Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan

yang signifikan di dunia. Menurut data World Health Organization (2016),

terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena

bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47.5 juta terkena dimensia

(Kemenkes 2016). Di Indonesia sendiri, berdasarkan data yang

didapatkan Riskesdas tahun 2018 cukup signifikan jika dibandingkan

dengan data Riskesdas tahun 2013, naik dari 1.7% menjadi 7%

(Kemenkes 2018). Sedangkan data dari RSKD Provinsi Sulawesi Selatan,

jumlah pasien yang mengalami gangguan kesehatan jiwa pada tahun

2018 sebanyak 14.400 pasien, lebih banyak dari tahun 2017 yg hanya

berjumlah 14.361 pasien. Hal ini menunjukan bahwa fenomena gangguan

jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan ditiap

tahunnya (RSKDSS 2017).

Dampak gangguan jiwa menyebabkan keluarga kehilangan

banyak waktu untuk merawat, mengalami beban emosional, dan

sosial akibat stigma dari masyarakat (Hogan, 2008). Didukung oleh

Asmedi (2012), mengungkapkan di Indonesia gangguan jiwa

menimbulkan kerugian ekonomi mencapai 20 triliun, akibat

hilangnya produktivitas, beban ekonomi dan biaya perawatan

1
kesehatan yang harus ditanggung keluarga dan Negara (Alimansur.

2016). Sementara menurut American Psychological Association (APA,

2015 ) dalam (Emi Putri Dewi 2014) dampak yang dialami oleh keluarga

sebagai caregiver yaitu stres fisik, psikologis dan adanya beban

keuangan.

Ada beberapa penanganan gangguan jiwa yang sering dilakukan.

Menurut Hawari (2009) dalam (Sulistyorini 2013), dalam penanganan

penderita gangguan jiwa dilakukan dengan pendekatan yang holistik atau

menyeluruh, yaitu dengan terapi antipsikotik (psikofarmaka), terapi

psikososial/terapi perilaku, terapi psikomotor, terapi psikoreligius, terapi

kelompok, terapi rekreasi, Art terapi, dan rehabilitasi. Menurut (Suryani

2018), Program penanganan gangguan jiwa yang ada di indonesia hingga

saat ini masih berfokus pada pengobatan dan mengandalkan rumah sakit

jiwa sebagai pelayanan utama bagi penderita gangguan jiwa, sehingga

banyak penderita yang kambuh setelah pulang ke rumah, disebabkan

tidak adanya pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat. Sementara

Menurut (Yosep 2014), Penanganan kesehatan jiwa bergeser dari

hospital base menjadi community base.

Sehubungan dengan trend masalah kesehatan utama dan

pelayanan kesehatan jiwa secara global, maka fokus pelayanan

keperawatan jiwa bergeser menjadi community base care yang mana

dalam pengobatan gangguan jiwa tidak hanya melibatkan tim kesehatan

2
(perawat psikiatri, dokter psikiatri, psikolog) tetapi juga melibatkan

keluarga (Ikrar, 2012) dalam (Keljombar 2015). Salah satu peran dan

tugas kesehatan keluarga adalah merawat anggota keluarga yang sakit.

Keluarga berperan penting sebagai pendukung selama masa pemulihan

serta rehabilitasi pasien. Dukungan yang diberikan keluarga akan

mencegah kekambuhan pada pasien skizofrenia (Muhlisin, 2012) dalam

(Emi Putri Dewi 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Fitra (2013) bahwa terdapat pengaruh dukungan keluarga terhadap

kekambuhan pada penderita skizofrenia. Sementara menurut Nasir &

Muhith (2011) kekambuhan pada penderita gangguan jiwa terjadi karena

keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku pasien dirumah (Emi

Putri Dewi 2014).

Dukungan keluarga sangat berpengaruh pada kekambuhan pasien.

Menurut Yudi Pratama (2013), dukungan keluarga yang buruk mengalami

kekambuhan sebanyak 81.8% sedangkan dukungan keluarga yang baik

tidak mengalami kekambuhan sebanyak 88.9%. Selain itu, Sandy. M

(2013) menyatakan, sikap positif dari keluarga dapat mempengaruhi

anggota keluarga yang sakit untuk menjalani perawatan rutin dan

mempengaruhi kepatuhan untuk meminum obat sesuai anjuran dokter.

Sementara menurut penelitian Kaplan dan Sadock (2006) menunjukkan

bahwa 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit dan

menjalani perawatan dirumah tidak meminum obat secara teratur. Dari

3
beberapa penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa salah satu faktor

penyebab terjadinya kekambuhan penderita gangguan jiwa adalah

kurangnya peran keluarga terhadap pasien (Keljombar 2015).

Melihat kesimpulan dari beberapa penelitian yang dilakukan

sebelumnya menunjukan bahwa faktor penyabab terjadinya kekambuhan

adalah kurangnya peran serta dukungan keluarga terhadap pasien, akan

tetapi tidak menunjukan faktor yang mempengaruhi kurangnya peran

serta dukungan keluarga dalam penanganan pasien gangguan jiwa.

Dalam hal ini peneliti tertarik untuk melihat apakah ada faktor yang

mempengaruhi kurangnya dukungan keluarga dalam menangani pasien

gangguan jiwa?

Dengan adanya uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk

mengetahui “Gambaran Dukungan Keluarga Pada Pasien Gangguan Jiwa

Di Rumah Sakit Khusus Daerah Dadi Provinsi Sulawesi Selatan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dapat dirumuskan

adalah “Bagaimana dukungan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa di

Rumah Sakit Khusus Daerah Dadi Provinsi Sulawesi Selatan?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

4
Untuk mengetahui gambaran dukungan keluarga terhadap pasien

gangguan jiwa.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui dukungan emosional keluarga terhadap pasien

gangguan jiwa.

b. Untuk mengetahui dukungan informasi keluarga terhadap pasien

gangguan jiwa.

c. Untuk mengetahui dukungan penilaian keluarga terhadap pasien

gangguan jiwa.

d. Untuk mengetahui dukungan instrumental keluarga terhadap

pasien gangguan jiwa.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

referensi mengenai gambaran dukungan keluarga pada pasien

gangguan jiwa.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut:

a. Bagi Institusi Rumah sakit Jiwa

5
Hasil penelitian dapat memberikan gambaran atau informasi bagi

institusi terutama tentang pentingnya dukungan keluarga pada

pasien gangguan jiwa.

b. Bagi Peneliti

Proses penelitian sebagai pengalaman belajar serta menambah

wawasan peneliti dan diharapkan hasil penelitian ini dapat

memberikan informasi dan dijadikan sebagai acuan bagi

mahasiswa lain yang akan melakukan penelitian.

c. Bagi Perawat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan perawat

dalam menangani serta berkomunikasi dengan pasien gangguan

jiwa.

d. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber data untuk

penelitian selanjutnya serta dapat dijadikan bahan diskusi dalam

proses belajar mengajar.

e. Bagi Keluarga

Hasil penelitian dapat memberikan gambaran atau informasi bagi

keluarga terutama orang tua dalam menghadapi keluarga yang

mengalami gangguan jiwa.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Dukungan Keluarga

1. Definisi Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan bentuk pemberian dukungan

terhadap anggota keluarga lain yang mengalami permasalahan, yaitu

memberikan dukungan pemeliharaan, emosional untuk mencapai

kesejahteraan anggota keluarga dan memenuhi kebutuhan psikososial

(Potter & perry, 2009) dalam (Hartanto 2014).

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan

keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga yang bersifat

mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika

diperlukan. (Friedman, 1998) dalam (Siyoto 2016).

Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi

sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda dalam

berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Dukungan keluarga dapat

7
berupa dukungan sosial keluarga internal dan eksternal (Friedman,

1998) dalam (Keljombar 2015).

Dukungan dari keluarga merupakan unsur terpenting dalam

membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan,

rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi

masalah yang terjadi akan meningkat (Tamher dan Noorkasiani 2009).

2. Jenis dukungan keluarga

Menurut Friedman (1988) dalam (Setiadi 2008), jenis dukungan

keluarga ada empat, yaitu:

a. Dukungan Instrumental

Dukungan instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber

pertolongan praktis dan konkrit. Dukungan instrumental meliputi

bantuan langsung seperti buku, uang, makanan, obat-obatan atau

barang-barang yang secara langsung membantu tanggung jawab

seseorang dalam memberikan keperawatan.

b. Dukungan informasional

Dukungan informasional, yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah

kolektor dan disseminator (penyebar informasi). Dukungan

informasi dapat berupa nasihat, saran atau umpan balik tentang

keadaan atau apa yang dikerjakan oleh individu, ditunjukan pada

bimbingan dan saran yang diterima dari orang lain yang membantu

8
keluarga dalam memahami dan mengelola situasi yang penuh

dengan stress.

c. Dukungan Penilaian (appraisal) Dukungan penilaian, yaitu keluarga

bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing dan

menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator

identitas keluarga. Dukungan penilaian membantu seseorang

dalam meningkatkan harga dirinya dengan cara memberikan

penghargaan atau pengakuan padanya.

d. Dukungan Emosional

Dukungan emosional, yaitu keluarga sebagai sebuah tempat yang

aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu

penguasaan terhadap emosi. Dukungan emosional ditunjukan

pada perilaku dari orang lain yang meningkatkan perasaan

nyaman, mudah dan aman sehingga seseorang dapat mencapai

kebahagiaan.

3. Fungsi dukungan keluarga

House dan Kahn (1985) dalam (Friedman 2010)menerangkan bahwa

keluarga memiliki empat fungsi dukungan, diantaranya:

a. Dukungan Emosional

Aspek-aspek dukungan emosional meliputi dukungan yang

diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian,

mendengarkan dan didengarkan.

9
Dukungan emosional merupakan fungsi afektif keluarga

yang harus diterapkan kepada seluruh anggota keluarga. Fungsi

afektif merupakan fungsi internal keluarga dalam memenuhi

kebutuhan psikososial anggota keluarga dengan saling mengasuh,

cinta kasih, kehangatan, dan saling mendukung serta menghargai

antar anggota keluarga. Dukungan keluarga dapat mempengaruhi

kesehatan fisik dan mental seseorang melalui pengaruhnya

terhadap pembentukan emosional.

Dukungan emosional memberikan individu perasaan

nyaman, merasa dicintai saat mengalami depresi. Untuk itu

keluarga dapat memberikan bantuan dalam bentuk semangat,

empati, rasa percaya perhatian sehingga individu yang

menerimanya merasa berharga (L.Andriani, 2014).

b. Dukungan Informasi

Aspek-aspek dalam dukungan informasi meliputi nasehat,

usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi.

c. Dukungan Instrumental

Dukungan instrumental keluarga merupakan fungsi ekonomi

dan fungsi perawatan kesehatan yang diterapkan keluarga

terhadap anggota keluarga yang sakit.

