Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2017), depresi adalah penyebab global
utama masalah kesehatan dan kecacatan. Gangguan mental ini mempengaruhi sekitar 300 juta
orang di seluruh dunia. Sejak tahun 2005, telah terjadi peningkatan lebih dari 18% dalam
jumlah orang yang menderita depresi. Banyak orang depresi tidak dapat meminta bantuan
yang mereka butuhkan karena kurangnya layanan kesehatan mental dan ketakutan
stigmatisasi yang meluas. Mereka mampu menjalani kehidupan yang sehat dan produktif.
Depresi adalah penyebab kematian kedua bagi mereka yang berusia antara 15 dan 19
tahun, dan depresi adalah salah satu penyakit dan kecacatan utama yang mempengaruhi
remaja. 16% dari semua penyakit dan cedera di antara orang berusia 10 hingga 19 tahun di
seluruh dunia disebabkan oleh gangguan kesehatan mental. Pada usia 14, setengah dari semua
penyakit kesehatan mental bermanifestasi pada orang dewasa, tetapi sebagian besar kasus ini
tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Kebahagiaan dan kesehatan mental remaja dipengaruhi
oleh berbagai keadaan. Tinggal di lingkungan yang penuh tekanan dan tidak stabil dapat
meningkatkan kemungkinan mengembangkan masalah kesehatan mental, seperti halnya
kekerasan, kemiskinan, stigma, isolasi, dan faktor lainnya. Kegagalan untuk mengatasi
masalah kesehatan mental, remaja memiliki efek jangka panjang pada kesehatan fisik dan
mental orang dewasa dan kemampuan mereka untuk menjalani kehidupan yang memuaskan.
(WHO, 2022)
Perilaku menyimpang, seperti pelecehan, narkoba, balapan, tawuran, minuman keras,
dan perilaku seksual, dapat digunakan untuk mengidentifikasi depresi pada remaja. WHO
(2012) menyatakan bahwa depresi dapat mengakibatkan upaya bunuh diri, yang telah
mengakibatkan 850.000 kematian setiap tahunnya. Setengah dari pasien ini, yang merupakan
86% dari total, berusia antara 15 dan 44 tahun. (Rahmayanti & Rahmawati, 2018).
Prevalensi depresi remaja meningkat secara signifikan dari masa anak-anak hingga
dewasa. Antara usia 13 dan 15, gejala depresi mulai menjadi lebih terlihat, memuncak antara
usia 17 dan 18 (Marcotte, 2002). Menurut Stuart (2016), 4-8% remaja mengalami depresi
berat. Remaja yang mengalami depresi antara usia 14 dan 16 memiliki risiko lebih tinggi
terkena depresi serius saat dewasa. Menurut penelitian studi longitudinal, 20-25% remaja
yang mengalami depresi akan terus-terusan menyalahgunakan zat. Dan dalam waktu 15 tahun
setelah dimulainya episode depresi yang signifikan, 5-10% remaja akan melakukan bunuh
diri. (Fitria & Maulidia, 2018)
Menurut data, 27% orang di Asia Tenggara menderita depresi, lebih banyak dari pada
wilayah lain jika dibandingkan dengan negara Afrika, Mediterania Timur, Eropa, Amerika
Utara dan Selatan, dan Pasifik Barat. Negara Asia Tenggara Indonesia memiliki 9.162.886
kasus secara keseluruhan, atau 3,7% dari populasi (World Health Organization, 2017). 6,1%
penduduk di bawah usia 15 tahun dilaporkan mengalami depresi (Kementerian Kesehatan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018). Menurut Riskesdas 2018, 9%
penduduk Indonesia yang menderita depresi mendapat pengobatan, sedangkan 91% lainnya
