Anda di halaman 1dari 14

TERAPI SOMATIC DAN PSIKOFARMAKA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa II

semester lima, tahun ajaran 2021/2022

Di susun oleh :

Anggota kelompok 1

1. Amaliawati Saputri (190103003)

2. Amri Firgiawan (190103005)

3. Anirotus Sa’adah (190103006)

4. Anisa Tri Mulyani (190103008)

S1 Keperawatan 5B

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO

TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Skizofrenia dapat merupakan penyakit yang ditentukan secara genetik, tetapi
juga terdapat bukti yang menunjukkan kejadian intra uteri dan
komplikasi obstetrik. Obat neuroleptik banyak mengendalikan banyak gejala
skizofrenia. Obat tersebut mempunyai sebagian besar efek pada gejala
positif seperti halusinasi dan waham. Gejala negatif seperti menarik diri
dari lingkungan sosial dan apatis emosional kurang dipengaruhi oleh
obat neuroleptik. (Profitasari, 2010).
Obat neuroleptik membtuhkan waktu beberapa minggu untuk
mengendalikan gejala skizofren dan sebagian pasien akan membutuhkan
pengobatanselama bertahun-tahun. Relaps sering terjadi bahkan pada pasien
yang dipertahankan dengan obat dan lebih dari dua pertiganya mengalami
relaps dalam satu tahun bila menghentikan terapi. Sayangnya, neuroleptik juga
memblok reseptor dopamin pada gnaglia basalis dan sering juga menyebabkan
gangguan pergerakan (efek ekstra piramidal) yang menyebabkan stres dan
kecacatan. (Mansjoer, 2000).
Sebagai negara berkembang, Indonesia mengalami pemerosotan dibidang
ekonomi dan ini mengakibatkan masyarakat sernakin sulit untuk memenuhi
kebutuhan mereka yang mana biaya hidup semakin besar dan mahal. Individu
yang mempunyai koping maladaktif tentunya rentan terhadap stressor, tidak
dapat beradaptasi sehingga akhirnya akan beresiko gangguan jiwa. Gangguan
jiwa (mental disorder) adalah penyakit non fisik, seharusnya kedudukannya
setara dengan penl,akit-penyakit fisik lainnya. Meskipun ganggguan jiwa
tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara
langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan sefta
invalidilitas baik secara individu beraktivitas baik secara individu jna4pun
berkelompok akan mengharnbat pembangunan.karena mereka tidak produktif
dan tidak efisien. Penderita gangguan jiwa sering menciapatkan stigma dan
dislaiminasi yang lebih besar dari masyarakat disekitarnya dibandingkan
individu yang menderita penyakit medis lainnya. Hal ini dapat dilihat
dariperlakuan terhadap penderita skizoprenia. mereka sering mendapat
perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya dipukuli,perlakuan yang tidak
manusiawi, misalnya dipukuli, diasingkan, diisolasi atau dipasung, bahkalr
keluarga iuga dikucilkan dari lingkungan masyarakat. Mereka sering disebut
orang gila (insanity atau madness). Hal ini akan semakin memperbemt
kepatuhan keluarga didalarn pemberian pengobatan (R.udyanto, 2007). Dengan
adanya stigma sebagaimana diuraikan diatas, banyak diantara penderita
skizoprenia tidak dibawa ke dokter sehingga tidak memperoleh pengobatan
yang rasional (medik-psikiatrik), melainkan dibawa berobat ke cara-cara yang
tidak rasional. Dengan demikian dapat dimengerti kalau penderita skizoprenia
tidak mendapatkan terapi atau pengobatan yang tepat, sehingga bukannya
sembuh melainkan bertambah parah (Hawari,2001 ,. Data statistik yang
dikemukakan oleh WHO, bahwa setiap 7% dari penduduk dunia berada dalam
keadaan yang membutuhkan peftolongan selta pengobatan runtuk suatu
gangguan jiwa. Sementara itu l0% dari penduduk memerlukan pertolongan
kedokteran kejiwaan pada suatula'aktu dalam hi dupnya (Hawari, 200 I ).
Pada saat ini di Indonesia banyak mengalarni keprihatinan dengan
kesehatan yang salah satunya masalah tentang kesehatan jiwa. Data WHO
nrengatakan, penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa sekitar 26 juta
orang. 73,2 juta orang mengalami depresi. Masalah masalah yang mengakibatkan
banyaknya penderita gangguan jiwa di Indonesian misalnya adalah kekerasan,
