. Terapi keluarga menguji peran dari pasien dalam kesejahteraat psikologikal
keluarga; juga peran seluruh keluarga dalam memelihara gejala pasien.
Farmakoterapi
Spektrum unipolar dan bipolar memiliki regimen terapi yang berbeda. Tujuan
farmakoterapi adalah mencegah remisi gejala, bukan hanya mengurangi gejala.
Untuk depresif mayor, penggunaan farmakoterapi spesifik dapat meningkatkan dua kali
peluang pasien untuk pulih dalam 1 bulan. antidepresan yang tersedia sekarang butuh sekitar
3-4 minggu untuk mengeluarkan efek signifikan terapeutiknya. Golongan antidepresan yang
dapat dipakai adalah NE Reuptake Inhibitors, 5-HT Reuptake Inhibitor, Pre dan Postsynaptic
Active Agents, Dopamine Reuptake inhibitor, Mixed Action Agents. Terapi antidepresan harus
dipertahankan setidaknya 6 bulan. Terapi profilaksis dengan antidepresan efektif dalam
mengurangi jumlah dan keparahan rekurensi. Satu studi mengatakan bahwa jika episode-
episode terpisah kurang dari 2,5 tahun, terapi profilaksis selama 5 tahun mungkin
diindikasikan. Hal lain yang membutuhkan profilaksis yaitu keparahan episode depresi
terakhir. Episode dimana terdapat ide bunuh diri yang signifikan atau gangguan fungsi
psikososial dapat mengindikasi pemberian profilaksis. Jika ingin menghentikan antidepresan,
obat harus di taper-off sedikit demi sedikit dalam 1-2 minggu. Studi membuktikan bahwa
antidepresan mantainance aman dan efektif untuk terapi depresi kronis. Prevensi episode baru
(misalnya rekurensi) adalah target fase terapi mantainance. Hanya pasien dengan depresi
rekuren atau kronis yang dapat memperoleh terapi maintenance.
Terapi farmakologi untuk gangguan bipolar dibagi menjadi fase akut dan maintenance.
Terapi untuk mania akut atau hipomania dapat dipakai sendiri atau kombinasi dengan obat
untuk menurunkan pasien dari keadaan high. Lithium Carbonate termasuk mood stabilizer dan
kadar terapeutiknya adalah antara 0.6 dan 1.2 mEq/L. Valproate memiliki efek lebih kuat dari
lithium untuk mania akut. Valproate juga memiliki efek profilaksis. Asam valproic biasanay
dipakai dalam dosis 750 sampai 2500 mg per hari. Loading dose oral adalah 15-20mg/kg untuk
divalproex sodium dari hari pertama terapi. Carbamazepine sduah dipakai di dunia sebagai
terapi lini pertama mania akut. Dosis yang biasa dipakai untuk carbamazepine adalah 600-1800
mg/hari. Benzodiazepine antikonvulsan yang digunakan untuk mania akut adalah clonazepam
dan lorazepam. Tingkat keamanan dan efek samping ringan dari clonazepam dan lorazepam
membuat mereka ideal untuk dipakai menjadi obat pendamping lithium, carbamazepine atau
valproate.
Terapi untuk depresi bipolar akut membutuhkan kombinasi antidepresan dan mood
stabilizer. Antidepresan sering diperkuat oleh mood stabilizer saat digunakan sebagai terapi
lini pertama untuk episode depresi pertama atau episode depresi saja. Kombinasi paten
olanzepine dan fluoxentine (Symbax) telah dikatakan efektif dalam terapi depresi bipolar akut
untuk periode 8 minggu tanpa menginduksi atau perubahan ke mania ataupun hipomania.
Terapi mantainance untuk bipolar tidak boleh menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan. Sedasi, gangguan kognitif, termor, penambahan berat badan, dan ruam adalah efek
samping dari diskontinuasi terapi. Lithium, carbamazepine, dan asam vaproic, digunakan
sendiri atau kombinasi, sering digunakan untuk terapi jangka Panjang pasien bipolar.
