Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa menurut (UU No. 18 tahun 2014) adalah kondisi

dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan

social sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat

mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan

kontribusi untuk komunitasnya. Kondisi perkembangan yang tidak sesuai

pada individu disebut gangguan jiwa (Jamila Kasim, 2019).

Menurut Torrey dalam Kristian, dkk (2020) Kehadiran Skizofrenia

dalam keluarga merupakan stressor yang sangat berat yang harus ditanggung

keluarga. Hal ini membuat keseimbangan keluarga sebagai suatu system

mendapatkan tantangan yang sangat besar. Bilamana suatu system

mendapatkan tantangan atau ancaman, system akan bereaksi dengan berusaha

mengamankan dan mengkonsolidasikan energi untuk menghadapi ancaman

tersebut, hal inilah yang biasanya membuat keluarga cemas dan berusaha

mencari bantuan dari luar. Adanya anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa, maka akan mempengaruhi keharmonisan pada keluarga

tersebut. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia dapat

meningkatkan stress dan kecemasan keluarga.

Menurut hasil penelitian Purba, dkk (2020), Keluarga adalah aspek

penting dalam proses pemulihan orang dengan skizofrenia. Keluarga sebagai

1
sumber dukungan dibutuhkan oleh pasien setiap hari untuk menyelesaikan

proses penyembuhan mereka. Keluarga dalam pemulihan orang dengan

skizofrenia, yaitu: (1) pengawasan minum obat, (2) memberikan perawatan

yang berkesinambungan dan optimal, dan (3) memberdayakan orang dengan

skizofrenia. Keluarga mengalami beban yang sangat besar dan mempunyai

dampak negatif. Beban yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi

perawatan penderita gangguan jiwa. Keluarga yang merawat anggota keluarga

yang dengan skizofrenia mengalami gangguan psikologis seperti: stres,

frustasi, kurangnya interaksi sosial, harga diri menurun, depresi dan

kecemasan.

Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak yang ditimbulkan oleh

adanya ketidakseimbangan pada dopamin yang merupakan salah satu sel

kimia dalam otak (Masriadi, 2016). Skizofrenia dapat dialami oleh siapa saja

dengan latar belakang apa saja. Adanya salah satu anggota keluarga yang

mengalami skizofrenia dapat menimbulkan kecemasan dan bisa menimbulkan

stress pada keluarga. Kecemasan dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor

seperti stresssor keluarga, sumber pengetahuan dan sikap keluarga terhadap

kecemasan keluarga. Dampak kecemasan yang dialami keluarga dapat

berlanjut pada kondisi kelelahan, gangguan fisik, psikologis, serta

kertidakberdayaan keluarga dalam menghadapi kondisi kecemasan tersebut.

Prevalensi kejadian kecemasan cukup tinggi dimana hampir lebih dari 350

juta penduduk dunia mengalami kecemasan dan merupakan penyakit dengan

peringkat ke-4 di dunia menurut WHO (2020).

2
Menurut WHO (2010), secara umum akibat yang dirasakan oleh

keluarga dengan adanya anggota keluarga mengalami gangguan jiwa yaitu

tingginya beban ekonomi, beban emosi keluarga, stres terhadap perilaku

pasien yang terganggu, gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga

seharihari dan keterbatasan melakukan aktivitas sosial. Pandangan masyarakat

terhadap penderita gangguan jiwa yaitu dianggap gangguan jiwa adalah aib

bagi pasien dan keluarganya. Hal ini menyebabkan masih banyak keluarga

yang menyembunyikan bahwa anggota keluarganya mengalami gangguan

jiwa. Keluarga merasa kecewa, malu dan putus asa. Gangguan dalam

hubungan keluarga, keterbatasan melakukan aktivitas sosial, pekerjaan dan

hobi, kesulitan keuangan, dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik

keluarga termasuk dalam beban sosial ekonomi keluarga. Selain itu perasaan

kehilangan, cemas, sedih dan maalu terhadap masyarakat sekitar, stres

menghadapi gangguan perilaku dan frustasi akibat perubahan pola interaksi

dalam keluarga merupakan beban psikologis (Ngadiran et al., 2010).

Data Kemenkes tahun 2018 terdapat 74% orang yang menderita

kecemasan yang tidak ditangani. Di Indonesia, prevalensi kecemasan berada

di angka 13,4 dari seluruh penduduk jiwa (Pusdatin Kemenkes RI, 2018).