pe4jarahan, ekonomi, dan kerusuhan- kerusuhan yang terjadi akhri - akhir ini
merupakan indikator menurunnya taraf kesehatan jiwa di lingkungan
masyarakat (Simanjuntak. J, 2008). Menurut Siti Fadilah Supari mengatakan,
sekitar 25% penduduk Indonesia mengalami gangguan neurotik, yakni gangguan
kesehatan jiwa seperti depresi dan psikosomatik yang selama ini kurang dikenali
masyarakat (Susanto, abdi,2008). Perekonomian masyarakat yang rendah
khususnya keluarga penderita penyakit skizoprenia mengalami kesulitan dalam
pemenuhan r-mtuk memberikan obat yang harus diberikan kepada klien atau
penderita skizoprenia. Dihubungkan dengan pengetahuan keluarga yang masih
rendah tentang penyakit ini mengakibatkan salah satu kendala dalam
pengobatan. Ditambah lagi obat yang dianjurkan dokter harus diberikan terus
menerus, namun keluarga sering tidak mampu untuk membeli obat. Oleh sebab
itu seringnya keluarga pasien memberhentikan pemberian obat. Kebosanan dan
kelupaan dalam pemberian obat juga suatu masalah untuk penyembuhan.
(Rudyanto, 2007). Kurangnya kesadaran masyarakat akan penyakit ini mungkin
berhubungan dengan penatalaksanaan yang tidak adekuat dan fasilitas
perawatan yang kurang memadai. Onset yang timbul pertama kali pada
skizoprenia sering ditemukan "pada usia remaja atau dewasa muda, perjalanan
penyakit yang kronik dan tidak sembuh. Hal ini menyebabkan penderita sering
dianggap sebagai beban dan kurang berguna bagi masyarakat. Beban ekonomi
dan penderita skizoprenia temyata sangat besar. Ini dapat dilihat dari data yang
ada bahwa 8o4 pasien skizoprenia tidak bekerja, 50% melakukan usaha bunuh
diri., 10yo berhasil melakukan bunuh diri, belum lagi besamya biaya yang harus
dikeluarkan baik secara langsung untuk membeli obafobatan dan biaya
perawatan, maupun secara tidak langsung seperti hilangnya pendapatan pasien,
waktu yang diberikan oleh care-givers untuk penderita, serta penderitaan yang
dialami oleh pasien dan pihak keluarga (Rudyanto, 2007). Beberapa penelitian
mendapatkan bahwa setelah 5-10 tahun perawatan rawat inap di rumah sakit
psikiatri untuk skizopreni4 hanya sekitar 10-20% pasien mempunyai prognosis
baik, lebih 50% mempr"nyai prognosis yang buruk, rawat inap ulang karrrbuh
gejala, gangguan suasana hati mayor dan percobaan bun'-rh diri. Sekitar 20-30%
pasien dapat menjalani kehidupan yang relatif normal, 20-30% melanjut
menderita gejala yang moderat, 40-60% terganggu secara bermakna sepanjang
hidupnya (Lumbantobigg, 20A7). Pengetahuan umum yang dimiliki oleh
keluarga tentang gangguan jiwa sangat kurang karena disebabkan kurangnya
pemaharftn keluarga dalam hal bahaya ketidakpatuhan memberikan terapi
psikofarmaka pada pasien gangguan jiwa. Berdasarkan pendidikan, keluarga
sangat mendukung untuk kepatuhan keluarga dalam memberikan terapi
psikofarmaka, karena semakin tinggi tingkat pendidikan sehingga dapat
mempengaruhi kepahrhan kelumga dalam 4pdrberikan terapi osikofarmaka.
Menurut Rudyanto Q007) apabila keluarga tidak patuh dalam memberikan
terapi psikofarmaka kepada pasien gangguan jiwa kemrurgkinan dapat
menyebabkan pasien semakin sering kambuh dan retensi terhadap upaya terapi.
DaIa ymg diperoleh dari medical record RS. Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
pada tahun 2011, menemukan pasien gangguan jiwa sebanyak 15.966 orang,
dari 15.966 orang yang mengalami gangguan jiwa terdapat 12.298 orang yang
mengalami skizoprenia, dimana 80% pasien kambuh dikarenakan tidak rutin
minum obat. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan
keluarga diantaranya ; umur, jenis kelamin, status ekonomi dan tingkat
pendidikan.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti merasa tertarik unhrk
meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan keluarga
dalam me.mt erikan terapi psikofarmaka bagi pasierr skizofrenia di ruang mwat
jalan Rumali Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Terapi Somatic Dan Psikofarmaka


