Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Skizofrenia

2.1.1 Pengertian Skizofrenia

Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang mempengaruhi otak dan

menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh

dan terganggu. Skizofrenia tidak dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri,

melainkan diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang mencakup

banyak jenis dengan berbagai gejala (Anistasia, 2014). Skizofrenia merupakan

penyakit otak neurologis yang berat dan terus menerus.Respons dapat berupaya

yang sangat mengganggu kehidupan baik individu, keluarga dan masyarakat.

Karena gejalanya yang dikeluarkan berupa sulit memulai pembicaraan, afek

tumpul atau datar, berkurangnya motivasi, atensi, pasif, apatis, defisit perhatian,

dan penarikan diri. Gejala lainnya dapat bertambah meliputi waham, halusinasi,

gangguan pemikiran, bicara kacau, perilaku bizar, dan afek tidak sesuai (Stuart,

2016).

Skizofrenia merupakan gangguan yang terjadi pada fungsi otak sehingga

menyebabkan perubahanperubahan pada struktur fungsi otak, kimia dan genetik.

Pada akhirnya mempengaruhi persepsi penderita, cara berpikirnya, bahasa, emosi

dan perilaku sosialnya (Sutini & Yosep, 2016). Direja (2017) mengatakan bahwa

skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan adanya

gangguan pada proses pikir penderita dan adanya disharmoni (keretakan maupun

perpecahan) antara proses pikirnya,

8
9

afek/emosi, keinginan, psikomotor dan distorsi kenyataan. Hal ini disebabkan

karena adanya efek dari waham dan halusinasi yang berujung pada timbul

inkoherensi. Menurut Stuart (2016) dan American Psychiatric Association (2013)

mengatakan skizofrenia merupakan penyakit otak neurobiologis ataupun

gangguan jiwa berat yang perjalanan penyakitnya berlangsung kronis dan

terusmenerus. Efek dari penyakit ini berupa adanya respons yang sangat

mengganggu di kehidupan penyadang, keluarga dan masyarakat.

Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan otak atau penyakit mental yang

bersifat kronis, berat, dan melumpuhkan ditandai dengan adanya gejala halusinasi,

delusi, komunikasi yang tidak terorganisir, tidak mampu membuat sebuah

perencanaan, motivasi yang berkurang dan memiliki afek yang tumpul (Emsley et

al., 2013).

2.1.2 Penyebab skizofrenia

Faktor penyebab seseorang mengalami skizofrenia hingga sekarang masih

belum ditemukan secara pasti. Namun dari beberapa penelitian yang telah

dilakukan tidak ditemukan faktor penyebab secara tunggal. Adanya kombinasi

antara genetika, lingkungan, struktur dan senyawa kimia pada otak yang berubah

mungkin memliki peran atas terjadinya skizofrenia (Sansa et al., 2016., Krisnani

& Hadrasari, 2017).

Sutini & Yosep (2016) mengatakan bahwa penyebab lain skizofrenia

berdasarkan dari beberapa penelitian antara lain karena faktor genetik, virus, auto

antibody dan malnutrisi. Studi yang dilakukan terhadap keluarga menyebutkan


peran genetik terhadap terjadinya skizofrenia ditemukan pada orang tua 5,6 %,

saudara kandung 10,1 %, anak-anak 12,8 % dan penduduk secara keseluruhan

0,9%. Selain itu studi yang dilakukan terhadap orang yang kembar terutama

kembar identik juga akan berperan mengalami skizofrenia sebanyak 59,20% dan

kembar fraternal 15,2%.

Sehingga kesimpulannya skizofrenia muncul apabila terjadi hubungan antara

abnormal gen dengan virus atau infeksi kehamilan yang mengganggu

perkembangan otak janin, menurunnya autoimun yang disebabkan oleh adanya

infeksi selama kehamilan dan kekurangan gizi yang cukup berat terutama pada

trimester kehamilan.

Selanjutnya apabila seseorang yang sudah memiliki faktor genetik tersebut,

maka apabila dia mengalami stressor psikososial dalam kehidupannya tidak

menutup kemungkinan mempunyai risiko lebih besar untuk menderita skizofrenia

dari pada orang yang tidak ada faktor epigenetik sebelumnya.

2.1.3 Dampak skizofrenia

Menurut Ban et al (2017) mengatakan bahwa skizofrenia memiliki tingkat


pemulihan yang rendah, sehingga dengan adanya prognosis semacam ini
memberikan dampak berupa beban bukan hanya bagi orang dengan skizofrenia,
namun juga buat keluarga mereka dan masyarakat (Asher et al., 2018).

