Anda di halaman 1dari 26

FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GANGGUAN KESEHATAN

MENTAL PADA USIA DEWASA AWAL DI POLI KEJIWAAN RSUD PASAR MINGGU JAKARTA
TAHUN 2019

RISK FACTORS ASSOCIATED WITH MENTAL HEALTH DISORDERS IN THE ADULTHOOD


AT THE PHYCHIATRIC POLYCLINIC PASAR MINGGU HOSPITAL IN JAKARTA IN
2019

Adinda Ziska Triana, Fajaria Nurcandra, Agustina, Dyah Utari


Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, UPN ‘Veteran’ Jakarta
dindaziskatriana@gmail.com

Abstrak

Gangguan kesehatan mental adalah suatu keadaan yang mengindikasikan individu mengalami
ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan. Prevalensi global
gangguan kesehatan mental seperti depresi sebesar 4,4% dan gangguan kecemasan sebesar 3,6%.
Indonesia sendiri memiliki prevalensi nasional penderita gangguan mental sebesar 7%. Penelitian ini
ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor risiko kejadian gangguan kesehatan mental di RSUD Pasar
Minggu Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode kasus kontrol dengan perbandingan kasus dan
kontrol yaitu 1:4 dengan total sampel 110 orang. Kelompok kasus merupakan pasien yang terdiagnosis
mengalami gangguan mental di poli kejiwaan, sedangkan kelompok kontrol merupakan pasien yang tidak
terdiagnosis mengalami gangguan mental. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam
medik dan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan cara univariat dan bivariat menggunakan uji chi-
square. Hasil dari penelitian ini didapatkan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan
mental adalah status pekerjaan (p=0,016; OR=3,632; 95% CI=1,366-9,565), status pernikahan (p=0,001;
OR=5,5; 95% CI= 1,492-20,278), genetik (p=0,001; OR=24,630; 95% CI=6,558-92,498), kebiasaan
olahraga (p=0,011; OR=9,248; 95% CI=0,088-0,694), konsumsi napza (p=0,001; OR=6,500; 95%
CI=2,373-17,808), status merokok (p=0,001; OR=17,000; 95% CI=2,111-136,914), pola asuh (p=0,001;
OR=12,250; 95% CI=4,185-35,860), dukungan keluarga (p=0,001; OR=7,635; 95% CI=2,742-21,259),
hubungan keluarga (p=0,001; OR=13,500; 95% CI=4,123-44,198), dan hubungan teman/tetangga
(p=0,039; OR=3,024; 95% CI=1,159-7,887).

Kata kunci : Gangguan mental, faktor risiko, dewasa awal

Abstract

Mental health disorders are a condition that indicates individual experience in adjusting
environmental demands and condition. Prevalence global of mental health disorders such as depresion
as much 4,4% and anxiety disorders as much 3,6%. Indonesia itself has a national prevalence of people
with mental disorders as much 7%. This research intended to knowing risk factors for the incidence of
mental health disorders at Pasar Minggu Hospital in Jakarta.. This study used a case control method
with a comparation 1:4, case and control comparation sample of 110 people. The case group is a patient
diagnosed with mental health disorders in phychiatric polyclinic, while the control group is a patient who
is undiagnosed mental health disorders. The instrument used in this study is the medical record and
questionnare. Data analisis was done by univariate and bivariate using the chi-square test. The result of
this study found risk factors related to mental disorders was works (p=0,016; OR=3,632; 95% CI=1,366-
9,565), marriages (p=0,001; OR=5,5; 95% CI= 1,492-20,278), genetics (p=0,001; OR=24,630; 95%
CI=6,558-92,498), sport habbit (p=0,011; OR=9,248; 95% CI=0,088-0,694), drugs consumption
(p=0,001; OR=6,500; 95% CI=2,373-17,808), smoking (p=0,001; OR=17,000; 95% CI=2,111-
136,914), care pattern (p=0,001; OR=12,250; 95% CI=4,185-35,860), family support (p=0,001;
OR=7,635; 95% CI=2,742-21,259), family relations (p=0,001; OR=13,500; 95% CI=4,123-44,198), and
friends and neighbors relations (p=0,039; OR=3,024; 95% CI=1,159-7,887).

Keyword : Mental health disorders, risk factors, and early adult

Pendahuluan gangguan kecemasan sebesar 3,6% (WHO,


Gangguan kesehatan mental adalah 2016). Jumlah penderita depresi terus
suatu fenomena, pola perilaku atau kondisi meningkat lebih dari 18% diantara tahun
psikologi seseorang yang secara klinis dan 2005 dan 2015. Depresi sendiri merupakan
khas berkaitan dengan suatu gejala seperti penyebab terbesar terjadinya kecacatan di
distress, impairment, atau bahkan disability seluruh dunia. Lebih dari 80% penyakit ini
di dalam satu atau lebih fungsinya dalam dialami oleh orang-orang yang tinggal di
segi perilaku psikologis seseorang dalam negara yang berpenghasilan rendah dan
hubungan antara individu tersebut dengan menengah (WHO, 2017). Angka kejadian
masyarakat (Maslim, 2002). Keadaan ini depresi sendiri menginjak sekitar 35 juta
menjadikan seseorang mengalami orang, bipolar mempunyai angka sekitar 60
keabnormalan dan ketidakmampuan dalam juta orang, dimensia mempunyai angka
menyesuaikan diri terhadap kondisi sekitar 47,5 juta orang, sampai gangguan
lingkungan tuntutan kehidupan yang mental berat seperti skizofrenia yang
mengakibatkan ketidakmampuan dalam mempunyai angka sekitar 21 juta orang
melakukan hal-hal tertentu (Kartono, 2000). (WHO, 2016).
Keabnormalan dan ketidakmampuan terlihat Menurut World Health Organization
dari berbagai gejala, gejala yang paling (WHO) gangguan mental yang sering terjadi
sering terjadi diantaranya adalah rasa cemas, adalah depresi dan gangguan kecemasan.
rasa putus asah, rasa lemah, murung, Prevalensi di dunia yang menderita depresi
gelisah, histeria, tidak mampu mencapai sebesar 4,4%, disusul yang mengalami
tujuan, rasa takut, mempuyai pikiran-pikiran gangguan kecemasan sebesar 3,6% (WHO,
yang buruk, ketegangan (intension), 2016). Jumlah penderita depresi terus
melakukan perbuatan-perbuatan yang meningkat lebih dari 18% diantara tahun
terpaksa (convulsive) dan sebagainya 2005 dan 2015. Depresi sendiri merupakan
(Yosef, 2007). Gangguan jiwa juga dapat penyebab terbesar terjadinya kecacatan di
menyebabkan perubahan perilaku yang seluruh dunia. Lebih dari 80% penyakit ini
bermakna, serta dapat menimbulkan dialami oleh orang-orang yang tinggal di
penderitaan dan hambatan dalam negara yang berpenghasilan rendah dan
menjalankan fungsi orang sebagai manusia menengah (WHO, 2017). Angka kejadian
(Undang-Undang No.18 Tahun 2014). depresi sendiri menginjak sekitar 35 juta
Menurut World Health Organization orang, bipolar mempunyai angka sekitar 60
(WHO) gangguan mental yang sering terjadi juta orang, dimensia mempunyai angka
adalah depresi dan gangguan kecemasan. sekitar 47,5 juta orang, sampai gangguan
Prevalensi di dunia yang menderita depresi mental berat seperti skizofrenia yang
sebesar 4,4%, disusul yang mengalami mempunyai angka sekitar 21 juta orang
(WHO, 2016). Masalah gangguan kesehatan gangguan mental yang sering terjadi pada
mental ini merupakan masalah yang sangat orang dewasa adalah gangguan mental
serius. Ada beberapa yang menjadi faktor emosional dengan gejala kecemasan dan
risiko dan penyebab dari gangguan mental depresi, angka tertinggi didapatkan pada
ini yaitu faktor biologis, psikologis, dan kelompok umur 20–24 tahun, 35–39 tahun
lingkungan sosial (Kemenkes, 2016). dan 40–44 tahun. Asisten rumah tangga
Faktor biologis yang dapat dengan gangguan 2 atau lebih cenderung
menyebabkan gangguan mental yaitu meningkat dengan bertambahnya umur
genetik atau keturunan. Seseorang yang (SKRT, 2004).
memiliki anggota keluarga dengan riwayat Faktor lain yang bisa dilihat adalah
depresi kemungkinan besar akan ikut kompleksnya kehidupan yang terjadi di
mengalami depresi sebesar 20-30%. Sebuah daerah perkotaan seperti urbanisasi yang
penelitian dilakukan di Daerah Istimewa menimbulkan masuknya masyarakat dari
Yogyakarta menyatakan bahwa individu berbagai macam latar belakang sehingga
yang memiliki riwayat keturunan gangguan menimbulkan bentuk konflik kepentingan
mental akan mengalami peluang 3 kali lebih seperti persaingan, kebijakan perkembangan
besar untuk terkena gangguan mental kota terkait pemanfaatan lahan,
dengan prevalensi sebesar 54,2% (Sri, penggusuran, dan juga tidak kalah penting
2015). Kondisi kesehatan fisik juga dapat dilihat dari gangguan jiwa individu seperti
mempengaruhi kesehatan jiwa, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perceraian,
penyakit diabetes, penyakit jantung, dan pemerkosaan, kriminalitas, turunnya nilai
penyakit kronis dapat menimbulkan depresi sosial budaya dan kepedulian sosial, dan lain
(Hurt, 2005). Kondisi riwayat kesehatan sebagainya (Rizal, 2017). Angka gangguan
seseorang yang menderita penyakit kronis, kesehatan mental di Indonesia memang
seperti asma, cenderung akan mendapat stres terbilang tidak cukup besar jika
fisik dan psikologis. Stres psikologis ini dibandingkan dengan angka gangguan
nantinya memiliki kaitan yang erat dengan kesehatan fisik yang lain. Di Jakarta sendiri
keparahan asma dan sebanyak 20% hingga terdapat sekitar 570 ribu penduduk Jakarta
35% dari penderita asma mengakibatkan dengan usia diatas 15 tahun mengalami
rasa tidak nyaman selama periode stres gangguan mental emosional (Rizal, 2017).
(Resti, 2014). Faktor sosial dan juga Dengan angka prevalensi yang
lingkungan dalam masalah kesehatan mental terbilang cukup tinggi untuk sebuah daerah
ini bisa berupa kemiskinan, pendidikan, perkotaan, tentu masalah ini tidak bisa
penggunaan narkoba, konflik keluarga, diremehkan lagi karena gangguan kesehatan
kejadian pemicu stres di lingkungan seperti mental mempunyai dampak yang
stress kerja dan pengangguran (Davies, membahayakan tidak hanya bagi si penderita
2009). sendiri, namun juga berdampak pada
Kelompok masyarakat yang paling kualitas sumber daya manusia bagi negara
rentan terhadap isu kesehatan mental adalah yang jika tidak ditangani dengan serius akan
dewasa (Ilsanty, 2018). Orang dewasa menjadi beban tidak hanya bagi keluarga
merupakan usia produktif yang terbukti tetapi juga Pemerintah. RSUD Pasar Minggu
bahwa masalah kesehatan jiwa banyak Jakarta sendiri memiliki jumlah kunjungan
terjadi pada usia ini (Anonim, 2018). pasien di poli kejiwaan sebanyak hampir
Terdapat 1 dari 4 orang dewasa akan 500 kali kunjungan setiap bulannya dengan
mengalami masalah kesehatan jiwa pada jumlah kasus gangguan mental yang sering
satu waktu dalam hidupnya. Umumnya terjadi adalah skizofrenia. Oleh karena itu,
peneliti bermaksud untuk melakukan bivariat dengan menggunakan uji chi-
penelitian terhadap faktor-faktor risiko yang square. Dilakukan uji validitas dan
berhubungan dengan gangguan kesehatan reliabilitas terlebih dahulu untuk
mental pada usia dewasa awal di poli menentukan apakah kuesioner tersebut layak
kejiwaan RSUD Pasar Minggu Jakarta tahun digunakan atau tidak. Uji validitas dan uji
2019. reliabilitas dilakukan di Puskesmas Jati
Padang. Penilaian kuesioner dengan
Metode Penelitian menggunakan scoring skala likert, yaitu :
Penelitian ini merupakan penelitian a. Pernyataan positif
kuantitatif dengan desain penelitian case Skor 1 : Selalu (SL)
control. Penelitian ini dilakukan di Skor 2 : Sering (S)
Poliklinik Psikiatri RSUD Pasar Minggu Skor 3 : Kadang - Kadang (KK)
Jakarta pada bulan Mei – Juni 2019. Data Skor 4 : Tidak Pernah (TP)
yang digunakan dalam penelitian ini berupa
data primer yang diambil secara langsung b. Pernyataan negatif
melalui kuesioner penelitian di tempat Skor 1 : Tidak Pernah (TP)
penelitian dan data sekunder yang berasal Skor 2 : Kadang - Kadang (KK)
dari RSUD Pasar Minggu Jakarta. Sampel Skor 3 : Sering (S)
pada penelitian ini sebanyak 110 responden Skor 4 : Selalu (SL)
yang terdiri dari 22 kelompok kasus dan 88
kelompok kontrol. Responden diwawancarai Hasil dan Pembahasan
dengan menggunakan kuesioner. Penelitian
ini menggunakan analisis univariat dan Analisis Univariat

