Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa menurut (UU No. 18 tahun 2014) adalah kondisi

dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual,

dan social sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat

mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan

kontribusi untuk komunitasnya. Kondisi perkembangan yang tidak sesuai

pada individu disebut gangguan jiwa (Jamila Kasim, 2019).

Menurut Torrey dalam Kristian, dkk (2020) Kehadiran Skizofrenia

dalam keluarga merupakan stressor yang sangat berat yang harus ditanggung

keluarga. Hal ini membuat keseimbangan keluarga sebagai suatu system

mendapatkan tantangan yang sangat besar. Bilamana suatu system

mendapatkan tantangan atau ancaman, system akan bereaksi dengan

berusaha mengamankan dan mengkonsolidasikan energi untuk menghadapi

ancaman tersebut, hal inilah yang biasanya membuat keluarga cemas dan

berusaha mencari bantuan dari luar. Adanya anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa, maka akan mempengaruhi keharmonisan pada

keluarga tersebut. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan

skizofrenia dapat meningkatkan stress dan kecemasan keluarga.

Menurut hasil penelitian Purba, dkk (2020), Keluarga adalah aspek

penting dalam proses pemulihan orang dengan skizofrenia. Keluarga sebagai

sumber dukungan dibutuhkan oleh pasien setiap hari untuk menyelesaikan

proses penyembuhan mereka. Keluarga dalam pemulihan orang dengan

1
skizofrenia, yaitu: (1) pengawasan minum obat, (2) memberikan perawatan

yang berkesinambungan dan optimal, dan (3) memberdayakan orang dengan

skizofrenia. Keluarga mengalami beban yang sangat besar dan mempunyai

dampak negatif. Beban yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi

perawatan penderita gangguan jiwa. Keluarga yang merawat anggota

keluarga yang dengan skizofrenia mengalami gangguan psikologis seperti:

stres, frustasi, kurangnya interaksi sosial, harga diri menurun, depresi dan

kecemasan.

Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak yang ditimbulkan oleh

adanya ketidakseimbangan pada dopamin yang merupakan salah satu sel

kimia dalam otak (Masriadi, 2016). Skizofrenia dapat dialami oleh siapa saja

dengan latar belakang apa saja. Adanya salah satu anggota keluarga yang

mengalami skizofrenia dapat menimbulkan kecemasan dan bisa

menimbulkan stress pada keluarga. Kecemasan dapat ditimbulkan oleh

beberapa faktor seperti stresssor keluarga, sumber pengetahuan dan sikap

keluarga terhadap kecemasan keluarga. Dampak kecemasan yang dialami

keluarga dapat berlanjut pada kondisi kelelahan, gangguan fisik, psikologis,

serta kertidakberdayaan keluarga dalam menghadapi kondisi kecemasan

tersebut. Prevalensi kejadian kecemasan cukup tinggi dimana hampir lebih

dari 350 juta penduduk dunia mengalami kecemasan dan merupakan

penyakit dengan peringkat ke-4 di dunia menurut WHO (2020).

Menurut WHO (2010), secara umum akibat yang dirasakan oleh

keluarga dengan adanya anggota keluarga mengalami gangguan jiwa yaitu

tingginya beban ekonomi, beban emosi keluarga, stres terhadap perilaku

pasien yang terganggu, gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah


2
tangga seharihari dan keterbatasan melakukan aktivitas sosial. Pandangan

masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa yaitu dianggap gangguan jiwa

adalah aib bagi pasien dan keluarganya. Hal ini menyebabkan masih banyak

keluarga yang menyembunyikan bahwa anggota keluarganya mengalami

gangguan jiwa. Keluarga merasa kecewa, malu dan putus asa. Gangguan

dalam hubungan keluarga, keterbatasan melakukan aktivitas sosial, pekerjaan

dan hobi, kesulitan keuangan, dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik

keluarga termasuk dalam beban sosial ekonomi keluarga. Selain itu perasaan

kehilangan, cemas, sedih dan maalu terhadap masyarakat sekitar, stres

menghadapi gangguan perilaku dan frustasi akibat perubahan pola interaksi

dalam keluarga merupakan beban psikologis (Ngadiran et al., 2010).

Data Kemenkes tahun 2018 terdapat 74% orang yang menderita

kecemasan yang tidak ditangani. Di Indonesia, prevalensi kecemasan berada

di angka 13,4 dari seluruh penduduk jiwa (Pusdatin Kemenkes RI, 2018).

Hingga saat ini penanganan penderita penyakit Skizofrenia belum

memuaskan terutama di negara berkembang, ini disebabkan karena

ketidaktahuan keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa ini

(Hawari, 2014).

Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang

sangat signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah

penderita gangguan jiwa bertambah. Menurut data WHO (2016) terdapat

sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 orang terkena bipolar, 21 juta

terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Berdasarkan data dari

World Health Organisasi (WHO 2015), ada sekitar 478,5 juta orang didunia

yang mengalami gangguan jiwa (Melisa, 2016).


3
Provinsi Sumatera Barat berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota

Padang tahun 2020 Kota Padang peringkat pertama di antara daerah lain

yaitu sebanyak 1.999, di ikuti kabupaten Padang Pariaman sebanyak 1.678

orang, dan Kabupaten Agam sebanyak 1.536 orang. Terdapat peningkatan

jumlah kunjungan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan di Kota

Padang dari 53.177 kunjungan pada tahun 2020 menjadi 58.809 kunjungan

pada tahun 2021, atau terjadi peningkatan sebesar 10,6% peningkatan

tersebut yang terdiri dari beberapa wilayah kerja puskesmas yang ada di Kota

Padang seperti di Wilayah Kerja Puskesmas Naggalo Padang berada pada

posisi pertama (109 orang) setelah Wilayah Kerja Puskesmas Alai (75 orang)

yang berada pada posisi ketiga Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir (60

orang).

Meningkatnya penderita gangguan jiwa dapat menimbulkan stigma,

tidak hanya penderita saja yang mengalami stigma tetapi keluarga penderita

juga menerima stigma. Stigma adalah persepsi negatif, perasaan, emosi, dan

sikap menghindar dari masyarakat yang dirasakan keluarga sehingga

menimbulkan konsekuensi baik secara emosional, sosial, interpersonal,

finansial, dan kecemasan (Yusuf, PK, & Nihayati, 2015).

Kecemasan terjadi ketika seseorang menghadapi suatu masalah dan

merasa tidak aman terhadap lingkungan sekitar atau situasi yang sedang

dihadapi. Kecemasan yaitu respon emosional yang menyebabkan perasaan

khawatir gelisah, takut, tidak tentram dan situasi tidak aman atau gangguan

sakit (Sulastri et al, 2019). Menurut Kristiani (2017) kecemasan merupakaan

perasaan subjektif yang berhubungan dengan ketegangan mental, perasaan

gelisah dan reaksi atas ketidakmampuan menghadapi masalah atau merasa


4
tidak aman. Kecemasan diartikan juga sebagai suatu keadaan khawatir bahwa

suatu hal yang buruk akan terjadi (Mahrifatulhijah, et.al, 2019).

Keluarga sering merasakan kecemasan dalam menghadapi anggota

keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Kecemasan yang dirasakan

dapat berupa; adanya perasaan cemas, adanya ketegangan, adanya rasa

ketakutan, adanya gangguan tidur, adanya gangguan kecerdasan, adanya

perasaan depresi dan gejala-gejala tingkat kecemasan lainnya yang dirasakan

keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

(Ika Guswani, 2019).

Menurut Comer dalam Hardiansyah. T (2018) kecemasan merupakan

masalah psikososial yang sering terjadi pada setiap orang. Pada keluarga

dengan skizofrenia, masalah psikososial kecemasan muncul sebagai reaksi

dari stress akibat beban ekonomi dan perawatan yang tinggi, beban

psikologis keluarga, penurunan kualitas hidup anak dan keluarga, serta

dukungan sosial yang berkurang. Kecemasan adalah perasaan takut yang

tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi.

Keluarga merupakan bagian yang terpenting untuk membentuk

kebudayaan yang sehat. Keluarga dijadikan unit pelayanan karena masalah

kesehatan keluarga saling berkaitan satu sama lain mempengaruhi antara

sesama anggota keluarga dan juga akan mempengaruhi keluarga yang ada di

sekitarnya (Harnilawati, 2013)

Keluarga mempunyai peran penting dalam penanganan anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Pengetahuan keuarga merupakan

faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan sesorang.

Pengetahuan yang didasari dengan pemahaman yang tepat akan


5
menumbuhkan perilaku baru yang diharapkan, khususnya kemandirian dalam

melakukan perawatan pasien skizofrenia terutama terkait dengan kepatuhan

dalam pengobatan pasien skizofrenia (Stuart, 2016)

Pengetahuan keluarga merupakan awal usaha memberikan iklim

kondusif bagi anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Sebab

keluarga adalah orang yang sangat dekat dengan pasien serta dianggap paling

banyak memberikan pengaruh pada kehidupan individu pasien yang

mengalami gangguan jiwa. Selain pengetahuan keluarga terhadap anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa, sikap yang diberikan keluarga

sangat berpengaruh terhadap proses kesembuhan dan dalam memberikan

perawatan kepada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Ayub,

2018).