1) Individu

Terbatasnya ketersedian layanan perawatan dan dukungan sumber daya dari

masyarakat untuk orang dengan skizofrenia, adanya stigma, menurunnya kualitas

hidup, sulitnya untuk mendapatkan pekerjaan, menurunnya kemampuan dalam


melakukan kegiatan sehari-hari, ketidakmampuan dalam membina hubungan

interpersonal, menurunnya kemampuan dalam perawatan diri, adanya percobaan

bunuh diri, ketergantungan sampai dengan kematian (Nakamura & Mahlich,

2017).

2) Keluarga

Dampak dari skizofrenia menimbulkan beban bagi keluarga sebagai caregiver

baik secara fisik, psikologis, kesehatan, ekonomi maupun sosial (Rofail et al.,

2016). Adanya penurunan kualitas hidup, terbatasnya waktu caregiver dalam

mencari dan memenuhi kebutuhan pribadi dan kesehatan mereka, terganggunya

rutinitas dan pekerjaan sehari-hari serta banyaknya waktu yang mereka habiskan

untuk memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga yang

menderita gangguan jiwa, sehingga mereka lebih banyak mengabaikan kondisi

mereka sendiri (Young et al., 2018).

Selain itu, beban lain yang juga dirasakan keluarga sebagai caregiver adalah

beban dari segi keuangan selama memberikan perawatan, munculnya perasaan

bersalah atau menyalahkan diri sendiri, emosional, adanya pengucilan sosial,

keterbatasan waktu bagi caregiver untuk bersantai dan bersosialisasi, adanya

perasaan stigmatisasi dari orang-orang sekitar. Kondisi semacam ini pada

akhirnya akan memunculkan kerugian yang berdampak kepada kesehatan mereka

secara pribadi seperti adanya peningkatan rasa cemas, stres dan bahkan depresi

(Gupta et al., 2015).


3) Masyarakat

Pada umumnya kebanyakan masyarakat tidak mendukung dengan kehadiran

orang yang mengalami gangguan jiwa. Masyarakat menganggap bahwa gangguan

jiwa merupakan penyakit yang memalukan, membawa aib bagi keluarga,

berbahaya, mengganggu ketenangan masyarakat dan menjadi beban bagi

lingkungan masyarakat sekitarnya. Mereka cenderung mengisolasi secara sosial

budaya dan bahkan keluarga mereka sendiri juga tidak mendukung dengan

keberadaan mereka, sehingga kebanyakan orang dengan skizofrenia lebih memilih

untuk tinggal di Rumah Sakit Jiwa dengan alasan secara sosial mereka tidak ada

masalah (Purnomo, 2018).

Menurut Stuart (2016) mengatakan orang dengan gangguan jiwa sebenarnya

hanya mengalami adanya disfungsi psikobiologis dan bukan sebagai akibat dari

penyimpangan secara sosial ataupun konflik dengan masyarakat.

2.1.4 Penanganan skizofrenia

Penanganan skizofrenia dalam bentuk pengobatan harus segera dilakukan

secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama akan menimbulkan

kemungkinan lebih besar penderita menuju kemunduran mental. Walaupun

penyandang skizofrenia mungkin tidak sembuh secara sempurna dan masih

menyisakan gejala-gejala sisa, tetapi dengan penanganan dan bimbingan yang

baik, penderita dapat ditolong untuk berfungsi secara terus menerus dan bisa

melakukan kegiatan yang sederhana baik dilingkungan keluarga maupun

masyarakat (Maramis, 2009).


a. Farmakoterapi

Indikasi pemberian obat antipsikotik pada orang dengan skizofrenia bertujuan

mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Strategi pengobatan

skizofrenia tergantung pada fase penyakit apakah bersifat akut atau kronis. Fase

akut biasanya ditandai gejala psikotik dan masih baru dialami atau yang kambuh

yang perlu segera diatasi. Tujuan terapi yang diberikan di fase akut ini adalah

mengurangi gejala psikotik yang parah. Pemberian fenotiazin biasanya waham

dan halusinasi hilang dalam waktu 2-3 minggu. Di fase 4-8 minggu penyandang

masuk ke tahap stabilisasi dengan gejala sedikit banyak sudah teratasi, tetapi

resiko relaps masih tinggi, apalagi bila pengobatan terputus atau penyandang

mengalami stress. Jika serangan skizofrenia baru yang pertama kali, maka sesudah

gejala mereda dosis dipertahankan selama beberapa bulan. Namun apabila

serangan bersifat lebih dari satu kali, maka sesudah gejala mereda, obat diberi

terus selama satu atau dua tahun. Pemilihan didalam penggunaan obat antipsikotik

lebih banyak mempertimbangkan profil dari efek samping dan respons

penyandang pada pengobatan sebelumnya.