Tabel 1 Hasil Analisis Univariat


Gangguan Kesehatan Mental  
Variabel Kasus Kontrol Total
f (%) f (%)
Faktor Sosial Demografi
Jenis Kelamin
Perempuan 12 -54,5 35 -39,8 47 (42,7%)
Laki-laki 10 -45,5 53 -60,2 63 (57,3%)
Usia Responden
< 35 tahun 15 -68,2 31 -35,2 46 (41,8)
≥ 35 tahun 7 -31,8 57 -64,8 64 (58,2%)
Pendidikan
Perguruan Tinggi 5 -22,7 36 -40,9 41 (37,3%)
SMA/Sederajat 13 -59,1 29 -33 42 (38,2%)
SMP 4 -18,2 13 -14,8 17 (15,5%)
SD 0 0 6 -6,8 6 (5,5%)
Tidak Sekolah 0 0 4 -4,5 4 (3,6%)
Status Pekerjaan
Tidak bekerja 11 -50 19 -21,6 30 (27,3%)
Bekerja 11 -50 69 -78,4 80 (72,2%)
Pendapatan
Rendah 17 -77,3 49 -55,7 66 (60%)
Tinggi 5 -22,7 39 -44,3 44 (40%)
Status Pernikahan
Tidak Menikah 10 -45,5 13 -14,8 23 (20,9%)
Menikah 4 -18,2 55 -62,5 59 (53,6%)
Cerai 8 -36,4 20 -22,7 28 (25,5%)
Faktor Biologis
Riwayat Penyakit Kronis
Ya 16 -72,7 87 -98,9 103 (93,6%)
Tidak 6 -27,3 1 -1,1 7 (6,4%)
Genetik
Ya 19 -86,4 18 -20,5 37 (33,6%)
Tidak 3 -13,6 70 -79,5 73 (66,4%)
Faktor Perilaku          
Kebiasaan Olahraga
Ya 16 -72,7 35 -39,8 51 (46,4%)
Tidak 6 -27,3 53 -60,2 59 (53,6%)
Konsumsi Napza
Ya 13 -59,1 16 -18,2 29 (26,4%)
Tidak 9 -40,9 72 -81,8 81 (73,6%)
Status Merokok
Ya 17 -77,3 27 -30,7 44 (40%)
Mantan Perokok 4 -18,2 34 -38,6 38 (34,5%)
Tidak 1 -4,5 27 -30,7 28 (25,5%)
Faktor Sosial          
Pola Asuh
Kurang baik 14 -63,6 11 -12,5 25 (22,7%)
Baik 8 -36,4 77 -87,5 85 (77,3%)
Dukungan Keluarga
Kurang baik 13 -59,1 14 -15,9 27 (24,5%)
Baik 9 -40,9 74 -84,1 83 (75,5%)
Dukungan Masyarakat
(Teman/Tetangga)
Kurang baik 11 -50 23 -26,1
Baik 11 -50 65 -73,9 76 (69,1%)
Hubungan Keluarga
Kurang baik 18 -81,8 22 -75 40 (36,4%)
Baik 4 -18,2 66 -25 70 (63,6%)
Hubungan Masyarakat
(Teman/Tetangga)
Kurang baik 12 -54,5 25 -28,4 37 (33,6%)
Baik 10 -45,5 63 -71,6 73 (66,4%)
Data Primer (2019)
1. Faktor Sosial Demografi Pada kelompok kasus yang memiliki riwayat
a) Jenis Kelamin keturunan atau genetik berjumlah 19 orang
Berdasarkan jenis kelamin yang paling (86,4%) sedangkan pada kelompok kontrol
banyak ditemukan adalah perempuan. Pada berjumlah 18 orang (20,5%).
kelompok kasus berjumlah 12 orang
(54,5%) sedangkan pada kelompok kontrol 3. Faktor Perilaku
berjumlah 35 orang (39,8%). a) Kebiasaan Olahraga
b) Usia Pada kelompok kasus yang memiliki
Responden rata-rata berumur 36 tahun kebiasaan olahraga berjumlah 16 orang
dengan usia termuda adalah 21 tahun dan (72,7%) sedangkan pada kelompok kontrol
tertua umur 45 tahun. Berdasarkan usia yang berjumlah 35 (39,8%).
paling banyak ditemukan pada kategori <35 b) Merokok
tahun dengan jumlah 15 orang (68,2%) Pada kelompok kasus yang mengonsumsi
sedangkan pada kelompok kontrol 31 orang napza berjumlah 13 (59,1%) sedangkan pada
(35,2%). kelompok kontrol berjumlah 16 (18,2%).
c) Pendidikan c) Konsumsi Napza
Berdasarkan pendidikan yang paling banyak Pada kelompok kasus status merokok
ditemukan pada SMA/sederajat dengan berjumlah 17 orang (77,3%) sedangkan pada
jumlah 13 orang (59,1%) sedangkan pada kelompok kontrol berjumlah 27 orang
kelompok kontrol berjumlah 29 orang (30,7%).
(33%).
d) Status Pekerjaan 4. Faktor Sosial
Pada kelompok kasus status tidak bekerja a) Pola Asuh
berjumlah 11 orang (50%) sedangkan pada Pada kelompok kasus pola asuh yang kurang
kelompok kontrol berjumlah 19 orang baik berjumlah 14 orang (63,6%) sedangkan
(21,6%). pada kelompok kontrol berjumlah 11
e) Status Pernikahan (12,5%).
Pada kelompok kasus status tidak menikah b) Dukungan Keluarga
memiliki jumlah tebanyak yaitu berjumlah Pada kelompok kasus dukungan keluarga
10 orang (45,5%) sedangakan pada yang kurang baik berjumlah 13 orang
kelompok kontrol berjumlah 13 (14,8%). (59,1%) sedangkan pada kelompok kontrol
f) Pendapatan berjumlah 14 (15,9%).
Pendapatan dibagi menjadi 2 kategori yaitu c) Dukungan Teman/Tetangga
rendah dan tinggi. Berdasarkan pendapatan Pada kelompok kasus dukungan masyarakat
yang paling banyak ditemukan pada yang kurang baik berjumlah 11 orang (50%)
kelompok kasus yaitu kategori rendah sedangkan pada kelompok kontrol
dengan jumlah 17 (77,3%) sedangkan pada berjumlah 23 (26,1%).
kelompok kontrol berjumlah 49 (55,7%). d) Hubungan Keluarga
Pada kelompok kasus hubungan keluarga
2. Faktor Biologis yang kurang baik berjumlah 18 orang
a) Riwayat Penyakit Kronis (81,8%) sedangkan pada kelompok kontrol
Pada kelompok kasus yang memiliki riwayat berjumlah 22 orang (75%).
penyakit kronis berjumlah 16 orang (72,7%) e) Hubungan Teman/Tetangga
sedangkan pada kelompok kontrol Pada kelompok kasus hubungan masyarakat
berjumlah 87 (98,9%). yang kurang baik berjumlah 12 orang
b) Genetik
(54,5%) sedangkan pada kelompok kontrol berjumlah 25 orang (28,4%).