Pengetahuan keluarga yang baik secara umum akan memberikan

pandangan yang menggembirakan kepada pasien dalam memperluas

inspirasi dan kewajiban dalam menyelesaikan pertimbangan mandiri

(Muntiaroh et al., 2013). Keluarga akan memiliki sikap toleran terhadap

pasien, menganggap pasien sebagai kerabat dan mendorong perilaku

bertanggung jawab terhadap pasien untuk membuat disposisi keluarga yang

positif. Pengetahuan keluarga sangat penting untuk membantu pasien

berbaur, membangun lingkungan yang stabil, menghargai pasien dan

membantu mengatasi masalah pasien. Menurut Hawari (dalam Wiyati, R.

et al. 2010), salah satu hambatan dalam upaya kesehatan jiwa ialah

pengetahuan keluarga

Sikap merupakan konsep yang sangat penting dalam komponen

sosio-psikologis, karena merupakan kecenderungan bertindak, dan


6
berpersepsi. Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau

objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang

bersangkutan senang, tidak senang, setuju, tidak setuju, baik, tidak baik dan

sebagainya (Notoatmojo, 2014)

Sikap negatif yang diberikan oleh keluarga pada anggota keluarga

yang mengalami gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada penderita saja,

melainkan juga berdampak pada persepsi negatif dalam merawat penderita

gangguan jiwa (Fitriani, 2017). Sikap negatif keluarga dengan anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa sering kali menganggap penderita

sebagai aib bagi keluarga dan sering kali penderita disembunyikan dari

masyarakat sehingga anggota keuarga akan semakin mengalami isolasi

social sehingga terhambatnya proses penyembuhan penderita (Afrina, et al,

2019)

Penelitian Istiqomah (2016) hubungan pengetahuan dan sikap

keluarga dengan kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa di Poli Jiwa Rumah Sakit Khusus Daerah Dadi

Provinsi Sulawesi Selatan di dapatkan gasil penelitian lebih banyak

responden pengetahuan baik dengan kecemasan ringan sebanyak 21

responden dengan nilai ρ = 0.005 yang berarti ρ < α = 0.05. Penelitian ini

menunjukkan lebih banyak responden sikap positif dengan kecemasan ringan

sebanyak 22 responden dengan nilai ρ = 0.042 yang berarti ρ < α = 0.05.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuli

Permata Sari (2019), tentang hubungan pengetahuan dan sikap keluarga

dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Sijunjung. Terdapat hubungan


7
yang signifikan antara pengetahuan keluarga dengan kecemasan dalam

merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan ρ value =

0.000

Penelitian (Wulandari et al, 2016) mengatakan bahwa keluarga adalah

pendukung utama. Jika salah satu anggota keluarga menderita gangguan

jiwa, maka akan mempengaruhi tingkat stress dan kecemasan keluaga.

Dalam kondisi seperti ini keluarga harus memiliki respon yang baik seperti

memberikan dukungan sosial keluarga pada penderita.

Hasil penelitian Asriani tahun 2020 hubungan tingkat pengetahuan

terhadap sikap masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa menunjukkan

dari 99 responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak

(64,4%), dan responden yang memiliki sikap negative sebanyak (55,5%).

Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,000 ˂ α (0,05), terdapat

hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan terhadap sikap

masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dian tahun 2018 hubungan

pengetahuan dengan sikap keluarga merawat klien dalam mengendalikan

halusinasi di unit poliklinik jiwa RSJ. Prof. Hb. Sa’anin Padang didapatkan

Hasil penelitian menunjukkan 53,3% responden tergolong rendah

pengetahuan tentang merawat klien halusinasi, 61,1% responden negative

sikap klien dalam menangani halusinasi. Hasil analisis bivariat dengan nilai

p= 0,025 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

tingkat pengetahuan terhadap keluarga dengan keluarga dalam merawat klien

sikap halusinasi.

8
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada tanggal 8

desember 2022, kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa sebanyak 7 keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas

Nanggalo Tahun 2023 dengan system wawancara di dapatkan data 5

keluarga mengatakan merawat klien dengan gangguan jiwa sangat tidak enak

karena bisa mengganggu kenyamanan dan ketenangan lingkungan sekitar,

misalnya klien teriak pada malam hari pada saat tetangga sedang tidur.

Berbagai resiko yang dihadapi keluarga dalam merawat klien dengan

gangguan jiwa, seperti saat pasien kambuh dan menyerang anggota keluarga

yang tinggal serumah. Sudah menjadi hal biasa melihat tingkah laku pasien

yang suka bicara sendiri, marah-marah dan keluyuran. Keluargapun tidak

mengambil pusing dengan perilaku klien selama hal itu tidak membahayakan

dirinya dan orang lain. Tetapi keluarga sering menegur bahwa hal itu tidak

benar ketika melihat klien bicara sendiri dan tertawa tanpa ada hal yang lucu.

Sedangkan 2 dari 7 keluarga mengatakan mereka mengetahui cara

perawatan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga

mengatakan ada memiliki rasa cemas namun tingkat kecemasan keluarga

tidak terlalu tinggi, dikarenakan Keluarga mengatakan saat penyakitnya tidak

kambuh, dia dapat diajak ngobrol, membantu kegiatan dirumah seperti

menyapu halaman dan mencuci baju. Saat pasien kambuh keluarga kesulitan

membujuk pasien untuk melakukan kebutuhannya setiap hari seperti makan,

minum, mandi dan mengganti pakaian. Hal ini disebabkan kurangnya

kemampuan komunikasi dari klien, klien kurang berkonsentrasi, gelisah, dan

mudah tersinggung dengan perkataan orang lain, orientasi tempat, waktu dan

orang yang kurang baik. Keluarga mengatakan tidak punya banyak waktu
9
untuk memperhatikan pasien karena keluarga sibuk bekerja, perilaku klien

yang aneh dan menjengkelkan kadang membuat keluarga tidak sabar

menghadapinya.

Berasarkan fenomena dan studi pendahuluan yang peneliti lakukan,

maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan

Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Dalam

Merawat Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Wilayah

Kerja Puskesmas Nanggalo Tahun 2023”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan

dalam penelitian ini adalah, “Apakah ada Hubungan Pengetahuan dan Sikap

Keluarga dengan Tingkat Kecemasan dalam Merawat Anggota Keluarga yang

Mengalami Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang

Tahun 2023”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat

kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan

jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang Tahun 2023.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui distribusi frekuensi penegtahuan keluarga dalam merawat

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja

Puskesmas Nanggalo Padang Tahun 2023.

10
b. Diketahui distribusi frekuensi sikap keluarga dalam merawat anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja

Puskesmas Nanggalo Padang Tahun 2023.

c. Diketahui distribusi frekuensi tingkat kecemasan yang mengalami

gangguan jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas nanggalo Padang Tahun

2023.

d. Diketahui distribusi frekuensi Hubungan Pengetahuan Keluarga

dengan Tingkat Kecemasan Dalam Merawat Anggota Keluarga yang

Mengalami Ganggua Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo

Padang Tahun 2023.

e. Diketahui distribusi frekuensi Hubungan Sikap Keluarga Dengan

Tingkat Kecemasan Dalam Merawat Anggota Keluarga yang

Mengalami Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo

Padang Tahun 2023.

f. Diketahui distribusi frekuensi Hubungan Pengetahuan Dan Sikap

Deangan Tingkat Kecemasan Dalam Merawat Anggota Keluarga

Yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Wilayah Kerja Puskesmas

Nanggalo Tahun 2023

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Tempat Penelitian

Penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan penerapan Pengetahuan

Dan Sikap Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Dalam Merawat

Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Wilayah Kerja

Puskesmas Naggalo Padang Tahun 2023, khususnya terhadap keluarga

yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.


11
2. Bagi Intitusi Pendidikan

Menambah referensi Pustaka, khususnya buku tentang pengetahuan dan

sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Sebagai data dan hasil

penelitian yang dapat dijadikan dasar atau data mendukung untuk

penelitian selanjutnya.

3. Bagi Peneliti

Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang Hubungan

Pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam

merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dan

mengembangkan kemampuan peneliti menyusun suatu penelitian.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Keluarga

1. Pengertian

Keluarga adalah persekutuan dua orang atau lebih individu yang terkait oleh

darah, perkawinan atau adopsi yang membentuk satu rumah, saling berhubungan

dalam lingkup peraturan keluarga serta saling menciptakan dan memelihara

budaya (Abi Muslihin, 2012).

Keluarga adalah sekelompok manusia yang terkait dengan emosi, yang

biasanya hidup bersama dalam rumah tangga (Abi Muslihin, 2012).

Keluarga terdiri atas individu yang bergabung bersama oleh ikatan

pernikahan, darah atau adopsi dan tinggal dalam suatu rumah tangga yang sama

(Friedman, 2016). Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan sebuah

kelompok kecil yang terdiri atas beberapa individu yang mempunyai hubungan

erat satu sama lain dan saling bergantung, serta diorganisasi dalam satu unit

tunggal dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Ah. Yusuf, 2015).