b. Non Farmakoterapi

Keberhasilan perawatan ditandai dengan kemampuan pasien hidup secara

mandiri di rumah sakit. Pemberian obat akan menjadi sia-sia, apabila tidak

ditunjang oleh peran serta dukungan keluarga yang tentunya mempunyai tanggung

jawab penting agar dapat merawat pasien skizofrenia di rumah dengan baik. Salah

satu terapi Non Farmakologi yang bisa digunakan adalah dengan melakukan terapi

keluarga dan terapi psikoreligius (Sutini & Yosep, 2016).


1) Terapi Keluarga

Muhith (2011) mengatakan bahwa didalam proses pelaksanaan perawatan

kepada anggota keluarga dengan gangguan jiwa, peran keluarga menjadi unsur

terpenting didalam proses pemulihan dan penyesuaian kembali kondisi keluarga

dengan gangguan jiwa setelah mereka selesai menjalani program perawatan. Hal

ini dikarenakan keluarga mampu mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap dan

perilaku anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Terapi keluarga yang paling

banyak digunakan untuk memberikan perawatan pada anggota keluarga dengan

gangguan jiwa adalah terapi psikoedukasi keluarga. Terapi ini bertujuan bukan

hanya untuk memberikan informasi tentang perawatan kesehatan jiwanya saja,

namun juga aspek psikososial dan mengurangi kecemasan yang dirasakan oleh

keluarga (Wulan, 2015).

2) Terapi Psikoreligius

Terapi psikoreligi merupakan sebuah terapi dengan pendekatan psikologi dan

spiritual. Terapi semacam ini lebih banyak melakukan pendekatan kepada Maha

Pencipta dengan cara melakukan ritual keagamaan, sholat, mengaji, berdoa, dzikir

dan membaca buku-buku yang berhubungan dengan agama serta mengikuti

majelis-majelis ilmu seperti ceramah keagaaman (Sutini & Yosep, 2016.,

Hidaayah, 2018). Menurut Sulistyowati & Prihantini (2015) dalam Hidaayah

(2018) mengatakan bahwa apabila terapi psikoreligi ini dilakukan secara

maksimal dan bersifat rutin maka akan menjadi sebuah tindakan yang efektif

dalam menurunkan gangguan penyakit bahkan sampai dengan gangguan jiwa.


2.2. Dukungan Keluarga
2.2.1 Pengertian Dukungan Keluarga

Menurut Friedmen (2010) Dukungan keluarga merujuk pada dukungan yang

dirasakan oleh anggota keluarga dan dapat diakses (Anggota keluarga menerima

dukungan serta pendukung siap untuk memberikan bantuan dan juga pertolongan

jika dibutuhkan). Dukungan keluarga dapat berasal dari dalam keluarga seperti

dukungan dari pasangan, orang terdekat, atau keluarga besar (dalam jaringan

sosial keluarga).Jaringan sosial keluarga merupakan jaringan anggota keluarga

yang dimiliki oleh keluarga itu sendiri seperti saudara.

Dukungan keluarga juga diartikan sebagai suatu proses hubungan antar

keluarga dan lingkungannya. Tiga dimensi interaksi sosial yang bersifat timbal

balik (Sifat dan frekuensi dari hubungan timbal balik), komunikasi yang terjaga,

serta keterlibatan emosional perasaan keakraban dan rasa percaya terhadap

anggota keluarga. Dukungan keluarga merupakan proses yang terjadi selama masa

hidup, dengan sifat dan tipe dukungan yang bervariasi pada masing-masing tahap

siklus kehidupan keluarga. Dukungan keluarga memungkinkan keluarga berfungsi

dengan penuh kompetensi dan sumber. Hal tersebut meningkatkan adaptasi dan

kesehatan keluarga (Friedman 2010).

