Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS FAKTOR STRES KELUARGA DENGAN

PASIEN SKIZOFRENIA

Penelitian Kualitatif
Lazarus Theory

OLEH:
Muhamad Rafly Bagus Nugrahanto (NIM 131711133119)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I
LATAR BELAKANG
Setiap keluarga menginginkan semua anggota keluarganya dapat tumbuh dan
berkembang secara normal. Namun hal ini kadang kala tidak bisa didapat oleh keluarga
terutama orang tua yang mempunyai anggota keluarganya dengan beberapa kelainan, salah
satunya adalah skizofrenia. Hal ini dibuktikan bahwa tingginya angka kejadian keluarga yang
mengalami tingkat stres dalam mengasuh anggota keluarga dengan gangguan kejiwaan
skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang
dapatmempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi emosional dan tingkah laku dan
dapat mempengaruhi fungsi normal kognitif (Depkes, 2015).
Gangguan jiwa skizofrenia sifatnya adalah ganguan yang lebih kronis serta
melemahkan jika dibandingkan dengan gangguan mental lain. (Puspitasari, 2009).
Keberadaananggota keluarga dengan pasien skizofrenia berkebutuhan khusus di Indonesia,
bukan merupakan permasalahan yang kecil. Menurut Bank Dunia dan Badan Kesehaatan
Dunia (WHO), tercatat sebanyak 15 persen dari penduduk dunia atau 785 juta orang
mengalami gangguan mental dan fisik dan dari tingkat ringan hingga berat.Penderita
gangguan jiwa dari tahun ke tahun cenderung meningkat.Skizofrenia terjadi pada 15-20 atau
100.000 individu / tahun, dengan resiko morbiditas selama hidup 0,85% (Pria atau wanita)
dan kejadian puncak pada akhir remaja atau awal dewasa (Katona, 2008). World Health
Organization (WHO) dalam (Anitri, 2010)juga mengatakan bahwa skizofrenia termasuk jenis
psikosis yang menempati urutan atas dari seluruh gangguan jiwa yang ada. (Puspitasari,
2009). Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada
tahun 2010 sebanyak 237.556.363 jiwa, dan sekitar 2.375.564orang menderita skizofrenia
(Attayaya, 2011). Skizofrenia adalah bentuk yang paling parah dari penyakit mental yang
mempengaruhi sekitar 7 per seribu dari populasi orang dewasa, terutama pada kelompok usia
15-35 tahun, prevalensinya tinggi disebabkan oleh kronisitas (WHO 2014). 90 % penderita
skizofrenia berada di negara berkembang. Hasil dari Riset Dasar (Riskesdas, 2013)dan
dikombinasikan dengan data rutin dari Pusat data dan Informasi ( Pusdatin ) penduduk
Indonesia secara nasional mengalami gangguan jiwa berat( skizofrenia ) sebanyak 1,7 per
mil. Dan didapatkan data bahwa pada tahun 2013 –2018 proporsi rumah tangga dengan ART
gangguan jiwa skizofrenia atau psikosis di provinsi Jawa Timur sebanyak 1,7-6 per mill
(Riskesdas, 2018). Dirgen bina kesehatan masyarakat ( DBKM) Depkes RI mengatakan
jumlah penderita gangguan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk
Indonesia menderita kelainan jiwadari rasa cemas, depresi, stres, penyalahgunaan obat,
kenakalan remaja sampai skizofrenia.
Dalam UU kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal 4 menyebutkan; “setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”. Selanjutnya
dalam pasal 5 dinyatakan bahwa; “setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungan”.
Berdasarkan dua pasal tersebut, sebagai anggota keluarga memiliki kewajiban untuk
menciptakan dan memeliharakesehatan dalam upaya meningkatkan taraf yang optimal,
sejahterah, lahir dan batin, sehingga dihasilkan generasi sehat dan produktif(Rasmun, 2001).
Kemampuan pasien yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan dan menjalankan tugas sosial,
menuntut untuk mendapatkan bantuan dari orang lain. Bantuan dari orang lain ataudukungan
sosial merupakan suatu bentuk bantuan yangdatangbaik dari keluarga, teman, tetangga, rekan
kerja, tenaga profesional, maupun kenalan. Bantuan yang diberikan dapat berupa sumber
daya fisik, materil maupun non materiil, pemberian informasi, serta bantuan dukungan secara
emosional (Dimatteo, 2002). Kedatangan pasien skizofrenia kembali kerumah seringkali
justru menimbulkan masalah dan beban baru bagi keluarga, beban yang ditanggung oleh
keluarga tidak hanya biaya pengobatan yang memang relatif tinggi, melainkan juga
berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental dalam memberikan perawatan dan
pengawasan untuk waktu yang lama,bahkan 24 jam sehari (Ambarsari, 2012). Agar pasien
skizofrenia dapat diterima dikeluarga dan masyarakat, berbagai upaya penyuluhan dan
sosialisasi kesehatan jiwa telah diberikan, suatu program pendidikan kesehatan jiwa yang
diberikan kepada keluarga dan masyarakat untuk memberikan pengetahuan tentang hal
ikhwal gangguan jiwa Skizofrenia, sehingga diharapkan mampuberperan serta dalam upaya
pencegahan, terapi, rahabilitas untuk meningkatkan keberfungsian sosial pada pasien
(Hawari,2011). Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor pentingdalam upaya
meningkatkan motivasi sehingga dapat berpengaruh positif terhadap kesehatanpsikologis.
Menurut WHO konsep kesehatan psikologis memiliki beberapa faktor, diantaranya strategi
coping, kemampuan bahasa, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan motivasi (Rasmun,
2001).
Skizofrenia dikategorikan dalam gangguan kesehatan kronis karena banyak penderita
skizofrenia yang mengalami gangguan dengan durasi yang panjang, penderita kurang
memiliki insight mengenai gangguan yang dialami, harus melakukan kontrol rutin, serta
kerap mengalami relaps. Penderita skizofrenia mengalami gangguan keberfungsiannya oleh
karena itu membutuhkan bantuan dari orang lain. Pemberi bantuan dan pertolongan terhadap
pasien skizofrenia disebut sebagai caregiver atau carer (Fitrikasari, Kadarman, Woroasih &
Sarjana, 2012). Pemberi perawatan terhadap pasien di rumah sakit adalah pramurawat
(Darwin, Hadisukanto, Elvira, 2013), sedangkan pemberi perawatan penderita yang
dilakukan di luar rumah sakit (de-institusional) adalah kerabat dan anggota keluarga pasien
(Fitrikasari, Kadarman, Woroasih & Sarjana, 2012). Banyak penelitian menunjukkan bahwa
caregiver skizofrenia setelah keluar dari rumah sakit jiwa mengalami tekanan yang signifikan
dan memiliki beban yang tinggi. World Federation of Mental Health menerbitkan laporan
yang menggambarkan bahwa menjaga pende-rita gangguan jiwa kronis membutuhkan usaha
tanpa kenal lelah, energi yang besar, empati yang kuat, dan tidak dapat dipungkiri
memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan sehari-hari caregiver. Saat para
caregiver ber-juang untuk menyeimbangkan antara pekerjaan, keluarga, dan menjaga pasien
(caregiving), kesehatan fisik dan kesehat-an mental mereka terabaikan. Kombinasi antara
kurangnya sumber daya personal, finansial, dan emosional, menyebabkan para caregiver
mengalami stress berat, depresi, dan atau kecemasan pada tahun saat menjaga pasien dimulai
(Chan, 2011)