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya

dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu

membentuk homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota

keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota

13
kelurganya dari gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional

anggota keluarganya. Usaha kesehtan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai

dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah

menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif bagi anggota

keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental ( Notosoedirdjo & Latipun,

2005 ).

2. Bentuk Keluarga

Tipe dan bentuk keluarga menurut Friedman, 1986 (dalam Ali, 2010) terdiri

atas:

a) Keluarga inti (Nuclear Family). Terdiri dari orang tua dan anak yang masih

menjadi tanggungannya dan tinggal dalam satu rumah, terpisah dari sanak

keluarga yang lainnya.

b) Keluarga besar (Exstended Family). Satu keluarga yang terdiri dari satu atau

dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah dan saling menunjang satu

sama lain.

c) Single parent family. Satu keluarga yang dikepalai oleh satu kepala keluarga

dan hidup bersama dengan anak-anak yang masih bergantung padanya.

d) Nuclear dyed. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri tanpa anak,

tinggal dalam satu rumah yang sama.

e) Blended family. Suatu keluarga yang terbentuk dari perkawinan pasangan,

yang masing-masing pernah menikah dan membawa anak hasil perkawinan

terdahulu

f) Three generation family. Keluarga yang terdiri dari tiga generasi, yaitu

kakek, nenek, bapak, ibu dan anak dalam satu rumah

g) Single adult living alone. Bentuk keluarga yang hanya terdiri dari satu orang
14
dewasa yang hidup dalam rumahnya.

h) Middle age atau elderly couple. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami

istri paruh baya.

3. Peran Keluarga

Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat,

kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu.

Peran individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari

keluarga, kelompok dan masyarakat.

Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut:

a) Peran ayah : sebagai suami dan ayah dari anak-anaknya, berperan

sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman,

sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta

sebagai anggota masyarakat dari lingkunganya.

b) Peran ibu : sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai

peran untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik

anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan

sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya,

disamping itu ibu juga berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam

keluarganya.

c) Peran anak : anak-anak melaksanakan peran psiko-sosial sesuai dengan

tingkatanperkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.

Keliat (2012), mengemukakan pentingnya peran serta keluarga dalam

perawatan klien gangguan jiwa yang dapa dipandang dari berbagai segi :
15
Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan

interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan suatu sistem yang

saling bergantung dengan anggota keluarga yang lain Pelayanan kesehatan jiwa

bukan tempat klien semur hidup tetapi fasilitas yang hanya membantu klien dan

keluarga sementara.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab

gangguan jiwa adalah keluarga yang pengetahuannya kurang.

4. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga adalah :

a. Fungsi Afektif

Berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, sebagai basis kekuatan

keluarga. Fungsi afektif berguna untuk memenuhi kebutuhan psikososial

terutama bagi klien gangguan jiwa. Keberhasilan melaksanakan fungsi

afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota

keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan iklim yang

positif. Hal tersebut dapat dipelajari dan dikembangkan melalui interaksi

dan hubungan dalam keluarga. Dengan demikian, keluarga yang ebrhasil

melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga dapat

mengembangkan konsep diri positif.

b. Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam melaksanakan fungsi

afektif adalah :

1) Saling mengasuh, cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling

mendukung antara keluarga dengan anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa, sehinggatercipta hubungan yang hangat

dan saling medukung Saling menghargai, keluarga harus menghargai,


16
mengakui keberadaan dan hak anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa serta selalu mempertahankan iklim positif.

2) Ikatan kekeluargaan yang kuat dikembangkan melalui proses

identifikasi dan penyesuaian pada berbagai aspek kehidupan anggota

keluarga terutama pada anggota keluarga yang mengalami gangguan

jiwa yang sangat membutuhkan perhatian dan dukungan dari

keluarganya. Keluarga harus mengembangkan proses identifikasi

yang positif sehingga anggota keluarga dapat meniru tingkah laku

yang positif tersebut.

5. Fungsi Sosialisasi

Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui setiap

anggota keluarganya, yang mengahasilkan interaksi sosial. Pada anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa, keluarga berperan untuk

membimbing anggota keluarga tersebut untuk mau bersosialisasi dengan

anggota keluarga yang lain dan lingkungan sekitarnya. Keberhasilan

perkembangan yang dicapai oleh anggota keluarga melalui interaksi atau

hubungan antara anggota keluarga yang diwujudkan dalam sosialisasi.

6. Fungsi Ekonomi

Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan

seluruh anggota keluarga terutama anggota keluarga yang mengalami gangguan

dan perawatan selama dirawat dirumah sakit jiwa maupun dirawat dirumah.

Keluarga menyediakan semua perlengkapan yang dibutuhkan anggota keluarga

yang mengalami gangguan jiwa.

7. Fungsi Perawatan Kesehatan

Keluarga juga berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan dan


17
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Kemampuan

keluarga dalam memberikan asuhan keperawatan mempengaruhi status

kesehatan keluarga. Kesanggupan keluarga melaksankana pemeliharaan

kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan.

Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup

menyelesaikan masalah kesehatan.

8. Tugas Kesehatan Keluarga

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas

dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Friedman (dalam

Setiadi 2008) membagi tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus

dilakukan, yaitu :

1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya

Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak

langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka

apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan

terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar

perubahannya.

2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi

keluarga

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari

pertolongan yang tepat dan sesuai dengan keluarga, dengan

pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan

memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga maka segera

melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat

dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan


18
sebaiknya meminta bantuan orang lain dilingkungan sekitar keluarga.

3) Memberikan perawatan

Memberikan perawatan diri kepada anggota keluarga yang sakit

terutama anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa atau yang

tidak dapat membantu dirinya sendiri karena gangguan prose pikir,

cacat atau usianya yang terlalu muda/ tua. Perawatan ini dapat

dilakukan dirumah apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan

tindakan untuk pertolongan pertama atau pergi kepelayanan

kesehatan untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang

lebih parah tidak terjadi.

4) Memodifikasi lingkungan

Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan

dan perkembangan kepribadian keluarga.

5) Memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada

6) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga

kesehatan.

9. Dampak Gangguan Jiwa bagi Keluarga

Menurut Wahyu, 2012 dari anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa

bagi keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa dengan:

a. Penolakan

Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan

jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut dan meyakini

memiliki penyakit berkelanjutan. Selama episode akut anggota keluarga

akan khawatir dengan apa yang terjadi padamereka cintai. Pada proses

awal, keluarga akan melindungi orang yang sakit dari orang lain dan
19
menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit untuk perilaku tidak

dapat diterima dan kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada

ketegangan yang bermakna dengan keluarga yang tidak mendukung orang

sakit. Tanpa informasi untuk membantu keluarga belajar untuk mengatasi

penyakit mental, keluarga dapat menjadi sangat pesimis tentang masa

depan. Sangat penting bahwa keluarga menemukan sumber informasi yang

membantu mereka untuk memahami bagaimana penyakit itu

mempengaruhi orang tersebut. Mereka perlu tahu bahwa dengan

pengobatan, psikoterapi atau kombinasi keduanya, mayoritas orang

kembali ke gaya kehidupan normal.

b. Stigma

Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam

anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita tidak

dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya. Menyebabkan

beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk mengundang penderita

dalam kegiatan tertentu. stigma dalam begitu banyak di kehidupan sehari-

hari, tidak mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan dari

aktif berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.

c. Frustasi, tidak berdaya dan kecemasan

Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan tingkah

laku aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan, menakutkan, dan

melelahkan. Bahkan ketika orang itu stabil pada obat, apatis dan

kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota keluarga memahami

kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat menjadi marah-marah,

cemas, dan frustasi karena berjuang untuk mendapatkan kembali ke


20
rutinitas yang sebelumnya penderita lakukan.

d. Kelelahan dan Burn out

Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang

dicintai yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin mulai merasa

tidak mampu mengatasi dengan hidup dengan orang yang sakit yang harus

terus-menerus dirawat. Namun seringkali, mereka merasa terjebak dan

lelah oleh tekanan dari perjuangan sehari-hari, terutama jika hanya ada satu

anggota keluarga mungkin merasa benar-benar diluar kendali. Hal ini bisa

terjadi karena orang yang sakit ini tidak memiliki batas yang ditetapkan di

tingkah lakunya. Keluarga dalam hal ini perlu dijelaskan kembali bahwa

dalam merawat penderita tidak boleh merasa letih, karena dukungan

keluarga tidak boleh berhenti untuk selalu men-support penderita.

e. Duka

Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki penyakit

mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi

dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari kehidupan sehari-hari, dan

penurunan yang dapat terus-menerus. Keluarga dapat menerima kenyataan

penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak dapat disembuhkan. Keluarga

berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk disembuhkan dan melihat

penderita memiliki potensi berkurang secara substansial bukan sebagai

yang memiliki potensi berubah.