Pengertian Terapi Somatik
Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model medical di
mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan model
konsep yang lain yang memandang bahwa gangguan jiwa murni adalah gangguan
pada jiwa semata, tidak mempertimbangkan adanya kelaianan patofisiologis.
Tekanan model medical adalah pengkajian spesifik dan pengelompokkasn gejala
dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal dipercaya akibat adanya
perubahan biokimiawi tertentu.Terapi ini memfokuskan penyembuhan klien
dengan bantuan obat-obatan yang berfungsi sebagai anti depresi.
• Tujuan Terapi biologi atau somatic diberikan dengan tujuan mengubah
perilaku mal adaptif menjadi perilaku yang adaptifdengan melakukan
tindakan dalambentuk perlakuan fisik.
• Jenis-Jenis Terapi Somatik Pada Klien Gangguan Jiwaa.
1. Pengikatan
2. Isolasi
1) Indikasi penggunaan:
a)Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan pasien atau
orang lain dan tidak dapat dikendalikan oleh oranglain dengan intervensi
pengekangan yang longgar, seperti kontak interpersonal atau pengobatan
b)Reduksi stimulus lingkungan, terutama jika diminta oleh pasien.
2) Kontraindikasi adalah:
a)Kebutuhan untuk pengamatan masalah medic
b)Risiko tinggi untuk bunuh diri
c)Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori
d)Hukuman

Terapi Psikofarmaka
Pengertian
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap
taraf kualitas hidup klien (Andri, 2009).
• Konsep Psikofarmakologi
a.Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari manajemen psikoterapi
b.Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka
c.Yang termasuk neurotransmitter: dopamin, neuroepinefrin, serotonin dan GABA
(Gamma Amino Buteric Acid) dan lain-lain
d.Meningkat dan menurunnya kadar/konsentrasi neurotransmitter akan
menimbulkan kekacauan atau gangguan mental
e.Obat-obat psikofarmaka efektif untuk mengaturkeseimbangan
neurotransmitter
• Klasifikasi
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya:
antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, antiinsomnia, anti-panik, dan
anti obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain:
transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika (Andri, 2009).
Dari masing-masing golongan mempunyai derivat beserta sediaannya masing-
masing, antaralain sebagai berikut:
a.Anti Psikotik
1)Anti psikotik termasuk golongan mayor trasquilizer atau psikotropik:
neuroleptika.
2)Mekanisme kerja: menahan kerja reseptor dopamin dalam otak (di ganglia
dan substansia nigra) pada sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal.
3)Efek farmakologi: sebagai penenang, menurunkan aktivitas motorik, mengurangi
insomnia, sangat efektif untuk mengatasi: delusi, halusinasi, ilusi dan gangguan
proses berpikir.
b.Efek Samping Antipsikotik
1)Efek samping pada sistem saraf (extrapyramidal side efect/EPSE)
a)Parkinsonisme
Efek samping ini muncul setelah 1 -3 minggu pemberian obat. Terdapat trias
gejala parkonsonisme:
• Tremor: paling jelas pada saat istirahat
• Bradikinesia: muka seperti topeng, berkurang gerakan reiprokal pada saat
berjalan
• Rigiditas: gangguan tonus otot (kaku)
2)Reaksi distonia: kontraksi otot singkat atau bisa juga lama
Tanda-tanda: muka menyeringai, gerakan tubuh dan anggota tubuh tidak
terkontrol
3)AkathisiaDitandai oleh perasaan subyektif dan obyektif dari kegelisahan,
seperti adanya perasaan cemas, tidak mampu santai, gugup, langkah bolak-balik dan
gerakan mengguncang pada saat duduk.
BAB III

ANALISA DATA

A. Jenis Terapi/ Intervensi yang digunakan

Terapi somatik, Variabel penelitian yaitu home care adalah suatu pendekatan dalam
asuhan keperawatan di rumah yang menekankan pada intervensi biologis (aspek fi sik),
home care holistic adalah suatu pendekatan dalam asuhan keperawatan di rumah yang
menekankan pada intervensi bio-psiko-sosial-spiritual, tingkat kecemasan dan tingkat
depresi diukur dengan daftar pertanyaan yang sudah diuji validitas dan reabilitasnya
dengan skala data interval. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan
wawancara kemudian di oleh dengan menggunakan analisis statistik Levene's test dan
t-test.