RUMUSAN MASALAH
Faktor apa saja yang menjadi penyebab stres keluarga dalam merawat dan memelihara pasien
dengan penyakit skizofrenia.

TUJUAN PENELITIAN
Diharapkan dengan penelitian ini, bisa mengetahui faktor faktor penyebab stres keluarga
dalam merawat pasien skizofrenia dengan Lazarus Theory
MANFAAT PENELITIAN
Teoritis
Menjelaskan faktor faktor penyebab stres keluarga dalam merawat pasien skizofrenia, dapat
menambah ilmu pengetahuan untuk mendalami ilmu kepeawatan jiwa dan stres serta dapat
digunakan sebagai landasan pengembangan ilmu keperawatan khususnya dalam bidang
keperawatan jiwa
Praktis
Untuk memaksimalkan peran tenaga kesehatan terutama perawat dalam bidang edukasi dan
cara menangani stres keluarga pasien skizofrenia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Stres
Konsep stres pertama kali diperkenalkan oleh Hans Selye, seorang ahli fisiologi
Kanada pada tahun 1936, melalui penelitianya yang menganalisis hubungan rangsang
lingkungan dan kesehatan dengan melacak reaksi-reaksi hormonal berantai yang rumit
sebagai akibat adanya tekanan emosi yang berlebihan pada seseorang. Tekanan emosional
yang berkelanjutan dapat menyebabkan kematian (Subowo, 1993:80).
Stres adalah suatu kondisi dinamis dimana individu dihadapkan dengan suatu
kesempatan , kendala atau permintaan yang berhubungan dengan apa yang ia inginkan dan
untuk hasil yang mana dirasakan menjadi tak pasti dan penting. Yang dapat dilihat dari gejala
yang ditimbulkan baik dari aspef fisiologis, psikologis dan tingkah laku.(Rabbin, Stephen P,
1993). Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir
dan kondisi seseorang (Handoko , 1985). Menurut Robins (1996), stresss adalah kondisi
dinamik yang mana seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala
(constraints) atau tuntutan (demands) yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkan dan
yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Stress yang terlalu besar dapat
mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan.
Sehingga penulis dapat menyimpulkan stress adalah sebuah kondisi dimana individu
tidak mampu mengkompromikan tekananan yang ada dilingkungan luar maupun dalam yang
dapat berdampak pada tubuhnya.
Sedangkan koping adalah tindakan yang di lakukan oleh individu untuk menguasai
situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/luka/kehilangan/ ancaman. Jadi koping lebih
mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan
atau yang membangkitkan emosi. Atau dengan kata lain, koping adalah bagaimana reaksi
orang ketika menghadapi stress/tekanan. Selain itu koping juga menurut para ahli adlah
tindakan alami yang dilakukan oleh seorang individu untuk mempertahankan diri dalam
menghadapi stressor dari luar (Siswanto,2007).
Pertambahan jumlah lansia di Indonesia, dalam kurun waktu tahun 1990-2005, tergolong
tercepat di dunia. Jumlah sekarang 16 juta dan akan menjadi 25,5 juta pada tahun 2020 atau
sebesar 11,37 % penduduk dan merupakan peringkat ke 4 dunia, dibawah Cina, India dan
Amerika Serikat. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS 1998 adalah 63
tahun untuk pria dan 67 tahun untuk perempuan. Usia harapan hidup orang Indonesia rata-
rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke 103 dunia, nomor satunya adalah Jepang
dengan usia harapan hidup rata-rata 74,5 tahu (Hurlock, 1980:44).
 Menurut Subowo (1993:80), sekitar 70 persen lanjut usia di Jawa Timur diduga stress.
Pemicunya adalah faktor eksternal seperti masalah keuangan dan perhatian keluarga. Para
lansia diduga mengalami stress karena tidak mempunyai jaminan uang pension dan tidak
mendapatkan perhatian dari keluarga. Ia mengharapkan masalah ini segera diatasi, karena
stress dalam jangka panjang juga dapat memicu terjangkitnya penyakit diantaranya gangguan
pendengaran atau penglihatan, ujarnya. Akan tetapi, sebenarnya jika lansia itu diperhatikan
oleh sanak keluarganya ataupun pemerintah maka kemungkinan mengalami stress sangat
kecil.
Meningkatnya tuntutan dan kebutuhan hidup akan sesuatu yang lebih baik, menyebabkan
individu berlomba untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkanya. Akan tetepi pada
kenyatannya sesuatu yang diinginkan tersebut, kadangkala tidak dapat tercapai sehingga
dapat menyebabkan individu tersebut bingung, melamun dan akhirnya stress. Stres yang
terjadi pada setiap individu berbeda beda tergantung pada masalah yang dihadapi dan
kemampuan menyelesaikan masalah tersebut atau biasa disebut dengan mekanisme koping.
Jika masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik maka individu tersebut akan senang,
tapi sebaliknya akan menjadi cepat marah marah, frustasi bahkan akan depresi (Suryani,
2005:81)

Definisi Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang
yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dan keadaan saling ketergantungan
(Departemen Kesehatan, 1988).

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan, ikatan
emosional dan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga (Marilynn M.
Friedman, 1998).