Fungsi ekonomi keluarga merupakan fungsi keluarga dalam

memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga, termasuk

kebutuhan kesehatan anggota keluarga. Sedangkan fungsi

10
perawatan kesehatan merupakan fungsi keluarga dalam

mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarganya,

diantaranya merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan

jiwa dan membawa anggota keluarga yang sakit ke pelayanan

kesehatan untuk memeriksa kesehatannya.

d. Dukungan Penilaian

Keluarga bertindak sebagai sumber dan validator identitas

anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan

dan perhatian. Dukungan penilaian mempunyai fungsi afektif.

Dengan adanya support, penghargaan dan perhatian ini, pasien

menjadi termotivasi, pasien merasa dihargai dan merasa masih

ada yang memperhatikan dirinya.

4. Bentuk dukungan keluarga

Menurut Cohen dan McKay, 1984 dalam (Saputra 2010) membagi

bentuk-bentuk dukungan keluarga sebagai berikut :

a. Dukungan Emosional

Dukungan emosional memberikan pasien perasaan

nyaman, merasa dicintai meskipun saat mengalami suatu masalah,

bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian

sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada

dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan

11
memberikan semangat kepada pasien yang dirawat di rumah atau

rumah sakit jiwa.

Jenis dukungan bersifat emosional atau menjaga keadaan

emosi atau ekspresi. Yang termasuk dukungan emosional ini

adalah ekspresi dari empati, kepedulian, dan perhatian kepada

individu. Memberikan individu perasaan yang nyaman, jaminan

rasa memiliki, dan merasa dicintai saat mengalami masalah,

bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, cinta, dan

emosi. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan hal yang

dimiliki dan dicintai maka dukungan dapat menggantikannya

sehingga akan dapat menguatkan kembali perasaan dicintai

tersebut. Apabila dibiarkan terus menerus dan tidak terkontrol

maka akan berakibat hilangnya harga diri.

b. Dukungan Informasi

Dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung

jawab bersama, termasuk didalamnya memberikan solusi dari

masalah yang dihadapi pasien di rumah atau rumah sakit jiwa,

memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik

tentang apa yang dilakukan oleh seseorang.

Keluarga dapat menyediakan informasi dengan

menyarankan tempat, dokter, dan terapi yang baik bagi dirinya dan

tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stressor. Pada

12
dukungan informasi keluarga sebagai penghimpun informasi dan

pemberi informasi.

c. Dukungan Nyata

Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah

seperti pelayanan, bantuan finansial dengan menyediakan dana

untuk biaya pengobatan, dan material berupa bantuan nyata

(Instrumental Suport/ material Support), suatu kondisi dimana

benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah kritis,

termasuk didalamnya bantuan langsung seperti saat seseorang

membantu pekerjaan seharihari, menyediakan informasi dan

fasilitas, menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu

menyelesaikan masalah.

Pada dukungan nyata, keluarga sebagai sumber untuk

mencapai tujuan praktis. Meskipun sebenarnya, setiap orang

dengan sumber-sumber yang tercukupi dapat memberi dukungan

dalam bentuk uang atau perhatian yang bertujuan untuk proses

pengobatan. Akan tetapi, dukungan nyata akan lebih efektif bila

dihargai oleh penerima dengan tepat. Pemberian dukungan nyata

berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan perasaan

berhutang, malah akan menambah stresss individu.

d. Dukungan Pengharapan

Dukungan pengharapan merupakan dukungan berupa

dorongan dan motivasi yang diberikan keluarga kepada pasien.

13
Dukungan ini merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi

penilaian yang positif terhadap individu. Pasien mempunyai

seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka,

terjadi melalui ekspresi penghargaan positif keluarga kepada

pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan

pasien. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan

strategi koping pasien dengan strategi-strategi alternatif

berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek positif.

Dalam dukungan pengharapan, kelompok dukungan dapat

mempengaruhi persepsi pasien akan ancaman. Dukungan

keluarga dapat membantu pasien mengatasi masalah dan

mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan

keluarga bertindak sebagai pembimbing dengan memberikan

umpan balik dan mampu membangun harga diri pasien.

Menurut House (Smet, 1994:136) dalam (Setiadi 2008),

setiap bentuk dukungan sosial keluarga mempunyai ciri-ciri antara

lain:

1) Informatif

Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat

digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-

persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat,

pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan

14
dan informasi ini dapat disampaikan kepada orang lain yang

mungkin menghadapi persoalan yang sama atau hampir sama.

2) Perhatian Emosional

Setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain,

dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati, cinta,

kepercayaan, dan penghargaan. Dengan demikian seseorang

yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung

beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan,

mau mendengar segala keluhannya, bersimpati, dan empati

terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu

memecahkan masalah yang dihadapinya.

3) Bantuan Instrumental

Bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah seseorang

dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan-

persoalan yang dihadapinya, atau menolong secara langsung

kesulitan yang dihadapi, misalnya dengan menyediakan

peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan

obat-obat yang dibutuhkan dan lain-lain.

4) Bantuan Penilaian

Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang

diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi

sebenarnya dari penderita. Penilaian ini bisa positif dan negatif

yang mana pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang.

15
Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka penilaian

yang sangat membantu adalah penilaian yang positif.

5. Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga

Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut

Feiring dan Lewis (1984) dalam Friedman (1998) dikutip oleh

(Suwardiman 2011), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang

menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif,

menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan.

Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil lebih banyak

menerima perhatian daripada anak-anak dari keluarga besar. Selain

itu dukungan yang diberikan orangtua khususnya seorang ibu. Ibu-ibu

yang lebih muda cenderung tidak bisa mengenali kebutuhan anaknya

dan lebih egosentris daripada ibu-ibu yang lebih tua. Faktor yang

mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah faktor sosial

ekonomi orangtua, yang meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan

orangtua, dan tingkat pendidikan orangtua. Dalam keluarga kelas

menengah, suatu hubungan yang demokratis dan adil mungkin ada.

Sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada

lebih otoritas atau otorikasi. Selain itu, orang tua dengan kelas sosial

menengah mempunyai tingkat dukungan afeksi dan keterlibatan yang

lebih tinggi, dari pada orang tua dengan kelas sosial bawah.

B. Tinjauan Umum Keluarga

16
1. Definisi keluarga

Definisi keluarga Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta,

yang terdiri dari dua kata yakni “Kula” dan “Warga” yang berarti

anggota kelompok kerabat. Banyak ahli menguraikan pengertian

keluarga sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat. Berikut

akan dikemukakan beberapa pengertian keluarga:

a. Menurut Friedman, 1998 dalam (Suprajitno 2004)

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup

bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu

mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari

keluarga.

b. WHO (1969) dikutip dalam (Setiadi 2008)

Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan

melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan.

c. Wall (1986) dikutip dalam (Padila 2012)

Wall mengemukakan keluarga sebagai dua orang atau lebih yang

disatukan oleh ikatan kebersamaan dan ikatan emosional serta

mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga.

d. Depkes RI (1988) dikutip dalam (Padila 2012)

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas

keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu

tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

17
e. Ali (2010) dalam (Azmilhayat 2012)

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena

hubungan darah, perkawinan, dan adopsi dlam satu rumah tangga,

yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan

menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.

2. Ciri-ciri Keluarga

Menurut Robert Mac Iver dan Charles Horton dalam (Padila 2012), ciri-

ciri keluarga sebagai berikut:

a. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

b. Keluarga berbentuk suatu kelembagaan, yang berkaitan dengan

hubungan perkawinan yang sangaja dibentuk atau dipelihara.

c. Keluarga mempunyai suatu sistem tata nama (nomen clatur)

termasuk perhitungan garis keturunan.

d. Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota

keluarga berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai

keturunan dan membesarkan anak.

e. Keluarga merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah

tangga.

3. Tipe keluarga

Menurut (Harmoko 2012), keluarga yang memerlukan pelayanan

kesehatan berasal dari berbagai macam pola kehidupan. Agar dapat

mengupayakan peran serta keluarga dalam meningkatkan derajat

kesehatan, kita perlu memahami berbagai tipe keluarga, yaitu:

18
a. Nuclear Family (Keluarga inti)

Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan anak tinggal dalam

satu rumah dalam suatu ikatan perkawinan.

b. Extend Family (Keluarga besar)

Extend Family adalah keluarga inti ditambah dengan sanak

saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu,

paman, bibi, dan sebagainya.

c. Reconstituted Nuclear

Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali

suami/istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah dengan

anakanaknya.

d. Middle Age/Aging Couple

Suami sebagai pencari uang, istri dirumah atau kedua-duanya

bekerja di rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah karena

sekolah/perkawinan/meniti karier.

e. Dyadic Nuclear

Suami istri yang sudag berumur dan tidak mempunyai anak.

Keduanya/salah satu bekerja di rumah.

f. Single parent

Satu orang tua sebagai akibat perceraian/kematian pasangannya

dan anak-anaknya dapat tinggal di rumah/di luar rumah.

g. Dual Carier

19
Suami istri atau keduanya berkarir dan tinggal terpisah pada jarak

tertentu, keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu.

h. Commuter Married

Suami istri/keduanya orang karir dan tinggal terpisah pada jarak

tertentu, keduanya saling mencari pada waktu tertentu.

i. Single Adult

Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya

keinginan untuk menikah.

j. Three generation

Tiga generasi atau lebih yang tinggal dalam satu rumah.

k. Institusional

Anak-anak atau orang-orang dewasa yang tinggal dalam suatu

panti-panti.

l. Comunal

Satu rumah terdiri dari dua atau lebih pasangan yang monogamy

dengan anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan

fasilitas.

m. Group marriage

Suatu perumahan terdiri dari orang tua dan keturunannya di dalam

satu kesatuan keluarga dan tiap individu akan menikah dengan

yang lain dan semua adalah orang tua dari anak-anak.

20
n. Unmaried parent and child

Ibu dan anak yang menikah dimana pernikahan tidak dikehendaki,

anaknya diadopsi.

o. Cohibing couple

Dua orang atau satu pasangan yang tinggal bersama tanpa

pernikahan.

4. Struktur Keluarga

a. Elemen struktur keluarga

Friedman (1998) dalam (Abudi 2018) mengatakan ada 4 elemen

struktur keluarga, yaitu:

1) Struktur peran keluarga

Menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga baik

di dalam keluarganya sendiri maupun peran di lingkungan

masyarakat.

2) Nilai atau norma keluarga

Menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini

dalam keluarga.

3) Pola komunikasi keluarga

Menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi di

antara orang tua, orang tua dan anak, di antara anggota

keluarga ataupun dalam keluarga besar.

4) Struktur kekuatan keluarga

21
Menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk

mengendalikan atau mempengaruhi orang lain dalam

perubahan perilaku kearah positif.

b. Macam-macam struktur keluarga

Menurut (Padila 2012), ada beberapa struktur keluarga di

Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam, diantaranya adalah:

1) Patrilineal

Patrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak

saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan

itu disusun melalui jalur ayah.