B. Responden atau sasaran terapi

Terapi Somatik, Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga pasien gangguan
jiwa yang menemani pasien berobat ke Ruangan Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara Medan pada saat oenelitian dilakukan. Pengambilan sampel
ditentukan dengan teknik purp o s iv e s amp I in g. Besar sarnpelnya adalah 91 orang.
dengan kriteria sampel ; usia dewasa, tinggal satu rumah dengan pasien, rnengetahui
kondisi pasien, bisa membaca dan menulis.

Terapi Psikofarmaka, Populasi dan sampel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien stroke iskemik yang mengalami serangan pertama dan telah diijinkan
pulang setelah rawat inap di Ruang Seruni A RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2009.
Jumlah populasi pasien yang dirawat mulai bulan Januari sampai bulan Desember
adalah 683 pasien, rata-rata tiap bulan 54 pasien. Kriteria Inklusi dalam penelitian ini
adalah pasien menyatakan bersedia menjadi responden penelitian dengan
menandatangani surat persetujuan atau informed consent baik sebagai subjek
penelitian maupun tindakan keperawatan, umur antara 35–65 tahun, tidak menderita
komplikasi penyakit lain, beragama Islam dan bertempat tinggal di wilayah kota
Surabaya, sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini terdapat penyakit lain yang
mengganggu pengukuran, misalnya, sirosis hepatis, hepatitis, dekompensasi kordis.

C. Hasil

Terapi Somatik, Penelitian dilaksanakan di wilayah Kota Surabaya pada pasien stroke
iskemik yang pulang setelah rawat inap di Ruang Seruni A IRNA Medik RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Waktu penelitian selama 3 bulan (Februari sampai dengan Mei
2010). Pelaksanaan model home care holistic dilakukan oleh peneliti dan pelaksanaan
model home care dilakukan oleh tim sebanyak 5 orang perawat dengan latar
pendidikan Ners yang telah mendapatkan pelatihan tentang home care pada pasien
stroke iskemik selama 1 minggu. Besar sampel yang ditetapkan adalah 20 pasien untuk
masing-masing kelompok. Kelompok 1 (perlakuan 20 orang) adalah kelompok pasien
yang mendapatkan model home care holistic dan kelompok 2 (kontrol 20 orang) adalah
kelompok yang mendapatkan model home care. Besarnya sampel sudah didasarkan
pada perhitungan statistik. Kelompok perlakuan mendapatkan intervensi model home
care holistic berupa pendekatan dalam asuhan keperawatan di rumah yang
menekankan pada intervensi biopsiko-sosial-spiritual. Kegiatan penerapan model home
care holistic meliputi; intervensi biologis (fi sik); intervensi psikologis; intervensi sosial;
dan intervensi spiritual. Pela k sa na a n keg iat a n a su ha n keperawatan home care
holistic dilaksanakan oleh peneliti dengan jalan kunjungan rumah setiap responden
secara individu 2 kali dalam seminggu (hari Senin-Kamis, dan hari Selasa-Jum'at)
selama 3 bulan. Di sampingitu sewaktu-waktu pasien bisa langsung menghubungi
peneliti melalui telepon ataupun telepon selular. Kelompok kontrol mendapatkan
intervensi model home care berupa pendekatan dalam asuhan keperawatan di rumah
yang menekankan pada intervensi biologis (aspek fi sik). Kegiatan penerapan model
home care meliputi memberikan obat sesuai dengan anjuran dokter yang merawat,
memenuhi kebutuhan nutrisi, memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit, memenuhi
kebutuhan eliminasi, memenuhi kebutuhan aktivitas dan istirahat atau tidur, memenuhi
kebutuhan integritas kulit (kebersihan dan kenyamanan fi sik), dan mengobservasi
tanda-tanda vital. Pela k sa na a n keg iat a n a su ha n keperawatan home care dilakukan
oleh tim dengan rincian 5 perawat dengan jalan kunjungan rumah setiap responden
secara individu, 2 kali dalam seminggu (hari SeninKamis, dan hari Selasa-Jum'at)
selama 3 bulan. Di samping itu sewaktu-waktu pasien bisa langsung menghubungi tim
perawat melalui telepon ataupun telepon selular. Penelitian ini ada dua karakteristik
responden yang dijadikan obyek penelitian yaitu karakteristik kelompok model home
care holistic (Kp) dan yang mendapatkan perawatan model home care (Kk). Data
tentang karakteristik kelompok model home care holistic dan yang mendapatkan
perawatan model home care (Kk).