Keluarga adalah dua orang atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan
darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam satu rumah tangga,
berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing menciptakan serta
mempertahankan kebudayaan (Salvicion G Balion dan Aracelis Maglaya, 1989)

Fungsi keluarga

Menurut Friedman (1998), terdapat lima fungsi keluarga, yaitu :

1)      Fungsi afektif (the Affective Function) adalah fungsi keluarga yang utama untuk
mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan
orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial anggota
keluarga.

2)      Fungsi sosialisasi yaitu proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang
menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan sosialnya. Sosialisasi
dimulai sejak lahir. Fungsi ini berguna untuk membina sosialisasi pada anak, membentuk
norma-norma tinkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan dan meneruskan
nilai-nilai budaya keluarga.

3)      Fungsi reproduksi (the reproduction function) adalah fungsi untuk mempertahankan
generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

4)      Fungsi ekonomi (the economic function) yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu
meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

5)      Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (the health care function) adalah untuk
mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang
tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga dibidang kesehatan.

Tetapi dengan berubahnya zaman, fungsi keluarga dikembangkan menjadi :

1)      Fungsi ekonomi, yaitu keluarga diharapkan menjadi keluarga yang produktif yang
mampu menghasilkan nilai tambah ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya keluarga.

2)      Fungsi mendapatkan status sosial, yaitu keluarga yang dapat dilihat dan dikategorikan
strata sosialnya oleh keluarga lain yang berbeda disekitarnya.

3)      Fungsi pendidikan, yaitu keluarga mempunyai peran dan tanggungjawab yang besar
terhadap pendidikan anak-anaknya untuk menghadapi kehidupan dewasanya.
4)      Fungsi sosialisasi bagi anaknya, yaitu orang tua atau keluarga diharapkan mampu
menciptakan kehidupan sosial yang mirip dengan luar rumah.

5)      Fungsi pemenuhan kesehatan, yaitu keluarga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
dasar primer dalam rangka melindungi dan pencegahan terhadap penyakit yang mungkin
dialami oleh keluarga.

6)      Fungsi reliugius, yaitu keluarga merupakan tempat belajar tentang agama dan
mengamalkan ajaran agama.

7)      Fungsi rekreasi, yaitu keluarga merupakan tempat untuk melakukan kegiatan yang
dapat mengurangi ketegangan akibat berada di luar rumah.

8)      Fungsi reproduksi, yaitu bukan hanya mengembangkan keturunan tetapi juga tempat
untuk mengembangkan fungsi reproduksi secara menyeluruh, diantaranya seks yang sehat
dan berkualitas serat pendidikan seks bagi anak-anak.

9)      Fungsi afektif, yaitu keluarga merupakan tempat yang utama untuk pemenuhan
kebutuhan psikososial sebelum anggota keluarga berada di luar rumah.

Dari beberapa fungsi keluarga diatas, ada tiga fungsi pokok keluarga terhadap anggota
keluarganya, antara lain asih, yaitu memberikan kasih sayang, perhatin dan rasa aman,
kehangatan kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbun dan
berkembang sesuai usia dan kebutuhannya. Sedangka asuh, yaitu menuju kebutuhan
pemeliharaan dan perawatan anak agar kesehatannya selalu terpelihara sehingga diharapkan
mereka menjadi anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Dan asah, yaitu
memenuhi kebutuhan pendidikan anak sehingga siap menadi manusia dewasa yang mandiri
dalam mempersiapkan masa depannya.

Definisi Skizofrenia
1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan
perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat
yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997;
46).

2. Penyebab
a. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8 %, bagi saudara
kandung 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita Skizofrenia 40-68 %, kembar
2 telur 2-15 % dan kembar satu telur 61-86 % (Maramis, 1998; 215 ).

b. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Skizofrenia pada waktu pubertas, waktu
kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium., tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.

c. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak pucat, tidak sehat, ujung extremitas agak
sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun serta pada penderita dengan stupor
katatonik konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian
obat halusinogenik.

d. Susunan saraf pusat


Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon atau kortek otak, tetapi
kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh perubahan postmortem atau
merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.

e. Teori Adolf Meyer :


Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang tidak dapat ditemukan
kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada SSP tetapi Meyer mengakui bahwa suatu
suatu konstitusi yang inferior atau penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya Skizofrenia.
Menurut Meyer Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi, sehingga timbul
disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang tersebut menjauhkan diri dari kenyataan
(otisme).

