FAKULTAS PSIKOLOGI
UMBY
2023
PERILAKU ABNORMAL PADA ANAK & REMAJA
Fakta bahwa sebagian besar anak dan remaja yang memerlukan perawatan
untuk gangguan ini menerima perawatan di bawah standar atau tidak mendapat
perawatan sama sekali. Hambatan terhadap pengobatan yang efektif meliputi
pengenalan yang buruk terhadap masalah psikologis anak; akses terbatas ke layanan
kesehatan mental berkualitas tinggi, terutama di antara anak-anak dari keluarga yang
kurang beruntung secara sosial ekonomi; dan kurangnya profesional kesehatan mental
yang terlatih dalam intervensi berbasis bukti (Garland et al., 2013; Olfson, Druss, &
Marcus, 2015).
Teori baru dan studi empiris telah memajukan bidang ini, memungkinkan
peneliti untuk lebih memahami penyebab kondisi ini. Penelitian bergantung pada tim
profesional, bekerja sama, untuk menyatukan penyebab gangguan ini di berbagai
tingkat analisis: genetik, biologis, psikologis, keluarga, dan sosial-budaya (Cicchetti,
2016a, 2016b).
Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan
mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental
di Indonesia.
Hasil survei terbaru UNICEF 2021 terhadap anak sekolah usia 13–17 tahun di
Indonesia menyoroti kesehatan jiwa sebagai isu utama yang dirasakan remaja. Lebih
dari 5% murid yang mengikuti survei menyatakan pernah secara serius
mempertimbangkan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir, dengan angka murid
perempuan lebih tinggi dibandingkan murid lelaki. Pikiran melakukan bunuh diri pun
tampaknya paling sering terjadi di kalangan murid SMA (usia 16–17).
1. Usia
Prevalensi gangguan jiwa bervariasi dengan usia. Rata-rata, remaja lebih
mungkin mengalami masalah kesehatan mental daripada anak-anak (Merikangas
& He, 2014).
2. Jenis Kelamin
Prevalensi gangguan psikologis juga bervariasi antar jenis kelamin. Pada
masa kanak-kanak, banyak kelainan lebih sering terlihat pada anak laki-laki.
Misalnya, anak laki-laki 4 kali lebih mungkin dibandingkan anak perempuan
untuk didiagnosis dengan ASD dan 3 kali lebih mungkin dibandingkan anak
perempuan untuk didiagnosis dengan ADHD.
Dalam satu studi, peneliti mengikuti sampel besar remaja dari akhir masa
kanak-kanak hingga remaja tengah (Hamilton, Stange, Abramson, & Alloy,
2015). Sebagian besar remaja melaporkan peningkatan stres selama periode ini;
namun, anak perempuan sangat sensitif terhadap "stres yang bergantung secara
interpersonal" yaitu, peristiwa stres yang melibatkan orang atau hubungan
penting dalam hidup mereka. Misalnya, anak perempuan cenderung melaporkan
kesulitan dengan orang tua, teman sebaya, atau pasangan romantis. Mungkin
yang lebih penting, cara berpikir para gadis tentang stressor yang bergantung
secara interpersonal ini mempengaruhi suasana hati mereka. Temuan ini
menunjukkan bahwa pemikiran anak perempuan tentang peristiwa antarpribadi
dapat sangat menentukan kesejahteraan mereka.
Ada dua penjelasan untuk hubungan antara SES dan risiko gangguan psikologis.
● Pertama, orang tua dengan SES tinggi mungkin lebih kecil kemungkinannya
untuk mengalami masalah psikologis sendiri. Mereka mewariskan gen yang
kondusif untuk kesehatan mental yang lebih baik kepada anak-anak mereka.