2) Matrilineal

Matrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak

saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan

itu disusun melalui jalur ibu.

3) Matrilokal

Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama

keluarga sedarah ibu.

4) Patrilokal

Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama

keluarga sedarah ayah.

5) Keluarga kawin

22
Keluarga kawin adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi

pembinaan keluarga, dan beberapa sanak saudara yang

menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan

suami atau istri.

c. Ciri-ciri struktur keluarga

Ciri-ciri struktur keluarga Anderson Carter dalam (Harmoko 2012)

adalah sebagai berikut:

1) Terorganisasi

Terorganisasi yaitu saling berhubungan, saling ketergantungan

antara anggota keluarga.

2) Terbatas

Ada keterbatasan, dimana setiap anggota memiliki kebebasan

tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalam

menjalankan fungsi dan tugas masing-masing.

3) Perbedaan dan Khusus

Ada perbedaan dan kekhususan yaitu setiap anggota keluarga

mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing.

5. Peran keluarga

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh

orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu

sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial, baik dari dalam

maupun dari luar dan bersifat stabil (Harmoko 2012).

23
(Setiadi 2008), menyatakan bahwa peran keluarga adalah

tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks

keluarga.

Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing, antara

lain:

a. Ayah

Sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari

nafkah, pendidik, pelindung/pengayom, pemberi rasa aman bagi

setiap anggota keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat

kelompok sosial tertentu.

b. Ibu

Sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-

anak, pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah

tambahan keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat

kelompok social tertentu.

c. Anak

Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan

perkembangan fisik, mental, sosial, dan spiritual.

6. Fungsi keluarga

(Harmoko 2012), menyebutkan ada 5 fungsi keluarga yang

dapat dijalankan sebagai berikut:

a. Fungsi Biologis

24
Fungsi biologis, yaitu fungsi meneruskan keturunan, memelihara,

dan membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga.

b. Fungsi Psikologis

Fungsi psikologis, yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman

bagi keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga,

memberikan kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta

memberikan identitas pada keluarga.

c. Fungsi Sosialisasi

Fungsi sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah

laku sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing dan

meneruskan nilai-nilai budaya.

d. Fungsi Ekonomi

Fungsi ekonomi, yaitu mencari sumber-sumber penghasilan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga dimasa yang akan datang.

e. Fungsi Pendidikan

Fungsi pendidikan, yaitu menyekolahkan anak untuk memberikan

pengetahuan, ketrampilan, membentuk perilaku anak sesuai

dengan bakat dan minat yang dimilikinya, mempersiapkan anak

untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi

peranannya sebagai orang dewasa, serta mendidik anak sesuai

dengan tingkat perkembangannya.

Sedangkan menurut Friedman (1998) dalam (Harmoko 2012)

fungsi keluarga terbagi atas lima yaitu:

25
a. Fungsi afektif, adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan

kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta

kasih, serta saling menerima dan mendukung.

b. Fungsi sosialisasi, adalah proses perkembangan dan perubahan

individu keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi sosial dan

belajar berperan di lingkungan sosial.

c. Fungsi reproduksi, adalah fungsi keluarga meneruskan

kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.

d. Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi

kebutuhan keluarga, seperti sandang, pangan, dan papan.

e. Fungsi perawatan kesehatan, adalah kemampuan keluarga untuk

merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

Adapun fungsi Keluarga menurut BKKBN, 1992 dalam

(Nursia 2011) adalah :

a. Fungsi keagamaan : memperkenalkan dan mengajak anak dan

anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas

kepala keluarga untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang

mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.

b. Fungsi sosial budaya : membina sosialisasi pada anak, membentuk

norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan

anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

c. Fungsi cinta kasih : memberikan kasih sayang dan rasa aman,

memberikan perhatian diantara anggota keluarga

26
d. Fungsi melindungi : melindungi anak dari tindakan-tindakan yang

tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan

merasa aman.

e. Fungsi reproduksi : meneruskan keturunan, memelihara dan

membesarkan anak, memelihara dan merawat anggota keluarga.

f. Fungsi sosialisasi dan pendidikan : mendidik anak sesuai dengan

tingkat perkembangannya, menyekolahkan anak, bagaimana

keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang

baik.

g. Fungsi ekonomi : mencari sumber-sumber penghasilan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan

penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga,

menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang

akan datang.

h. Fungsi pembinaan lingkungan

7. Tugas keluarga

Menurut (Effendy 1998) ahli lain membagi tugas keluarga

sebagai berikut:

1. Pendidikan: dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan

menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan

masa depan anak bila kelak dewasa nanti.

27
2. Sosialisasi anak: tugas keluarga dalam hal ini adalah bagaimana

keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang

baik.

3. Perlindungan: tugas keluarga dalam hal ini adalah melindungi anak

dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga

merasa terlindung dan merasa aman.

4. Perasaan: tugas keluarga dalam hal ini adalah menjaga secara

instuitif, merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang

lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota

keluarga sehingga saling pengertian satu ssama lain dalam

menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.

5. Religius: tugas keluarga dalam hal ini adalah memperkenalkan dan

mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan

beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan

keyakinan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini

da nada kehidupan lain setelah di dunia ini.

6. Ekonomis: tugas kepala keluarga dalam hal ini adalah mencari

sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga

yang lain, kepala keluarga bekerja untuk memperoleh penghasilan,

mengatur penghasilan tersebut sedwmikian rupa sehingga dapat

memenuhi kebutuhan keluarga.

7. Rekreatif: tugas keluarga dalam rekreasi ini tidak selalu harus pergi

ke tempat rekreasi, tetapi yang penting bagaimana memnciptakan

28
suasana yang menyenangkan dalam keluarga sehingga dapat

menciptakan keseimbangan kepribadian masing-masing

anggotanya.

8. Biologis: tugas keluarga yang utama dalam hal ini adalah untuk

meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.

Sedangkan menurut (Padila 2012) menyebutkan bahwa pada

dasarnya ada 8 tugas pokok keluarga, sebagai berikut:

a. Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya

b. Pemeliharaan sumber daya yang ada dalam keluarga

c. Pembagian tugas sesuai kedudukannya dalam keluarga

d. Sosialisasi antar anggota keluarga

e. Pengaturan jumlah anggota keluarga

f. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga

g. Membangkitkan semangat dan dorongan anggota keluarga

C. Tinjauan Umum Gangguan Jiwa

1. Definisi gangguan jiwa

Gangguan jiwa merupakan perubahan sikap dan perilaku

seseorang yang ekstrem dari sikap dan perilaku yang dapat

menimbulkan penderitaan dan dapat menyakiti diri sendiri, tidak

menunjukan empati terhadap orang lain dan bisa merugikan orang

lain, orang yang terkena gangguan jiwa biasanya tidak menyadari

bahwa tingkah lakunya yang menyimpang, dan juga memperlihatkan

29
kemampuan pengendalian diri yang amat kurang, apabila kemampuan

pengendalian diri ini sangat kurang secara menyolok maka ia

dikatakan sebagai gangguan jiwa ( Sipayung. A, 2010 ) dalam

(Karsanti 2016).

Gangguan jiwa didefinisikan dalam kaitannya dengan disfungsi

yang merugikan. Definisi ini memasukan elemen yang didasarkan

pada evaluasi objektif terhadap kinerja. Fungsi alamiah proses kognitif

dan perseptual adalah untuk memungkinkan orang itu untuk

mempersepsikan dunia dengan cara yang sama dengan orang lain

dan untuk terlibat dalam pemikiran dan penyelesaian masalah yang

rasional. Disfungsi dalam gangguan diasumsikan merupakan hasil

disrupsi pikiran, perasaan, komunikasi, persepsi, dan motivasi

(Oltmanns dan Emery, 2012) dalam (Karsanti 2016).

Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir

(cognitive), kemauan (volition, emosi affective), tindakan

(psychomotor) (Yosep, 2013) dalam (Hartanto 2014).

Gangguan jiwa menurut Zakiah Darajat dalam (Yosep 2014)

adalah suatu keabnormalan yang terbagi dalam dua golongan, yakni

gangguan jiwa neurosa dan gangguan jiwa psikosa. Orang yang

terkena neurosa masih mengetahui dan merasakan kesukarannya,

serta kepribadiannya tidak jauh dari realitas dan masih hidup dalam

alam kenyataan pada umumnya, sedangkan orang yang terkena

30
psikosa tidak memahami kesukaran-kesukarannya, kepribadiannya

(dari segi tanggapan, perasaan/emosi, dan dorongan motivasinya

sangat terganggu), tidak ada integritas dan ia hidup jauh dari alam

kenyataan.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gangguan jiwa

merupakan gangguan dalam cara berpikir seseorang yang

menyebabkan perubahan sikap dan perilaku yang dapat merugikan

diri sendiri dan orang lain.

2. Jenis gangguan jiwa

Adanya gangguan jiwa dalam diri seseorang bisa juga

ditunjukan dari kebiasaan melakukan hal yang bisa merugikan orang

lain, yang sering kali tidak disadari tingkah laku yang menyimpang

(Sipayung. A, 2010) dalam (Karsanti 2016).

Menurut Kamal 2010 dalam (Karsanti 2016), gangguan jiwa

dapat berupa:

a. Stress

Stress adalah suatu kondisi atau keadaan tubuh yang terganggu

karena tekanan psikologis. Banyak hal yang bisa memicu stres

seperti rasa khawatir, perasaan kesal, kecapekan, frustasi,

perasaan tertekan, kesedihan, pekerjaan yang berlebihan, terlalu

fokus pada suatu hal, perasaan bingung, berduka cita dan juga

rasa takut

31
b. Psikosis

Psikosis merupakan gangguan tilikan pribadi yang menyebabkan

ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan fantasi dirinya.

Psikosis sebenarnya masih bersifat sempit dan bias yang berarti

waham dan halusinasi. Selain itu juga ditemukan gejala lain

termasuk diantaranya pembicaraan dan tingkah laku yang kacau,

dan gangguan daya nilai realitas yang berat. Oleh karena itu

psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan gejala yang

terdapat gangguan fungsi mental, respon perasaan, daya nilai

realitas, komunikasi dan hubungan antara individu dengan

lingkungannya.

c. Psikopat

Psikopat secara harafiah berarti sakit jiwa. Psikopat berasal dari

kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit.

Orang yang mengidap penyakit ini sering disebut sebagai sosiopat

karena perilakunya yang antisosial dan dapat merugikan orang-

orang terdekatnya. Psikopat tak sama dengan gila, karena seorang

psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Gejala psikopat

dapat disebut dengan psikopati, seringkali disebut orang gila tanpa

gangguan mental.Orang yang mengalami psikopat sangat sulit

untuk disembuhkan.

d. Skizofrenia

32
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat

ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam

otak. Skizofrenia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim

dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan

menarik diri dari hubungan antar pribadi yang normal. Sering kali

diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi

(persepsi tanpa ada rangsang panca indra).