tidak, berdasarkan data prevalensi penderita depresi di Indonesia. (Rahayu & Ariana, 2021)
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terdapat sekitar 14 juta penduduk
Indonesia atau sekitar 6% dari total penduduk Indonesia yang menderita gangguan jiwa
dengan gejala depresi. Provinsi dengan prevalensi depresi tertinggi adalah Provinsi Sulawesi
Tengah yang diperkirakan sebesar 11,6%, diikuti oleh Sulawesi Selatan dan Jawa Barat
sebesar 9,3%, DI Yogyakarta sebesar 8,1%, dan Provinsi Jawa Timur sebesar 8,1%. Nusa
Tenggara sebesar 7,8%. (Elisabeth flora S.Kedang, Rr.Listiyawati nurrina, 2020)
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Jawa Barat tahun 2018, terdapat
4,97 rumah tangga dengan gangguan jiwa utama skizofrenia/psikosis, dengan wilayah
perkotaan sebesar 4,62% dari total rumah tangga dan 5,92% di perdesaan. Pada orang berusia
15 tahun ke atas, terdapat 7,8 kasus gangguan jiwa dengan depresi yang paling umum,
dengan usia 65 hingga 74 tahun memiliki prevalensi tertinggi. Prevalensi gangguan jiwa
emosional adalah 12,11 pada penduduk usia 15 tahun ke atas, dengan kelompok usia 75 tahun
ke atas memiliki prevalensi tertinggi. (Dinkes Jawa Barat, 2020)
Dalam dua tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah kunjungan penderita gangguan
jiwa yang signifikan di Kota Bekasi. Pemerintah Kota Bekasi meningkatkan pelayanan
kepada penderita seiring dengan meningkatnya jumlah kasus. Karena pasien yang
mendapatkan penanganan yang tepat dapat sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa.
Mayoritas wisatawan di Kota Bekasi yang menderita gangguan jiwa adalah perempuan.
Namun, pada tahun 2020 hampir tidak ada perbedaan proporsi kunjungan pasien gangguan
jiwa antara laki-laki dan perempuan. Di Kota Bekasi, pasien gangguan jiwa perempuan
mencapai 51% kunjungan atau 17.408 orang, sedangkan pasien laki-laki sebanyak 49% atau
16.720 orang. Wanita lebih rentan terhadap masalah mental seperti depresi dan kecemasan
karena mereka lebih sering menggunakan perasaan mereka ketika berpikir. (Dinkes Kota
Bekasi, 2020)
Depresi adalah perubahan suasana hati atau mood yang diekspresikan dalam bentuk
perasaan sedih, putus asa, dan pesimis. Selain itu juga penurunan minat dalam aktivitas
sehari-hari, perubahan nafsu makan, perubahan pola tidur, dan gejala somatik lainnya
(Townsend, 2014). Prevalensi depresi remaja meningkat secara signifikan dari masa anak-
anak hingga dewasa. Antara usia 13 dan 15, gejala depresi mulai menjadi lebih terlihat,
memuncak antara usia 17 dan 18. (Fitria & Maulidia, 2018)
Remaja merupakan kelompok umum yang rentan terhadap depresi. Itu penting karena
remaja memiliki banyak masalah untuk dihadapi dan banyak hal untuk beradaptasi. Jika
masalahnya tidak teratasi, kemungkinan besar perasaan kecewa, tidak berharga, serta
menanggap diri sendiri orang gagal dan tidak berguna akan mulai bermunculan. Depresi
remaja akan terjadi jika kasus ini berlanjut. Depresi remaja lebih sulit untuk didiagnosis
daripada depresi pada anak. Jika dibandingkan dengan gejala depresi pada orang dewasa,
depresi remaja memiliki beberapa perbedaan kecil. Gejala depresi remaja sering ditandai
dengan kecemasan, kemarahan, dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial.