Terapi Psikofarmaka,

1. Ekonomi

Hasil penelitian ini mayoritas responden tingkat ekonomi sedang dalam memberikan
terapi psikofarmaka sebanyak 49 orang (53,84%) dan minoritas responden tingkat
ekonomi tinggi dalam memberikan terapi psikofarmaka sebanyak 10 orang (10,99%) .
Hal ini berbanding terbalik dengan teori Bart Smert (2002) yaitu apabila pasien
memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi kemungkinan pasien untuk patuh dalam
memberikan terapi psikofarmaka akan meningkat, demikian juga apabila pasien
memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah kemungkinan pasien untuk patuh dalam
memberikan terapi psikofarmaka menjadi berkurang. Keluarga yang merniliki ekonomi
yang tinggi dengan anggota keluarga yang rnenderita ganggguan jiwa pada umtmrnya
merasa malu dan mereka mencari pelayanan kesehatan yang tentunya tidak banyak di
kunjturgi orang seperti praktek spesialis psikiatri dan sedikit berkunjung ke rumah
sakit jiwa. Sedangkan keluarga yang tingkat ekonomi rendah mereka tidak mau menyia-
nyiakan kesempatan memperoleh terapi psikofarmaka secara gratis dengan pelayanan
jamkesmas sehingga mereka patuh memberikan terapi psikofarmaka. Dan keiuarga
yang tingkat ekonomi rendah ada juga yang tidak patuh dimana mereka tidak memiliki
biaya untuk pengobatan dan tidak memiliki kartu jaskesmas.

2. Pendidikan

Hasil penelitian ini mayoritas responden tingkat pendidikan menengah dalam


memberikan terapi psikofarmaka sebanyak 46 orang (50,54%) dan minoritas
responden tingkat pendidikan tinggi dalam memberikan terapi psikofaimaka sebanyak
13 orang.

3. Dukungan Sosial

Hasil penelitian ini mayoritas responden tingkat dukungan sosial baik dalam
memberikan memberikan terapi psikofarmaka sebanyak 6l orang (67,03Y") dan
minoritasresponden tingkat sosial tidak baik dalam memberikan terapi psikofarmaka
sebanyak 30 orang Q2,97%). Hal ini sejalan dengan teori Bart Smert (2002) dimana
keluarga pasien memberikan dukungan sosial kcpada pasien untuk berobat dan
keluarga juga mengerti bahwa pasien gangguan jiwa harus teratur minum obat. Hal ini
akan membanhr kepatuhan keluarga dan kepatuhan pasien dalam program
memberikan terapi psikofarmaka. Ada pun tingkat dukungan sosial tidak baik tapi
patuh dalam memberikan terapi psikofarmaka sebanyak 20 orang Q1,98%) hal ini
terjadi karena anggota keluarga tidak tepengamh dengan dukungan sosial yang tidak
baik terhadap anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.