3. Tingkatan gangguan jiwa

Menurut Davison 2006 dalam (Karsanti 2016), gangguan jiwa

dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu: gangguan jiwa ringan

(Neurosa) dan gangguan jiwa berat (Psikosis).

a. Gangguan jiwa berat (Psikosis) adalah bentuk gangguan jiwa yang

merupakan ketidakmampuan untuk berkomunikasi atau mengenali

realitas yang menimbulkan kesukaran dalam kemampuan

seseorang berperan sebagaimana mestinya dalam kehidupan

sehari-hari. Salah satu gejala psikosis yang dialami penderita

gangguan jiwa berupa gangguan persepsi dimana pasien

mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Dua jenis

yaitu psikosis organik, dimana didapatkan kelainan pada otak dan

psikosis fungsion dimana tidak terdapat kelainan pada otak.

b. Gangguan jiwa ringan (Neurosa) merupakan gangguan dimana

seseorang dalam keadaan sadar, dengan melalui ketidakberesan

33
tingkah laku yang disebabkan oleh adanya tekanan yang terus

menerus seperti konflik yang ditandai dengan gejala-gejala seperti:

reaksi kecemasan, kerusakan aspek-aspek kepribadian, phobia,

histeris. Gangguan jiwa ringan adalah suatu bentuk dimana

perilaku seseorang yang maladaptif karena adanya faktor

penyebab yang mendasar. Mengetahui bahwa jiwanya terganggu.

Faktor penyebab gangguan jiwa ringan adalah: tekanan sosial

yang dapat menyebabkan ketakutan dengan kecemasan dan

ketegangan hingga kronis, banyak mengalami frustasi yang dialami

sejak lama, kepribadian yang sangat labil.

4. Penyebab gangguan jiwa

Penyebab terjadinya gangguan jiwa adalah faktor predisposisi

yang meliputi: biologis, psikologis, dan sosial budaya, serta faktor

presipitasi yang meliputi nature, origin, timing, dan number (Stuart &

Laraia, 2006). Pandangan lain menyebutkan bahwa penyebab

gangguan jiwa ada tiga kategori, yakni faktor individu, faktor

interpersonal, dan faktor sosial budaya 24 (Videbeck, 2006) dalam

(Hernawaty 2014). Jadi dari berbagai pendapat di atas, dapat

disimpulkan bahwa penyebab gangguan jiwa dapat ditinjau dari faktor

biologis, psikologis, dan faktor sosial budaya.

Konsep demonologik menyebutkan bahwa penyebabab

gangguan jiwa adalah adanya gangguan roh, baik yang jahat maupun

yang baik, yang masuk ke dalam raga seseorang yang kemudian

34
menjadi pasien gangguan jiwa. Dari konsep ini diupayakan untuk

mencari penyebab yang mengakibatkan seseorang menjadi sakit jiwa

(Nurhidayat 2003).

Sedangkan menurut (Maramis 2005) dalam (Hernawaty 2014),

penyebab gangguan jiwa meliputi:

a. Faktor somatik (somatogenik) atau organobiologis

Faktor somatik diantaranya adalah neuroanatomi, neurofisiologi,

neurokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik, serta

faktor-faktor pre dan peri-natal (Syaify 2007).

b. Faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif

Faktor psikologik diantaranya adalah interaksi ibu – anak, peranan

ayah, persaingan antara saudara kandung, intelegensi, hubungan

dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat, kehilangan

yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa

salah, konsep diri, ketrampilan, bakat dan kreativitas, pola adaptasi

dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya, dan tingkat

perkembangan emosi (Syaify 2007).

c. Faktor sosio-budaya (sosiogenik) atau sosiokultural

Faktor sosiokultural diantaranya adalah faktor kestabilan keluarga,

pola mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan (perkotaan

lawan pedesaan) (Syaify 2007).

35
5. Tanda dan gejala gangguan jiwa

Menurut DSM IV (Keliat & dkk, 2006) dalam (Hernawaty 2014),

tanda dan gejala Skizofrenia meliputi: kehilangan kemampuan

penilaian realitas dan penurunan fungsi mental, yang dapat berupa:

penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas

(halusinasi dan waham), gangguan kognitif (tidak mampu berfikir

abstrak), afek yang tidak wajar atau tumpul, dan delusi. Di samping itu,

terjadi penurunan kemampuan sosial dan fungsi personal, dapat

berupa: kesukaran melakukan aktifitas sehari-hari, isolasi sosial,

penampilan yang tidak/rapih, lupa melakukan sesuatu, kurang

perhatian pada orang lain, sering bertengkar, tidak teratur makan obat,

perilaku makan dan tidur yang buruk, tidak mampu bekerja, dan

motivasi kurang (Stuart & Laraia, 2006) dalam (Hernawaty 2014).

Adapun tanda dan gejala gangguan jiwa menurut (Semiun,

2006) dikutip dalam (Keljombar 2015) adalah:

a. Gangguan Kognisi

Kognisi adalah kegiatan-kegiatan mental yang dibutuhkan dalam

memperoleh, menyimpan, mendapat kembali, dan menggunakan

pengetahuan. Secara garis besar kognisi meliputi proses-proses

mental seperti mempersepsikan, belajar, mengingat, menggunakan

bahasa, dan berpikir. Bentuk dari gangguan kognisi adalah

36
gangguan sensasi dan persepsi. Bentuk-bentuk gangguan sensasi

dan persepsi menurut (Yosep 2014) adalah sebagai berikut:

1) Gangguan Sensasi: Bentuk dari gangguan sensasi diantaranya

adalah hiperestesia, anestesia, parastesia, sinestesia,

hiperosmia, anosmia, hiperkinestesia dan hipokinestesia.

2) Gangguan Persepsi: Bentuk dari gangguan persepsi

diantaranya adalah ilusi dan halusinasi. Ada beberapa jenis

halusinasi, yakni: Halusinasi pendengaran, penglihatan,

penciuman, pengecapan, raba dan seksual, kinestetik, viseral.

3) Gangguan Depersonalisasi

4) Gangguan Derealisasi

b. Gangguan Perhatian

Perhatian adalah memusatkan kesadaran pada stimulus-stimulus

tertentu. Beberapa bentuk gangguan perhatian menurut (Yosep

2014) diantaranya adalah distraktibiliti, aproseksia, hiperproseksia.

c. Gangguan Ingatan

Ingatan adalah proses mental yang berkaitan dengan penerimaan,

penyimpanan, dan pemunculan kembali informasi yang pernah

diterima. Beberapa bentuk gangguan ingatan menurut (Yosep

2014), diantaranya adalah amnesia, hipernemsia dan paramnesia

(pemalsuan ingatan) dalam bentuk konfabulasi, pemalsuan

retrospektif, deja vu, dan de jamais vu.

37
d. Ganguan Asosiasi

Asosiasi adalah proses mental yang menyebabkan suatu kesan

indra atau gambaran ingatan cenderung mengingat kembali

gambaran atau konsep lain yang sebelumnya ada hubungan

dengannya. Beberapa bentuk gangguan asosiasi diantaranya

adalah retardasi (perlambatan), kemiskinan ide, perseversi, flight of

ideas, inkohorensi, blocking, aphasia.

e. Gangguan Pertimbangan atau Penilaian

Pertimbangan (penilaian) adalah suatu proses mental untuk

membandingkan atau menilai beberapa pilihan dalam suatu

kerangka kerja dengan memberikan nilai-nilai untuk memutuskan

maksud dan tujuan dari suatu aktivitas (Yosep 2014). Menurut

(Semiun 2006) dalam (Keljombar 2015) beberapa bentuk

gangguan penilaian (judgment) seperti kekeliruan dlm penilaian

dan delusi. Delusi dapat diklasifikasikan menurut isinya, yakni:

delusi kemegahan, delusi depresif dan menuduh diri sendiri, delusi

somatik atau hipokondriasis, delusi nihilistik, delusi referensi atau

ide-ide referensi, dan delusi pengaruh.

f. Gangguan Pikiran

Semiun (2006) dalam (Keljombar 2015) menyebutkan tipe-tipe

utama dari gangguan pikiran adalah pikiran autis, konfabulasi,

38
pikiran obsesif, fobia, dan hipokondria. Sedangkan menurut (Yosep

2014) gangguan pikiran terdiri dari gangguan bentuk pikiran,

gangguan arus pikiran dan gangguan isi pikiran diantaranya

meliputi isi pikiran non verbal atau isi pikiran verbal, contoh waham.

g. Gangguan Kesadaran

(Yosep 2014) mengatakan bahwa kesadaran adalah kemampuan

seseorang untuk mengadakan hubungan dengan lingkungan serta

dirinya sendiri, melalui pancaindera dan mengadakan pembatasan

terhadap lingkungan serta dirinya sendiri. Bila kesadaran baik,

maka terjadi orientasi (waktu, tempat, orang) dan sebaliknya.

Bentuk-bentuk gangguan kesadaran menurut (Yosep 2014) terdiri

dari tiga:

1) Kesadaran Kuantitatif: Terdiri dari kesadaran yang menurun

berupa apatis, somnolen, sopor, subkoma, dan kesadaran yang

meninggi yang disebabkan oleh zat toksik atau faktor

psikologik.

2) Kesadaran Kualitatif: Kesadaran kualitatif diantaranya yakni

stupor, twilight state, fuge, confusion, tranco (trans).

3) Gangguan orientasi (disorientasi)

h. Gangguan Kemauan

Bentuk gangguan kemauan menurut (Yosep 2014) diantaranya

yakni abulia, negativisme, rigiditas, kompulsi.

39
i. Gangguan Emosi dan Afek

Bentuk-bentuk gangguan emosi dan afek yakni euforia, elasi,

ekstalsi (disertai waham kebesaran), eklasi (kegairahan),

inappropriate afek (afek yang tidak sesuai), afek yang kaku (rigrid),

emosi labil, cemas dan depresi, ambivalensi, apatis, serta emosi

yang tumpul dan datar.

j. Gangguan Psikomotor (Gangguan Motor)

Semiun (2006) dalam (Keljombar 2015) mengelompokkan

gangguan motor menjadi tiga kategori, yaitu hiperaktivitas,

hipoaktivitas, dan gangguan aktivitas. Gangguan aktivitas berupa

apraksia, atraksia, atetosis, gerakan choreiform, konvulsi, spasme

dan tremor.

6. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kekambuhan

Pasien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh

50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua (Sullinger, 1988)

dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit (Carson

& Ross, 1987) dalam (Nursia 2011).

Menurut Irmansyah, 2009 dalam (Nursia 2011) ada berbagai

faktor biologis, psikologis

dan sosial yang dapat mencetuskan kekambuhan, diantaranya:

a. Faktor biologis:

1) Mengkonsumsi obat-obat yang dapat merusak otak seperti

narkotik dan obat berbahaya (Narkoba).