Perubahan pola juga terjadi. Prevalensi terjadinya depresi pada remaja juga dapat ditunjukkan
dengan pola pikir dan pola tidur. (Purwoningrum et al., 2020)
Depresi remaja merupakan gangguan serius yang dapat mempengaruhi perilaku,
emosi, dan pemikiran remaja. Ini adalah kondisi kronis yang membutuhkan perawatan medis
yang serius. Depresi pada remaja bukan sekadar sensasi stres atau sedih, beberapa pihak
harus segera mengatasi masalah ini. Dimulai dengan situasi stres yang jika tidak ditangani
dengan cepat, dapat menyebabkan periode depresi. (Dianovinina & Psikologi, 2018)
Pria dan wanita sama-sama rentan terhadap depresi. Menurut penelitian Darmayanti
dari tahun 2008, lebih banyak wanita dari pada pria di kalangan remaja yang menderita
depresi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa anggota kelompok perempuan kurang asertif,
lebih fokus pada gejala depresi mereka, dan kurang agresif secara vokal dan fisik. Remaja
yang mengalami depresi dapat mengalami efek samping, antara lain berkurangnya fungsi
sosial, sulit berkonsentrasi, mengurung diri di dalam ruangan, kehilangan kepercayaan diri,
dan kurangnya semangat hidup. Akibatnya, mereka mungkin menjadi pesimis dan merasa
seolah-olah tidak ada yang bisa memahami mereka (Rahmayanti & Rahmawati, 2018)
Remaja yang depresi membuat remaja merasa tertekan meningkatkan risiko bunuh
diri, oleh karena itu perlu adanya bantuan sebagai penguat diri yang positif dan efektif, salah
satunya adalah dukungan yang berasal dari keluarga (Haryanto, 2015). Pada intinya,
dukungan keluarga yang aktif membantu perkembangan keseimbangan yang lebih kuat,
kekuatan selama ketidakberdayaan, dan bantuan aktivitas perkembangan pada remaja
(Rahmawati, 2015). Orang tua dan anggota keluarga dekat lainnya memberikan dukungan
yang paling besar bagi remaja karena keluarga sangat penting bagi pertumbuhan fisik dan
mental serta perkembangan sosial dan emosional remaja. (Rahmayanti & Rahmawati, 2018)
Dukungan orang tua sangat penting untuk penyesuaian remaja dan membantu
mengurangi depresi pada remaja (Sarafino, 2011 dalam Kisnawati, 2017). Dukungan
informasi, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosi (Friedman,
2010). Dukungan tersebut memberikaan penyediaan fasilitas, jasa, informasi, perhatian,
ungkapan penghargaan, serta bimbingan yang mungkin membuat penerima merasa dihargai,
aman, dan damai (Friedman, 2010). Rahmawati (2015) melakukan penelitian yang berjudul
Family Relationship Support dengan Depresi pada Remaja. Hasil sementara di Lembaga
Pemasyarakatan menunjukkan peningkatan 10,9% pada remaja dengan dukungan keluarga
baik yang tidak mengalami depresi dan peningkatan 39,1% pada remaja dengan dukungan
keluarga rendah yang mengalami depresi ringan. Hal ini disebabkan fakta bahwa memiliki
dukungan dari anggota keluarga dapat membantu seseorang melawan tekanan yang mungkin
mereka alami. Depresi dapat berkembang sebagai akibat dari kurangnya dukungan keluarga
karena disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengatasi stresor baru. (Rahmayanti &
Rahmawati, 2018)
Dengan beberapa gambaran di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam fakta
mengenai hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi di SMAN 15 Kota Bekasi.
Karena remaja khususnya usia SMA ini, mereka sangat rentan mengalami depresi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah apakah ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada remaja di
SMAN 15 Kota Bekasi?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada remaja di SMAN 15
Kota Bekasi tahun 2022.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi data demografi, usia, jenis kelamin, tempat tinggal,
pekerjaan orangtua dan penghasilan orangtua.
b. Mengetahui distribusi tingkat depresi pada remaja di SMAN 15 Kota Bekasi.
c. Mengetahui distribusi dukungan keluarga pada remaja di SMAN 15 Kota Bekasi.
d. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada remaja di
SMAN 15 Kota Bekasi.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi Pendidikan
1) Sebagai salah satu referensi untuk pengembangan bahan ajar keperawatan
keluarga di perguruan tinggi.