f. Kebutuhan pribadi dan mengembangkan sumber daya pribadi

Jika anggota keluarga memburuk akibat stress dan banyak pekerjaan,

menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki sistem

pendukung yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus


21
diingatkan bahwa mereka harus menjaga diri secara fisik, mental, dan

spiritual yang sehat. Memang ini bisa sangat sulit ketika menghadapi

anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan yang

luar biasa bagi keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan mereka tidak

boleh diabaikan (Kurniawan, 2016).

g. Program Untuk Keluarga Gangguan Jiwa

Keluarga sering mengalami stress dan shock ketika terdapat anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Keadaan demikian tentu seperti

snow ball bagi penderita sendiri. Padahal dirinya sendiri (penderita)

membutuhkan keadaan yang mendukung untuk proses kesembuhannya

dari orang-orang terdekat. Pfeff dan Mostek (Sriati, 2000 : 67)

mengidentifikasi kategori program untuk keluarga yaitu :

h. Pemberian kekuasaan

Keluarga perlu belajar menghadapi situasi sulit dengan memberikan

kepada mereka perasaan mampu mengontrol kehidupanya.

i. Pendidikan keluarga

Pendidikan keluarga menjadi intervensi keperawatan primer dalam setting

keperawatan jiwa. Walsh merekomendasikan cara-cara dalam pendidikan

keluarga sebagai berikut:

1) Terima kenyataan apa adanya pada anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa. Tidak ada pilihan lain yang menguntungkan bagi

keluarga kecuali menerima kenyataan. Keputusan memilih diluar hal

tersebut justru semakin memperparah keadaan penderita, dan akan

memperlebar wilayah gangguan jiwa bagi anggota keluarga yang


22
lainya.

2) Rencanakan program perawatan diri.

Keluarga harus mengatur, bagaimana pemenuhan kebutuhan sehari-

hari, agar tercukupi secara memadai bagi anggota keluarganya yang

mengalami gangguan jiwa. Siapa yang bertanggung jawab urusan

tertentu, dan siapa untuk urusan lainnya, termasuk perlibatan

penderita itu sendiri sesuai dengan kemampuannya harus benar- benar

dibicarakan bersama. Disinilah penderita akan mendapatkan “Rasa

nyaman” sebagai jaminan bagi dirinya.

3) Mengerjakan aktivitas personal dan hobby.

Keluarga dalam hal ini, adalah juga sebagai manusia yang juga

membutuhkan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan secara wajar bagi

keseimbangan fisik dan mentalnya. Dalam hal ini, bukan berarti

keluarga dengan anggota keluarga gangguan jiwa, berperilaku tidak

wajar dan memiliki pemenuhan kebutuhan yang tidak sama, justu jika

ingin kembali harmonis dan utuh, maka mereka sebagai keluarga

tetap harus mengerjakan aktivitas personal dan hobby tertentu secara

wajar pula.

4) Terlibat dalam organisasi sosial yang mendukung.

Disinilah urgensi keluarga. Apalagi dengan anggota keluarga

mengalami gangguan jiwa, yang sebenarnya senantiasa akan

membutuhkan support dari lingkungannya. Sarana yang paling

memungkinkan untuk hal tersebut adalah keterlibatan keluarga dalam

aktivitas atau organisasi sosial masyarakat yang mendukung. Hindari

nasihat dan opini dari orang yang tidak mempunyai pengalaman


23
gangguan jiwa.

Sangat mungkin bahwa keluarga akan mendapat komentar minimal

dari orang atau keluarga lain ketika mengetahui adanya anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Komentar yang tidak

produktif atau dapat diprediksi demikian, merupakan langkah untuk

menghindari jika akan mendapat stressortersendiri bagi keluarga,

karena komentar yang berupa nasihat atau opini dari orang lain adalah

sebuah keniscayaan yang tidak akan selalu berhasil ketika terus

menerus menghindari coping. Hal ini merupakan sebuah sikap

semacam lari dari kenyataan.

5) Ingat bahwa kebahagiaan dapat terjadi.

Sengsara atau bahagia sesungguhnya adalah sebuah kemestian.

Kemestian adalah sebuah keputusan pilihan. Untuk itulah keluarga

yang ingin dan memahami dengan baik, serta memiliki kemampuan

untuk berubah, kebahagiaan hidup dalam keluarga adalah sesuatu

yang dapat terjadi, disinilah keluarga sekiranya memilikioptimisme

dan kekuatan untuk melakukan perubahan.

6) Berhenti menyalahkan diri sendiri

Pada satu sisi, begitu kuatnya memori yang ada mengatakan pada

keluarga bahwa gangguan jiwa adalah penyakit yang sangat sulit

disembuhkan. Hal demikian semakin memperkuat dan

memperpanjang perasaan menyalahkan diri sendiri keluarga, yang

pasti bahwapikiran dan perasaan tersebut bagi keluarga justru

semakin tidak menguntungkan. Pemaknaan tersebut harus disadari

oleh keluarga sebagai langkah awal untuk perbaikan dan pemulihan,


24
sehingga ketika perasaan itu muncul tidak ada pilihan lain kecuali

harus menghentikannya (Susana,2007)

10. Koping keluarga

Koping keluarga menunjukan pada analisa kelompok keluarga (analisa

interaksi). Koping keluarga didefinisikan sebagain respon positif yang

digunakan keluarga untuk memecahkan masalah (mengendali stress).

Berkembang dan berubah sesuai tuntutan /stressor yang dialami.sumber koping

keluarga bisa internal yaitu dari anggota keluarga sendiri dan eksternal yaitu

dari luar keluarga (Padila, 2012).

Demikian halnya dengan koping keluarga dapat berupa koping internal

berupa kemampuan keluarga yang kohesif dan terintegrasi yang dicirikan

dimana anggota keluarga memiliki tanggung jawab kuat terhadap keluarga,

mampu memodifikasi peran keluarga bila dibutuhkan (fleksibel) dan pola

komunikasi dalam keluarga yang baik, mengandalkan kelompok keluarga,

penggunaan humor, pengungkapan bersama yang semakin meningkat,

mengontrol arti /makna masalah dan pemecahan masalah bersama. Sedangkan

koping eksternal berhubungan dengan penggunaan sosial support system oleh

keluarga dapat berupa mencari informasi, mencari dukungan social dan mencari

dukungan spiritual (Padila, 2012).

Strategi adaptif disfungsional dapat berupa penyangkalan dan ekploitasi

terhadap anggota keluarga seperti kekerasan terhadap keluarga, kekerasan

terhadap pasangan, penyiksaan anak, penyiksaan usia lanjut, penyiksaan orang


25
tua, proses mengkambing hitamkan dan penggunaan ancaman. Penyangkalan

masalah keluarga dengan menggunakan mitos keluarga, triangling (pihak

ketiga) dan pseudomutualitasi, pisah/hilangnya anggota keluarga dan

otoritarisme (Padila, 2012).

11. Kemampuan Keluarga Merawat Anggota Keluarganya yang mengalami

Gangguan Jiwa

Dari hasil penelitian Sulastri (2018), diperoleh bahwa kemampuan

merawat pasien gangguan jiwa relative rendah dan kurang memadai.

Pemberian edukasi memberikan informasi pada keluarga tentang cara

perawatan pasien gangguan jiwa. Melalui aktivitas ini terjadi proses

pembelajaran yang dilakukan oleh keluarga dengan menyerap informasi yang

diberikan dan mengaplikasikan langsung pada anggota keluarga. Pengetahuan

yang dimiliki keluarga masih terbatas, pasien perlu berobat agar tidak kambuh.

Sebagian keluarga tidak memperhatikan apakah obat diminum pasien

atau tidak.Keluarga menganggap apabila gejala berkurang berarti pasien sudah

sembuh sehingga tidak perlu diberikan obat lagi. Keluarga masih belum

memahami tentang cara merawat anggota keluarganya yang mengalami

gangguan jiwa. Keluarga juga masih menganggap apabila pasien tidak

membahayakan maka pasien tidak perlu dikhawatirkan. Pemahaman sebagian

keluarga yang masih belum tepat tentang perawatan pasien mengakibatkan

sikap yang negative terhadap pasien.Sikap negative keluarga terhadap pasien

dapat dilihat dari anggapan bahwa penyakit yang dialami pasien adalah

penyakit yang menetap dan tidak dapat disembuhkan sehingga keluarga

cenderung membiarkan pasien asalkan tidak mengganggu.Sikap negative


26
keluarga terhadap pasien dapat berakibat timbulnya perilaku merawat yang

tidak tepat.

Keluarga berperan dalam menentukan keberhasilan asuhan keperawatan

pada pasien yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga yang mendukung

pasien secara konsisten akan membuat pasien mempertahankan program

pengobatan secara optimal.