f. Teori Sigmund Freud


Skizofrenia terdapat (1) kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun
somatik (2) superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id yamg berkuasa serta
terjadi suatu regresi ke fase narsisisme dan (3) kehilangaan kapasitas untuk pemindahan
(transference) sehingga terapi psikoanalitik tidak mungkin.

g. Eugen Bleuler
Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu jiwa yang terpecah
belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler
membagi gejala Skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala primer (gaangguan proses pikiran,
gangguan emosi, gangguan kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala
katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).

h. Teori lain
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-macaam sebab antara
lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti lues
otak, arterosklerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.

i. Ringkasan
Sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab Skizofrenia. Dapat dikatakan bahwa faktor
keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang menjadikan manifest atau faktor
pencetus (presipitating factors) seperti penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya tidak
menyebabkan Skizofrenia, walaupun pengaruhnyaa terhadap suatu penyakit Skizofrenia yang sudah
ada tidak dapat disangkal.( Maramis, 1998;218 ).

3. Pembagian Skizofrenia
Kraepelin membagi Skizofrenia dalam beberapa jenis berdasarkan gejala utama antara lain :
a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa kedangkalan emosi dan
kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir sukar ditemukan, waham dan halusinasi jarang
didapat, jenis ini timbulnya perlahan-lahan.
b. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25
tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir, gangguan kemauaan dan adaanya
depersenalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau
perilaku kekanak-kanakan sering terdapat, waham dan halusinaasi banyak sekali.

c. Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stress
emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.

d. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang menyolok ialah waham primer, disertai dengan waham-waham sekunder dan halusinasi.
Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan
kemauan.

e. Episode Skizofrenia akut


Gejala Skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam keadaan mimpi. Kesadarannya
mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya
sendiri berubah, semuanya seakan-akan mempunyai suatu arti yang khusus baginya.

f. Skizofrenia Residual
Keadaan Skizofrenia dengan gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala
sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan Skizofrenia.

g. Skizofrenia Skizo Afektif


Disamping gejala Skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaaan juga gejala-gejal depresi (skizo
depresif) atau gejala mania (psiko-manik). Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek,
tetapi mungkin juga timbul serangan lagi.

Konsep Dasar Skizofrenia Hebefrenik


1. Batasan : Salah satu tipe skizofrenia yang mempunyai ciri ;
1. Inkoherensi yang jelas dan bentuk pikiran yang kacau (disorganized).
2. Tidak terdapat wamam yang sistemik
3. Efek yang datar dan tak serasi / ketolol – tololan.