D. Analisis Jurnal (PICO)


1. Problem

Dilaporkan bahwa sepertiga dari stroke survivor menunjukkan demensia dalam waktu
3 bulan setelah stroke. Demikian pula peneliatian hospital based yang telah dilakukan di
RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa angka
kejadian gangguan kognitif pasca- stroke iskemik adalah hampir 60 %. Stroke
merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang. Dilaporkan bahwa sepertiga
dari penderita stroke menunjukkan demensia dalam tiga bulan setelah stroke. Selain
itu, demensia yang menyebabkan gangguan psikologis seperti kecemasan ditunjukkan
dengan rasa takut atau khawatir yang berlebihan terhadap kecacatannya atau merasa
tidak berguna. Pasien stroke membutuhkan pengobatan dan perawatan paliatif
sehingga perawatan di rumah sangat dianjurkan. Di Indonesia, home care keperawatan
stroke iskemik belum optimal. Oleh karena itu, ditawarkan model keperawatan baru
yang disebut holistik dengan komponen bio-psiko-sosial-spiritual. Penelitian
eksperimental dengan desain eksperimen semu khususnya nonrandomized pre test-
post test control group design diterapkan dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan di
wilayah Surabaya dengan memilih pasien stroke iskemik setelah menjalani rawat inap
di "Ruang A-Seruni, Medic IRNA, RS Dr. Soetomo". Sampel berukuran 40 pasien dibagi
sama rata menjadi dua kelompok, kelompok kontrol dan perlakuan. Kelompok
perlakuan dan kontrol masing-masing menerima perawatan di rumah holistik dan
perawatan di rumah. Tingkat depresi dan kecemasan diukur dengan menggunakan
kuesioner dan teknik observasi, sedangkan kadar Kortisol, IFN- dan TNF- diukur
dengan menggunakan teknik kuantitatif ELISA. Data dianalisis dengan menggunakan uji
Levene untuk homogenitas varians, uji T dan uji Korelasi. Analisis statistik
menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara respon psikologis pada kelompok
kontrol setelah intervensi dengan p = 0,000 untuk kecemasan, dan p = 0,000 untuk
depresi. Untuk respon biologis terdapat perbedaan yang bermakna p = 0,007 untuk
kortisol dan p = 0,000 untuk TNF-. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan pada
IFN- dengan p = 0,425. Hasil uji korelasi menunjukkan ada hubungan yang signifikan
antara kecemasan dengan respon biologis berupa Kortisol dengan r = 0,724 dan p =
0,038; IFN- dengan r = 0,475 dan p = 0,034; TNF- dengan r = 0,592 dan p = 0,006.
Selanjutnya terdapat korelasi positif antara depresi dengan respon biologis seperti
Kortisol dengan r = 0,705 dan p = 0,033; IFN- dengan r = 0,454 dan p = 0,044, TNF-
dengan r = 0,561 dan p = 0,010. Disimpulkan bahwa holistis home care dapat
meningkatkan respon psikologis dengan menurunkan tingkat kecemasan dan depresi
serta dapat meningkatkan respon biologis dengan menurunkan kadar Kortisol, IFN- dan
TNF- pada pasien stroke iskemik. Disarankan untuk membuat standar operasional
prosedur home care holistik yang dapat dilaksanakan oleh semua tenaga kesehatan
yang merawat pasien stroke iskemik.

TIngginya angka kekambuhan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara,
dimana dari 15.966 pasien, 12.298 pasien yang skizoprenia. 80% pasien kambuh
dikarenakan tidak rutin minum obat. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain
cross sectional, bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan keluarga dalam memberikan terapi psikofarma di Ruang Rawat Jalan Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan Tahun 2012. Populasi dan sampel
adalah keluarga yang menemani anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa yang
berobat ke Ruang Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah. Penentuan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dengan besar sampel 91 orang.
Hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas responden yang mempunyai tingkat
kepatuhan sebanyak 79.12% dan tidak patuh sebanyak 20.88%. Responden dengan
tingkat ekonomi sedang yang patuh 53.84%, tingkat pendidikan menengah 50.54%,
dukungan sosial baik 67.03%. Disarankan kepada responden dengan tingkat ekonomi
rendah untuk mengurus surat jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas).

2. Intervensi

Penelitian ini menggunakan metode desain penelitian cross sectional, yaitu: suatu
metode yang merupakan rancangan penelitian dengan menggunakan pengukuran atau
pengamatan pada saat bersamaan( sekali waktu). Dan Jenis penelitian ini menggunakan
rancangan quasy-experimental dengan bentuk nonrandomized pre-post test control
group design. Kelompok perlakuan diberi home care holistic (Kp) dan kelompok kontrol
diberi home care (Kk). Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji adanya perbedaan
tingkat kecemasan dan tingkat depresi antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Subjek diukur respons psikologis berupa tingkat kecemasan dan tingkat
depresi. Pengukuran dilakukan sebelum dan setelah intervensi selama 3 bulan.
Pengukuran respons psikologis dilakukan sebelum dan setelah intervensi. Setelah itu
hasil pengukuran kedua kelompok dibandingkan untuk menentukan perbedaan respons
psikologis pada pasien stroke iskemik yang mendapatkan model home care holistic dan
model home care.