12. Cara Keluarga Merawat Anggota Keluarganya Yang Mengalami

Gangguan Jiwa

Keluarga memiliki peranan penting terhadap anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa dalam proses pengobatan dan penyembuhan. Ada

beberapa cara yang mengatasinya, antara lain sebagai berikut :

a. Mempelajari Tentang Penyakit Mental dan Layanan Bagi keluarga

penderita gangguan jiwa bisa memperoleh manfaat dari pendidikan

yang sangat membantu dalam memahami gangguan jiwa yang

seringkali membingungkan. Pendidikan tersebut nantinya bisa

mengajarkan beberapa hal seperti:

1) Ciri ciri depresi berat dan tanda yang bisa menyebabkan masalah

pada individu dan apa saja yang terlihat menakutkan sekaligus

ganjil untuk anggota keluarga lain.

2) Mencari penyebab mengapa seseorang tidak melihat ada sesuatu

yang salah pada diri mereka.

3) Alasan mengapa seseorang penderita gangguan jiwa menolak

untuk mencari bantuan seperti dokter atau pusat kesehatan mental.

4) Keterampilan manajemen diri sendiri yang bisa dipakai seseorang

untuk mengatasi penyakit.


27
5) Penggunaan tentang obat tertentu dan apa saja efek sampingnya.

b. Melibatkan Penderita Dalam Rencana Perawatan Keluarga juga harus

bisa berkomunikasi dengan penderita supaya bisa membantunya untuk

mencari bantuan.Beberapa langkah alternatif bisa diambil keluarga

yang sesuai dengan perundang undangan saat penderita tidak setuju

atau tidak mau mencari bantuan.

c. Identifikasi Tanda Peringatan dan Gejala Kambuh Keluarga juga harus

bisa belajar tentang bagaimana seharusnya memberikan umpan balik

untuk anggota keluarganya yang memperlihatkan tanda dan gejala

seperti gangguan mood dalam psikologi dari kemungkinan gangguan

jiwa kambuh sekaligus mengidentifikasi dan meminimalisir hal yang

bisa menyebabkan tekanan terlalu banyak pada penderita sehingga

meningkatkan kemungkinan gangguan jiwa kambuh kembali.

d. Mengelola Obat Keluarga juga memegang peran penting dalam

membantu anggota keluarga dalam rutinitas pengobatan seperti

informasi mengenai cara untuk memfasilitasi mengkonsumsi obat

dengan teratur, belajar mengenai cara menghadapi efek samping

sekaligus membantu penderita dengan cara bekerja sama dengan dokter

untuk mengetahui efek samping.

e. Bekerja Sama Dengan Anggota Keluarga Lain Keluarga juga

dianjurkan untuk mengetahui rencana darurat termasuk langkah yang

harus dilakukan saat seseorang terkena atau merasakan serangan dari

gangguan jiwa pada manusia modern seperti dengan cara memberi

peningkatan pengobatan, menghubungi dokter keluarga atau psikiater

dan lain sebagainya. Untuk penekanannya harus dilakukan pada


28
pengembangan rencana aksi yang memungkinkan situasi nantinya bisa

ditangani dengan baik. Setiap anggota keluarga juga harus membuat

rencana yang meliputi informasi tentang pengobatan terkini, nama dan

rincian kontak para profesional kesehatan dan kejiwaan setempat serta

serangkaian langkah lainnya yang harus diikuti. Masing masing

anggota keluarga nantinya memegang peranan penting untuk merawat

seseorang seperti apakah dibutuhkan perawatan rumah sakit atau masih

bisa dirawat secara mandiri.

f. Membantu Menumbuhkan Hidup Kondusif

Keluarga juga harus bisa menumbuhkan gaya hidup yang kondusif

untuk pemulihan dan juga pemeliharaan kesehatan mental yang terbaik

dan beberapa cara yang bisa dilakukan diantaranya adalah:

1) Memberikan kebebasan

2) Memberikan dukungan sosial pada keluarga

3) Mengikutsertakan dalam latihan, kegiatan sosial, pekerjaan,

sekolah dan kegiatan lainnya.

g. Perawatan Sesudah Rawat Inap Sesudah anggota keluarga menjalani

rawat inap, maka dibutuhkan cara untuk merawat anggota keluarga

tersebut untuk membantu proses penyembuhan macam macam

skizofrenia dan gangguan jiwa lainnya. Beberapa cara yang bisa

dilakukan diantaranya adalah:

1) Membuat rencana dengan terapis atau tim perawat saat

penderita sedang dalam kondisi terbaik dan jika

memungkinkan menentukan apa yang menjadi penyebab dari

rawat inap tersebut sekaligus menyetujui tindakan apabila


29
gejala terjadi kembali.

2) Belajar tentang kambuhnya gejala seperti perubahan pola tidur

dan kebiasaan makan, perubahan suasan hati yang terjadi

secara tiba tiba dan langsung melakukan kunjungan ke

psikiater yang bisa membantu mencegah kekambuhan semakin

parah.

3) Saat tidak bisa menghadapi sebuah situasi seperti agresif atau

ide bunuh diri, maka segera hubungi dan berkonsultasi dengan

tenaga profesional atau organisasi kesehatan mental.

h. Pendekatan Dengan Penderita Anggota keluarga yang dekat dengan

seseorang yang sedang sakit sangat dibutuhkan untuk pemberian

perawatan agar kondisi penderita tidak semakin buruk. Menghadapi

seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak harus dilakukan

dengan perasaan sakit hati, marah, frustasi atau cemas meskipun rasa

bersalah memang menjadi perasaan umum yang sering dialami anggota

keluarga penderia gangguan jiwa.

i. Jangan Menghakimi Terkadang, penderita gangguan jiwa sering

mengalami hilang ingatan, menunjukkan perilaku abnormal atau tidak

mampu untuk berkonsentrasi yang terkadang terlihat menakutkan dan

membuat anggota keluarga lain frustasi.Peran keluarga disini adalah

tidak bersikap keras dan jangan memaksa penderita untuk berjuang

dengan keras. Cukup berikan informasi secara berulang kali namun

dengan cara baik dan tidak menghakimi yang akan lebih membantu

penderita gangguan jiwa dibandingkan dengan penekanan yang

diberikan terus menerus.


30
j. Terima Persepsi Penderita Seorang penderita gangguan jiwa seringkali

berhalusinasi, melihat, merasakan atau mendengar hal hal yang tidak

bisa dirasakan oleh orang lain. Hal yang harus dilakukan anggota

keluarga adalah menerima persepsi individu tersebut namun tetap

memberikan penjelasan jika anda tidak merasakan hal yang seperti

dialami, dilihat atau dirasakan orang tersebut.

k. Perlakukan Dengan Rasa Hormat Memperlakukan anggota keluarga

yang sedang mengalami gangguan jiwa juga harus dilakukan secara

bermartabat dan dengan rasa hormat dalam cara mengatasi stres dan

depresi serta masalah gangguan jiwa seseorang. Konsultasikan dan

bicarakan segala sesuatu yang sudah anda rencanakan kepada penderita

untuk mendapatkan perawatan terbaik.

l. Mencari Dukungan Pertimbangkan juga untuk bergabung dengan grup

atau kelompok sebab anda juga membutuhkan dukungan dari orang

lain yang mengalami hal serupa dengan yang anda alami yakni

memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Hal ini sangat

penting dilakukan agar lebih menguatkan anggota keluarga lainnya

khususnya saat timbul perasaan ingin menjauh dan mengasingkan diri

karena masalah tersebut sehingga anda tetap bisa memberikan

dukungan dan bantuan pada anggota keluarga yang sedang mengalami

gangguan jiwa.

B. Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
31
sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi

terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui oleh

indra pendengaran (telinga), dan indra penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang

tehadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda

(Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental

merupakan awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota

keluraganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan

kesehatan mental anggota keluarga, juga dapat menjadi sumber problem bagi

anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya

( Notosoedirdjo & Latipun, 2005).

Penelitian ini diperkuat berdasarkan penelitian dari badan National Mental

Health Association/NMHA (2001), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian

ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga

menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah

sembuh kembali. Namun faktanya, NMHA mengemukakan bahwa orang yang

mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan

aktivitasnya (Foster, 2001). Tanpa adanya pemahaman yang jernih mengenai

masalah gangguan jiwa yang dihadapi keluarga akan dapat menimbulkan

kecemasan dan hal ini didukung oleh adanya penelitian yang dilakukan oleh

Brown & Bradley (2002) pada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa dan didapatkan bahwa kecemasan keluarga akan

semakin meningkat tanpa pengetahuan yang baik mengenai masalah gangguan

jiwa yang dihadapi keluarga (Simanjuntak, 2006)

2. Pengetahuan keluarga merawat Gangguan jiwa


32
Pengetahuan keluarga merupakan awal usaha memberikan iklim

kondusif bagi anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Sebab keluarga

adalah orang yang sangat dekat dengan pasien serta dianggap paling banyak

memberikan pengaruh pada kehidupan individu pasien.

Keluarga sangat penting dalam membantu perawatan dan penyembuhan

penderita gangguan jiwa (Ayub 2018). Keluarga merupakan unit paling dekat

dengan penderita, dan merupakan perawat utama bagi penderita. Keluarga

berperan dalam menentukan cara atau perawatan yang diperlukan penderita di

rumah (Taufik, 2014). Adakalanya keluarga masih kurang aktif untuk menjaga

dan merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa terkadang

pasien cenderung di isolasi, dilarang keluar, keluarga cenderung menutup diri

karena merasa malu dan ingin menitipkan keluarganya untuk dirawat di Rumah

sakit jiwa sehingga memperberat gejala yang timbul.