2. Gejala Klinik
Gambaran utama skizofrenia tipe hebefrenik berupa :
- Inkoherensi yang jelas
- Afek datar tak serasi atau ketolol – tololan.
- Sering disertai tertawa kecil (gigling) atau senyum tak wajar.
- Waham / halusinasi yang terpecah – pecah isi temanya tidak terorganisasi sebagai suatu kesadaran,
tidak ada waham sistemik yang jelas gambaran penyerta yang sering di jumpai.
- Menyertai pelangaran (mennerism) berkelakar.
- Kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrem dari hubungan sosial.
- Berbagai perilaku tanpa tujuan.
Keaslian Penelitian
Pencarian jurnal untuk keaslian penelitian ini peneliti menggunakan kata kunci
“Skizofrenia”, “Peran keluarga terhadap pasien skizofrenia”, dan “stres keluarga terhadap
anggota keluarga pengidap skizofrenia”. Pencarian dilakukan di Google Scholar.
Berdasarkan kata kunci tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:
JUDUL DSVIA HASIL
Hubungan Self Compassion Desain: Desain Hasil uji korelasi self compassion
dengan Stres Family penelitian iniyaitu denganstres family caregiver ODS
Caregiver Orang Dengan korelasional dengan menunjukkan bahwatidak ada
Skizofrenia (ODS) di pendekatan cross hubungan self compassion
Wilayah Kerja Puskesmas sectional denganstres family caregiver ODS
Mumbulsari Kabupaten
Sampel: 35 family
Jember
caregiver ODS
e-Jurnal Pustaka
variabel independen
Kesehatan, vol.6 (no.2),
yaitu self
Mei, 2018 Juwarti, et al,
compassiondan variabel
Hubungan Self dependen yaitu stres
Compassion dengan familycaregiver ODS
Stres Family Caregiver yang berada di wilayah
kerja Puskesmas
Mumbulsari Kabupaten
Jember
Instrumen: Instrumen
penelitian menggunakan
self compassion scale
(α=0,89) dan stres
dalam keluarga (α=
0,977)
Analisis data:
menggunakan uji
bivariat self compassion
STUDY TINGKAT STRES Desain: Deskriptif lebih dari setengah responden
KELUARGA GANGGUAN (kualitatif) memiliki tingkat stres ringan
JIWA SKIZOFRENIA DI sebanyak 44 orang (40 %), tingkat
Sampel: keluarga
PUSKESMAS stress normal sebanyak 32
gangguan jiwa
GEDONGAN KOTA responden (29 %), tingkat stres
skizofrenia di
MOJOKERTO sedang sebanyak 32 responden
Puskesmas Gedongan
(29%), tingkat stres parah sebanyak
Azizah, Annisa Dwi Nur; Kota Mojokerto
1 responden (1 %) dan tingkat stres
Zainuri, Imam; Basuki,
Variabel: variabel sangat parah sebanyak 1 responden
Duwi
independen tingkat (1 %)
stress, variabel
dependen keluarga
gangguan jiwa
skizofrenia
Instrumen: kuesioner
DASS 42 yang terdiri
dari 42 item pertanyaan
Analisis data
menggunakan
HUBUNGAN STRES Desain: kuantitatif Tidak ada hubungan antara tingkat
PSIKOLOGIS DENGAN stres dengan strategi koping
Sampel: PASIEN
FREKUENSI keluarga pasien skizofrenia di RS
skizofrenia di rsj grhasia
KEKAMBUHAN PADA Jiwa Grhasia DIY
diy
PASIEN SKIZOFRENIA
DI RSJ GRHASIA DIY Variabel: stres
psikologis dengan
Hanarizka Muyasaroh
frekuensi kekambuhan
pada pasien skizofrenia
Instrumen: 63 pasien
yang mengalami
skizofrenia DI RSJ
GRHASIA DIY
Analisis: kendall
tauyang diperoleh nilai
signifikasi sebesar 0,710