Analisis Bivariat
Tabel 2 Hasl Uji Analisis Bivariat

Gangguan Kesehatan Mental    


Kasus Kontrol
Variabel Total Nilai P Odds Ratio (95% CI)
(n=22) (n=88)
n % n %    
Faktor Demografi    
Jenis Kelamin
Perempuan 12 54,5 35 39,8 47 (42,7%) 0,55
0,312
Laki-laki 10 45,5 53 60,2 63 (57,3%) (0,215-1,411)
Usia Responden
<35 tahun 15 68,2 31 35,2 46 (41,8) 0,254
0,010*
≥35 tahun 7 31,8 57 64,8 64 (58,2%) (0,094-0,689)
Tingkat Pendidikan
Rendah 17 77,3 52 59,1 69 (62,7%) 2,354
(41 0,183
Tinggi 5 22,7 36 40,9 (0,796-6,958)
(37,3%)
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 11 50 19 21,6 30 (27,3%) 3,632
0,016*
Bekerja 11 50 69 78,4 80 (72,2%) (1,366-9,656)
Status Pernikahan
Menikah 4 18,2 55 62,5 59 (53,6%) Ref
Tidak Menikah 10 45,5 13 14,8 23 (20,9%) 1,283 (0,443-3,719)
0,001*
Cerai 8 20 20 22,7 28 (25,5%) 5,5 (1,492-20,278)
Status Ekonomi
Rendah 17 77,3 49 55,7 66 (60%) 2,706
0,108
Tinggi 5 22,7 39 44,3 44 (40%) (0,917-7,986)
Faktor Biologis            
Riwayat Penyakit
103
Ya 16 72,7 87 98,9 0,031
(93,6%) 0,001*
Tidak 6 27,3 1 1,1 7 (6,4%) (0,003-0,272)
Genetik
Ya 19 86,4 18 29,5 37 (33,6%) 24,63
0,001*
Tidak 3 13,6 70 79,5 73 (66,4%) (6,558-92,498)
Faktor Perilaku              
Kebiasaan Olahraga
Ya 16 72,7 35 39,8 51 (46,4%) 9,248
59 0,011*
Tidak 6 27,3 53 60,2 (0,088-0,694)
(53,65%)
Konsumsi Napza
Ya 13 59,1 16 18,2 29 (26,8%) 0,001* 6,5
Tidak 9 40,9 72 81,8 81 (73,6%) (2,373-17,808)
Status Merokok
Tidak 1 4,5 27 30,7 28 (25,5%) Ref
17,000 (2,111-
Mantan Perokok 4 18,2 34 38,6 38 (34,5%)
0,001* 136,914)
Ya 17 77,3 27 30,7 44 (40%) 3,176 (0,335-30,101)
Faktor Sosial              
Pola asuh
Kurang Baik 14 63,6 11 12,5 25 (22,7%) 12,25
0,001*
Baik 8 36,4 77 87,5 85 (77,3%) (4,185-35,860)
Dukungan Keluarga
Kurang Baik 13 59,1 14 15,9 27 (22,7%) 7,635
0,001*
Baik 9 40,9 74 84,1 83 (75,5%) (2,742-21,259)
Dukungan Teman/Tetangga
Kurang Baik 11 50 23 26,1 34 (30,9%) 2,826
0,056
Baik 11 50 65 73,9 76 (69,1%) (1,080-7,392)
Hubungan Keluarga
Kurang Baik 18 81,8 22 25 40 (36,4%) 13,5 (4,123-44,198)
0,001*
Baik 4 18,2 66 75 70 (63,4%)
Hubungan Teman/Tetangga
Kurang Baik 12 54,5 25 28,4 37 (33,6%) 3,024
0,039*
Baik 10 45,5 63 71,6 73 (66,4%) (1,159-7,887)
Data Primer (2019)