Ada beberapa hal yang bisa memicu depresi pada ODGJ, antara lain

penderita tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur,

menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan

dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat

dapat memicu stress (Saragih & Indriati, 2013). Tidak dapat dipungkiri

keluarga juga akan mengalami keterbatasan pengetahuan dalam merawat

pasien dan mengalami tekanan saat mendapati bahwa salah satu anggota

keluarganya mengalami gangguan jiwa. Tekanan ini akan menjadi sumber

stress bagi para anggota dalam keluarga tersebut. Sementara itu, bagi keluarga

yang rentan terhadap stress atau depresi, tentunya akan menggangu peran

mereka sebagai system support yang berujung pada semakin tidak stabilnya

penderita gangguan jiwa dalam proses penyembuhan (Aprilis, 2017).


33
3. Tingkat Pengetahuan

Dalam buku Notoatmodjo, 2010, pengetahuan di bagi dalam 6 tingkat

yakni:

a. Tahu ( know), diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang

telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau

mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-

pertanyaan, dengan menggunakan kalimat tanya 5W+1H.

b. Memahami (comprehension), memahami suatu objek bukan sekedar tahu

terhadap objek tersebut, tidak sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut

harus dapat mengintreprestasikan secara benar tentang objek yang

diketahui tersebut.

c. Aplikasi (application), diartikan apabila orang yang telah memahami objek

yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang

diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis), adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan

atau memisahkan kemudian, kemudian mencari hubungan antara

komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang

diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada

tingkat analisi adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan atau

memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap

pengetahuan atas objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis), menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk

merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari

komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Misalnya dapat

membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang


34
hal-hal yang telah dibaca atau didengar dan dapat membuat kesimpulan

tentang artikel yang telah dibaca.

f. Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek terentu.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Jamila (2019) :

a. Tingkat pendidikan, yakni upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga

terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat.

b. Informasi, seseorang yang mendapatkan informasi lebih banyak akan

menambah pengetahuan yang lebih luas.

c. Pengalaman, yakni sesuatu yang pernah di lakukan seseorang akan

menambah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat informal.

d. Budaya, tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi

sikap dan kepercayaan.

e. Sosial ekonomi yakni kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan

hidupnya.

Sedangkan factor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Maliono

dalam kutipan Jamila (2019) adalah :

1) Sosial ekonomi

Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang

bila ekonomi baik, tingkat pendidikan tinggi tingkat pengetahuan akan

tinggi pula.

2) Kultur (budaya dan agama)

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang

karena informasi yang baru akan di saring sesuai atau tidaknya dengan
35
budaya apapun agama yang di anut.

3) Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan maka akan mudah menerima hal baru dan

akan mudah menyusaikan dengan hal yang baru tersebut. d. Pengalaman

Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan individu,

pendidikan yang tinggi, maka pengalaman akan lebih luas, edangkan

semakin tua umur seseorang maka pengalamannya akan semakin banyak.

C. Sikap

1. Pengertian sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat

langsung dilihat, tetapi hanya hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari

perilaku yang tertutup. Komponen pokok dari sikap menurut Allport dalam

Notoatmodjo (2010) yaitu : Kepercayaan (keyakinan, ide) dan konsep

terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu

objek dan ecendrungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen

ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atittude). Dalam

penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi

memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2010)

2. Sikap keluarga dalam menangani keluarga yang ganguan jiwa

Ketika pasien depresi berat dipandang sebagai suatu beban tersendiri

bagi keluarga yang merawat, maka hal itu dapat dibedakan menjadi bersifat
36
obyektif dan subyektif. Dikatakan obyektif, berupa tingkah laku pasien,

peran pasien, bantuan untuk memenuhi kebutuhan pasien, masalah keuangan

dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat subyektif berupa perasaan pasien

karena menjadi beban bagi keluarga menurut (Keliat, 2012) :

1) Keluarga diharapkan mengetahui cara merawat pasien depresi berat

sehingga mampu merawat di rumah

2) Keluarga hendaknya memantau dan memfasilitasi ODGJ dengan

depresi berat dalam minum obat, hal ini dimaksudkan obat yang

diminum adalah tepat sesuai instruksi dokter dan apakah ada efek

samping dari konsumsi obat dan rutin mengajak klien untuk kontrol.

3) Keluarga diharapkan mengetahui keadaan yang membuat klien

kambuh, hal ini dimaksudkan meminimalisir stresor yang menjadi

penyebab klien merasa tertekan secara psikologis. Keadaan tertekan

secara psikis yang berkepanjangan akan memicu kekambuhan klien.

4) Keluarga hendaknya membantu klien untuk tetap sembuh dengan cara

melibatkan dalam aktifitas sehari-hari, fokuskan untuk memperbaiki

perilaku klien, hindari konflik, ajarkan perilaku hidup sehat

3. Tingkatan sikap

Sikap terdiri dari 4 tingkatan (Notoatmodjo, 2010), yaitu :

1) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

2) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.


37
3) Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4) Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.

Pengukuran sikap secara langsung dapat ditanyatakan bagaimana

pendapat/pernyataan responden terhadap suatu objek. Pertanyaan secara

tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis

kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner

(Notoatmojo, 2010).

4. Sikap Keluarga Terhadap Anggota Keluarga Yang Mengalami

Gangguan Jiwa

Ketika gangguan jiwa dipandangan sebagai suatu beban sendiri bagi

keluarga, maka hal itu dapat dibedakan menjadi bersifat obyektif dan

subyektif. Dikatakan obyektif, maksudnya berupa tingkah laku pasien, peran

pasien, bantuan untuk memenuhi kebutuhan pasien, masalah keuangan dan

lain-lain. Sedangkan beban keluarga dikatakan bersifat subyektif, maksudnya

berupa perasaan pasien karena menjadi beban bagi keluarga. Kategori respon

keluarga terhadap anggota keluarga dengan gangguan jiwa menurut Dian

(2018):

a. Berduka (grief)

Berduka adalah respon wajar yang paling umum terjadi sehubungan

dengan adanya proses kehilangan seseorang yang awalnya dikenal


38
sebelum sakit, untuk kemudian hilangnya harapan pada pasien, hanya

masalahnya, seberapa dalam dan lamanya respon berduka ini dialami

oleh keluarga, seawal mungkin perawat mampu mengidentifikasinya,

sehingga keluarga maupun pasien sendiri dapat pulih dengan segera.

b. Marah (anger)

Respon berikutnya ketika berduka dialami keluarga, maka akan

berhadapan dengan respon kedua yaitu marah. Respon tersebut

merupakan hal yang wajar namun jangan sampai perilaku tersebut

membawa keluarga kedalam penderitaan yang justru semakin parah

lagi.

c. Merasa tidak berdaya dan takut

Keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa

merupakan suatu beban tersendiri. Keluarga berupaya untuk mengobati

atau menyembuhkan pasien skizofrenia. Pada kenyataanya patologis

gangguan jiwa itu sendiri semakin lama diderita justru semakin sulit

kesembuhannya, inilah yang menyebabkan keluarga merasa tidak

berdaya dan takut. Perasaan keluarga demikian, di negara kita juga

didukung oleh rata-rata keadaan ekonomi yang pas-pasan bahkan

kekurangan, sehingga sangat wajar, apabila tidak sedikit mereka yang

terganggu jiwanya menjadi gelandangan atau keluyuran dimana-mana

atau tersangkut oleh razia dinas sosial (Permatasari, 2014)

D. Kecemasan

1. Pengertian

Dalam Ns.Kusnadi Jaya (2018) adalah gangguan alam perasaaan yang

ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan


39
berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian

masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu, tetapi masih dalam batas-batas

normal. Kecemasan (ansietas) juga dapat didefenisikan sebagai suatu keadaan

dimana seseorang merasa tidak nyaman dan adanya tekanan system saraf

otonom dalam aktivitas rangsang akibat ancaman yang tidak diketahui.

Sumbernya biasanya tidak dikenal secara pasti. Kecemasan merupakan turunan

dari rasa takut yang sudah dikenalnya.

Menurut Lilik Ma’rifatul azizah, dkk (2016) kecemasan merupakan

emosi, perasaan yang timbul sebagai respon awal terhadap stress psikis dan

ancaman terhadap nilai-nilaiyang berarti bagi individu. Kecemasan sering

digambarkan sebagai perasaan yang tidak pasti, ragu-ragu, tidak berdaya,

gelisah, kekhawatiran, tidak tentram yang sering disertaikeluhan.

Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak

berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kondisi dialami

secara objektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Kecemasan

adalah respons emosional terhadap penilaian tersebut. Kecemasan dapat

dipandang sebagai suatu keadaan ketidakseimbangan atau ketegangan yang cepat

mengusahakan koping. Koping dapat dipandang sebagai suatu transaksi antara

orang dengan lingkungan.