Hingga saat ini penanganan penderita penyakit Skizofrenia belum memuaskan

terutama di negara berkembang, ini disebabkan karena ketidaktahuan keluarga

maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa ini (Hawari, 2014).

3
Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang

sangat signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita

gangguan jiwa bertambah. Menurut data WHO (2016) terdapat sekitar 35 juta

orang terkena depresi, 60 orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia,

serta 47,5 juta terkena dimensia. Berdasarkan data dari World Health

Organisasi (WHO 2015), ada sekitar 478,5 juta orang didunia yang

mengalami gangguan jiwa (Melisa, 2016).

Provinsi Sumatera Barat berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota

Padang tahun 2020 Kota Padang peringkat pertama di antara daerah lain yaitu

sebanyak 1.999, di ikuti kabupaten Padang Pariaman sebanyak 1.678 orang,

dan Kabupaten Agam sebanyak 1.536 orang. Terdapat peningkatan jumlah

kunjungan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan di Kota Padang dari

53.177 kunjungan pada tahun 2020 menjadi 58.809 kunjungan pada tahun

2021, atau terjadi peningkatan sebesar 10,6% peningkatan tersebut yang

terdiri dari beberapa wilayah kerja puskesmas yang ada di Kota Padang

seperti di Wilayah Kerja Puskesmas Naggalo Padang berada pada posisi

pertama (109 orang) setelah Wilayah Kerja Puskesmas Alai (75 orang) yang

berada pada posisi ketiga Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir (60 orang).

Meningkatnya penderita gangguan jiwa dapat menimbulkan stigma,

tidak hanya penderita saja yang mengalami stigma tetapi keluarga penderita

juga menerima stigma. Stigma adalah persepsi negatif, perasaan, emosi, dan

sikap menghindar dari masyarakat yang dirasakan keluarga sehingga

4
menimbulkan konsekuensi baik secara emosional, sosial, interpersonal,

finansial, dan kecemasan (Yusuf, PK, & Nihayati, 2015).

Kecemasan terjadi ketika seseorang menghadapi suatu masalah dan

merasa tidak aman terhadap lingkungan sekitar atau situasi yang sedang

dihadapi. Kecemasan yaitu respon emosional yang menyebabkan perasaan

khawatir gelisah, takut, tidak tentram dan situasi tidak aman atau gangguan

sakit (Sulastri et al, 2019). Menurut Kristiani (2017) kecemasan merupakaan

perasaan subjektif yang berhubungan dengan ketegangan mental, perasaan

gelisah dan reaksi atas ketidakmampuan menghadapi masalah atau merasa

tidak aman. Kecemasan diartikan juga sebagai suatu keadaan khawatir bahwa

suatu hal yang buruk akan terjadi (Mahrifatulhijah, et.al, 2019).

Keluarga sering merasakan kecemasan dalam menghadapi anggota

keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Kecemasan yang dirasakan dapat

berupa; adanya perasaan cemas, adanya ketegangan, adanya rasa ketakutan,

adanya gangguan tidur, adanya gangguan kecerdasan, adanya perasaan

depresi dan gejala-gejala tingkat kecemasan lainnya yang dirasakan keluarga

dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. (Ika

Guswani, 2019).

Menurut Comer dalam Hardiansyah. T (2018) kecemasan merupakan

masalah psikososial yang sering terjadi pada setiap orang. Pada keluarga

dengan skizofrenia, masalah psikososial kecemasan muncul sebagai reaksi

dari stress akibat beban ekonomi dan perawatan yang tinggi, beban psikologis

keluarga, penurunan kualitas hidup anak dan keluarga, serta dukungan sosial

5
yang berkurang. Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak

didukung oleh situasi.

Keluarga merupakan bagian yang terpenting untuk membentuk

kebudayaan yang sehat. Keluarga dijadikan unit pelayanan karena masalah

kesehatan keluarga saling berkaitan satu sama lain mempengaruhi antara

sesama anggota keluarga dan juga akan mempengaruhi keluarga yang ada di

sekitarnya (Harnilawati, 2013)

Keluarga mempunyai peran penting dalam penanganan anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Pengetahuan keuarga merupakan

faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan sesorang.