● Kedua, orang tua dengan SES lebih tinggi mungkin lebih mampu
menyediakan lingkungan bagi anak-anak mereka yang melindungi mereka
dari masalah psikologis. Misalnya, orang tua dengan pendapatan lebih tinggi
mungkin lebih mampu membayar perawatan kesehatan, nutrisi, atau sekolah
berkualitas lebih tinggi untuk anak-anak mereka.
Pengalaman awal ini, pada gilirannya, dapat melindungi anak-anak mereka dari
munculnya masalah kesehatan mental.
4. Etnis
Kemungkinan bahwa latar belakang ras atau etnis anak-anak mungkin
sebagian menentukan kemungkinan gangguan mereka diidentifikasi dan diobati.
Kemungkinan lain bahwa perbedaan ini mencerminkan praktik pengasuhan yang
berbeda dan nilai-nilai budaya lintas kelompok ras dan etnis. Selain itu, semakin
banyak remaja mendukung keyakinan suatu budaya, semakin besar kemungkinan
penerapannya dalam kehidupan.
Perilaku abnormal juga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau aturan yang
melanggar aturan masyarakat. Dengan kata lain, ketidaknormalan dapat didefinisikan
sebagai penyimpangan budaya. Misalnya, gangguan perilaku (CD) ditandai dengan
pola perilaku yang terus-menerus melanggar hak orang lain atau aturan masyarakat.
Remaja dengan CD sering memiliki riwayat masalah perilaku yang mengganggu yang
jelas bertentangan dengan norma budaya dan adat istiadat: mengutil, perampokan,
kekerasan terhadap orang lain, dan membolos. Keterbatasan utama dalam
mendefinisikan perilaku abnormal secara eksklusif berdasarkan sejauh mana perilaku
tersebut melanggar norma sosial adalah bahwa norma-norma ini dapat sangat
bervariasi dari satu budaya ke budaya lainnya. Misalnya, di masyarakat Barat, orang
tua sering meminta anak kecil untuk tidur di tempat tidur mereka sendiri, biasanya di
kamar terpisah. Anak yang menolak untuk tidur di tempat tidurnya sendiri dapat
digolongkan mengalami gangguan tidur. Namun, di banyak masyarakat non-Barat,
mewajibkan anak kecil untuk tidur sendiri dianggap kejam dan merugikan kehidupan
sosial dan lingkungan perkembangan emosional mereka.
3. Konsep Abnormalitas
Mengkonseptualisasikan abnormalitas sepanjang kontinum adalah salah
satu cara untuk membantu dalam evaluasi apakah perilaku secara signifikan
berbeda dengan norma. Secara konseptual, salah satu cara mengevaluasi perilaku
relatif terhadap ekspektasi normal adalah dengan mempertimbangkan perbedaan
dari norma, dalam empat area vital, antara lain:
a. Penyimpangan
Instrumen psikometri tersedia untuk membantu dokter dalam
mengukur keberadaan variabel kepribadian, dan untuk mendapatkan
informasi tentang gejala potensial untuk sejumlah gangguan. Metode
penilaian dapat berkisar dari wawancara informal, atau observasi, hingga
penggunaan kuesioner yang panjang atau tes standar. Dalam
mempertimbangkan perilaku menyimpang, beberapa faktor harus
dipertimbangkan, termasuk apa yang dianggap "normal" dalam budaya atau
subkultur tertentu yang terkait dengan norma umum.
b. Disfungsi
Sejauh mana seseorang mampu berfungsi secara memadai setiap hari
adalah contoh lain dari perilaku normal versus abnormal. Dokter yang
bekerja dengan orang dewasa mungkin menyelidiki sejauh mana memiliki
gangguan dapat membahayakan pekerjaan atau fungsi keluarga, sementara
dokter anak mungkin tertarik untuk mendapatkan informasi dari guru anak
mengenai bagaimana kinerja anak di sekolah secara akademis dan sosial.