40
2) Mengalami trauma kepala, infeksi atau tumor pada otak.

3) Menghentikan minum obat tanpa persetujuan psikiater/dokter.

b. Faktor psikologis

1) Mendapatkan masalah yang berat yang membebani pikiran

penderita.

2) Menurunnya rasa percaya diri.

3) Tidak melakukan konseling atau konsultasi dengan psofesional

sesuai anjuran.

c. Faktor lingkungan

1) Kritikan atau tuntutan dari keluarga yang berlebihan.

2) Perlakuan atau sikap keluarga yang dirasakan tidak adil.

3) Dukungan dan penerimaan dari keluarga dan masyarakat yang

kurang.

7. Penanganan gangguan jiwa

a. Penanganan Pasca Perawatan Rumah sakit

Penanganan gangguan jiwa dapat dilakukan dengan cara

psikoterapi dan somatoterapi atau bisa disebut dengan terapi

biologis. Penanganan psikoterapi merupakan interaksi antara

pasien dengan psikolog bertujuan untuk mengidentifikasi pikiran

disfungsional yang melatar belakangi awal munculnya pasien

terkena gangguan jiwa, psikoterapi juga untuk membantu dalam

perubahan perilaku, pikiran dan perasaan pasien yang abnormal,

41
memecahkan masalah dalam kehidupan individu, artinya

menangani orang-orang yang mempunyai masalah seperti

gangguan jiwa ringan maupun berat (Nevid et al, 2002) dalam

(Karsanti 2016).

Sedangkan somatoterapi merupakan penanganan terhadap

masalah-masalah tingkah laku dengan menggunakan teknik biologi

yang meliputi: terapi obat-obatan, psiko bedah dan terapi elektro

konvulsif. Asumsi dasar dari penanganan somatoterapi ini adalah

gangguan fisiologis menyebabkan gangguan psikologis, dan

dengan demikian maka ketika seseorang ditangani secara biologis

maka tingkah lakunya akan berubah, penanganan ini biasanya

dilakukan oleh psikiater (Semiun, 2006) dalam (Karsanti 2016).

Bentuk-bentuk psikoterapi menurut (Semiun, 2006) dalam (Karsanti

2016):

1) Terapi psikodinamik

Terapi psikodinamik merupakan terapi yang membantu

seseorang dalam mengatasi konflik bawah sadar yang

dipercaya merupakan akar dari perilaku abnormal. Dengan

mengatasi konflik bawah sadar, kebutuhan untuk

mempertahankan tingkah laku defensive seperti fobia, hysteria.

Tujuan dari terapi ini hanya mengubah tingkah laku yang

maladaftif menjadi tingkah laku yang adaptif.

2) Terapi humanistik-eksistensial

42
Terapi ini memusatkan pada pengalaman-pengalaman

sadar, dimana lebih memusatkan perhatian yang dialami oleh

pasien, yang membantu pasien untuk lebih menyadari dan

menerima dirinya dengan baik. Tujuan terapi ini menekankan

hubungan komunikasi agar lebih terbuka dan jujur ketika

komunikasi terhambat.

3) Terapi kognitif

Terapi ini mengemukakan bahwa perubahan tingkah laku

dan emosi-emosi yang bermasalah disebabkan oleh proses

pikiran dan kepercayaan yang salah, perubahan tingkah laku

yang salah adalah pemahaman terhadap hal-hal yang tidak

realistik dimana seseorang menafsirkan dirinya sendiri sebagai

tingkah laku yang maladaftif. Terapi kognitif membantu pasien

untuk memperbaiki keyakinan yang maladaftif.

4) Terapi tingkah laku

Terapi ini berfokus pada perubahan perilaku yang

mencoba mengembangkan hubungan teraupetik yang hangat

kepada pasien. Metode dalam terapi ini adalah suatu progam

teraupetik dimana pasien pertama diperlihatkan dengan

menggunakan imajinasi atau gambar, dan selanjutnya akan

masuk tahap yang lebih menakutkan, setelah pasien di

intruksikan untuk membayangkan dan makin menimbulkan

43
kecemasan maka terapis memfokuskan kembali untuk rileks.

Proses ini di ulang sampai pasien tidak merasa cemas.

5) Terapi kelompok

Terapi kelompok merupakan terapi yang memberi

kesempatan kepada pasien agar dapat bersosialisasi dengan

orang lain. Bentuk terapi-terapi kelompok dapat berupa

psikodrama. Psikodrama adalah bentuk yang di kembangkan

oleh J.L Moreno,1892, metode ini sangat penting karena

bertujuan untuk pasien memainkan peran di alam khayal,

dengan demikian dia merasa bebas mengungkapkan sikap

yang terpendam dan motivasi yang kuat sehingga pasien dapat

merasa sedikit lega dan dapat mengembangkan pemahaman

(insight) yang memberi kesanggupan untuk mengubah

perannya dalam kehidupan nyata.

6) Terapi keluarga

Dalam terapi keluarga, yang menjadi unit perawatan

keluarga bertujuan untuk membantu pasien mengatasi konflik

dan masalah, membantu anggota keluarganya berfungsi

dengan baik sebagai suatu unit, tetapi juga membantu setiap

dalam penanganan secara lebih efektif. Komunikasi-komunikasi

keluarga sangat penting bagi kesembuhan pasien gangguan

jiwa.

44
Terapi dapat dilakukan dengan cara biomedis yang

merupakan penanganan pada penggunaan obat psikotropika.

Obat psikotropika seperti: obat-obat antianxitas adalah obat

yang dapat mengurangi rasa cemas dan ketegangan otot, obat

antipsikotik, obat antipsikotik merupakan obat yang biasanya

digunakan oleh orang yang mengalami skizofrenia, obat

antidepresan obat ini untuk mengatasi depresi pada pasien

yang mengalami gangguan jiwa (Nevid et al, 2003) dalam

(Karsanti 2016).

Adapun obat yang digunakan untuk penaganan

gangguan jiwa, dapat digolongkan dalam 2 kelompok besar

yaitu: antipsikotika dan antidepresiva. Antipsikotika (dahulu

disebut neuroleptika atau major tranquillizers) yang bekerja

antipsikotis dan sedative. Obat ini digunakan khusus untuk

berbagai jenis psikosis (a.l. schizofrenia) dan mania.

Sedangkan Antidepresiva, yang berdaya memperbaiki suasana

murung dan putus asa, terutama digunakan pada keadaan

depresi, panik dan fobia (Rahardja 2008).

Terapi lain dapat dengan cara terapi elektrokonvulsif

adalah terapi dengan kejutan listrik yang dilakukan oleh psikitri

untuk membuat pasien menjadi tidak sadar, dan membuat

pasien menjadi kejang-kejang biasanya terapi elektrokonvulsif

45
sebagai pilihan penanganan terakhir terhadap pasien gangguan

jiwa (Nevid et al, 2003) dalam (Karsanti 2016).

b. Penanganan Gangguan Jiwa Lingkup Keluarga

Penanganan gangguan jiwa lingkup keluarga merupakan

problem psikososial yang terjadi di keluarga maupun di

masyarakat, pada umumnya masyarakat menganggap penderita

gangguan jiwa tidak akan mempunyai masa depan dan tidak

produktif. Hal ini cenderung menghasilkan tindakan yang kurang

baik terhadap penderita (Simanjuntak, 2012) dalam (Karsanti

2016).

Penanganan yang biasanya dilakukan keluarga adalah

dengan cara memasung penderita, cara pemasungan yang

dilakukan oleh keluarga terhadap penderita gangguan jiwa karena

keluarga menganggap bahwa penderita selalu mengamuk di rumah

maupun di lingkungan masyarakat sehingga penanganannya

dilakukan dengan cara dipasung, sikap seperti inilah yang dapat

memperburuk kondisi penderita, masalah lainnya adalah suatu

anggapan keliru terhadap penderita gangguan jiwa, dimana

penderita dianggap sebagai kutukan dari Tuhan atau guna-guna,

sehingga keluarga mencari pengobatan gangguan jiwa yang

dilakukan dengan terapi eksorsis (pengusiran terhadap roh jahat)

sehingga biasanya keluarga membawa penderita gangguan jiwa di

46
lakukan pergi ke dukun dan penanganan dilakukan oleh dukun

(Simanjuntak, 2012) dalam (Karsanti 2016).

Perilaku pencarian pengobatan pada saat awal pasien

terkena gangguan jiwa yang dilakukan oleh keluarga berbeda-

beda, diantaranya dengan membawa penderita ke dukun, dan

sebagian lagi berobat ke rumah sakit jiwa. Perbedaan perilaku ini

dipengaruhi oleh pengetahuan keluarga sebagai mengambil

keputusan dalam mencari pengobatan penderita. Pengetahuan ini

ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan keluarga (Notoatmojo,

2003) dalam (Karsanti 2016).

47
D. Kerangka Teori

Gangguan Jiwa Kekambuhan

RSJ

Psikiater Terapi

Dukungan
Keluarga
Ketidak seimbangan kimiawi
Konsumsi obat
otak/neurotransmitter

Rasa
Percaya Diri
Sembuh

Pulang ke rumah

48
Gambar 2.1. Kerangka Teori Dukungan Keluarga pada Pasien Gangguan

Jiwa.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka konseptual

Konsep atau variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena

yang akan diteliti (Adi, 2004)

Dukungan Keluarga:

1. Dukungan emosional
2. Dukungan informasional Gangguan Jiwa
3. Dukungan penilaian
4. Dukungan instrumental
Bagan 3.1: Gambaran Dukungan Keluarga Pada Pasien Gangguan Jiwa

Keterangan:

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

: Arah Penghubung

B. Definisi Operasional

49
Definisi operasional adalah pengertian sebuah variabel dalam

istilah yang bisa diamati, bisa diuji, atau bisa dijadikan angka (Djiwandono

2015).

KRITERIA
NO VARIABEL DEFINISI OPERSIONAL SKALA
OBYEKTIF
Sangat baik (19-
Memberikan pasien
24)
Dukungan keluarga: perasaan nyaman, merasa
1 Baik (13-18) Ordinal
Dukungan emosional dicintai meskipun saat
Cukup (7-12)
mengalami suatu masalah
Kurang (1-6)
Sangat baik (19-

Keluarga sebagai sebuah 24)

2 Dukungan Informasi kolektor disseminator Baik (13-18) Ordinal

(penyebar informasi) Cukup (7-12)

Kurang (1-6)
Keluarga bertindak sebagai

sebuah umpan balik, Sangat baik (19-

membimbing dan 24)

3 Dukungan Penilaian menengahi pemecahan Baik (13-18) Ordinal

masalah dan sebagai Cukup (7-12)

sumber dan validator Kurang (1-6)

identitas keluarga.