1. Faktor Sosial Demografi kejadian gangguan kesehatan mental (p=


a) Jenis Kelamin 0,183; OR=2,354; 95% CI=0,796 – 6,96).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa d) Status Pekerjaan
tidak ada hubungan antara jenis kelamin Hasil analisis statistik menunjukkan ada
responden dengan kejadian gangguan hubungan antara status pekerjaan responden
kesehatan mental (p= 0,312; OR=0,55; 95% dengan kejadian gangguan kesehatan mental
CI=0,22 – 1,41). (p= 0,016; OR=3,632; 95% CI=0,8 – 6,96).
b) Usia Nilai OR diketahui sebesar 3,632 yang
Hasil analisis statistik menunjukkan ada mempunyai arti bahwa orang yang tidak
hubungan antara usia responden dengan bekerja berpeluang mengalami gangguan
kejadian gangguan kesehatan mental (p= mental 3,632 kali dibandingkan dengan yang
0,010; OR=0,254; 95% CI=0,09 – 1,689). bekerja.
Nilai OR diketahui sebesar 0,254 yang e) Status Pernikahan
berarti usia <35 tahun merupakan faktor Hasil analisis statistik menunjukkan ada
protektif terhadap gangguan mental hubungan antara status pernikahan
sehingga usia ≥35 tahun berpeluang tidak responden dengan kejadian gangguan
mengalami gangguan mental sebesar 3,93 kesehatan mental (p= 0,001). Status tidak
kali dibandingkan usia <35 tahun. menikah memiliki nilai (OR=1,283 95%
c) Pendidikan CI=0,443-3,719). Nilai OR diketahui
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak sebesar 1,283 yang berarti orang yang belum
ada hubungan antara pendidikan dengan menikah berpeluang mengalami gangguan
mental 1,283 kali dibandingkan yang sudah
menikah. Sedangkan untuk orang kesehatan mental (p= 0,011; OR=9,248;
mengalami perceraian memiliki nilai 95% CI=0,088-0,694). Nilai OR diketahui
(OR=5,5 95%CI=1,492-20,278) yang berarti sebesar 9,248 yang berarti seseorang yang
orang yang mengalami perceraian memiliki kebiasaan olahraga berpeluang
berpeluang 5,5 kali mengalami gangguan tidak mengalami gangguan kesehatan mental
mental. 9,248 kali dibandingkan seseorang yang
f) Status Ekonomi tidak memiliki kebiasaan olahraga.
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak b) Merokok
ada hubungan antara status ekonomi Hasil analisis statistik menunjukkan ada
responden dengan kejadian gangguan hubungan antara status merokok responden
kesehatan mental (p= 0,108; OR=2,706; dengan kejadian gangguan kesehatan mental
95% CI=0,917 – 7,986). (p=0,001). Status merokok mempunyai nilai
(OR=17,000; 95% CI=2,111 – 136,914)
2. Faktor Biologis yang berarti seseorang yang merokok
a) Riwayat Penyakit Kronis berpeluang 17 kali mengalami gangguan
Hasil analisis statistik menunjukkan ada mental dibandingkan dengan seseorang yang
hubungan antara riwayat penyakit kronis tidak merokok. Sedangkan status mantan
responden dengan kejadian gangguan perokok memiliki nilai (OR=3,176; 95%
kesehatan mental (p= 0,000; OR=0,031; CI=0,335-30,101) yang memiliki arti bahwa
95% CI=0,003 – 0,272). Nilai OR diketahui seorang mantan perokok berpeluang 3,176
sebesar 0,031 yang berarti bahwa yang tidak kali mengalami gangguan mental
mempunyai riwayat penyakit kronis dibandingkan dengan yang tidak merokok.
merupakan faktor protektif terhadap c) Konsumsi Napza
gangguan mental sehingga orang yang Hasil analisis statistik menunjukkan ada
memiliki riwayat penyakit kronis berpeluang hubungan antara konsumsi napza responden
32,25 kali mengalami gangguan mental dengan kejadian gangguan kesehatan mental
dibandingkan dengan seseorang yang tidak (p= 0,001; OR=6,500; 95% CI=2,373–
memiliki riwayat penyakit kronis. 17,808). Nilai OR sebesar 6,500 yang berarti
b) Genetik bahwa seseorang yang mengonsumsi napza
Hasil analisis statistik menunjukkan ada berpeluang 6,5 kali mengalami gangguan
hubungan antara genetik atau riwayat mental dibandingkan dengan seseorang yang
keturunan responden dengan kejadian tidak mengonsumsi napza.
gangguan kesehatan mental (p= 0,000;
OR=24,630; 95% CI=6,558–92,498). Nilai 4. Faktor Sosial
OR diketahui sebesar 24,630 yang berarti a) Pola Asuh
seseorang yang mempunyai riwayat Hasil analisis statistik menunjukkan ada
keturunan gangguan mental berpeluang hubungan antara pola asuh keluarga
24,630 kali mengalami gangguan mental responden dengan kejadian gangguan
dibandingakan dengan yang tidak memiliki kesehatan mental (p= 0,001; OR=12,250;
riwayat keturunan. 95% CI=4,183 – 35,860). Nilai OR sebesar
12,250 yang berarti bahwa seseorang yang
3. Faktor Perilaku mempunyai pola asuh kurang baik
a) Kebiasaan Olahraga berpeluang 12,250 kali mengalami gangguan
Hasil analisis statistik menunjukkan ada mental dibandingkan dengan seseorang yang
hubungan antara kebiasaan olahraga mempunyai pola asuh yang baik.
responden dengan kejadian gangguan b) Dukungan Keluarga
Hasil analisis statistik menunjukkan ada mental sebesar 12 orang (54,5%)
hubungan dukungan keluarga responden dibandingkan laki-laki sejumlah
dengan kejadian gangguan kesehatan mental 10 oranr (45,5%). Hasil uji
(p= 0,001; OR=7,635; 95% CI= 2,742 – statistik didapatkan nilai p
21,259). Nilai OR sebesar 7,635 yang berarti sebesar 0,312 yang menyatakan
bahwa dukungan keluarga responden yang bahwa tidak ada hubungan antara
kurang baik berpeluang mengalami jenis kelamin dengan gangguan
gangguan mental 7,635 kali dibandingkan kesehatan mental. Bertolak
dukungan keluarga yang baik. belakang dengan teori (Santrock,
c) Dukungan Teman/Tetangga 2007) yang menyatakan bahwa
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak jenis kelamin mempengaruhi
ada hubungan antara dukungan keadaan mental seseorang karena
teman/tetangga responden dengan kejadian kaitannya dengan respon
gangguan kesehatan mental (p= 0,056; seseorang dalam mengahdapi
OR=2,826; 95% CI= 1,080–7,392). masalah.
d) Hubungan Keluarga Terdapat perbedaan emosional
Hasil analisis statistik menunjukkan ada antara perempuan dan laki-laki,
hubungan dukungan keluarga responden perempuan memiliki regulasi diri
dengan kejadian gangguan kesehatan mental yang lebih baik dalam
(p= 0,001; OR=13,500; 95% CI= 4,123- berperilaku serta lebih sering
44,198). Nilai OR sebesar 13,500 yang terlibat dalam perilaku prososial
memiliki arti bahwa hubungan keluarga (Santrock, 2007). Seseorang
responden yang kurang baik berpeluang 13,5 biasanya akan mencari dukungan
kali mengalami gangguan mental dari kelompok sosialnya, hal ini
dibandingkan dengan hubungan keluarga akan mepengaruhi kelompok
yang baik. sosial dan cara pelaksanaannya.
e) Hubungan Teman/Tetangga Karena perempuan lebih sering
Hasil analisis statistik menunjukkan ada berkumpul dengan kelompok
hubungan antara hubungan teman/tetangga sosialnya sehingga perempuan
responden dengan kejadian gangguan lebih bisa memberikan dukungan
kesehatan mental (p= 0,039; OR=3,024; yang baik (Purnawan, 2008).
95% CI= 1,159–7,887). Nilai OR sebesar Tetapi laki-laki memiliki
3,024 yang memiliki arti bahwa hubungan kemampuan dalam mengatasi
teman/tetangga yang kurang baik berpeluang masalah yang lebih luas daripada
3,024 kali mengalami gangguan mental wanita, dan menggunakan
dibandingkan dengan hubungan strategi koping yang lebih efektif
teman/tetangga yang baik. (Sharma, dkk).
Penelitian ini sejalan dengan
Pembahasan penelitian yang dilakukan oleh
a. Hubungan Faktor Sosial Demografi Sari dkk bahwa tidak ada
dengan Kejadian Gangguan hubungan yang bermakna antara
Kesehatan Mental jenis kelamin dengan gangguan
1. Jenis Kelamin ansietas menyeluruh (p=0,200).
Penelitian menujukkan bahwa Lain halnya dengan penelitian
perempuan lebih banyak yang dilakukan oleh Al-Saffar
mengalami gangguan kesehatan dan Seed yang menyatakan
bahwa ada hubungan antara jenis ini, sikap perilaku dan
kelamin perempuan dengan perkembangan otak masih mudah
gangguan ansietas secara dibentuk. Sehingga jika
meyeluruh. Analisis yang mengalami perbedaan di lingkup
dilakukan menemukan bahwa sosial, diri sendiri pun akan
wanita lebih sering didiagnosis mengalami dampak yang
sebagai gangguan ansietas mendalam. Otak pun akan terus
dibandingkan laki-laki. berkembang bersamaan dengan
Peningkatan ansietas pada wanita dampak tersebut (Joseph, 2019).
didasarkan pada bahwa wanita Usia dewasa awal ini erat
lebih mudah mengakui telah kaitannya dengan tugas-tugas
mengalami ansietas (Sari dkk, perkembangan yang pada
2014). Oleh karena itu dapat umumnya terjadi di usia ini. Jika
disimpulkan bahwa tidak ada ada salah satu dari tugas
hubungan yang bermakna antara perkembangan yang seharusnya
jenis kelamin dengan gangguan terjadi tetapi individu tidak
kesehatan mental. mampu melaksanakan tugas
2. Usia tersebut, maka dapat dipastikan
Penelitian ini menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki
bahwa responden rata-rata kemampuan afektif dan kognitif
berumur 35 tahun dengan usia yang belum maksimal sehingga
termuda adalah 21 tahun dan dapat menimbulkan kondisi
tertua umur 45 tahun. Kelompok mental yang kurang sehat.
umur <35 tahun berjumlah 15 Penelitian ini sejalan dengan
orang (6,2%) dan kelompok penelitian yang dilakukan oleh
umur ≥35 tahun berjumlah 7 Besral dan Widiantini yang
orang (31,8%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa semakin
didapatkan nilai p sebesar 0,010 muda usia seseorang maka risiko
yang menyatakan bahwa ada stres semakin tinggi. Kejadian
hubungan antara usia dengan stres pada kelompok usia di
gangguan kesehatan mental. bawah 31 tahun mencapai 83%,
Sejalan dengan pendapat (Joseph, pada usia 31 - 40 tahun mencapai
2009) yang menyatakan bahwa 81%, pada usia 41 - 50 tahun
usia yang lebih muda rawan berkurang menjadi 77%, dan
terkena gamgguan mental karena pada kelom- pok usia 51 tahun
perubahan otak yang mendalam. kejadian stres hanya 74%.
Usia yang rawan terkena Kelompok usia 40 tahun atau
gangguan mental biasanya lebih rendah memiliki risiko 2
muncul pada usia yang lebih kali lebih besar (OR adjusted 2,1)
muda. Gangguan mental ini untuk mengalami stres
muncul pada usia yang lebih dibandingkan dengan kelompok
muda dikarenakan perubahan usia 50 tahun atau lebih (Besral
otak yang sangat dalam dan dan Widiantini, 2015). Oleh
berbeda dari remaja hingga usia karena itu, dapat disimpulkan
dewasa. Otak sangat mudah bahwa ada hubungan yang
berubah dikarenakan usia muda
bermakna antara usia responden untuk mencuri) tidak
terhadap gangguan mental. menunjukkan hubungan antara
3. Status Pendidikan penderita gangguan kesehatan
Status pendidikan dibagi menjadi mental dengan tingkat
2 kategori yaitu rendah pendidikan dengan nilai p =
(SMA/sederajat, 0.931 (Christianini, dkk., 2014).
SMP, SD, dan tidak sekolah) dan Hasil penelitian ini sejalan
tinggi (D3, S1, S2). Jumlah dengan hasil yang diperoleh di
responden yang memiliki status mana status pendidikan tidak
pendidikan rendah sejumlah 17 memberikan hubungan yang
orang (77,3%) dan kelompok bermakna antara status
yang tinggi sejumlah 5 orang pendidikan dengan gangguan
(22,7%). Hasil uji statistik kesehatan mental (p=0,183).
didapatkan nilai p sebesar 0,183 4. Status Pekerjaan
yang menyatakan bahwa tidak Telah didapatkan data penderita
terdapat hubungan yang gangguan kesehatan mental
bermakna antara status sejumlah 11 orang yang bekerja
pendidikan dengan gangguan (50%) dan 11 orang yang tidak
kesehatan mental. bekerja (50%). Kemudian
Sejalan dengan pendapat yang berdasarkan perhitungan statistik