(>0,05)
Faktor Caregiver dan Desain: deskriptif Hasil penelitian menunjukkan
Kekambuhan Klien analitik dengan semua variabel memiliki hubungan
Skizofrenia rancangan dengan frekuensi kekambuhan
crosssectional pasien skizofrenia.
Laeli Farkhah : Faktor
(kualitatif)
Caregiver dan Kekambuhan
Klien Skizofrenia Sampel: keluarga yang
menjadi caregiver klien
kambuhan skizofrenia
yang dirawat di RSKJ
H. Mustajab
Variabel: variabel
independen (dukungan
keluarga, pengetahuan
keluarga, kualitas hidup,
dan peristiwa hidup
penuh stres memiliki
hubungan dengan
frekuensi kekambuhan
pasien skizofrenia.
Instrumen: instrumen
dukungan keluarga yang
merupakan hasil
modifikasi dari
Friedman (2010) dan
WHO (2008), uji
reliabilitas
menggunakan rumus
Spearman Brown,
Instrumen pengetahuan
keluarga menggunakan
kuesioner baku yaitu
“Knowledge
Questionnaire on Home
Care of Schizophreincs
(KQHS)”, instrumen
kualitas hidup caregiver
menggunakan alat ukur
(WHOQOL-BREF), dan
instrumen tentang
peristiwa kehidupan
yang penuh stres,
menggunakan Caregiver
Self-Assessment
Questionare(American
Medical Association)
Analisis data
menggunakan uji
korelasi Pearson
Product Moment untuk
melihat hubungan antara
dua variabel dan uji
regresi logistik untuk
menentukan faktor yang
dominan berhubungan
dengan frekuensi
kekambuhan pasien
skizofrenia.
Gambaran Strategi Koping Desain: deskriptif keluarga dalam merawat pasien
Keluarga dalam kuantitatif gangguan jiwa berat di rumah
MerawatAnggota Keluarga melakukan usaha untuk
Sampel: 43 orang
yang Menderita Gangguan menghadapi stres dengan cara
anggota keluarga yang
Jiwa Berat mengatur respon emosionalnya
merawat pasien
Yelsi Wanti, Efri Widianti, gangguan jiwa berat untuk menyesuaikan diri dari
Nita Fitria Volume 4 Nomor dampak yang ditimbulkan oleh
Variabel: variabel
1 April 2016 pasien
dependen Strategi
Koping Keluarga
merawat keluarga
menderita gangguan
jiwa
Instrumen: kuesioner
tertutup
Analisis data: analisis
data yang digunakan
dalam bentuk
persentase.
Peran Dukungan Sosial dan Desain: metode dukungan sosial memiliki
Regulasi EmosiTerhadap kuantitatif hubungan yang lebih kuat dengan
Resiliensi Keluarga resiliensi keluarga dibandingkan
Sampel: 60 anggota
Penderita Skizofrenia regulasi emosi
keluarga
Daisy Prawitasari Poegoeh, ataudariindividu yang
Hamidah didiagnosis skizofrenia
danpernah menjadi
pasien rawat inap di RSJ
Dr.Radjiman
Wediodiningrat Lawang
Variabel: Variabel
bebas dalam penelitian
ini adalahdukungan
sosial (X ) dan regulasi
emosi (X )
Instrumen:
Alatpengumpulan data
berupa kuesioner
diberikankepada
keluarga
Analisis data: Uji
Kolmogorov-Smirnov
PENURUNAN TINGKAT Desain: Penelitian ini terdapatpengaruh
STRES KELUARGA merupakan penelitian intervensimindfulnessspiritualIslam
PASIEN SKIZOFRENIA kuantitatifmenggunakan dalam menurunkan tingkat
MELALUIMINDFULNESS desainquasi- streskeluarga pasien skizofrenia
SPIRITUAL ISLAM experimental
Medika Utama*, Meidiana Sampel: keluarga inti
Dwidiyanti, Diyan Yuli dari pasien
Wijayanti skizofreniayang