50
Sangat baik (19-

Dukungan jasmaniah 24)


Dukungan
4 berupa pelayanan bantuan Baik (13-18) Ordinal
Instrumental
finansial dan materi Cukup (7-12)

Kurang (1-6)
Ya, jika

menunjukan

perubahan sikap

dan perilaku
perubahan sikap dan
yang dapat
perilaku seseorang yang
menyakiti diri
dapat menimbulkan
sendiri dan
penderitaan dan dapat
5 Gangguan Jiwa orang lain. Nominal
menyakiti diri sendiri, tidak

menunjukan empati
Tidak, jika belum
terhadap orang lain dan
menunjukan
bisa merugikan orang lain.
perubahan yang

dapat menyakiti

diri sendiri dan

orang lain.

C. Rancangan/Desain Penelitian

51
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif (cross sectional) yang

bertujuan untuk mengetahui gambaran tentang dukungan keluarga pada

pasien gangguan jiwa di RSKD Dadi provinsi Sul-Sel.

D. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian akan dilakukan 1 September, 2019.

2. Tempat penelitian

Tempat penelitian adalah di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, yang

dilakukan di ruangan kenari dan ruangan sawit, dimana peneliti dapat

menemukan responden (keluarga inti pasien) yang

mengantar/menjenguk anggota keluarganya yang mengalami

gangguan jiwa.

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek

atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2016) dalam (Wijaya 2017). Populasi pada

penelitian ini adalah keluarga inti dari pasien yang mengalami

gangguan jiwa di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah populasi

pada penelitian ini sebanyak 40.

2. Sampel

52
Menurut Sugiyono (2016) dalam (Wijaya 2017), Sampel adalah

bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut. Sampel yang diambil dari populasi harus betu-betul

representative (mewakili).

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan

rumus slovin seperti dibawah ini:

N
n=
1+ N ( d 2 )

40
n= 2
1+ 40(0,05 )

40
n=
1+ 40(0,0025)

40
n=
1+0,1

40
n=
1,1

n=36,36

n=36

Keterangan:

N : Besar populasi

n : Besar sampel

d : Tingkat kepercayaan yang diinginkan

Jika besar populasi berjumlah ± 40 orang, maka didapatkan

besar sampel 36 orang.

53
Untuk mencegah keterbatasan waktu penelitian sehingga

peneliti tidak mampu mendapat responden sesuai yang diinginkan

maka digunakan teknik Non Probability Sampling dengan metode

Accidental Sampling, dimana acsidental sampling merupakan suatu

teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan yang tidak ditentukan

besaran sampel terdahulu, akan tetapi siapa saja yang secara

kebetulan bertemu dengan peneliti dapat dipakai sebagai sampel, jika

dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok untuk dijadikan

sebagai sumber data. (Carsel, 2018). Responden dari keluarga pasien

yang dipilih adalah responden yang berdasarkan kriteria inklusi.

Adapun kriteria inklusi untuk sampel penelitian ini adalah:

a. Keluarga inti pasien

b. Keluarga pasien yang bersedia dijadikan responden

c. Keluarga pasien yang dekat dengan pasien atau tahu akan

keadaan pasien.

d. Keluarga pasien yang tinggal serumah dan merawat pasien

e. Pasien yang punya riwayat kekambuhan ≥ 2x.

F. Instrument Penelitian

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner. Dimana kuesioner yang digunakan untuk variabel dukungan

keluarga pada pasien gangguan jiwa, adalah kuesioner (Suwardiman

2011). Kuesioner dukungan keluarga berisi tentang pertanyaan yang

54
meliputi 4 komponen dukungan keluarga dan terdiri dari 24 pertanyaan

yaitu dukungan emosional terdiri dari 6 pertanyaan dari nomor 1-6,

dukungan penghargaan terdiri dari 6 pertanyaan dari nomor 7-12,

dukungan informatif terdiri dari 6 pertanyaan dari nomor 13-18, dan

dukungan instrumental terdiri dari 6 pertanyaan dari nomor 19-24.

Kuesioner disusun dalam bentuk pernyataan positif dengan empat

pilihan alternatif jawaban yang terdiri dari Selalu, Sering, Jarang dan

Tidak Pernah. Bobot nilai yang diberikan untuk setiap pertanyaan adalah

0 sampai 3, dimana jawaban Selalu bernilai 3, Sering bernilai 2, Jarang

bernilai 1 dan Tidak Pernah bernilai 0.

G. Pengumpulan data

Untuk memperoleh data-data yang penulis perlukan dan dianggap

relevan dengan masalah yang penulis teliti, maka penulis menggunakan

teknik pengumpulan data angket.

Angket merupakan data penunjang yang digunakan untuk

mengumpulkan informasi terkait dengan respon atau tanggapan keluarga

terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Sugiyono

(2016) dalam (Wijaya 2017), mengatakan bahwa kuesioner merupakan

teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi

seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk

dijawabnya. Adapun cara pengumpulan data, yaitu

1. Informed consent: persetujuan keluarga

55
2. Memberikan kuesioner kepada keluarga

3. Menjelaskan isi kuesioner kepada keluarga jika keluarga kurang

paham dengan pertanyaan/pernyataan yang ada dalam kuesioner.

4. Mengumpulkan kuesioner yang telah diisi oleh keluarga

5. Memasukan ke master table

H. Pengolahan Data

Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan manual dan

dengan menggunakan program SPSS for windows version 22, dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Seleksi Data (Editing)

Penyuntingan data dimulai ditempat penelitian dan setelah data

terkumpul, maka kuesioner diperiksa kelengkapannya sesuai dengan

kriteria sampel dan apabila terdapat kuesioner yang tidak lengkap,

maka kuesioner tersebut akan dilengkapi kembali.

2. Pemberian Kode (Coding)

Apabila semua data telah terkumpul dan selesai diedit di tempat

penelitian, kemudian akan dilakukan pengkodean data berdasarkan

buku kode yang telah dipindahkan keformat aplikasi program SPSS di

komputer.

3. Entry Data

56
Data selanjutnya dimasukkan kedalam lembar kerja SPSS

untuk masing-masing variabel. Urutan input data berdasarkan nomor

responden dalam kuesioner.

4. Cleaning Data

Cleaning data dilakukan pada semua lembar kerja untuk

membersihkan kesalahan yang mungkin terjadi selama proses input

data. Proses ini dilakukan melalui analisis frekuensi pada semua

variabel. Adapun data missing dibersihkan dengan menginput data

yang benar.

I. Teknik Analisa Data

Analisis data merupakan suatu proses analisa yang dilakukan

secara sistimatis terhadap data yang telah dikumpulkan. Data yang telah

dikumpulkan kemudian diolah menggunakan analisis deskriptif. Analisis

deskriptif berfungsi untuk meringkas, mengklasifikasikan, dan menyajikan

data. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode statistik

program SPSS for windows version 22. Analisa data yang ada dalam

penelitian adalah analisa univariat, dimana anailisa univariat mempunyai

tujuan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel. Untuk data

kategorik dengan menghitung frekuensi dan presentase masing-masing

variabel yaitu dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan

instrumental, dukungan emosional dan pasien gangguan jiwa.

J. Etika Penelitian

57
1. Lembar Persetujuan Penelitian (Informed consent)

Sebelum penelitian diadakan, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan

penelitian kepada responden. Ketika responden setuju, baru

menyerahkan lembar persetujuan yang perlu ditandatangi. Jika tidak

setuju, maka peneliti harus menghormati hak-hak responden.

2. Tanpa Nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan

mencantumkan nama subyek pada lembar pengumpulan data

(kuesioner) yang diisi oleh subyek. Lembar tersebut hanya akan diberi

kode tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subyek dijamin

kerahasiaannya. Hanya kelompok data tertentu saja yang akan

disajikan atau dilaporkan pada hasil riset.

58
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini berasal dari analisa data setelah dilakukan

pengambilan data melalui kuisioner dari responden yang berada di

ruangan kenari dan ruangan sawit di RSKD DADI Prov. Sulsel yang

dilakukan sejak tanggal 1 September - 24 September 2019. Adapun

pertanyaan/pernyataan yang ada dalam kuesioner yaitu tentang

dukungan keluarga sesuai dengan keempat indikator seperti dukungan

emosional, dukungan informasi, dukungan penilaian dan dukungan

instrumental. Berdasarkan pengolahan data, peneliti akan menyajikan

analisis data secara deskriptif survey.

Analisis univariat

1. Gambaran dukungan Keluarga Berdasarkan (Jenis kelamin,Usia,

Pekerjaan, Pendidikan, dan Hubungan dengan Pasien

a. Karakteristik Jenis kelamin Responden

Distribusi responden menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

59
Tabel 4.1.a

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frequency Percent


Laki-laki 16 44.4
Perempuan 20 55.6
Total 36 100.0

Tabel 4.1.a menunjukan bahwa sebagian besar responden berjenis

kelamin perempuan yakni sebanyak 20 orang (55,6%) dan laki-laki

sebanyak 16 orang (44,4%).

b. Karakteristik Umur Responden

Distribusi responden menurut umur dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

Tabel 4.1.b

Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Usia Frequency Percent


Remaja akhir
8 22.2
17-25 tahun
Dewasa awal
13 36.1
26-35 tahun
Dewasa akhir
12 33.3
36-45 tahun
Lansia awal
3 8.3
46-55 tahun
Total 36 100.0

60
Tabel 4.1.b menunjukkan bahwa sebagian besar responden

berumur 31-40 tahun yakni sebanyak 13 orang (36,1%),

sedangkan responden berumur 41-50 tahun sebanyak 12 orang

(33,3%), responden berumur 21-30 tahun sebanyak 8 orang

(22,2%), dan responden berumur 51-60 tahun sebanyak 3 orang

(8,3%).

c. Karakteristik pekerjaan responden

Distribusi responden menurut pekerjaan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

Tabel 4.1.c

Karakteristik Responden Berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan Frequency Percent


Bekerja 31 86.1
Tidak bekerja 5 13.9
Total 36 100.0

Tabel 4.1.c menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki

pekerjaan yakni sebanyak 31 orang (86,1%) dan tidak bekerja

sebanyak 5 orang (13,9%).

d. Karakteristik pendidikan responden

Distribusi responden menurut pendidikan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

61
Tabel 4.1.d

Karakteristik Responden Berdasarkan pendidikan

Pendidikan Frequency Percent


Tidak sekolah 2 5.6
SD 7 19.4
SMP 7 19.4
SMA 15 41.7
Perguruan tinggi 5 13.9
Total 36 100.0

Tabel 4.1.d menunjukkan bahwa sebagian besar responden

berpendidikan SMA yakni sebanyak 15 orang (41,7%), sedangkan

responden berpendidikan SD sebanyak 7 orang (19,4%) sama

halnya dengan responden yang berpendidikan SMP yakni

berjumlah 7 orang (19,4%), dan responden yang berpendidikan

Perguruan Tinggi sebanyak 5 orang (13,9%), adapun responden

yang tidak pernah sekolah yakni berjumlah 2 orang (5,6%).

e. Karakteristik Responden Berdasarkan Hubungan dengan Pasien

Distribusi responden menurut hubungan dengan pasien dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.1.e

Karakteristik Responden Berdasarkan pendidikan

Hubungan dengan
Frequency Percent
Pasien

62
Ayah 7 19.4
Ibu 6 16.7
Anak 5 13.9
Istri 3 8.3
Kakak 9 25.0
Adik 6 16.7
Total 36 100.0

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang

memiliki hubungan dengan pasien sebagai Kakak yakni sebanyak

9 orang (25,0%), sedangkan responden yang memiliki hubungan

dengan pasien sebagai Ayah sebanyak 7 orang (19,4%) dan

responden yang memiliki hubungan dengan pasien sebagai Ibu

yakni berjumlah 6 orang (16,7%), sama halnya dengan responden

yang memiliki hubungan dengan pasien sebagai Adik yakni

sebanyak 6 orang (16,7%), sedangkan responden yang memiliki

hubungan dengan pasien sebagai Anak yakni berjumlah 5 orang

(13,9%), dan responden yang memiliki hubungan dengan pasien

sebagai Isteri sebanyak 3 orang (8,3%).