2) Sebagai hasil dari tugas perguruan tinggi dalam mengamalkan Tri Dharma
perguruan tinggi.
b. Bagi Peneliti
1) Menambah wawasan keilmuan dan penelitian tentang pengaruh dari dukungan
keluarga dengan tingkat depresi pada remaja.
2) Diharapkan dari penelitian ini dapat membantu peneliti dalam
mengembangkan ilmu kesehatan di bidang keperawatan jiwa mengenai
manfaat dukungan kelyarga dengan tingkat depresi pada remaja, atau praktik
keperawatan lainnya yang membutuhkan dukungan keluarga yang baik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Responden
1) Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan mengenai pentingnya dukungan
keluarga terhadap tingkat depresi pada remaja.
2) Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan dasar mengenai
pentingnya dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada remaja, anak-anak,
dewasa dan lansia agar lebih bisa memanagement koping individu dan
keluarganya
b. Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan informasi dan masukan bagi institusi tentang pentingnya peran
keluarga dalam memberikan dukungan kepada anak remaja dan pengaruh
dukungan keluarga yang diberikan terhadap tingkat depresi anak remaja
E. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1
Keaslian Penelitian
No Pengarang Judul Tahun Hasil
1. Yeni Fitria dan Hubungan antara 2018 Penelitian ini menggunakan desain
Rahmawati dukungan sosial analitik korelasional dengan
Maulidia keluarga dengan pendekatan crossectional untuk
depresi pada mengetahui hubungan antara
remaja di SMPN dukungan sosial keluarga dengan
kota Malang depresi pada remaja di SMPN 11 Kota
Malang. Sampel penelitian terdiri atas
94 responden dengan teknik sampling
proportionate stratified random
sampling. Pengambilan data
menggunakan kuesioner dukungan
sosial dan kuesioner Depression
Anxiety Stress Scale (DASS). Data
dianalisis dengan uji korelasi
Spearman rank.
2. Ktut Dianovinina Depresi pada 2018 Metode penelitian ini adalah
Remaja : Gejala kuantitatif deskriptif, dengan subjek
dan penelitian adalah mahasiswa/i baru
Permasalahannya yang berusia 16- 18 tahun. Sampel
penelitian diperoleh dengan
menggunakan teknik purposive
sampling. Dari 230 mahasiswa yang
diberikan skala CDI (Child Depression
Inventory), diperoleh 17 orang
mengalami depresi dan 65 orang
berpotensi mengalami depresi yang
kemudian dilibatkan dalam penelitian
ini.
3. Ary’s Kusumaayu Tingkat Depresi 2020 Penelitian ini merupakan jenis
Purwoningrum dan pada remaja di penelitian deskriptif dengan
Ayik Mirayanti Banyuwangi pendekatan kuantitatif dengan
Mandagi berdasarkan jenis menggunakan sampel total populasi
kelamin pengurus OSIS sekolah menengah
menggunakan kejuruan (SMK) di Banyuwangi
Beck Depression sebanyak 51 orang. Kuesioner yang
Inventory-II digunakan adalah BDI- II (Beck
Depression Inventory-II) yang terdiri
dari 21 pernyataan.
4. Yunita Eka Hubungan 2018 Penelitian ini adalah penelitian
Rahmayanti dan dukungan deskriptif analitik dengan pendekatan
Teti Rahmawati keluarga dengan ”Cross Sectional”. Jumlah sample
kejadian depresi yang diperoleh sebanyak 176 siswa di
pada remaja awal SMPN 106 Jakarta Timur dengan
teknik sampling yang digunakan
adalah Stratified Random Sampling.
Hasil analisis data menggunakan uji
chi squre dengan tingkat keperacayaan
95 % (p-value = 0,05). Hasil dari
penelitian ini menunjukan p-value =
0,010 (<0,05), berarti hal ini
menunjukan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara dukungan
keluarga dengan kejadian depresi pada
remaja awal di SMPN 106 Jakarta
Timur

Anda mungkin juga menyukai