dikemukakan oleh Vierdelina yang telah dilakukan pada status
bahwa status pendidikan yang pekerjaan ini didapatkan nilai
tinggi cenderung menyebabkan signifikansi sebesar 0.016. Nilai
perubahan pandangan hidup dan tersebut mengindikasikan bahwa
pola pikir seseorang. Seseorang terdapat hubungan antara status
dengan tingkat pendidikan yang pekerjaan, di mana apakah orang
tinggi akan mengalami tersebut bekerja atau tidak
perubahan pola pikir dari dengan gangguan kesehatan
tradisional ke arah yang lebih mental yang di derita.
maju sehingga tidak hanya Sejalan dengan pendapat yang
memandang persoalan dari satu dikemukakan oleh Olivera bahwa
sisi saja melainkan dari beberapa status pekerjaan pengangguran
sudut pandang yang menjadikan memiliki konsekuensi yang tidak
seseorang ini mengguanakan hanya pada kesejahteraan
strategi koping yang lebih efektif objektif dan masalah kesehatan
(Vierdelina, 2011). mental umum atau yang
Studi yang telah dilakukan oleh berdampak intra-personal. Tetapi
Christianini, dkk dari University status pekerjaan pengangguran
of São Paulo School of Medicine juga memiliki konsekuensi antar-
Hospital das Clínicas dan personal dengan proses sosial
University of California sehingga menimbulkan
menunjukan bahwa gangguan kemampuan seseorang dalam
kesehatan mental Kleptomania menghadapi suatu masalah yang
(gangguan kesehatan mental tersembunyi juga sering
yang membuat penderitanya sulit terabaikan yang mempengaruhi
untuk mengendalikan dorongan kesejahteraan sosial. Pada jangka
panjang telah ditemukan pada Signifikansi antara hubungan
studi yang telah dilakukan bahwa status pernikahan dan gangguan
status pekerjaan tidak bekerja kesehatan mental secara
memiliki kesehatan yang lebih perhitungan statistik dengan nilai
buruk dari pada orang yang sebesar 0,001. Sejalan dengan
berstatus bekerja (Olivera Batic- pendapat Spiker bahwa ikatan
Mujanovic, dkk., 2017). pernikahan akan membuat
Penelitian ini juga sejalan dengan seseorang merasa perasaan yang
penelitian yang dilakukan oleh lebih bahagia dan tentu dapat
Wahyudi dan Arulita mengurangi tingkat depresi.
menunjukkan bahwa ada Dalam Masyarakat yang
hubungan status pekerjaan menekankan pada status
dengan kejadian skizofrenia pernikahan, pernikahan
(gangguan kesehatan mental) (p= digambarkan terkait dengan
0,040; OR=3,385 OR>1). Hal ini tingkat depresi yang lebih
menyatakan bahwa sampel rendah, kecemasan yang lebih
dengan status tidak bekerja rendah, risiko bunuh diri yang
memiliki faktor risiko 3,385 kali lebih rendah serta menggunakan
untuk terkena skizofrenia zat-zat terlarang yang lebih
dibandingkan sampel berstatus rendah. Menikah memiliki
bekerja (Wahyudi dan Arulita, manfaat kesehatan mental secara
2015). Tidak bekerja dapat langsung kepada orang tersebut.
menimbulkan stres, depresi, dan Perceraian dan pernikahan
melemahnya kondisi kejiwaan kembali dapat menurunkan
karena orang yang tidak bekerja kesehatan mental jangka pendek.
mengakibatkan rasa Menikah kembali dapat secara
ketidakberdayaan dan tidak positif memengaruhi kesehatan
optimis terhadap masa depan mental walaupun tidak seperti
(Semiun, 2006). Oleh karena itu pernikahan pertama (Spiker,
dapat disimpulkan bahwa ada 2014).
hubungan yang bermakna antara Status pernikahan mempengaruhi
status pekerjaan terhadap juga pada manusia lanjut usia
gangguan kesehatan mental. dalam gangguan kesehatan
5. Status Pernikahan mental depresi. Didapatkan nilai
Pernikahan yang merupakan signifikansi dalam analisis
ikatan lahir batin antar sepasang bivariat sebesar 0.014 yang
pria dan wanita ternyata memiliki didapatkan dari 20 lansia yang
pengaruh dengan gangguan mengalami gangguan kesehatan
kesehatan mental. Data mental depresi. Dalam kasus ini
didapatkan dari penderita gangguan kesehatan mental
gangguan kesehatan mental depresi tersebut juga terjadi
dengan status pernikahan sebagai dikarenakan baru mengalami
berikut, 4 orang menikah kehilangan pasangannya (Sutinah
(18,2%), 10 orang belum dan Maulani, 2017). Seperti yang
menikah (45,5%), dan 8 orang dijelaskan pada paragraf
memiliki status cerai (20%). sebelumnya, perceraian (dalam
kasus ini dikarenakan Seseorang yang mempunyai
meninggal ) menurunkan penghasilan tinggi ketika
kesehatan mental. Hasil merasakan sakit, maka tidak akan
penelitian ini sejalan dengan terlalu berdampak buruk,
hasil yang telah didapatkan sebaliknya jika seseorang yang
bahwa terdapat hubungan yang memiliki penghasilan rendah
bermakna antara status dapat menimbulkan goncangan
pernikahan dengan kesehatan ekonomi sehingga mekanisme
mental. dalam menerima permasalahan
6. Status Ekonomi yang terjadi cenderung tidak baik
Hasil dari uji statistik secara karena menimbulkan stress atau
analisis bivariat yang didapatkan bahkan menimbulkan gangguan
dari status ekonomi yang mental yang lain (Depkes, 2004).
digolongkan menjadi dua Tingkat sosial ekonomi yang
golongan. Pemisahan golongan salah satunya dilihat dari
status ekonomi ini dipisahkan penghasilan seseorang juga
dengan jumlah penghasilan. merupakan salah satu faktor
Didapatkan data penderita terjadinya gangguan emosional,
dengan ekonomi rendah karena semakin tinggi sumber
berjumlah 17 orang (77,3%) dan ekonomi keluarga maka akan
yang memiliki status ekonomi mendukung stabilitas dan
tinggi berjumlah 5 orang kebahagiaan keluarga. Apabila
(22,7%), didapatkan nilai kondisi status ekonomi pada
signifikansi p sebesar 0.108. tahap yang sangat rendah sampai
Nilai ini menunjukkan bahwa kebutuhan dasar saja tidak
tidak terdapat hubungan yang tercukupi, kondisi inilah yang
bermakna antara status ekonomi menyebabkan konflik dalam
dengan kesehatan mental keluarga sehingga dapat
penderita. menimbulkan gangguan mental
Bertolak belakang dengan emosional (Murti, 2004).
pendapat Boardman yang Berdasarkan studi terdahulu yang
menyatakan bahwa kelompok dilakukan oleh Diah tahun 2015
yang memiliki penghasilan yang membahas tentang kejadian
rendah memiliki tingkat kondisi depresi pada orang dewasa ,
mental yang lebih tinggi daripada disebutkan bahwa tidak terlihat
penghasilan yang tinggi. signifikansi antara status
Sedangkan pada anak-anak, ekonomi dengan kejadian depresi
terdapat pravelansi gangguan pada orang dewasa dengan nilai
kesehatan mental antara rumah signifikansi p sebesar 0.342
tangga yang kaya dan miskin. (Diah, 2015). Hal ini sejalan
Orang yang memiliki masalah dengan penelitian ini bahwa
kesehatan mental berada dalam hubungan antara status ekonomi
peningkatan risiko kesulitan yang rendah atau tinggi tidak
ekonomi (Boardman ,dkk., memiliki hubungan yang
2015). bermakna dengan kejadian
gangguan kesehatan mental.
b. Hubungan Faktor Biologis dengan penyakit yang di idap oleh
Kejadian Gangguan Kesehatan penderita (Titi dan Muzal, 2000).
Mental Studi yang dilakukan oleh
1. Riwayat Penyakit Kronis Widakdo dan Besral tahun 2013
Berdasarkan pengujian statistik menyebutkan bahwa terdapat
yang telah dilakukan diketahui hubungan antara riwayat
bahwa riwayat penyakit memiliki penyakit kronis yang dialami
hubungan dengan gangguan oleh penderita gangguan
kesehatan mental. Berdasarkan kesehatan mental emosional.
data yang diperoleh, didapatkan Dalam studi tersebut kejadian
sekitar 72,7% atau 16 orang gangguan kesehatan mental
memiliki riwayat penyakit dan emosional terbesar pada
sisanya 27,3% atau 6 orang penderita hepatitis sebesar 47%
mengatakan tidak memiliki dari jumlah responden, kemudian
riwayat penyakit. Nilai stroke 42%, menderita penyakit
signifikansi yang didapatkan dari jantung dan Tuberkulosis 34%
uji statistik dengan analisis dan responden yang menderita
bivariat didapatkan nilai p diabetes melitus, tumor atau
sebesar 0,001 antara hubungan kanker sebesar 34%. Didapatkan
riwayat penyakit dan penderita hasil perhitungan statistik dengan
gangguan kesehatan mental. nilai signifikansi p sebesar 0.001
Sejalan dengan pendapat Titi dan dari responden yang menderita 1
Muzal yang mengatakan bahwa penyakit, nilai signifikansi p
adanya riwayat penyakit dapat sebesar 0.001 dari responden
mempengaruhi terjadinya yang menderita 2 penyakit, dan
gangguan mental. nilai signifikansi p sebesar 0.001
Adanya perubahan perilaku dari responden yang menderita 3
dalam gangguan kesehatan penyakit (Widakdo dan Besral,
mental disebabkan oleh penyakit 2013). Hasil pada studi ini
biologis. Perilaku yang sejalan dengan hasil dari data
menyimpang berhubungan yang didapatkan pada penelitian
dengan toleransi individu ini.
terhadap stress (Stuart, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh
Retardasi mental yang Widakdo dan Besral
merupakan kelainan mental menunjukkan bahwa dari sepuluh
seumur hidup di diagnosis tidak penderita penyakit kronis, dua
hanya dengan melakukan uji sampai lima penderita akan
inteligensia, laporan orang tua, mengalami gangguan mental
laporan dari sekolah, emosional. Analisis regresi
pemeriksaan fisis, laboratorium, logistik multivariat
dan pemeriksaan penunjang memperlihatkan bahwa risiko
lainnya. Akan tetapi salah satu gangguan emosional semakin
faktor pertimbangan dalam tinggi bersamaan dengan
melakukan diagnosis tersebut semakin banyak jumlah penyakit
dengan melihat dari riwayat kronis yang diderita oleh
responden. respoonden yang
menderita 1 penyakit berisiko 2,6 Kompleksitas genetika berarti
kali lebih besar untuk mengalami bahwa suatu sifat seperti
gangguan mental emosional. kerentanan terhadap penyakit
Responden yang menderita 2 mental tidak berasal dari cacat
penyakit berisiko 4,6 kali lebih genetika tunggal, tetapi dari
besar mengalami gangguan interaksi beberapa gen (Hyman,
mental emosional. Responden 2000).
yamg menderita 3 penyakit Hasil yang didapatkan dalam
berisiko 11 kali lebih besar penelitian ini berupa pernyataan
mengalami gangguan kesehatan bahwa terdapat hubungan antara
mental (Widakdo dan Besral, riwayat keluarga atau genetika
2013). Sehingga dapat dengan gangguan kesehatan
disimpulkan bahwa ada mental diperkuat dengan hasil
hubungan yang bermakna antara studi yang dilakukan oleh Ratna
riwayat penyakit kronis dengan dan Clara pada tahun 2009 yang
gangguan mental. melakukan penelitian pasien
2. Genetik atau Riwayat Keturunan skizofrenia di RSUP dr. Sardjito
Merupakan faktor yang memiliki Yogyakarta. Pada studi tersebut
hubungan bermakna dengan yang diambil dengan jumlah 26
gangguan kesehatan mental pasien. Berdasarkan hasil
penderita. Terbukti dalam studi perhitungan statistik pada studi
ini didapatkan hasil nilai tersebut didapatkan hasil nilai p
signifikansi p sebesar 0.001. sebesar 0.029 yang
Hasil tersebut merupakan hasil mengindikasikan bahwa terdapat
dari perhitungan uji statistik hubungan antara riwayat
dengan analisis bivariat yang keluarga atau genetika dengan
dilakukan kepada 22 penderita, gangguan kesehatan mental
dari 19 penderita atau 86,4 % penderita (Ratna dan Clara,
responden menjawab memiliki 2009).
genetika atau riwayat keluarga Penellitian yang dilakukan oleh
yang mengalami gangguan Handayani dkk menunjukkan
kesehatan mental dan sisanya bahwa ada hubungan antara
13,6% atau 3 penderita faktor keturunan dengan kejadian
mengatakan tidak memiliki skizofrenia pada pasien rawat
genetika gangguan kesehatan inap di Rumah Sakit Jiwa
mental. Grhasia DIY (p=0,048 OR=1,195
Sejalan dengan teori yang yang artinya orang yang