Sangat mungkin untuk memiliki kelainan namun tidak memiliki kelainan itu
membuat individu tidak berfungsi. Misalnya fobia berat pada laba-laba
(arachnophobia), meskipun tidak menyimpang dari norma, mungkin
berdampak minimal pada fungsi sehari-hari jika individu tinggal di
lingkungan bebas serangga, sehingga individu mungkin dilumpuhkan
aktivitasnya oleh ketakutan fobia yang sama.
Klinisi dapat dipandu dalam membuat penilaian derajat disfungsi
menggunakan sejumlah ukuran yang tersedia (seperti skala penilaian
perilaku) dan instrumen penilaian yang dapat membantu klinisi dalam
melaporkan tingkat fungsi individu secara keseluruhan.
c. Distres
Bidang lain yang menantang untuk dievaluasi adalah tingkat distres
yang disebabkan oleh gangguan tersebut bagi seseorang dan orang-orang di
sekitarnya. Sementara orang dewasa dapat diwawancarai secara langsung
mengenai tingkat kesusahan mereka, anak-anak mungkin memiliki sedikit
pemahaman tentang emosi dan perilaku mereka dan kurang mampu untuk
mengomunikasikan apa yang mereka rasakan. Anak-anak hiperaktif atau
orang dewasa dalam fase manik mungkin mengalami distres minimal, tetapi
secara tidak sengaja dapat menimbulkan stres/distres yang besar pada
orang-orang di lingkungan terdekat mereka. Secara umum, kategori distres
dapat menjadi konsep yang sulit dipahami dan sulit untuk dievaluasi, karena
beberapa individu mungkin tidak menyadari distres yang dialami orang lain
sebagai akibat dari gangguan mereka.
d. Bahaya
Secara historis, dokter mengandalkan dua bidang investigasi yang luas
untuk menentukan apakah klien berbahaya: pertanyaan tentang bahaya klien
terhadap dirinya sendiri (niat bunuh diri), dan pertanyaan yang diarahkan
pada apakah klien menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang lain.
Ketika kita mempertimbangkan konsep bahaya atau risiko dalam kaitannya
dengan populasi anak, secara naluriah kita menganggap anak-anak sebagai
korban penganiayaan, seperti pelecehan atau penelantaran anak, atau pikiran
kita mungkin beralih ke pemikiran tentang risiko melukai diri sendiri di masa
remaja. bunuh diri. Namun, ada kecenderungan yang meningkat untuk
menghubungkan pemikiran tentang bahaya dengan konsep anak dan remaja
sebagai pelaku daripada korban kekerasan
G. Dampak Perilaku Abnormal Pada Anak & Remaja
Dampak perilaku abnormal pada anak dan remaja dapat memiliki konsekuensi
yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Perilaku abnormal pada
tahap perkembangan yang penting ini dapat mempengaruhi kesejahteraan mereka
secara sosial, emosional, akademis, dan fisik. Dalam artikel ini, kami akan
menjelaskan beberapa dampak utama dari perilaku abnormal pada anak dan remaja.
Salah satu dampak yang paling umum dari perilaku abnormal adalah gangguan
sosial. Anak dan remaja dengan perilaku yang tidak normal sering kali mengalami
kesulitan dalam berinteraksi dengan teman sebaya. Mereka mungkin merasa terisolasi,
tidak memiliki koneksi sosial yang kuat, atau dijauhi oleh kelompok sebaya mereka.
Ini dapat menyebabkan masalah dalam pembentukan hubungan yang sehat, serta
menimbulkan rasa kesepian dan rendah diri.
Dampak lain dari perilaku abnormal adalah pada kesehatan mental dan
emosional. Anak dan remaja dengan perilaku abnormal lebih rentan terhadap
gangguan kecemasan, depresi, dan stres. Mereka mungkin mengalami perasaan cemas
yang berlebihan, sering kali khawatir, atau merasa sedih secara konstan. Hal ini dapat
mengganggu kemampuan mereka untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik,
termasuk dalam kinerja akademis dan hubungan interpersonal.