Berdasarkan pembagian usia dewasa menurut Hurlock (2005) yaitu 17-

21 tahun, 41-60 tahun, dan 60 tahun keatas, bahwa subjek dengan rentang usia

17-21 tahun merupakan subjek yang mengalami kecemasan ringan, pada usia 22-

40 tahun subjek yang mengalami kecemasan sedang, pada usia 41-60 tahun

merupakan subjek yang mengalami kecemasan berat, dan pada usia 60 tahun

keatas subjek yang mengalami kecemasan panik.


40
2. Tingkat Kecemasan

Klasifikasi tingkat kecemasan adalah sebagai berikut:

a. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan tekanan kehidupan sehari-hari,

pada tahap ini seseorang menjadi waspada dan lapangan persepsi

meningkat. Penglihatan, pendengaran, dan pemahaman melebihi

sebelumnya. Tipe kecemasan ini dapat memotivasi seseorang untuk belajar

dan tumbuh kreatif. Namun akan membawa dampak pada diri individu

yaitu pada kecemasan ini waspada akan terjadi, mampu menghadapi situasi

yang bermasalah, ingin tahu, mengulang pertanyaan dan kurang tidur.

b. Kecemasan sedang

Fokus perhatian hanya pada yang dekat, meliputi lapangan persepsi

menyempit, lebih sempit dari penglihatan, pendengaran dan pemahaman

orang lain. Dia mengalami hambatan dalam memperhatikan hal-hal

tertentu, tetapi dapat melakukan atau memperhatikan hal-hal itu bila

disuruh, cukup kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam beradaptasi dan

menganalisis, perubahan suara atau nada, pernapasan dan denyut nadi

meningkat serta tremor.

c. Kecemasan berat

Lapangan pandang atau persepsi individu menurun, hanya memfokuskan

pada hal- hal yang khusus dan tidak mampu berpikir lebih berat lagi, dan

membutuhkan pengaturan atau suruhan untuk memfokuskan pada hal-hal

lain, tidak dapat lebih memperhatikan meskipun diberi instruksi,

pembelajaran sangat terganggu; kebingungan, tidak mampu berkonsentrasi,

penurunan fungsi; kesulitan untuk memahami situasi yang dihadapi saat


41
ini, kesulitan untuk memahami dalam berkomunikasi; serta takikardi, sakit

kepala, mual, dan pusing.

d. Panik

Berhubungan dengan ketakutan. Pada tahap ini hal-hal kecil terabaikan dan

tidaklagi dapat diatur atau disuruh. Terjadi peningkatan aktivitas motorik,

menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan

persepsi, tidak mampu mengintegrasikan pengalaman; tidak fokus pada saat

ini, tidak mampu melihat dan memahami situasi.

3. Kecemasan keluarga dalam merawat anggota keluarga gangguan jiwa

Kecemasan keluarga merawat anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa dapat terjadi sebagai proses respon emosional ketika pasien atau

keluarga merasakan ketakutan, kemudian akan diikuti oleh beberapa tanda dan

gejala seperti ketegangan, ketakutan, kecemasan dan kewaspadaan Townsend,

2014 (dalam Pratiwi & Dewi, 2016). Keadaan pasien gangguan jiwa

menyebabkan keluarga pasien mengalami tekanan psikologis (Ronald & Sara,

2010).

Kecemasan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa dapat menjadi sumber masalah klinis jika sudah sampai tingkat

ketegangan yang sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kemampuan

berfungsinya seseorang dalam kehidupan sehari-hari, karena orang tersebut jatuh

kedalam kondisi maladaptif yang dicirikan reaksi fisik dan psikologis ekstrem.

Pengalaman yang menegangkan, tidak dapat diatasi ini merupakan dasar

gangguan kecemasan (Halgin & Whitbourne, 2010).


42
3. Tingkat Kecemasan Menurut HARS (Halminton Anxiety Rating Scale)

Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kecemasan seseorang apakah

ringan, berat, atau sangat berat dengan menggunakan alat ukur (instrument)

yang dikenal dengan nama HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Alat ukur

ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi

dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala

diberi penilain angka (score) antara 0-4, yang artinya adalah :

Nilai 0 = Tidak ada gejala (keluhan)

1 = Gejala ringan

2 = Gejala sedang

3 = Gejala berat

4 = Gejala sangat berat sekali

Penilaian atau pemakaian alat ukur ini dilakukan oleh dokter

(psikiater) atau orang yang telah dilatih untuk menggunakannya melalui

teknik wawancara langsung. Masing masing nilai angka (score) dari ke 14

kelompok gejala tersebut.

dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat

kecemasan seseorang, yaitu:

Total Nilai (Score):

kurang dari 14 = tidak ada kecemasan

14 - 20 = kecemasan ringan

21 – 27 = kecemesan sedang

28 – 41 = kecemasan berat

42 – 56 = kecemasan berat sekali

43
4. Rentang Respon Kecemasan

Menurut Lilik Ma’rifatul azizah, dkk (2016) Rentang kecemasan

berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptive seperti pada gambar

berikut :

Respon adaptif Respon maladaptive

Antisipasi ringan sedang panik


berat

Antisipasi

Suatu keadaan yang digambarkan lapangan persepsi menyatu dengan

lingkungan

a. Cemas Ringan

Ketegangan ringan, pengindraan lebih tajam dan menyiapkan diri

b. Cemas Sedang

Keadaan lebih cemas dan lebih tegang, lapangan presepsi menyempit

dan mampu memusatkan pada faktor/peristiwa yang penting baginya

c. Cemas Berat

Lapangan ;presepsi sangat sempit, berpusat pada detail yang kecil, tidak

mampu membuat kaitan yang tidak mampu menyelesaikan masalah

d. Panik

Presepsi menyimpang, sangat kacau dan tidak terkontrol.

44
E. Kerangka Teori

Berdasarkan teori diatas maka dapat digambarkan kerangka teori sebagai berikut :

Keluarga

Tipe keluarga:
Dampak keluarga gangguan
a. Keluarga inti jiwa
b. Keluarga besar
c. Single parent family a. Penolakan
d. Nuclear dyed. b. Stigma
e. Blended family c. Frustasi
f. Three generation d. Kelelahan
family e. Duka
g. Single adult living f. Kebutuhan pribadi
alone
h. Middle age

Kecemasan Koping keluraga

45
Tingkat Kecemasan: Faktor yang mempengruhi
kecemasan:
1. Kecemasan
Ringan 1. Pengetahuan
2. Kecemasan 2. Sikap
Sedang 3. Pendidikan
3. Kecemasan Berat 4. Umur
4. Panik 5. Pengalaman

Skema 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Stuart, 2016

46
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan

antara varibel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti). Kerangka

konsep akan membentuk penelitian menghubungkan hasil penemuan dengan

teori (Nursalam, 2017). Berdasarkan latar belakang dan teori pada bab

sebelumnya, peneliti menetapkan pemikiran sebagai berikut: hubungan

pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam merawat

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Maka dapat dirumuskan

kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Kecemasan Keluarga Dalam


1. Pengetahuan Merawat Anggota Keluarga
2. Sikap Yang Mengalami Gangguan
Jiwa

Gambar 3.1

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga dengan Tingkat Kecemasan dalam

Merawat Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja

Puskesmas Nanggalo Padang tahun 2023

47
B. Hipotesis Penelitian
Ho :

1. Diketahui hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam

merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja

Puskesmas Nanggalo Padang tahun 2023.

2. Diketahui hubungan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam

merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja

Puskesmas Naggalo Padang tahun 2023.

Ha :

1. Diketahui hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam

merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja

Puskesmas Nanggalo Padang tahun 2023.

2. Diketahui hubungan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam

merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja

Puskesmas Naggalo Padang tahun 2023.