menyebutkan bahwa faktor memiliki faktor keturunan
genetika memiliki kontribusi berisiko 1,195 kali lebih besar
pada hampir setiap penyakit terkena skizofrenia dibandingkan
manusia dengan memberikan dengan orang yang tidak
kerentanan atau resistansi, dan memiliki faktor keturunan
jika penyakit terjadi dengan Berdasarkan teori Blum (1974)
memengaruhi tingkat keparahan dalam Notoatmojo (2007) bahwa
dari penyakit, termasuk penyakit derajat kesehatan masyarakat
atau gangguan kesehatan mental. dipengaruhi oleh empat faktor
yaitu genetik, pelayanan tentang kebiasaan olahraga
kesehatan, perilaku dan sebagai berikut, 72,7% atau 16
lingkungan yang saling orang menjawab memiliki
mempengaruhi satu sama lain. kebiasaan olahraga sedangkan
Faktor keturunan memiliki risiko sisanya sekitar 27,3% atau 6
lebih besar terkena skizofrenia orang mengatakan bahwa tidak
apabila dipengaruhi oleh stresor memiliki kebiasaan berolahraga.
psikososial baik berasal dari diri Hubungan antara kebiasaan
sendiri maupun lingkungan olahraga dengan gangguan
(Blum dalam Notoatmojo, 2007). kesehatan mental tampak pada
Penelitian yang dilakukan oleh hasil perhitungan statistik dengan
Widakdo dan Besral nilai signifikansi p sebesar 0.011,
menunjukkan bahwa dari sepuluh yang mengindikasikan bahwa
penderita penyakit kronis, dua terdapat hubungan yang
sampai lima penderita akan berpengaruh. Sejalan dengan
mengalami gangguan mental pendapat yang dikemukakan oleh
emosional. Analisis regresi Chekroud dan Amy bahwa
logistik multivariat buruknya aktifitas olahraga dapat
memperlihatkan bahwa risiko mempegaruhi kondisi kesehatan
gangguan emosional semakin mental seseorang.
tinggi bersamaan dengan Berdasarkan studi yang
semakin banyak jumlah penyakit dilakukan oleh Chekroud, dkk.,
kronis yang diderita oleh dengan menguji 1.2 juta individu
responden. respoonden yang tentang hubungan antara olahraga
menderita 1 penyakit berisiko 2,6 dengan kesehatan mental
kali lebih besar untuk mengalami dinyatakan bahwa olahraga
gangguan mental emosional. diketahui berhubungan dengan
Responden yang menderita 2 dapat mengurangi risiko semua
penyakit berisiko 4,6 kali lebih penyebab kematian seperti
besar mengalami gangguan kardiovaskular, stroke, dan
mental emosional. Responden diabetes. Akan tetapi, hubungan
yamg menderita 3 penyakit dengan kesehatan mental masih
berisiko 11 kali lebih besar memiliki hubungan yang jelas.
mengalami gangguan kesehatan Pada studi ini pula Chekroud,
mental (Widakdo dan Besral, dkk., mendapatkan hasil bahwa
2013). Oleh karena itu, dapat ternyata terdapat hubungan yang
disimpulkan bahwa adanya bermakna antara olahraga dan
hunbungan yang bermakna antara kesehatan mental. Individu yang
genetik dengan gangguan berolahraga memiliki kesehatan
kesehatan mental. kesehatan mental yang lebih
c. Hubungan Faktor Perilaku dengan buruk dalam sebulan terakhir
Kejadian Gangguan Kesehatan daripada individu yang tidak
Mental berolahraga (Checkroud, 2018).
1. Kebiasaan Olahraga Studi tentang hubungan
Berdasarkan hasil yang dari 22 gangguan kesehatan mental
responden didapatkan jawaban dengan kebiasaan olahraga telah
dibahas pada tahun 2007 oleh merupakan gangguan psikiatrik
Amy dkk. Mereka melakukan yang paling menyebabkan
studi pada penderita gangguan disabilitas ke tiga sekitar 6.1%
jiwa bipolar disorder. Diketahui dari disability adjusted life years
bahwa terlihat hubungan antara (Jané-Llopis, dan Matytsina,
penderita bipolar disorder dengan 2006).
buruknya kebiasaan dalam Efek dari penggunaan obat ini
berolahraga. Mulai dari jarang tentu membuat individu menjadi
berjalan dengan nilai p sebesar tidak terkontrol seperti
0.001 atau olahraga kekuatan merasakan senang yang
dengan nilai p sebesar 0.001. Hal berlebihan bahkan halusinasi
ini menunjukkan bahwa terdapat yang tentu sangat berbahaya bagi
kesamaan dengan hasil yang otak penderita. Kondisi ini bisa
didapatkan pada penelitian ini menimbulkan seseorang melihat
dengan kesimpulan bahwa atau mendengar sesuatu yang
terdapat hubungan antara tidak ada sumbernya yang
kebiasaan olahraga dengan merupakan gejala gangguan jiwa
gangguan kesehatan mental. yang terkait dengan aktivitas zat
2. Konsumsi Napza kimia di otak (neurotransmiter)
Penyalahgunaan pemakaian dopamin. Dopamin yang
narkotika, psikotropika, dan zat jumlahnya seimbang di dalam
adiktif lainnya memiliki otak sebenarnya berfungsi untuk
mempengaruhi dengan gangguan proses berpikir dan merasakan
kesehatan mental yang diderita sesuatu, jika jumlahnya
berdasarkan hasil yang didapat berlebihan maka kondisi ini bisa
dalam penelitian ini. Hasil menimbulkan gejala gangguan
statistik mengatakan bahwa nilai jiwa, seperti halusinasi dan
signifikansi p sebesar 0,001 delusi. Biasanya kondisi ini
tentang hubungan konsumsi terjadi pada penderita skizofrenia
NAPZA dengan penderita paranoid (Anonim, 2015).
gangguan kesehatan mental. Dari Sejalan dengan pendapat Skoog
22 responden, sekitar lebih dari dalam sebuah studi di Swedia,
jumlah responden yakni 13 efek dari penyalahgunaan
responden menjawab penggunaan NAPZA terhadap
mengonsumsi NAPZA, sisanya 9 gangguan kesehatan mental
penderita gangguan kesehatan memiliki hubungan yang
mental menjawab tidak bermakna. Berdasarkan jumlah
mengonsumsi NAPZA. sebanyak 494 responden
Kondisi neuropsikiatrik memiliki didapatkan hasil bahwa terdapat
5 dari 10 penyebab utama dari hubungan antara gangguan
disabilitas dan kematian lebih kesehatan mental kecemasan
awah secara global adalah dengan penggunaan psikotropika
gangguan kesehatan mental dan dengan nilai signifikansi p
perilaku termasuk depresi, sebesar 0.001 (Skoog dkk.,
penggunaan alkohol, dan obsesif 1993).
kompulsif. Depresi sendiri
Sejalan dengan penelitian yang seperti penyakit kardiovaskular,
dilakukan oleh Rau dkk kanker, atau pernapasan
menunjukkan bahwa responden (Lawrence, dkk., 2009).
dengan mengonsumsi berisiko Pengaruh kegiatan merokok
sebanyak 4,776 kali untuk menunjukkan adanya hubungan
mengalami anxietas dibanding dengan gangguan kesehatan
dengan responden yang tidak mental juga didapatkan oleh studi
mengonsumsi napza (OR=4,776 yang dilakukan Giri Widakdo
OR>1). Hasil dari studi ini dan Besral pada tahun 2013.
sejalan dengan hasil yang Berdasarkan hasil perhitungan
didapat, bahwa terdapat yang dilakukan pada studinya
hubungan bermakna antara didapatkan nilai signifikansi p
konsumsi NAPZA dengan sebesar 0,001 dari jumlah
kejadian gangguan kesehatan responden sebanyak 660,452
mental. responden (Widakdo dan Besral,
3. Status Merokok 2013). Dengan nilai tersebut
Data yang didapatkan tentang didapatkan bahwa memang benar
status merokok dikelompokkan adanya hubungan antara status
ke dalam tiga kelompok. merokok dengan gangguan
Berdasarkan 22 responden, 17 kesehatan mental. Hasil studi ini
responden (77,3%) menjawab sejalan dengan hasil dari
merokok, 1 responden (4,5%) penelitian yang dilakukan.
menjawab tidak merokok, dan 4 d. Hubungan Faktor Sosial dengan
responden (18,2%) menjawab Kejadian Gangguan Kesehatan
sebagai mantan perokok. Mental
Berdasarkan data tersebut 1. Pola Asuh
diketahui bahwa terdapat Faktor sosial berupa pola asuh
hubungan yang bermakna antara memiliki kaitan dengan kejadian
status merokok penderita dengan gangguan kesehatan mental
gangguan kesehatan mental yang dengan hasil perhitungan statistik
dialami dengan hasil perhitungan besar nilai p adalah 0.001. Data
statistik dengan nilai signifikansi tersebut berasal dari 22
p sebesar 0.001. responden dengan memberikan
Sejalan dengan teori yang ada tanggapan dalam dua kelompok
bahwa kegiatan merokok telah jawaban berdasarkan bobot
dikaitkan dengan berbagai jawaban menjadi baik dan tidak
gangguan kesehatan mental baik. Bahwa pola asuh yang
seperti gangguan kesehatan diterima baik sebanyak 36,4 %
mental skizofrenia, gangguan atau 8 responden dan tidak baik
kesehatan mental kecemasan, dan sebanyak 63,6% atau 14
gangguan kesehatan mental responden.
depresi. Penderita penyakit Sejalan dengan teori yang ada
mental memiliki tingkat bahwa pola asuh dalam keluarga
morbiditas dan mortalitas yang merupakan hal yang penting
tinggi dari penyakit yang untuk pembentukan karakter
berhubungan dengan merokok serta kepribadian anak. Salah
satu pencetus kecenderungan aspek kontrol tinggi, namun
anak mengalami gangguan rendah pada aspek respon. Orang
kesehatan mental schizophrenia tua dengan tipe ini tidak
adalah tidak konsisten pola asuh responsif terhadap kebutuhan
dari orang tua, orang tua maupun hak-hak yang
memberikan pola asuh yang seharusnya didapatkan oleh anak.
ambigu kepada anaknya. Maka Rasa hangat yang terbentuk pada
diperlukan pola asuh orang tua hubungan anak dengan orang tua
tipe demokratis secara konsisten pada tipe pengasuhan ini lebih
serta pola komunikasi dan rendah dibandingkan dengan
kedekatan antara orang tua dan gaya pengasuhan lainnya
anak untuk mencegah (Papalia, Olds, & Feldman,
predisposisi gangguan kesehatan 2007). Maka dari itu dapat
mental (Denrich, 2010). disimpulkan bahwa ada
Penelitian yang telah dilakukan hubungan yang bermakna antara
oleh Lestari dan Desi dengan pola asuh dengan gangguan
mencari hubungan pola asuh kesehatan mental.
dengan penderita gangguan 2. Dukungan Keluarga
kesehatan mental skizofrenia di Sebagai lingkungan yang
rumah sakit jiwa Menur terdekat, dukungan keluarga
Surabaya. Dari 65 keluarga dari memiliki hubungan dengan
penderita gangguan kesehatan penderita gangguan kesehatan
mental skizofrenia. Didapatkan mental. Data didapatkan dari 22
bahwa nilai signifikansi dari pola responden dengan jawaban yang
asuh terhadap pasien sebesar telah dikelompokkan dalam
0.001 yang berarti terdapat bobot yang dibuat menjadi baik
hubungan antara pola asuh dan kurang baik adalah sebagai
dengan gangguan kesehatan berikut, 40,9% responden
mental (Lestari dan Desi, 2013). menjawab bahwa dukungan
Hasil ini juga sejalan dengan keluarga untuk penderita baik
hasil yang diperoleh dalam sedangkan responden lebih
penelitian ini. banyak menjawab bahwa
Penelitian yang dilakukan oleh dukungan keluarga yang diterima
Raharjo dan Ambarini kurang baik. Berdasarkan hasil
menunjukkan adanya hubungan perhitungan statistik yang telah
antara pola asuh otoriter dengan dilakukan, didapat nilai p sebesar
gangguan psikosis (p=0,025). 0.001.
Pola asuh yang dapat memicu Sejalan dengan pendapat
munculnya tanda-tanda gangguan Nuraenah bahwa orang yang
psikosis adalah pola asuh yang memiliki kedekatan dengan
terlalu protektif namun rendah penderita gangguan kesehatan
pada aspek perhatian atau mental adalah keluarga. Keluarga
perawatan. Pola asuh yang memiliki fungsi afektif dalam
memiliki karakteristik seperti itu memenuhi kebutuhan psikososial
adalah pola asuh jenis otoriter, dalam kasih sayang antar anggota
yaitu pola asuh yang memiliki keluarga. Dukungan keluarga
merupakan sikap sebagai biologis, psikologis, sosial,
pendukung dalam memberikan budaya, ekonomi serta spiritual.
bantuan bagi anggota Perlu diakui juga bahwa
keluarganya yang menjadi kesehatan dan gangguan
penderita (Nuraenah, dkk., 2012). kesehatan mental tidak hanya
Studi yang telah dilakukan memiliki aspek biologis atau
kepada 82 responden dalam psikologis saja, tetapi aspek
mempelajari hubungan keluarga sosial juga memiliki andil di