2. Gambaran Dukungan Keluarga Berdasarkan (Dukungan

Emosional, Dukungan Informasi, Dukungan Penilaian, dan

Dukungan Instrumental

a. Dukungan Emosional Keluarga

Distribusi dukungan emosional keluarga pada pasien gangguan

jiwa diruangan Kenari dan ruangan Sawit dapat dilihat dibawah ini:

63
Tabel 4.2.a

Dukungan Emosional Keluarga

Dukungan
Frequency Percent
Emosional
Baik 28 77.8
Cukup 6 16.7
Kurang 2 5.6
Total 36 100.0

Tabel 5.2.a menunjukkan bahwa sebagian besar responden

memberi dukungan emosional yang baik kepada anggota keluarga

mereka yang sakit yakni sebanyak 28 orang (77,8%), sedangkan

dukungan emosional yang cukup berjumlah 6 orang (16,7%), dan

dukungan emosional yang kurang berjumlah 2 orang (5,6%).

b. Dukungan Informasi Keluarga

Distribusi dukungan informasional keluarga pada pasien gangguan

jiwa diruangan Kenari dan ruangan Sawit dapat dilihat dibawah ini:

Tabel 4.2.b

Dukungan Informasional Keluarga

Dukungan
Frequency Percent
Informasi
Baik 23 63.9
Cukup 12 33.3
Kurang 1 2.8
Total 36 100.0

64
Tabel 5.2.b menunjukkan bahwa sebagian besar responden

memberi dukungan emosional yang baik kepada anggota keluarga

mereka yang sakit yakni sebanyak 23 orang (63,9%), sedangkan

dukungan emosional yang cukup berjumlah 12 orang (33,3%), dan

dukungan emosional yang kurang berjumlah 1 orang (2,8%).

c. Dukungan Penilaian Keluarga

Distribusi dukungan penilaian keluarga pada pasien gangguan jiwa

diruangan Kenari dan ruangan Sawit dapat dilihat dibawah ini:

Tabel 4.2.c

Dukungan penilaian Keluarga

Dukungan
Frequency Percent
Penilaian
Baik 13 36.1
Cukup 16 44.4
Kurang 7 19.4
Total 36 100.0

Tabel 5.2.c menunjukkan bahwa sebagian besar responden

memberi dukungan emosional yang cukup kepada anggota

keluarga mereka yang sakit yakni sebanyak 16 orang (44,4%),

sedangkan dukungan emosional yang baik berjumlah 13 orang

(36,1%), dan dukungan emosional yang kurang berjumlah 7 orang

(19,4%).

65
d. Dukungan Instrumental Keluarga

Distribusi dukungan instrumental keluarga pada pasien gangguan

jiwa diruangan Kenari dan ruangan Sawit dapat dilihat dibawah ini:

Tabel 4.2.d

Dukungan Instrumental Keluarga

Dukungan
Frequency Percent
Penilaian
Baik 27 75.0
Cukup 7 19.4
Kurang 2 5.6
Total 36 100.0

Tabel 5.2.d menunjukkan bahwa sebagian besar responden

memberi dukungan emosional yang baik kepada anggota keluarga

mereka yang sakit yakni sebanyak 27 orang (75,0%), sedangkan

dukungan emosional yang cukup berjumlah 7 orang (19,4%), dan

dukungan emosional yang kurang berjumlah 7 orang (5,6%).

B. Pembahasan

Bab ini membahas mengenai hasil penelitian yang telah didapat

dari RSKD DADI Prov. Sulsel. Hal-hal yang akan dijelaskan dalam

pembahasan ini adalah hasil penelitian pada satu variabel independen

yaitu dukungan keluarga dengan empat sub variabelnya yaitu dukungan

emosional, dukungan informasi, dukungan penilaian, dan dukungan

66
instrumental, terhadap variabel dependen yaitu pasien gangguan jiwa di

RSKD DADI Prov. Sulsel.

1. Gambaran Dukungan Keluarga Berdasarkan Karakteristik

keluarga pasien gangguan jiwa di RSKD DADI Prov. Sulsel yang

meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan pekerjaan, dan hubungan

dengan pasien

a. Usia

Hasil penelitian didapatkan sebagian besar responden berumur

26-35 tahun yakni sebanyak 13 orang (36,1%), sedangkan

responden berumur 36-45 tahun sebanyak 12 orang (33,3%),

responden berumur 20-25 tahun sebanyak 8 orang (22,2%), dan

responden berumur 46-55 tahun sebanyak 3 orang (8,3%).

Sebagian besar usia keluarga pasien jiwa ini tampaknya

merupakan usia yang cukup matang dalam pengalaman hidup dan

kematangan jiwanya untuk mengantarkan pasien dengan peranan

sebagai caregivers. Dalam hal ini usia berpengaruh dalam

keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan jiwa dimana

semakin bertambah usia seseorang maka semakin besar

kepercayaannya untuk mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan

terutama dalam keluarga, kematangan untuk memperhatikan

anggota keluarga lain yang butuh pertolongan kesehatan.

Penelitian Magliano mendukung penelitian Sari (2009), dimana

dengan rata-rata usia keluarga 50,3 tahun dan mayoritas adalah

67
orangtua klien (ibu atau ayah). Tentunya berbeda hasil penelitian

ini dengan hasil penelitian dua orang tersebut, usia pada hasil

penelitian ini menunjukan rata-rata dalam kelompok saudara

(kakak) yang cukup matang berperan sebagai pemberi perawatan

dirumah. Hal tersebut seiring dengan kondisi bahwa puncak usia

berada pada kelompok usia 25 dan 44 tahun, dan akan semakin

menurun seiring pertambahan usia (Stuart & Larai, 2005).

Sehingga dalam memberikan dukungan keluarga bisa cukup

optimal, dan memahami beban keluarga masih seimbang dengan

kemampuan fisik dan psikologisnya.

b. Jenis kelamin

Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa sebagian besar

(59.5%) berjenis kelamin perempuan. Hal ini seiring dengan

pendapat Robinson (1998) dalam Friedman (2010) kondisi dimana

anggota keluarga khususnya perempuan, memang memainkan

peran penting dalam merawat pasien atau anggota keluarga yang

sakit. Dimana perempuan terutama yang berperan sebagai

seorang ibu, rata-rata mempunyai dasar naluri dalam merawat

keluarga atau anggota keluarga yang sakit.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Sari (2009), yang

menyatakan bahwa tingkat beban keluarga lebih tergantung

kepada pengalaman dalam merawat dan tidak memandang apakah

caregivers tersebut berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.

68
Pengalaman tersebut terkonseptualisasi sebagai sikap individu

yang berhubungan dengan perannya dalam keluarga.

c. Pendidikan

Sebagian besar (41,7%) keluarga pasien yang dijadikan

responden berpendidikan SMA. Pendidikan lebih bermakna

daripada tingkat penghasilan dalam menentukan fasilitas

kesehatan (Stuart & Larai, 2005), Menurut undang-undang

sisdiknas SMA termasuk kedalam pendidikan menengah tinggi,

sehingga pendapat bahwa pentingnya pendidikan sebagai sumber

koping dalam menghadapi masalah untuk berperan sebagai

caregivers, pendidikan SMA tersebut dirasakan cukup bermakna

untuk menentukan penggunaan fasilitas kesehatan.

Tingkat pendidikan keluarga yang terkategori tinggi

berhubungan dengan kemampuan pengetahuan mereka dalam

menggunakan dan memilih fasilitas kesehatan yang tepat dalam

mengobati dan merawat pasien jiwa, sehingga bisa mengurangi

beban keluarga karena lebih cepat dan tepat dalam mendapatkan

bantuan dari petugas kesehatan.

d. Pekerjaan

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keluarga pasien jiwa

yang dijadikan sebagai responden sebagian besar (86,1%) bekerja,

Secara umum pekerjaan ini berhubungan dengan pasien yang

mengalami gangguan jiwa, tentunya memerlukan waktu luang yang

69
cukup bagi keluarga sehingga bisa mengatur waktu pekerjaan

dengan merawat pasien.

e. Hubungan dengan pasien

Hubungan keluarga dengan klien didapatkan bahwa sebagian

besar (25,0%) mempunyai hubungan dengan klien sebagai kakak

(saudara). Hal ini merupakan dukungan keluarga internal, seperti

dukungan dari ayah atau ibu, suami atau istri, atau dukungan dari

saudara kandung (Friedman, 1998).

Hasil penelitian Sari (2009) bahwa beban keluarga akan

dirasakan lebih berat pada individu yang mempunyai hubungan

langsung dengan klien. Hasil penelitian yang didapatkan ini

menggambarkan bahwa hubungan dengan klien ini walaupun

terkategori cukup dekat, tetapi pengembangan koping keluarga

sudah cukup baik.

2. Gambaran Dukungan Keluarga Berdasarkan Hasil Penelitian yang

meliputi Dukungan Emosional, Dukungan Informasi, Dukungan

Penilaian, Dukungan Instrumental

a. Dukungan Emosional

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diruangan Kenari dan

ruangan Sawit di RSKD DADI Prov. Sulsel,didapatkan sebagian

besar responden yang memberikan dukungan emosional yang baik

kepada anggota keluarga mereka yang sakit yakni sebanyak 28

70
orang (77,8%), sedangkan responden yang memberi dukungan

cukup sebanyak 6 orang (16,7%), dan responden yang

memberikan dukungan kurang sebanyak 2 orang (5,6%).

Dukungan emosional yaitu keluarga sebagai sebuah tempat

yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta

membantu penguasaan terhadap emosi (Setiadi, 2008).

Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman,

merasa dicintai saat mengalami depresi (sebagai contoh), untuk itu

keluarga dapat memberikan bantuan dalam bentuk semangat,

empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang

menerimanya merasa berharga (L.Andriani, 2014). Hal ini sejalan

dengan teori yang dikemukakan Wall dalam Padila (2012) bahwa

keluarga disatukan oleh ikatan kebersamaan dan ikatan emosional.