48
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan desain cross sectional

study, untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat

kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di

Wilayah Kerja Nanggalo Padang tahun 2023, dimana baik variabel independen

maupun variable dependen diambil secara bersamaan dengan mengamati individu

(sampel) dari satu populasi pada periode tertentu.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitan ini dilakukan Februari sampai Maret 2023. Dilaksanakan di di

Wilayah Kerja Nanggalo Padang.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota

keluarga yang memiliki anggota keluarga gangguan jiwa sebanyak 102 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari seluruh objek yang diteliti dan

dianggap untuk mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Dalam


49
Pengambilan sampel ini penulis menggunakan total sampling, dimana

pengambilan sampel dilakukan dengan menunggu petugas yang membawa boot

yang dilakukan selama 3 hari. Untuk menentukan besarnya sampel adalah sebagai

berikut :

D. Kriteria inklusi dan Kriteria eksklusi

1. Kriteria inklusi

a. Keluarga yang memiliki anggota keluarga gangguan jiwa

b. Mampu berkomunikasi dngan baik

2. Kriteria eksklusi

a. Tidak berada di tempat saat kunjungan penelitian

b. Keluarga dalam kondisi sakit

c. Keluarga pasien menolak

d. Tidak bisa tulis dan baca

E. Definisi Operasional

Table 3.3
Definisi Operasional
Definisi Cara Alat Skala
Variabel Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur Ukur

Kecemasa Suatu Kuesioner Ordinal 1. Kurang dari 14 Ordi


n keluarga respon dengan Tidak cemas
2. Dikatakan nal
dalam yang skala
merawat dialami HARS cemas ringan
anggota oleh 14-20,
keluargany keluarga 3. cemas
sedang 21-27,
a yang dalam
4. cemas berat
mengalami merawat 28-41
gangguan anggota
50
jiwa keluargany 5. cemas sangat
a yang berat 42-56
mengalami
ganggu
an jiwa
Independen Pengetahuan Wawancara Kuision 1. Tinggi bila Ordinal
nilai jawaban
Pengetahuan keluarga er
≥ 17
dalam 2. Rendah bila
nilai jawaban
merawat
< 17
anggota (Guswati, 2019)
keluarganya
yang
mengalami
gangguan
jiwa
Sikap Respon yang Wawancara Kuision 1. Baik bila Ordinal
nilai jawaban
diberikan er
≥ 38
keluarga 2. Kurang baik
bila nilai
kepada
jawaban < 38
anggota (Guswati, 2019)
keluarganya
yang
mengalami
gangg

F. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan instrumen data berupa kuesioner

dengan menggunakan pertanyaan dan pernyataan terkait dengan penelitian,

kuesioner yang digunakan yaitu:


51
1. Kuesioner Pengetahuan

Kuesioner yang digunakan adalah skala gutman. Skala ini bertujuan untuk

mengetahui pengetahuan keluarga dalam merawat anggota 57 keluarganya yang

mengalami gangguan jiwa. Kuesioner ini terdiri dari 15 pertanyaan, terbagi atas 2

pilihan jawaban dengan skor tertinggi yaitu 2 dan skor terendah yaitu 1.

Dikatakan

2 jika menjawab benar dan dikatakan 1 jika menjawab tidak benar.

Dibuktikan dengan rumus :

(jumlah pertanyaan x skor terendah) + (jumlah pertanyaan x skor tertinggi)

Jawaban: (11x1)+ (11x2) = 11+22

= 33 : 2 = 16,5 di bulatkan 17

Sehingga dikatakan tinggi jika skor ≥ 17 dan dikatakan rendah jika skor < 17

2. Sikap

Kuesioner yang digunakan adalah skala likert. Skala ini bertujuan untuk

mengetahui sikap keluarga dalam merawat anggota keluarganya yang

mengalami gangguan jiwa. Kuesioner ini terdiri dari 11 pertanyaan, terbagi atas

5 pilihan jawaban sangat setuju (4), setuju (3), tidak setuju (2), dan sangat tidak

setuju (1). Dibuktikan dengan rumus :

(jumlah pertanyaan x skor terendah) + (jumlah pertanyaan x skor tertinggi)

52
2

Jawaban: (15x1)+ (15x4) = 15+60

= 75 : 2 = 37,5 di bulatkan 38

Sehingga dikatakan baik jika skor ≥ 38 dan kurang baik jika skor < 38

3. Kuisioner kecemasan

Kuesioner yang digunakan adalah skala HARS. Skala ini digunakan untuk

mengetahui kecemasan keluarga dalam merawat anggota keluarganya yang

mengalami gangguan jiwa. Kuesioner ini terdiri dari 14 pertanyaan, terbagi atas

5 pilihan jawaban yaitu tidak ada (0), ringan (1), sedang (2) berat (3) dan sangat

berat (4). Dimana penentuan derajat ditentuakan dengan cara menjumlahkan

nilai skor dari 14 item yaitu dikatakan tidak cemas jika skornya 42.

G. Uji Validitas dan Reabilitas

1. Uji validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar

mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2012). Alat ukur menggunakan

kuesioner yang sudah tervaliditas oleh Nursalam (2017) untuk kuesioner

pengetahuan dan sikap. Adapun nilai r < 0,05 maka pertanyaan dinyatakan

tidak valid atau didasarkan pada nilai r = 0,001, dimana pertanyaan

dinyatakan valid apabila r=0,001 hitung > r=0,001 tabel pada taraf

signifikasi 5% sehingga pertanyaan dapat di gunakan untuk mengumpulkan

data penelitian adapun nilai r < 0,05 maka pertanyaan dinyatakan tidak valid

53
atau didasarkan pada nilai r = 0,001, dimana pertanyaan dinyatakan valid

apabila r=0,001 hitung > r=0,001 tabel pada taraf signifikasi 5% sehingga

pertanyaan dapat di gunakan untuk mengumpulkan data penelitian

2. Uji Reabilitas

Uji realibilitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah

instrument yang digunakan telah realibel. Suatu alat yang dikatakan realibel

alat itu mengukur suatu gejala dalam waktu berlainan senantiasa

menunjukkan hasil yang sama (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini tidak

dilakukan uji reabilitas karena peneliti menggunakan kuesioner dari peneliti

sebelumnya.

H. Etika penelitian

Menurut Hidayat (2018), penelitian apapun khususnya menggunakan

manusia sebagai objek tidak boleh bertentangan dengan etika, oleh karena itu setiap

peneliti menggunakan subjek untuk mendapatkan persetujuan dari subjek yang

diteliti. Peneliti memperhatikan aspek etika responden dengan menekankan masalah

etika yang diteliti.

Responden membaca dan menyetujui maksud dan tujuan dari penelitian

yang dijelaskan oleh peneliti dan yang sudah tertulis di lembaran formulir.

Kemudian mengisi formulir dan memberikan tanda tangan sebagai persetujuan

untuk menjadi responden penelitian. Namun dalam penelitian ini jika ada

54
reponden yang tidak bersedia memberikan tanda tangan akan tetap bersedia

menjadi responden, sehingga peneliti menghormati penuh kemauan responden.

Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak

mencantumkan nama lengkap subyek pada lembar pengumpulan data. Peneliti

memberikan informasi kepada responden untuk mencantumkan inisial nama

saja. Namun jika ada responden yang bersedia mencantumkan nama lengkap,

maka peneliti akan menjaga privasi dari responden

I. Metode Pengumpulan data

1. Jenis Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang didapatkan langsung oleh peneliti

dari responden dengan cara pengukuran tingkat interaksi sosial

menggunakan lembar kuisioner yang dilakukan saat penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data jumlah pasien yang mengalami

gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Naggalo Padang tahun

2023.

2. Teknik Pengumpulan Data

Tahap-tahap dalam pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah:

a. Mengurus surat izin untuk pengumpulan data penelitian ke Puskesmas

Naggalo Padang

55
b. Setelah mendapat surat izin peneliti melakukan penelitain dengan

menunggu keluarga yang datang ke puskesmas untuk membawa

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa berobat ke

puskesmas

c. Kemudian peneliti melakukan meminta persetujuan menjadi respon

kepada keluraga

d. Menjelaskan kepada keluarga tentang tujuan penelitian

e. Kemudian peneliti meminta kepada kelurag untuk mengisi kuisioner

penelitian

3. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul,diolah terlebih dahulu dengan tujuan untuk

menyederhankan seluruh data yang terkumpul dan menyajikan dalam bentuk

susunan yang baik dan rapi, selanjutnya dianalisis dengan komputerisasi.

Pengolah data dilakukan dengan menggunakan komputer dengan tahap-tahap

sebagai berikut.

a. Memeriksa data (Editing)

Editing ini dilakukan untuk memastikan bahwa data yang

dikumpulkan sudah lengkap dan untuk menterjemahkan semua variabel

sesuai dengan tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan dan diperiksa

yaitu pengukuran tingkat berbicara responden yang diisi oleh peneliti yang

konsisten dan sesuai dengan hasil pengukuran selama penelitian.


56
b. Memasukan data (Entry data)

Data yang dimasukan kedalam master tabel untuk dianalisa

c. Pembersihan data (cleaning data)

Data yang di entry diperriksa kembali untuk memastikan bahwa sata

bersih dari kesalahn sehingga siap dianalisa. Data yang diperoleh

merupakan hasil pengukuran tingkat berbicara responden selama

penelitian. Hasil pengukuran tersebut dihubungkan untuk menguji

hipotesa penelitian sehingga dapat diketahui adanya hubungan antara

variable dependen dengan independen.

J. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Peneliti melakukan analisa univariat dengan cara analisis statistik

deskriptif meliputi nilai mean,median, dan standar deviasi dari setiap

variabel. Tujuan Analisa data adalah untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara variabel

indenpenden dengan variabel dependen dengan menggunakan uji

Spearman Rank, dengan derajat kepercayaan 95% atau nilai p= 05. Untuk

melihat hasil kemaknaan statistik digunakan batas kemaknaan α= 05

sehingga jika nilai p ≤ 05 maka statistic disebut bermakna, jika nilai P >
57
05 maka hasil hitungan disebut tidak bermakna, pengolahan data dibantu

dengan system komputerisasi.

58

Anda mungkin juga menyukai