dengan gangguan kesehatan dalamnya. Faktor sosial ini
mental depresi didapatkan hasil memiliki kemampuan
pengujian statistik dengan nilai memainkan peran dalam
signifikansi p sebesar 0,005. Di menciptakan, memelihara, serta
mana hasil ini mengindikasikan meningkatkan kesehatan. Hal ini
terdapat hubungan antara menjadi sangat penting untuk
dukungan keluarga dengan memperhatikan faktor sosial
gangguan kesehatan mental yang memengaruhi kesehatan
(Figa, dkk., 2012). Hal ini sejalan mental serta dukungan sosial
dengan hasil pada penelitian yang dirasakan sebagai salah satu
berdasarkan pengujian statistik faktor tersebut. Dukungan sosial
dapat ditarik kesimpulan bahwa yang merupakan jumlah
terdapat hubungan antara dukungan yang dirasa oleh
dukungan keluarga dengan seseorang di mana melibatkan
gangguan kesehatan mental. interaksi sehingga seseorang
3. Dukungan Teman/Tetangga melakukan interaksi sosial dan
Dukungan dari pihak bukan hal tersebut memiliki peran
keluarga yang berasal dari penting dalam kesehatan
tetangga atau teman, ternyata (Harandi, dkk., 2017).
juga memiliki hubungan dengan Hasil yang didapat pada
penderita gangguan kesehatan penelitian ini juga tidak sejalan
mental. Dari 22 responden, dengan hasil pada studi yang
dihasilkan jumlah yang dilakukan di RS Grhasia,
berimbang masing-masing 11 Yogakarta. Studi yang dilakukan
responden atau 50% responden kepada 44 responden dengan
memilih jawaban. Berdasarkan membandingkan frekuensi
hasil perhitungan statistik, kekambuhan dengan tingkat
didapatkan nilai p sebesar 0.056 dukungan sosial. Berdasarkan
yang mengindikasikan tidak pengujian statistik didapatkan
terdapat hubungan antara hasil nilai p sebesar 0,001 yang
dukungan tetangga/teman dengan memiliki maksud adalah terdapat
penderita gangguan kesehatan hubungan antara dukungan sosial
mental. dengan penderita gangguan
Hasil penelitian ini tidak sejalan kesehatan mental dalam hal ini
dengan beberapa teori yang adalah masalah kekambuhan
menyatakan bahwa kesehatan penderita gangguan mental
dipengaruhi oleh serangkaian skizofrenia (Indah, dkk., 2009).
faktor yang kompleks nilai dari Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa tidak ada psikologis yang terjadi pada
hubungan yang bermakna antara wanita (0,03; 95% CI 0,01, 0,04)
dukungan teman/tetangga dan pria (0,02; 95% CI 0,00,
terhadap gangguan kesehatan 0,04) sedangkan pada wanita
mental. juga memberikan dampak dalam
4. Hubungan Keluarga meminum minuman keras yang
Telah diperoleh data di mana berat (0,02; 95% CI 0,00, 0,03).
penderita menjawab bahwa Di mana didapatkan kesimpulan
hubungan dengan keluarga yang pada pokoknya bahwa
kurang baik sebanyak 81,8% atau hubungan keluarga pada masa
18 penderita, sedangkan sisanya remaja akan berhubungan pada
sebanyak 18,2% atau 4 penderita kesehatan mental saat dewasa
memiliki hubungan yang baik (Berg, dkk., 2017). Hasil dari
dengan keluarga. Berdasarkan studi tersebut sejalan dengan
hasil uji statistik yang telah hasil yang didapatkan pada
dilakukan didapatkan nilai p penelitian ini, di mana ada makna
sebesar 0.001 yang menyatakan hubungan antara hubungan
bahwa ada hubungan antara keluarga (family relationship)
hubungan keluarga dengan dan gangguan kesehatan mental.
gangguan kesehatan mental. 5. Hubungan Teman/Tetangga
Beberapa teori sejalan dengan Data yang diperoleh
penelitian ini menyebutkan menunjukkan bahwa penderita
bahwa hubungan keluarga tidak gangguan kesehatan mental lebih
terlepas dari kehadiran anggota banyak menjawab memiliki
keluarga yang memiliki peran hubungan kurang baik dengan
yang sangat penting untuk teman dan tetangga sebesar
kesehatan mental karena 54,5% atau 12 orang dan
hubungan keluarga adalah sebanyak 45,5% atau 10 orang
sumber utama perhatian dan menjawab bahwa memiliki
dukungan. Kemudian pada saat hubungan yang baik,
yang sama, hubungan keluarga Berdasarkan hasil perhitungan
juga dapat menghasilkan statistik yang telah dilakukan
interaksi yang membuat stres dan didapat nilai signifikan p sebesar
negatif. Hal ini dapat 0.039. Nilai tersebut
memberikan kontribusi pada menunjukkan bahwa terdapat
kesehatan psikologis yang buruk hubungan antara penderita
(Sapin, dkk., 2016). gangguan kesehatan mental
Terdapat hubungan antara dengan hubungan
hubungan keluarga (family teman/tetangga.
relationship) dengan gangguan Sejalan dengan beberapa teori
kesehatan mental dijelaskan oleh yang menyebutkan bahwa
studi yang dilakukan Berg, dkk. hubungan sosial merupakan salah
di Finlandia dengan total 1.334 satu dari faktor-faktor penting
responden. Hasil dinyatakan yang memengaruhi kesehatan
bahwa hubungan keluarga yang mental. Interaksi positif dalam
buruk mengakibatkan tekanan hubungan sosial adalah ketika
seseorang merasa bahwa orang a. Distribusi frekuensi faktor sosial
lain dapat dipercaya, diandalkan, demografi menunjukkan bahwa
atau dianggap mendukung jenis kelamin perempuan memiliki
mereka. Sebaliknya jika frekuensi sebesar 54,5%, usia <35
seseorang dikritik, dikecewakan, tahun memiliki frekuensi sebesar
dituntut oleh orang lain akan 68,2%, status pendidikan perguruan
memberikan interaksi negatif. tinggi memiliki frekuensi sebesar
Kesehatan mental juga umumnya 22,7%, status pernikahan memiliki
dipengaruhi dengan kualitas frekuensi sebesar 45,5%, dan status
banyak hubungan sosial yang ekonomi yang rendah memiliki
berbeda (Santini, dkk., 2015). frekuensi sebesar 77,3%.
Hasil penelitian yang dilakukan b. Distribusi frekuensi faktor biologis
sejalan dengan kesimpulan pada menunjukkan bahwa tidak ada
studi yang dilakukan oleh Teo riwayat penyakit memiliki frekuensi
dkk., studi yang membahas sebesar 27,3%, dan adanya riwayat
tentang hubungan sosial dengan keturunan atau genetika memiliki
gangguan kesehatan mental frekuensi sebesar 13,6%.
depresi di Amerika serikat c. Distribusi frekuensi faktor perilaku
dengan total 4.642 responden. menunjukkan bahwa tidak ada
Didapatkan hasil berupa risiko kebiasaan olahraga memiliki
depresi akan meningkat frekunsi 27,3%, tidak konsumsi
signifikan pada ketegangan sosial napza memiliki frekuensi sebesar
(OR sebesar 1.99; 95% CI 40,9%, dan tidak merokok memiliki
sebesar1.47–2.70), kurangnya frekuensi sebesar 4,5%.
dukungan sosial (OR sebesar d. Distribusi frekuensi faktor sosial
1.79; 95% CI sebesar, 1.37– menunjukkan bahwa pola asuh yang
2.35), dan buruknya kualitas baik memiliki distribusi sebesar
hubungan sosial (OR sebesar 36,4%, dukungan keluarga yang
2.60; 95% CI sebesar 1.84–3.69). baik memiliki frekuensi sebesar
Dari kualitas hubungan sosial 40,9%, dukungan teman/tetangga
tersebut didapatkan bahwa yang baik memiliki frekuensi
hubungan sosial dengan kualitas sebesar 50%, hubugan keluarga
sosial yang terendah memberikan yang baik memiliki frekuensi
dua kali lipat risiko depresi sebesar 18,2%, dan hubungan
(14.0%; 95% CI, 12.0–16.0; p < teman/tetangga yang baik memiliki
0,001) dari pada dengan kualitas frekuensi sebesar 45,5%.
yang tertinggi (6.7%; 95% CI, e. Faktor demografi yang memiliki
5.3–8.1; p < 0,001) (Teo, dkk., hubungan yang bermakna adalah
2013). usia, status pekerjaan, dan status
ekonomi. Sedangkan yang tidak
Kesimpulan memiliki hubungan yang bermakna
Berdasarkan hasil penelitian adalah jenis kelamin, status
yang telah dilakukan pada sopir pendidikan, dan status ekonomi.
kopaja di RSUD Pasar Minggu tahun f. Faktor biologis yang memiliki
2019 dapat diperoleh kesimpulan hubungan yang bermakna yaitu
sebagai berikut :
riwayat penyakit kronis dan Andrade. Common Mental Disorder
genetika. and Associated Factor Among Final-
g. Faktor perilaku yang memiliki Year Healthcare Students. Rev Assoc
hubungan yang bermakna yaitu Med Bras; 60(6):525-530. 2014
kebiasaan olahraga, konsumsi
napza, dan status merokok. Darmabrata, Wahjadi, et al. 2003. Psikiatri
h. Faktor sosial yang memiliki Forensik. Jakarta : EGC
hubungan yang bermakna yaitu pola
Davies, Teifion. 2009. ABC Kesehatan
asuh, dukungan keluarga, dukungan
Mental. Jakarta : EGC Depkes RI.
teman/tetangga, hubungan keluarga,
2014. Riset Kesehatan Dasar
dan hubungan teman/tetangga.
(Riskesdas) Tahun 2013. Jakarta:
Saran
Depkes RI.
a. Bagi Instansi
Disarankan agar membuat kegiatan Dwight MM, Kowdley KV, Russo JE,
edukasi yang difokuskan pada kegiatan Ciechanowski PS, Larson AM, Katon
promotif dan preventif terkait masalah WJ. Depression, Fatigue And
mental sehingga siapapun merasa Functional Disability In Patients With
terbuka atas masalah kesehatan mental Chronic Hepatitis C. Journal of
ini. Psychosomatic Research. 2000; 49:
b. Bagi Pasien 311-7.
Disarankan melakukan kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh kelompok Efendi, Ferry, 2009. Keperawatan Kesehatan
- kelompok di masyarakat sekitar. Komunitas Teori dan Praktik dalam
c. Bagi Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba
Disarankan untuk melakukan Medika
penelitian selanjutnya dengan
menggunakan variabel penelitian lain Elder, R, Evans K., Nizette D. 2012.
yang belum pernah diteliti. Dan Psychiatric and Memtal Health
menggunakan uji multivariat agar dapat Nursing 2nd. Australia: Elsevier.
terlihat sekaligus semua faktor yang Febriani, Ririn, N. 2008. Penderita
berpengaruh. Gangguan Jiwa Terus Meningkat.
Diakses di
Daftar Pustaka http://www.antarajateng.com/detail/in
dex.php?id=2145 pada 25 Februari
Aini, Qurratul. 2014. Faktor Penyebab 2019 pukul 08.00 WIB
Gangguan Jiwa Pada Penderita
(Psikotik) Yang Dipasung Di Giri & Besral. Efek Penyakit Kronis
Kabupaten Pati, Puslitbang Pati, terhadap Gangguan Mental Emosional
Kabupaten Pati
Hawari, Dadang. 2001. Pendekatan Holistik
Cochrane, E.M., Barkway P., Nizette D. pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.
2010. Mosby’s Pocketbook of Mental Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Health. Australia: Elsevier. UI, Jakarta
Costa, Edmea F.O, Margleice Marinho V.R, Hawari, Dadang. 2012. Skizofrenia Edisi
Ana Teresa R. A. S, Enaldo Vieira M, Ketiga Pendekatan Holistik (BPSS)
Luiz Antonio N.M, Tarcisio Matos Bio-Psiko-Sosial Spiritual, Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Kesehatan, Departemen Kesehatan,
Jakarta Republik Indonesia.
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Maramis, W.F. 2010. Catatan Ilmu
Perkembangan. Jakarta. Prenadamedia Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
Group. University Press.
Jane Pirkis, Philip Burgess, Pia Kirk, Sarity Maslim, Rusdi. 2002. Buku Saku Diagnosis
Dodson and Tim Coombs. Australian Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta :
Mental Health Outcomes and FK Unika Atmajaya.
Classification Network: Review of
standardised measures used in the Mudhovozi, Pilot. Social and Academic
National Outcomes and Casemix Adjustment of First-Year University
Collection (NOCC) Student. J Soc Sci: 33 (2). 251-259.
2012.
Jorm, A.F. 2000. Mental Health Literacy:
Public Knowledge and Belief About Nasir, Abdul. Dasar-Dasar Keperawatan
Mental Disorder. Journal Psychiatry Jiwa: Pengantar dan Teori. Jakarta:
Salamba Medika. 2011.
Hurt, Roberta. Introduction to Community-
Based Nursing. Philadelphia: Nazir, Mohammad. 1988. Metode
Lippincott Williams & Wilkins. 2005 Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Kaplan & Sadock’s. 2008, Concise Notosoedirdjo, Moeljono. Kesehatan