memenuhi keriteria
inklusi yaitu
muslimberdasarkan data
dari keluarga
pasienskizofrenia.,
anggota keluarga inti
dari pasienskizofrenia
yang berumur≥18 tahun,
mampuberkomunikasi
dengan baik, membaca
danmenulis, dan tinggal
serumah dengan
pasienminimal 5 bulan
terakhir.
Variabel: Dependen
TINGKAT STRES
KELUARGA PASIEN
SKIZOFRENIA,
Independen
MINDFULNESS
SPIRITUAL ISLAM
Instrumen:
kuesionerDepression
Anxiety Stress Scale
(DASS)
Analisis Data: uji
statistic menggunakan
mann-whitney test
GAMBARAN Desain: Metode kecenderungan depresi keluarga
KECENDERUNGAN penelitian yang pasien skizofrenia di RSJ Sambang
DEPRESI KELUARGA digunakan survei Lihum Kalimantam Selatan
PASIEN SKIZOFRENIA deskriptif (kualitatif) didominasi oleh kategori normal
BERDASARKAN (tidak depresi) sebesar 54% (54
Sampel: keluarga pasien
KARAKTERISTIK orang).
skizofrenia di RSJ
DEMOGRAFI DAN
Sambang Lihum
PSIKOSOSIAL
Kalimantan Selatan atau
RohmatinYK.dkk. mengantar keluarganya
Gambaran Kecenderungan
Variabel: Dependen
DepresiKeluarga
Kecenderungan depresi
keluarga pasien
skizofrenia, independen
karakteristik demografi
dan psikososial
Instrumen: Instrumen
yang digunakan
kuesioner yang memuat
biodata umum keluarga
pasien skizofrenia
Analsis data: kuesioner
skala depresi Beck
Deperession Inventory-
II(BDI-II) dankuesioner
skala stresHolmes and
Rahe Life Stress
Inventory (HRLSI)
HUBUNGAN Desain penelitian yang Hasil penelitian menunjukkan
DUKUNGAN KELUARGA digunakan penelitian ini bahwa ada hubungan positif yang
DAN KEBERFUNGSIAN adalah kuantitatif signifikan antara dukungan
SOSIAL PADA PASIEN korelasional keluarga dengan keberfungsian
SKIZOFRENIA RAWAT sosial
Sampel: pasien
JALAN
skizofrenia rawat jalan
Fauziah Sefrina di Poli Jiwa RSJ Dr.
Radjiman
Wediodiningrat,
bersikap kooperatif,
mampu
berkomunikasi,pasien
pernah menjalankan
rawat inap atau masuk
rumah sakit (MRS)dan
bersedia menjadi
responden peneitian
Variabel: variabel bebas
(X) (independent)
adalahdukungan
keluarga dan variabel
terikatnya (Y)
(dependent
variable)adalah
keberfungsian sosial
Instrumen: program
perhitungan statistik
Statistical Package For
Social Sciense(SPSS)
Analisis data: analisis
uji korelasi Product
moment
EFEKTIVITAS Desain: pendekatan terdapat perbedaan tingkat
PELATIHAN REGULASI kuantitatif resiliensi yang signifikan antara
EMOSI UNTUK caregiver yang mendapat pelatihan
Sampel: 10 orang
MENINGKATKAN regulasi emosi dan yang tidak
caregiver skizofrenia
RESILIENSI mendapatkannya. Pelatihan
berjenis kelamin laki-
CAREGIVER- Regulasi Emosi terbukti efektif
laki dan perempuan
KELUARGA PASIEN untuk meningkatkan. resiliensi
yang berasal dari 2 desa
SKIZOFRENIA pada caregiver skizofrenia
di Kecamatan Moyudan,
R.A. Diana Rahmi Andriani, berusia 39-57 tahun
Tina Afiatin & Rr. Indahria
Variabel: dependen
Sulistyarini
efektivitas pelatihan
regulasi, independen
peningkatan resiliensi
caregiver
Instrumen: Skala
Resiliensi CD-RISC
(Connor-Davidson
Resilience Scale)
Analisis data: inde-
pendent sample t-test
terhadap selisih skor
(gained score)