Perilaku abnormal juga dapat berdampak negatif pada prestasi akademis anak
dan remaja. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi,
mempertahankan perhatian, atau menyelesaikan tugas sekolah. Hal ini bisa
mengakibatkan penurunan kinerja akademis, absensi yang tinggi, atau bahkan putus
sekolah. Perilaku yang tidak normal juga dapat mempengaruhi motivasi mereka untuk
belajar dan mencapai potensi penuh mereka.
Dampak lain yang perlu diperhatikan adalah dampak pada kesehatan fisik.
Anak dan remaja dengan perilaku abnormal mungkin memiliki pola makan yang tidak
sehat, seperti makan berlebihan atau kurang makan. Mereka juga mungkin terlibat
dalam perilaku berisiko seperti penyalahgunaan zat, penggunaan obat-obatan
terlarang, atau perilaku seksual yang tidak aman. Semua ini dapat berdampak negatif
pada kesehatan fisik mereka dan meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan
jangka panjang. Tidak hanya anak dan remaja yang terkena dampak, tetapi juga
keluarga mereka. Perilaku abnormal anak dan
Remaja dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan kelelahan pada orang tua
dan anggota keluarga lainnya. Mereka mungkin merasa terbebani dengan tanggung
jawab ekstra untuk merawat dan mendukung anak atau saudara mereka yang memiliki
perilaku yang tidak normal.
a. Medikamentosa
Penggunaan medikamentosa dilaporkan efektif dalam penanganan jangka
pendek gangguan cemas pada anak dan remaja. Modalitas farmakoterapi
yang direkomendasikan adalah penggunaan golongan selective serotonin
reuptake inhibitor (SSRI), seperti fluoxetine, sertraline, escitalopram, dan
vortioxetine. SSRI menjadi pilihan utama karena efektivitas dan profil
keamanannya.
b. Psikoterapi
Psikoterapi menjadi pilihan modalitas utama penanganan gangguan cemas
pada anak dan remaja karena efek ketergantungan minimal, dan efek terapi
bisa bertahan jangka panjang sampai beberapa tahun pasca terapi. Psikoterapi
bisa dilakukan secara individual, kelompok, atau bersama dengan orang tua.
Terapi behavior dan cognitive behavioural therapy (CBT) bisa dilakukan
pada anak-anak berusia >6 tahun. CBT untuk gangguan cemas pada anak dan
remaja terdiri dari psikoedukasi, modifikasi pikiran negatif, paparan,
pelatihan kompetensi sosial, pelatihan perilaku koping, dan sesi penguatan
mandiri.
b. Psikoterapi
Beberapa jenis psikoterapi, disebut "terapi bicara" atau dalam bentuk yang
kurang spesifik yakni konseling. Contoh pendekatan berbasis bukti khusus
untuk pengobatan depresi termasuk terapi kognitif-perilaku (CBT), terapi
interpersonal (IPT), dan terapi pemecahan masalah.
Seorang anak yang mengalami ADHD sering kali gelisah, sulit duduk dalam waktu
yang lama, mudah bingung, kesulitan berkonsentrasi dan mengikuti instruksi yang
diberikan jarang mendengarkan apa yang sedang dikatakan, mudah kehilangan
barang, sering terlibat dalam kegiatan yang berbahaya secara fisik tanpa
mempertimbangkan akibat yang mungkin terjadi.
Selain itu, bagi orang tua yang anaknya mengalami ADHD, dapat diterapkan latihan
untuk orang tua dan terapi keluarga untuk mengajarkan beberapa keterampilan orang
tua agar percaya diri dalam mengasuh anak ADHD dan untuk memodifikasi pola
interaksi negatif pada keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
https://ugm.ac.id/id/berita/23086-hasil-survei-i-namhs-satu-dari-tiga-remaja-indonesia
-memiliki-masalah-kesehatan-mental/