Textbook of Clinical Psychiatry third Mental: Konsep dan Penerapan Edisi
edition, Lippincot William, Keempat. Malang: UMM Press. 2007.
Philadelphia
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang
Katona, C., Cooper C., dan Robertson M, No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
2012. At a Glance Psikiatri 4th. Jiwa. Presiden RI. Jakarta.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Rochman, Kholir L., 2010. Kesehatan
Kemenkes RI. Laporan Hasil Riset Mental. Purwokerto. STAIN Press.
Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Badan
Simanjuntak, Julianto. 2008. Konseling
Penelitian dan Pengembangan
Gangguan Jiwa & Okultisme,
Kesehatan, Departemen Kesehatan,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Republik Indonesia.
Sunaryo. 2002. Psikologi Untuk
Kemenkes RI. 2016. Peran Keluarga
Keperawatan. Jakarta. EGC.
Dukung Kesehatan Masyarakat.
Diakses di Videbeck, Sheila I., 2008. Buku Ajar
http://www.depkes.go.id/article/print/1 Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
6100700005/peran-keluarga-dukung-
kesehatan-jiwa-masyarakat.html pada WHO. Depression and Other Common
26 Februari 2019 pukul 05.00 WIB Mental Disorders. Global Health
Estimates. Geneva: World Health
Kemenkes RI. Hasil Utama Riset Kesehatan Organization. 2017
Dasar 2018. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Yosep, Iyus. Keperawatan Jiwa: Edisi
Revisi. Bandung: Refika Aditama.
2013
Gomez, Fernando. A Guide to the
Depression, Anxiety and Stress Scale.
Nursalam. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis,
dan Instrumen Penelitian Keperawatan
Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
2008
Notosoedirdjo, Moeljono. Kesehatan
Mental: Konsep dan Penerapan Edisi
Keempat. Malang: UMM Press. 2007
Nasir, Abdul. Dasar-Dasar Keperawatan
Jiwa: Pengantar dan Teori. Jakarta:
Salamba Medika. 2011

Anda mungkin juga menyukai