3. Comparison

• Sebelum penelitian

1. Psikofarmaka
Sebelum : Hal ini berbanding terbalik dengan teori Bart Smert (2002) yaitu
apabila pasien memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi kemungkinan pasien
untuk patuh dalam memberikan terapi psikofarmaka akan meningkat, demikian
juga apabila pasien memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah kemungkinan
pasien untuk patuh dalam memberikan terapi psikofarmaka menjadi berkurang.
Keluarga yang merniliki ekonomi yang tinggi dengan anggota keluarga yang
rnenderita ganggguan jiwa pada umtmrnya merasa malu dan mereka mencari
pelayanan kesehatan yang tentunya tidak banyak di kunjungi orang seperti
praktek spesialis psikiatri dan sedikit berkunjung ke rumah sakit jiwa.
Sedangkan keluarga yang tingkat ekonomi rendah mereka tidak mau menyia-
nyiakan kesempatan memperoleh terapi psikofarmaka secara gratis dengan
pelayanan jamkesmas sehingga mereka patuh memberikan terapi psikofarmaka.
Dan keiuarga yang tingkat ekonomi rendah ada juga yang tidak patuh dimana
mereka tidak memiliki biaya untuk pengobatan dan tidak memiliki kartu
jaskesmas.
2. Somatic
Pengaruh kecemasan responden sebelum intervensi lebih tinggi dibandingkan
dengan pengaruh kecemasan responden setelah intervensi untuk kelompok
home care holistic (Kp). Untuk menguji apakah pengaruh kecemasan sebelum
dan setelah intervensi untuk kelompok home care holistic (Kp) memiliki pola
yang sama atau berbeda tiap responsdennya maka dilakukan pengujian t. Paired
sample test menghasilkan nilai signifi kan sebesar 0,000 di mana nilai tersebut
kurang dari 0,05, dengan demikian H0 ditolak dan disimpulkan bahwa ada
perbedaan kecemasan sebelum dan setelah intervensi untuk kelompok home
care holistic (Kp). Kecemasan pada kelompok home care holistic (Kp) sebelum
intervensi, dilihat dari nilai mean = 76,65 yang artinya tingkat kecemasan berat,
setelah intervensi nilai mean = 40,35 yang artinya tingkat kecemasan ringan.
Pengaruh depresi sebelum dan setelah intervensi untuk kelompok home care
holistic (Kp) memiliki pola yang berbeda tiap responsdennya, dapat dilihat
bahwa pengaruh depresi responden sebelum intervensi lebih tinggi
dibandingkan dengan pengaruh depresi responden setelah intervensi untuk
kelompok home care holistic (Kp).

• Sesudah penelitian

1. Psikofarmaka
Hasil penelitian menunjukkan ada bukti bahwa Hasil penelitian ini mayoritas
responden tingkat ekonomi sedang dalam memberikan terapi psikofarmaka
sebanyak 49 orang (53,84%) dan minoritas responden tingkat ekonomi tinggi
dalam memberikan terapi psikofarmaka sebanyak 10 orang (10,99%).
2. Somatic
Penelitian ini setelah pasien diberikan model home care holistic mengalami
penurunan kecemasan. Berdasarkan hasil uji beda diperoleh signifi kansi
sebesar 0,000 yang artinya ada perbedaan kondisi kecemasan pada pasien
stroke iskemik kelompok model home care holistic dengan kelompok model
home care setelah intervensi. Penerapan model home care holistic selalu
menekankan pada pendekatan bio-psiko-sosial-spiritual.