Masing-masing anggota keluarga yang diikat dalam satu ikatan itu

mempunyai peran dan tugas masing-masing anggota keluarga

yang harus dijalankan. Untuk menjalankan peran dan tugas

masing-masing anggota keluarga dibutuhkan adanya komunikasi

yang melibatkan emosi.

b. Dukungan Informasi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diruangan Kenari dan

ruangan Sawit di RSKD DADI Prov. Sulsel,didapatkan sebagian

besar responden yang memberikan dukungan informasi yang baik

kepada anggota keluarga mereka yang sakit yakni sebanyak 23

71
orang (63,9%), sedangkan responden yang memberi dukungan

cukup sebanyak 12 orang (33,3%), dan responden yang

memberikan dukungan kurang sebanyak 1 orang (2,8%).

Dukungan informasional merupakan dukungan yang digunakan

oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan yang dihadapi.

Keluarga sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat, yang dapat

berinteraksi lebih dekat dengan pasien menjadi sarana pemberian

nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang

dibutuhkan oleh anggota keluarga yang sakit (Setiadi, 2008).

Umumnya pasien gangguan jiwa belum mampu mengetahui

dan mengatur jadwal dan jenis obat yang akan diminum. Keluarga

harus selalu membimbing dan mengarahkannya, agar klien

gangguan jiwa dapat minum dengan benar dan teratur (Nazir &

Muhith, 2011).

Dari hasil pendataan pada umumnya jawaban yang diberikan

responden perihal dukungan informasi yang diberikan adalah baik

dalam hal memberikan saran kepada anggota keluarga yang sakit

untuk mengikuti pengobatan lanjutan, membimbing anggota

keluarga yang sakit agar meminum obat tepat waktu sesuai

anjuran dokter untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Beberapa

jawaban tidak diberikan pada pernyataan perihal menjelaskan

kepada anggota keluarga yang sakit tentang pentingnya meminum

obat dengan alasan klien sudah tahu tentang pentingnya meminum

72
obat, hanya saja perlu diawasi. Dapat dilihat bahwa komunikasi

atau interaksi antar anggota keluarga juga sangat dibutuhkan

dalam memberikan dukungan informasi dimana keluarga berfungsi

sebagai kolektor dan penyebar informasi, sesuai yang

dikemukakan oleh Setiadi (2008).

Dengan demikian bantuan berupa dukungan informasi yang

diberikan oleh keluarga dapat dikatakan sangat dibutuhkan oleh

pasien dimana individu tersebut dapat diberi informasi oleh

keluarga dan diarahkan sehingga pasien dapat menanggulangi

persoalan yang dihadapi.

Jadi dapat dikatakan bahwa keluarga sebagai sumber informasi

bagi anggota keluarga yang sakit yakni keluarga membimbing

individu tersebut untuk meminum obat sesuai anjuran dokter,

minum tepat waktu, benar dan teratur agar dapat mencegah

terjadinya kekambuhan yang bisa terjadi apabila individu tidak

meminum obat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Yudi Pratama (2013) yang menyatakan bahwa apabila

dukungan keluarga baik maka pasien tidak mengalami

kekambuhan, sebaliknya jika dukungan keluarga buruk maka

pasien mengalami kekambuhan.

c. Dukungan Penilaian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di ruangan Kenari dan

ruangan Sawit di RSKD DADI Prov. Sulsel,didapatkan sebagian

73
besar responden yang memberikan dukungan penilaian yang

cukup kepada anggota keluarga mereka yang sakit yakni sebanyak

16 orang (44,4%), sedangkan responden yang memberi dukungan

baik sebanyak 13 orang (36,1%), dan responden yang memberikan

dukungan kurang sebanyak 7 orang (19,4%).

Dukungan penilaian keluarga juga merupakan salah satu

bentuk dari dukungan sosial. Keluarga bertindak dalam

memberikan pujian, penilaian yang positif, membimbing serta

memberikan kepercayaan terhadap pasien. Penilaian yang

diberikan dalam bentuk penilaian positif karena memberikan

pengaruh yang sangat berarti bagi anggota keluarga yang sakit.

Dengan begitu, individu akan merasa termotivasi dengan adanya

support, penghargaan dan perhatian yang diberikan oleh orang-

orang terdekat (Friedman, 2010).

Dukungan penilaian yang keluarga berikan berupa dukungan

penilaian positif dari keluarga, misalnya memberi pujian saat

individu yang sakit mampu meminum obat sendiri tepat waktu dan

benar tanpa disuruh, Memberikan kesempatan kepada pasien

dalam memutuskan atas kesadaran dirinya untuk patuh berobat,

serta memberikan kepercayaan kepada pasien untuk melakukan

aktifitas sehari-hari seperti aktifitas di luar rumah dengan tetap

dalam bimbingan keluarga dan aktifitas membantu pekerjaan

dalam rumah. Namun pada lokasi penelitian ditemukan banyak

74
responden memberi jawaban tidak perihal memberikan

kepercayaan kepada anggota keluarga yang sakit untuk

menjalankan aktivitas sehari-hari, dengan alasan bahwa takut akan

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Seperti yang dikemukakan M. Sandy Fitra (2013) dalam

penelitiannya bahwa sikap positif yang diberikan keluarga dapat

mempengaruhi anggota keluarga yang sakit untuk menjalani

perawatan rutin dan lanjut setiap bulannya, dan mempengaruhi

kepatuhan untuk meminum obat sesuai anjuran dokter.

d. Dukungan Instrumental

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di ruangan Kenari dan

ruangan Sawit di RSKD DADI Prov. Sulsel,didapatkan sebagian

besar responden yang memberikan dukungan instrumental yang

cukup kepada anggota keluarga mereka yang sakit yakni sebanyak

27 orang (75,0%), sedangkan responden yang memberi dukungan

baik sebanyak 7 orang (19,4%), dan responden yang memberikan

dukungan kurang sebanyak 2 orang (5,6%).

Salah satu bentuk dari dukungan sosial adalah dukungan

instrumental meliputi fungsi ekonomi dan fungsi perawatan

kesehatan kepada anggota keluarga yang sakit. Fungsi ekonomi

dan fungsi perawatan yang baik akan mempertahankan keadaan

kesehatan anggota keluarga. Bentuk ini mencakup

ketersediaannya obat-obatan dan peralatan yang memadai untuk

75
perawatan kesehatan bagi anggota keluarga yang sakit (Friedman,

2010). Salah satu contoh dari bentuk dukungan ini adalah keluarga

menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan oleh anggota keluarga

yang sakit. Obat-obat yang disediakan adalah obat-obat yang

dianjurkan oleh dokter.

Namun berdasarkan penelitian Kaplan dan Sadock (2006),

menunjukkan 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit

dan menjalani perawatan dirumah tidak meminum obat secara

teratur. Padahal sangat penting untuk meminum obat secara

teratur untuk mengurangi kekambuhan. Dapat dikatakan bahwa

dukungan instrumental sangat penting untuk menunjang proses

penyembuhan bagi pasien gangguan jiwa.

Berhubung dengan fungsi perawatan dari hasil peneltian rata-

rata responden yang didapat, rata-rata responden adalah wanita

yang pada kebanyakan adalah ibu rumah tangga. Jika dikaitkan

dengan karakteristik responden berdasarkan hubungan dengan

klien dan umur serta jenis kelamin dapat disimpulkan bahwa yang

paling memberikan dukungan instrumental perihal mengantar

anggota keluarga yang sakit ke rumah sakit adalah wanita yang

notabene adalah keluarga inti dari pasien yang secara umum

pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga.

76
C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian dalam prosesnya tentu mempunyai keterbatasan. Dalam hal

ini peneliti memiliki beberapa keterbatasan dalam melakukan penelitian,

diantaranya:

1. Waktu

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memiliki keterbatasan waktu,

dimana hanya dalam waktu 1 minggu peneliti harus mendapatkan

sampel yang telah ditentukan.

2. Tempat

Tempat dalam hal ini adalah ruangan, dimana peneliti hanya bisa

melakukan penelitian di dua ruangan saja, yang artinya akan sulit bagi

peneliti untuk mendapatkan responden (anggota keluarga) yang

sesuai dengan kriteria inklusi dan sulit untuk mendapatkan sampel

yang telah ditentukan.

Akan tetapi dengan berbagai cara yang dilakukan, peneliti bisa

mendapatkan jumlah responden yang sesuai dengan kriteria inklusi

dan sesuai dengan sampel yang dibutuhkan.

77
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan pada

bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Teridentifikasi dukungan emosional keluarga terhadap pasien

gangguan jiwa dapat dikategorikan baik.

2. Teridentifikasi dukungan informasi keluarga terhadap pasien

gangguan jiwa dapat dikategorikan baik.

3. Teridentifikasi dukungan penilaian keluarga terhadap pasien gangguan

jiwa dapat dikategorikan cukup.

4. Teridentifikasi dukungan instrumental keluarga terhadap pasien

gangguan jiwa dapat dikategorikan baik.

5. Setelah menganalisis keempat sub bab dukungan keluarga, maka

dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga pada pasien gangguan

jiwa di RSKD PROVINSI SUL-SEL saat ini belum sampai pada

kategori baik untuk bisa dijadikan alternatif untuk kesembuhan pasien,

karena masih dipengaruhi oleh kurangnya motivasi berupa pujian dan

kepercayaan yang diberikan oleh keluarga terhadap anggota keluarga

yang mengalami gangguan jiwa

B. Saran

78
Terkait dengan simpulan hasil penelitian, terdapat beberapa hal yang

dapat disarankan demi keperluan pengembangan dari hasil penelitian ini.

1. Bagi RSKD DADI Prov. Sulsel

Pihak RSKD DADI Prov. Sulsel hendaknya bisa meningkatkan

pelayanan keperawatan jiwa, terutama intervensi untuk keluarga

pasien yang diharapkan mampu lebih meningkatkan dukungan

keluarga khususnya pada dukungan penilaian keluarga .

2. Bagi Institusi Pendidikan

Pendidikan ilmu keperawatan diharapkan mampu memanfaatkan hasil

penelitian ini sebagai konsep awal dalam mengembangkan kurikulum

pembelajaran keperawatan sebagai topik bahasan, baik dalam kelas

maupun lahan praktik di masyarakat secara langsung.

3. Bagi Keluarga pasien

Perlu adanya peningkatan dukungan instrumental, dukungan

penilaian, dukungan emosional dan dukungan informasi dalam

merawat anggota keluarga yang sakit di rumah, terumata pada

dukungan instrumental.

4. Bagi Peneliti selanjutnya

Diharapkan ada penelitian lanjutan dengan desain yang lebih bisa

mengkuantifikasi secara tepat dukungan keluarga yang cukup sulit

untuk diukur dengan subyektifitas tiap keluarga yang bervariasi.

79

Anda mungkin juga menyukai