2.2.2 Bentuk Dukungan Keluarga


Bentuk Dukungan Keluarga Menurut Friedman (2010), keluarga memiliki

beberapa bentuk dukungan yaitu :


1) Dukungan Penilaian

Keluarga sebagai pendukung bertindak sebagai system pembimbing umpan

balik dan memecahan masalah bersama dengan anggota keluarga dengan

melakukan penilaian terhadap situasi yang dialami. Pemecahan masalah bersama

dapat dijelaskan sebagai situasi saat keluarga secara bersama-sama mampu

mendiskusikan masalah dengan segera, mencari pemecahan berdasarkan logika,

dan mencapai kesepakatan untuk mencapai keputusan bersama dengan anggota

keluarga berdasarkan kumpulan dari isyarat, persepsi dan saran anggota keluarga.

Dukungan penghargaan atau penilaian adalah keluarga bertindak membimbing

dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator identitas

anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, dan perhatian

(Friedman, 2013).

2) Dukungan Instrumental

Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan,

bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan, dan material

berupa bantuan nyata (instrumental support/ material support), suatu kondisi di

mana benda atau jasa akan mambantu memecahkan masalah kritis, termasuk di

dalamnya bantuan langsung seperti saat seseorang membantu pekerjaan sehari-

hari, menyediakan informasi dan fasilitas, menjaga dan merawat saat sakit, serta

dapat membantu menyelesaikan masalah. Pada dukungan nyata, keluarga sebagai

sumber untuk mencapai tujuan praktis. Meskipun sebenarnya, setiap orang dengan

sumber- sumber yang tercukupi dapat memberi dukungan dalam bentuk uang atau

perhatian yang bertujuan untuk proses pengobatan. Akan tetapi, dukungan nyata

akan lebih
efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pemberian dukungan nyata akan

berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan perasaan berhutang, malah akan

manambah stres individu.

3) Dukungan Informasional

Dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama,

termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah yang dihadapi pasien di

rumah atau di rumah sakit jiwa, memberikan nasihat, pengarahan, saran, atau

umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh sesorang. Keluarga dapat

menyediakan informasi dengan menyarankan tempat, dokter, dan terapi yang baik

bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stressor. Pada

dukungan informasi keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi

informasi.

4) Dukungan Emosional

Memberikan pasien rasa nyaman, merasa dicintai meskipun saat mengalami

suatu masalah, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian,

sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional

ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semngat kepada

pasien yang dirawat di rumah atau di rumah sakit jiwa. Jenis dukungan bersifat

emosional atau menjaga keadaan emosi atau ekspresi. Yang termasuk dukungan

emosional ini adalah ekspresi dari empati, kepedulian, dan perhatian kepada

individu. Memberikan perasaan nyaman kepada individu, jaminan rasa memiliki,

dan merasa dicintai saat mengalami masalah, bantuan dalam bentuk semangat,

kehangatan personal, cinta, dan emosi. Jika stres mengurangi perasaan seseorang

akan hal yang


dimiliki dan dicintai, maka dukungan akan menghentikannya sehingga akan dapat

menguatkan kembali perasaan dicintai tersebut. Apabila dibiarkan terus-menerus

dan tidak terkontrol maka akan berakibat hilangnya harga diri.

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Dukungan keluarga

Faktor yang mempengaruhi dari dukungan keluarga menurut hasil penelitian

yang dilakukan oleh Firmansyah (2017) menunjukkan ada beberapa faktor yang

mempengaruhi dari dukungan keluarga, yakni :

1. Pengetahuan

Analisi penelitian didapatkan bahwa proporsi keluarga yang memiliki tingkat

pengetahuan baik tidak begitu jauh dengan keluarga yang memiliki tingkat

pengetahuan sedang, hal ini disebabkan karena adanya tingkat pendidikan,usia

dan pekerjaan yang berbeda. Tingkat pendidikan,usia dan pekerjaan berpengaruh

pada pengalaman dan paparan dari informasi yang diterima keluarga.

2. Spiritual

Analisis peneliti mengenai spiritual keluarga cenderung terbentuk dari agama

yang dianut oleh masyarakat setempat, terbentuknya spiritual membuat akumulasi

nilai tertinggi dari spiritual keluarga adalah memiliki keyakinan bahwa penyakit

yang diderita adalah kehendak tuhan dan nilai terendah didapatkan dari spiritual

keluarga yaitu memberikan keyakinan kepada anggota keluarga untuk selalu menjaga

kesehatan mereka.
3. Emosional Keluarga

Faktor emosional memiliki arti bagaimana keluarga dalam memecahkan

masalah yang dihadapi, hal tersebut dipengaruhi dengan adanya perbedaan usia,

tingkat pendidikan dan pekerjaan yang berbeda-beda.