BAB 3
Lazarus Theory
Lazarus dalam Hasan mengembangkan teori penilaian kognitif (cognitive appraisal) untuk
memberikan penjelasan tentang stres dalam lingkup yang luas. Ia memberikan definisi stres
yang mencakup berbagai faktor, yang terdiri dari stimulus, tanggapan, penilaian kognitif
terhadap ancaman, gaya pertahanan (coping styles), perlindungan psikologis dan situasi
sosial. Lazarus menilai bahwa ancaman (threat) merupakan kata kunci dari stres, yang dinilai
secara subjektif ketika seseorang mempersepsikan efek negatif potensial dan stresor. Dalam
teorinya ini, Lazarus mengatakan bahwa terdapat dua tahap penilaian dari stresor potensial.
Penilaian utama (primary appraisal) merupakan penilaian pribadi, apakah kejadian memiliki
hubungan dan memiliki implikasi negatif. Penilaian sekunder (secondary appraisal)
melibatkan determinasi pribadi, apakah ia memiliki kemampuan dan sumber daya yang
memadai untuk mengatasi potensi ancaman dan bahaya. Menurut teori ini, seseorang baru
mengalami stres sebagai reaksi setelah penilaian diberikan. Lazarus menambahkan bahwa
stres terjadi jika pada individu terdapat tuntutan yang melampaui sumber daya yang dimiliki
individu untuk melakukan adjustment. Adapun yang dimaksud dengan tuntutan adalah segala
elemen fisik maupun psikososial dari situasi, yang ditanggapi melalui tindakan fisik maupun
mental oleh individu sebagai upaya untuk menyesuaikan diri. Stres juga terjadi apabila
terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan yang dihadapi oleh individu dan kemampuan
yang dimilikinya. Berdasarkan berbagai definisi diatas, maka dapat di ambil kesimpulan
bahwa stres adalah keadaan yang disebabkan oleh adanya tuntutan internal maupun eksternal
(stimulus) yang dapat membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu
akan bereaksi baik secara fisiologis maupun secara psikologis (respon) dan melakukan usaha-
usaha penyesuaian diri terhadap situasi tersebut.
Daftar Pustaka
Suryabrata, S. metodologi penelitian(Jakarta. Raja grafindo persada: 2005). Hal: 21
Dalami, E., dkk.(2009).Asuhan keperawatan jiwa dengan masalah psikososial.Jakarta: CV.
Trans InfoMedia
Friedman, M.M. (1998). Family Nursing : Research, Theory and Practice. (4th Ed.).
Norwalk CT : Alpleton & Lange
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 3 Desember 2015

Anda mungkin juga menyukai