4. Outcome

• Somatic :
Model home care holistic yang menekankan pendekatan bio-psiko-sosialspiritual
untuk membangun coping style yang positif, ternyata dapat memperbaiki
respons psikologis yang dicerminkan oleh penurunan kecemasan dan depresi
pada pasien stroke iskemik. Respons psikologis tersebut dapat mencegah
terjadinya proses infl amasi lebih lanjut maupun perluasan infark serebri,
sehingga kecacatan akibat stroke iskemik bisa dicegah dan penderita tetap
produktif.
• Psikofarmaka
Hasil penelitian ini mayoritas responden tingkat dukungan sosial baik dalam
memberikan memberikan terapi psikofarmaka sebanyak 61 orang (67,03%) dan
minoritasresponden tingkat dukungan sosial tidak baik dalam memberikan
terapi psikofarmaka sebanyak 30 orang (32,97%). Hal ini sejalan dengan teori
Bart Smert (2002) dimana keluarga pasien memberikan dukungan sosial kepada
pasien untuk berobat dan keluarga juga mengefti bahwa pasien gangguan jiwa
harus teratur minum obat. Hal ini akan membantu kepatuhan keluarga dan
kepatuhan pasien dalam program memberikan terapi psikofarmaka. Ada pun
tingkat dukungan sosial tidak baik tapi patuh dalam memberikan terapi
psikofarmaka sebanyak 20 orang (21,98%) hal ini terjadi karena anggota
keluarga tidak terpengałuh dengan dukungan sosial yang tidak baik terhadap
anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, S.A, 2008. Skizoprenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Rineka cipta,
Bandung.
Arikunto, S, 2002. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta, Jakarta.
Friedman, Marilyn, 1998. Keperawatan Keluarga. Edisi 111. EGC, Jakarta.
Hawari, Dadang, 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa. FKUI, Jakarta.
Lumbantobing, S.M, 2007. Skizoprenia. FKUI, Jakarta.
Niven, Neil, 2002. Psikologi Kesehatan. Edisi 11. EGC, Jakarta.
Notoadmojo, S, 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.
Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. FKUI,
Jakarta.
Rudyanto, Benhard, 2007. Skizoprenia dan Diagnosis Banding. FKUI, Jakałta
Simanjuntak, Julianto, 2008. Konseling Gangguan Jiwa dan Okultisme. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Smefl, Bart, 2002. Psikologi kesehatan. EGC, Jakarta .
Suprajitno, 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga. EGC, Jakarta.
Susanto, abdi, 2008. www.kompas.com. Penderita Gangguan Jiwa Meningkat. Diakses
tanggal 27 maret 2012.
[10.28, 3/11/2021] Anisa tm Temen Deket☺: KEPUSTAKAAN
Caplan, L.R., 2009. Caplan's Stroke: A Clinical Approach. Forth edition. Philadelphia:
Elsevier Inc.
Depkes, R.I., 2002. Pedoman Perawatan Kesehatan di Rumah. Jakarta: Direktorat
Keperawatan dan keteknisian Dirjen Yanmed.
Diwanto, M.A., 2009. Tips Mencegah Stroke, Hipertensi dan Serangan Jantung.
Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
Hawari, D., 2001. Stres, Depresi dan Kecemasan, Sebab Akibat serta
Penanggulangannya. Al-Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Dana Bhakti
Yasa, Cetakan X. Hlm. 43–87.
Hawari, D., 2008. Managemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Jakarta.
Hinkle, J.L., dan Guanci. 2007. Acute Ischemic Stroke Review. Journal Neuroscience
Nursing. hlm. 285–310.
Lumanthobing, S.M., 2007. Stroke Bencana Peredaran Darah di Otak. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitar Indonesia.
Nursalam, 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam, 2005. Efek PAKAR terhadap Respons Kognisi dan Biologis pada Pasien
Terinfeksi HIV. Disertasi tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Airlangga.
Proto, L., 1990. Self Healing. How to use your mind to heal your body. Great Britain:
Angus and Robertson.
Ronaldson, S., 2000. Spirituality. The Hearth of Nursing. Melbourne: Ausmed
Publication. Pp. 5–23.
Schneck, M.J., 1998. Acute Stroke: An Aggresive Approach to Intervention and
Prevention. Hospital Medicine. Pp. 11–28.
Stuart, G.W. dan Laraia, M.T., 2000. Psychiatric Nursing. St. Louis: Mosby.
Suryabrata, S., 2000. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafi ndo Persada.
Sustrani, L.A., Alam, S., dan Hadibroto, I., 2004. Stroke. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Umum.

Anda mungkin juga menyukai