4. Tingkat Ekonomi

Tingkat penghasilan dari keluarga dan juga ekonomi keluarga berpengarih

terhadap bagaimana keluarga memberikan dukungan, terutama finansial, keluarga

yang memiliki penghasilan diatas rata-rata cenderung memiliki nilai skor yang

lebih tinggi dalam memberikan dukungan.

5. Latar Belakang Budaya

Seimbangnya dari proporsi latar belakang budaya keluarga menunjukkan

bahwa keluarga mampu memodifikasi budaya turun temurun dimana budaya

tersebut berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan keluarga (Firmansyah,

Lukman, and Mambangsari 2016).

2.3. Kepatuhan minum obat

2.3.1 Pengertian kepatuhan

Menurut Gajski dan Karlovic (2008) Kepatuhan adalah sebuah istilah yang

menggambarkan bagaimana pasien mengikuti petunjuk dan rekomendasi terapi

dari perawat atau dokter. Perkin (2002) mengatakan bahwa kepatuhan merupakan

keputusan yang diambil oleh klien setelah membandingkan risiko yang dirasakan

jika tidak patuh dan keuntungan dari pengobatan. Jadi berdasarkan pengertian
diatas, bahwa kepatuhan merupakan kewenangan atau keputusan setiap pasien

(Gusmansyah G, 2016). Kaplan dan Sadok (1997) menguraikan perilaku

kepatuhan pada klien skizofrenia terdiri dari kepatuhan melakukan kontrol setelah

perawatan, kepatuhan mengkonsumsi obat secara tepat, dan kepatuhan mengikuti

anjuran tenaga kesehatan berupa perubahan pola hidup (contohnya cara mengatasi

masalah) sesuai dengan psikoterapi yang diberikan. Regimen terapi pada klien

skizofrenia membutuhkan waktu yang lama, efektifivitas obat yang optimal

dicapai dalam waktu tertentu, sehingga dibutuhkan kepatuhan (compliance) dan

ketekunan dari klien dalam pengobatan. Menurut Herdman (2012) salah satu

kriteria hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan regimen terapeutik yang

efektif adalah perilaku kepatuhan dalam pengobatan.

Kepatuhan pengobatan pasien yang berhubungan dengan waktu, dosis dan

frekuensi pengobatan yang selama jangka waktu pengobatan yang di tentukan.

Berhasilnya suatu terapi tidak ditentukan oleh diagnosis dan pemilihan obat yang

tepat kepatuhan pasien untuk mengikuti terapi yang telah di tentukan, Salah satu

berhasilnya suatu kepatuhan adalah dukungan keluarga.

2.3.2 Kriteria kepatuhan

Niven (2002) mengatakan bahwa kepatuhan yang dimaksud pada pasien, yaitu

ketaatan dan kemauan yang baik dari pada pasien untuk selalu melakukan kontrol

yaitu rawat jalan kepelayanan kesehatan berupa unit rawat jalan/ poliklinik rumah

sakit jiwa setiap bulan setelah pasien menjalani rawat inap. Kontrol rutin/

perawatan jalan kesehatan perlu dilakukan oleh pasien agar tidak terjadi putus

obat, dan para tenaga kesehatan juga dapat mengetahui perkembangan pasien.

Kepatuhan kontrol
berobat adalah kepatuhan (keteraturan) klien skizofrenia terhadap pengobatan

dilihat dari datang atau tidaknya klien yang sudah ditetapkan, dihitung dari

kedatangan minimal 6 bulan (Indirawati R, 2013). Penderita yang patuh berobat

adalah yang menyediakan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus

minimal 6 bulan sampai 9 bulan. Sedangkan penderita dikatakan lalai jika tidak

datang lebih dari 3 hari sampai 2 bulan dari tanggal perjanjian (Putri, 2013).