Lamotrigine memiliki efek profilaksis antidepresan dan agen mood-stabilizing.
Suplementasi tiroid sering dibutuhkan dalam terapi jangka panjang. Banyak pasien
dengan lithium mengalami hipotiroidisme dan banyak pasien dengan gangguan bipolar
mengalami disfungsi tiroid idiopatik. T3 (25-50 μg per hari) direkomendasikan untuk strategi
augmentasi akut, sedangkan T4 sering digunakan untuk mantainance jangka lama.3,6
Monitoring elektrolit dan tiroid perlu dilakukan dalam permberian lithium jangka panjang.7,8
Kesimpulan
Gangguan afektif (mood) adalah dimana seseorang kehilangan control akan mood dan afeknya,
sehingga terjadi perubahan mood dan seluruh tingkat aktivitas. Seseorang dengan episode
manik mengalami elevasi, ekspansi mood dimana gejala yang terlihat adalah seperti
meningkatnya aktivitas, berkurangnya kebutuhan tidur, bicara banyak dan cepat, euphoria,
iritabilitas, memakai pakaian dengan warna-warna yang mencolok, melanggar aturan atau
nilai-nilai social (melepas pakaian di tempat umum, menelepon seseorang pagi-pagi buta),
loncatan gagasan, dan lainnya. Pasien dengan manik juga tidak menyadari atau merasa bahwa
dirinya sakit, shingga ia masuk dalam tilikan 1. Pada gangguan afek dapat disertai gejala
psikotik seperti halusinasi, waham, tidak bisa membedakan realita atau bukan, gangguan
memori, gangguan berat fungsi social dan personal, dan menurunnya kemampuan untuk
mengerjakan perkerjaan rumah atau lainnya seperti yang biasa dilakukan dan lain-lain. Gejala
gangguan afektif secara umum dibagi menjadi depresif, manik, hipomanik, siklotimia, dan
distimia. Klasifikasi gangguan jiwa dapat menggunakan International Statistical Classification
of Diseases oleh WHO, atau The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders oleh
American Psychiatric Association, atau Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa oleh
Kementrian Kesehatan RI. Etiologi dari gangguan mood dapat merupakan gangguan dari
neurotransmitter, kecenderungan genetic, ataupun psikososial. Prognosis biasanya baik, namun
faktor-faktor seperti episode durasi lama, disosiasi sementara antara gangguan mood dan gejala
psikotik, ketergantungan alcohol, depresi interepisode, laki-laki, dan riwayat adaptasi social
yang buruk dapat mengakibatkan prognosis yang buruk. Terapi untuk gangguan mood meliputi
terapi psikososial dan farmakoterapi, dapat dipakai keduanya atau salah satu saja, tergantung
pada keadaan dan kebutuhan pasien.
Daftar pustaka:
1. Kemenkes RI. Peran keluarga dukung kesehatan jiwa masyarakat. 6 Oktober 2016.
Available at link: http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-
dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html
2. WHO. Mental disorders. 9 April 2018. Available at link: https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/mental-disorders
3. Kaplan, Sadock. Synopsis of psychiatry. 10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins;
2007. P 272-248, 527-261
4. Skill Lab Sistem neuropsikiatri FK Universitas Hasanuddin. Buku panduan mahasiswa
tekhnik keterampilan pemeriksaan status mental. Makassar; 2015. H 3-9
5. Maslim R. Gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III dan DSM 5. Jakarta: FK
Unika Atmajaya; 2013. H 44-69
6. Lazarus J H. The effects of lithium therapy on thyroid and thyrotropin-releasing
hormone. Oct 1998. Available at link: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/982765
7. WebMD. Lithium for bipolar disorder. Available at link:
https://www.webmd.com/bipolar-disorder/guide/bipolar-disorder-lithium#1
8. Geetha P R, Channabasavanna S M, Rao B S S R. Effect of lithium on serum
electrolytes. 1983. Available at link:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3012367/