Pengetahuan yang didasari dengan pemahaman yang tepat akan

menumbuhkan perilaku baru yang diharapkan, khususnya kemandirian dalam

melakukan perawatan pasien skizofrenia terutama terkait dengan kepatuhan

dalam pengobatan pasien skizofrenia (Stuart, 2016)

Pengetahuan keluarga merupakan awal usaha memberikan iklim

kondusif bagi anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Sebab

keluarga adalah orang yang sangat dekat dengan pasien serta dianggap paling

banyak memberikan pengaruh pada kehidupan individu pasien yang

mengalami gangguan jiwa. Selain pengetahuan keluarga terhadap anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa, sikap yang diberikan keluarga

sangat berpengaruh terhadap proses kesembuhan dan dalam memberikan

perawatan kepada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Ayub,

2018).

6
Pengetahuan keluarga yang baik secara umum akan memberikan

pandangan yang menggembirakan kepada pasien dalam memperluas

inspirasi dan kewajiban dalam menyelesaikan pertimbangan mandiri

(Muntiaroh et al., 2013). Keluarga akan memiliki sikap toleran terhadap

pasien, menganggap pasien sebagai kerabat dan mendorong perilaku

bertanggung jawab terhadap pasien untuk membuat disposisi keluarga yang

positif. Pengetahuan keluarga sangat penting untuk membantu pasien

berbaur, membangun lingkungan yang stabil, menghargai pasien dan

membantu mengatasi masalah pasien. Menurut Hawari (dalam Wiyati, R. et

al. 2010), salah satu hambatan dalam upaya kesehatan jiwa ialah

pengetahuan keluarga

Sikap merupakan konsep yang sangat penting dalam komponen sosio-

psikologis, karena merupakan kecenderungan bertindak, dan berpersepsi.

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,

yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan senang,

tidak senang, setuju, tidak setuju, baik, tidak baik dan sebagainya

(Notoatmojo, 2014)

Sikap negatif yang diberikan oleh keluarga pada anggota keluarga

yang mengalami gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada penderita saja,

melainkan juga berdampak pada persepsi negatif dalam merawat penderita

gangguan jiwa (Fitriani, 2017). Sikap negatif keluarga dengan anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa sering kali menganggap penderita

sebagai aib bagi keluarga dan sering kali penderita disembunyikan dari

7
masyarakat sehingga anggota keuarga akan semakin mengalami isolasi social

sehingga terhambatnya proses penyembuhan penderita (Afrina, et al, 2019)

Penelitian Istiqomah (2016) hubungan pengetahuan dan sikap keluarga

dengan kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa di Poli Jiwa Rumah Sakit Khusus Daerah Dadi Provinsi

Sulawesi Selatan di dapatkan gasil penelitian lebih banyak responden

pengetahuan baik dengan kecemasan ringan sebanyak 21 responden dengan

nilai ρ = 0.005 yang berarti ρ < α = 0.05. Penelitian ini menunjukkan lebih

banyak responden sikap positif dengan kecemasan ringan sebanyak 22

responden dengan nilai ρ = 0.042 yang berarti ρ < α = 0.05.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuli

Permata Sari (2019), tentang hubungan pengetahuan dan sikap keluarga

dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Sijunjung. Terdapat hubungan

yang signifikan antara pengetahuan keluarga dengan kecemasan dalam

merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan ρ value =

0.000

Penelitian (Wulandari et al, 2016) mengatakan bahwa keluarga adalah

pendukung utama. Jika salah satu anggota keluarga menderita gangguan jiwa,

maka akan mempengaruhi tingkat stress dan kecemasan keluaga. Dalam

kondisi seperti ini keluarga harus memiliki respon yang baik seperti

memberikan dukungan sosial keluarga pada penderita.

8
Hasil penelitian Asriani tahun 2020 hubungan tingkat pengetahuan

terhadap sikap masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa menunjukkan

dari 99 responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak (64,4%),

dan responden yang memiliki sikap negative sebanyak (55,5%). Hasil uji

statistik diperoleh nilai p value = 0,000 ˂ α (0,05), terdapat hubungan yang

signifikan antara tingkat pengetahuan terhadap sikap masyarakat pada orang

dengan gangguan jiwa.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dian tahun 2018 hubungan

pengetahuan dengan sikap keluarga merawat klien dalam mengendalikan

halusinasi di unit poliklinik jiwa RSJ. Prof. Hb. Sa’anin Padang didapatkan

Hasil penelitian menunjukkan 53,3% responden tergolong rendah

pengetahuan tentang merawat klien halusinasi, 61,1% responden negative

sikap klien dalam menangani halusinasi. Hasil analisis bivariat dengan nilai

p= 0,025 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

tingkat pengetahuan terhadap keluarga dengan keluarga dalam merawat klien

sikap halusinasi.

Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada tanggal 8

desember 2022, kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa sebanyak 7 keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas

Nanggalo Tahun 2023 dengan system wawancara di dapatkan data 5 keluarga

mengatakan merawat klien dengan gangguan jiwa sangat tidak enak karena

bisa mengganggu kenyamanan dan ketenangan lingkungan sekitar, misalnya

klien teriak pada malam hari pada saat tetangga sedang tidur. Berbagai resiko

9
yang dihadapi keluarga dalam merawat klien dengan gangguan jiwa, seperti

saat pasien kambuh dan menyerang anggota keluarga yang tinggal serumah.

Sudah menjadi hal biasa melihat tingkah laku pasien yang suka bicara sendiri,

marah-marah dan keluyuran. Keluargapun tidak mengambil pusing dengan

perilaku klien selama hal itu tidak membahayakan dirinya dan orang lain.

Tetapi keluarga sering menegur bahwa hal itu tidak benar ketika melihat klien

bicara sendiri dan tertawa tanpa ada hal yang lucu.

Sedangkan 2 dari 7 keluarga mengatakan mereka mengetahui cara

perawatan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga

mengatakan ada memiliki rasa cemas namun tingkat kecemasan keluarga

tidak terlalu tinggi, dikarenakan Keluarga mengatakan saat penyakitnya tidak

kambuh, dia dapat diajak ngobrol, membantu kegiatan dirumah seperti

menyapu halaman dan mencuci baju. Saat pasien kambuh keluarga kesulitan

membujuk pasien untuk melakukan kebutuhannya setiap hari seperti makan,

minum, mandi dan mengganti pakaian. Hal ini disebabkan kurangnya

kemampuan komunikasi dari klien, klien kurang berkonsentrasi, gelisah, dan

mudah tersinggung dengan perkataan orang lain, orientasi tempat, waktu dan

orang yang kurang baik. Keluarga mengatakan tidak punya banyak waktu

untuk memperhatikan pasien karena keluarga sibuk bekerja, perilaku klien

yang aneh dan menjengkelkan kadang membuat keluarga tidak sabar

menghadapinya.

Berasarkan fenomena dan studi pendahuluan yang peneliti lakukan,

maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan

10
Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Dalam

Merawat Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Wilayah

Kerja Puskesmas Nanggalo Tahun 2023”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan

dalam penelitian ini adalah, “Apakah ada Hubungan Pengetahuan dan Sikap

Keluarga dengan Tingkat Kecemasan dalam Merawat Anggota Keluarga yang

Mengalami Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang

Tahun 2023”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat

kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan

jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang Tahun 2023.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui distribusi frekuensi penegtahuan keluarga dalam merawat

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja

Puskesmas Nanggalo Padang Tahun 2023.

b. Diketahui distribusi frekuensi sikap keluarga dalam merawat anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas

Nanggalo Padang Tahun 2023.

11
c. Diketahui distribusi frekuensi tingkat kecemasan yang mengalami

gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas nanggalo Padang Tahun

2023.

d. Diketahui distribusi frekuensi Hubungan Pengetahuan Keluarga

dengan Tingkat Kecemasan Dalam Merawat Anggota Keluarga yang

Mengalami Ganggua Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo

Padang Tahun 2023.

e. Diketahui distribusi frekuensi Hubungan Sikap Keluarga Dengan

Tingkat Kecemasan Dalam Merawat Anggota Keluarga yang

Mengalami Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo

Padang Tahun 2023.

f. Diketahui distribusi frekuensi Hubungan Pengetahuan Dan Sikap

Deangan Tingkat Kecemasan Dalam Merawat Anggota Keluarga

Yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Wilayah Kerja Puskesmas

Nanggalo Tahun 2023

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Tempat Penelitian

Penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan penerapan Pengetahuan

Dan Sikap Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Dalam Merawat

Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Wilayah Kerja

Puskesmas Naggalo Padang Tahun 2023, khususnya terhadap keluarga

yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

12
2. Bagi Intitusi Pendidikan

Menambah referensi Pustaka, khususnya buku tentang pengetahuan dan

sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Sebagai data dan hasil

penelitian yang dapat dijadikan dasar atau data mendukung untuk

penelitian selanjutnya.

3. Bagi Peneliti

Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang Hubungan

Pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam

merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dan

mengembangkan kemampuan peneliti menyusun suatu penelitian.

13

Anda mungkin juga menyukai