2.3.3 Faktor-faktor kepatuhan

Fleischhacker, dkk (2003) dalam mengklasifikasikan faktor-faktor

yang mempengaruhi kepatuhan pasien skizofrenia menjadi 4 faktor,

yaitu:

a. Faktor individu

Faktor individu meliputi usia, jenis kelamin, gangguan kognitif, dan

psikopatologi sebagai faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Pada pria di usia

dewasa awal memiliki kecendrungan tidak patuh karena kegiatan di usia

produktifnya. Usia lanjut menunjukkan kepatuhan yang rendah karena penurunan

kapasitas fungsi memori dan penyakit degeneratif selain skizofrenia yang

dialaminya. Tingkat kepatuhan wanita lebih tinggi daripada pria, wanita muda

lebih patuh dari wanita tua. Klien dengan gejala positif (waham dan maniak) sulit

patuh terhadap pengobatan karena merasa dipaksa dan takut diracuni. Kebiasaan

klien merokok juga akan mempengaruhi efek terapeutik antipsikotik. Faktor

individu lain yaitu: kurangnya informasi (pengetahuan), gangguan kognitif dan

komorbiditas (samalin, 2010). Persepsi klien terhadap suatu obat akan

mempengaruhi kepatuhan, klien yang paham akan instruksi obat cenderung lebih

patuh. Selain itu keyakinan


dan nilai individu juga mempengaruhi kepatuhan, klien yang tidak patuh biasanya

mengalami depresi, ansietas dengan kesehatannya, memiliki ego lemah dan

terpusat perhatian pada diri sendiri. Sehingga klien merasa tidak ada motivasi,

mengingkari penyakitnya, dan kurang perhatian pada program pengobatan yang

harus dijalankan. Brunner dan Suddart (2002) mengemukakan psikososial seperti

intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan

terhadap penyakit, keyakinan agama dan budaya dan biaya finansial juga

mempengaruhi klien dalam mematuhi program pengobatan (Iswanti DI, 2012).

b. Faktor lingkungan

Menurut Fleischhacker,dkk (2003) faktor lingkungan yang mempengaruhi

kepatuhan meliputi: ketersediaan pelayanan fasilitas kesehatan, sikap terhadap

pengobatan, pandangan masyarakat terhadap skizofrenia. Keluarga dapat

mempengaruhi keyakinan, nilai kesehatan, dan menentukan program pengobatan

yang dapat diterima oleh klien. Keluarga berperan dalam pengambilan keputusan

tentang perawatan anggota keluarga yang sakit, menentukan keputusan mencari

dan mematuhi anjuran pengobatan.

Selain faktor dukungan keluarga, ada faktor lain yang mempengaruhi dalam

kepatuhan minum obat diantaranya yaitu jarak tempat tinggal. Jarak tempat

tinggal dengan rumah sakit juga menjadi penyebab ketidakpatuhan dalam berobat.

Jarak tempat tinggal merupakan jauh dekatnya perjalanan yang harus ditempuh

oleh pasien dalam pengobatan. Semakin jauh

jarak tempat tinggal dari fasilitas kesehatan, semakin besar risiko terjadinya

ketidakpatuhan berobat.
c. Faktor pengobatan

Faktor yang berhubungan dengan pengobatan antara efek samping, dosis yang

diberikan, cara penggunaan, lama pengobatan, biaya pengobatan, jumlah obat

yang harus diminum. Semakin banyak jumlah obat yang direkomendasikan maka

kemungkinan besar makin rendah tingkat kepatuhan karena kompleksitas

pengobatan yang harus dijalankan. Brunner dan Suddart (2001) mengemukakan

bahwa program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping yang

tidak menyenangkan dari obat juga mempengaruhi kepatuhan.

Sebagian besar obat memiliki waktu pencapaian efek terapeutik yang cukup

lama, sehingga klien tidak segera merasakan manfaat obat yang diminum selama

ini. Tetapi, klien akan merasakan efek samping yang kurang menyenangkan

terlebih dahulu dibandingkan manfaat obat. Klien skizofrenia juga tidak segera

kambuh setelah putus obat, sehingga klien beranggapan kekambuhannya tidak ada

hubungannya dengan putus obat. Selain itu jumlah obat dan kerumitan cara

meminumnya juga mempengaruhi kepatuhan klien skizofrenia meminum obatnya.

Makin banyak jenis obat yang harus dia minum tiap harinya, maka klien akan

merasa semakin kesulitan mematuhi program pengobatan.

d. Faktor yang berhubungan dengan Petugas kesehatan

Kualitas interaksi antara klien dan petugas kesehatan menentukan derajat

kepatuhan. Kegagalan pemberian informasi yang lengkap tentang obat dari tenaga

kesehatan bisa menjadi penyebab ketidakpatuhan klien meminum obatnya.

Pemberian perawatan lanjutan ketika dirumah, keyakinan tenaga kesehatan

terhadap suksesnya pengobatan, hubungan yang baik dan tenaga kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai