Anda di halaman 1dari 23

PSIKOPATOLOGI

Perilaku Abnormal pada Anak dan Remaja

Dosen pengampu: Katrim Alifa Putrikita, M.Psi., Psikolog

Disusun oleh Kelompok III :


Susilawati (210810862)
Marisa Elsani (210810864)
Reni Fauzia Anggraeni (210810868)
Nadila Afra (210810869)
Maurent Alan Erlinda (210810876)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UMBY
2023
PERILAKU ABNORMAL PADA ANAK & REMAJA

A. Pengantar Abnormalitas pada Anak dan Remaja


Sekitar 20% dari semua anak dan remaja mengalami setidaknya satu masalah
kesehatan mental sebelum dewasa. Masalah yang terkait dengan fungsi perilaku,
kognitif, atau sosial-emosional. Masalah-masalah ini termasuk kecacatan
perkembangan seperti sindrom Down atau gangguan spektrum autisme (ASD),
gangguan eksternalisasi seperti gangguan defisit perhatian/hiperaktivitas (ADHD),
gangguan internalisasi seperti kecemasan dan depresi, dan masalah yang berhubungan
dengan kesehatan seperti gangguan makan dan insomnia. Masalah seperti ini serius;
mereka dapat mempengaruhi aspek-aspek penting dari perkembangan anak dalam
jangka panjang, kemampuan mereka untuk belajar dan berprestasi di sekolah,
hubungan mereka dengan keluarga dan teman, serta kebahagiaan dan kesejahteraan
mereka secara keseluruhan.

Fakta bahwa sebagian besar anak dan remaja yang memerlukan perawatan
untuk gangguan ini menerima perawatan di bawah standar atau tidak mendapat
perawatan sama sekali. Hambatan terhadap pengobatan yang efektif meliputi
pengenalan yang buruk terhadap masalah psikologis anak; akses terbatas ke layanan
kesehatan mental berkualitas tinggi, terutama di antara anak-anak dari keluarga yang
kurang beruntung secara sosial ekonomi; dan kurangnya profesional kesehatan mental
yang terlatih dalam intervensi berbasis bukti (Garland et al., 2013; Olfson, Druss, &
Marcus, 2015).

Teori baru dan studi empiris telah memajukan bidang ini, memungkinkan
peneliti untuk lebih memahami penyebab kondisi ini. Penelitian bergantung pada tim
profesional, bekerja sama, untuk menyatukan penyebab gangguan ini di berbagai
tingkat analisis: genetik, biologis, psikologis, keluarga, dan sosial-budaya (Cicchetti,
2016a, 2016b).

B. Seberapa Umumkah Gangguan Mental pada Anak?


Menentukan prevalensi masalah kesehatan mental anak merupakan tantangan
karena beberapa alasan (Costello & Angold, 2016). Pertama, tidak ada satupun
lembaga yang melacak prevalensi gangguan jiwa pada anak dan remaja. Sebaliknya,
prevalensi harus diperkirakan menggunakan data dari lusinan studi individual, yang
dilakukan oleh berbagai penelitian tim.

Kedua, studi epidemiologi menggunakan metode yang berbeda untuk


mengumpulkan data. Metode penelitian yang berbeda ini (misalnya, mewawancarai
orang tua vs. memberikan kuesioner kepada remaja) dapat menghasilkan temuan yang
berbeda. Misalnya, orang tua pada umumnya lebih mampu mengomentari perilaku
mengganggu anak-anak tetapi kurang akurat dalam memperkirakan kesulitan
anak-anak dengan depresi atau penggunaan alkohol. Sebaliknya, remaja mungkin
lebih akurat melaporkan suasana hati dan penggunaan zat mereka sendiri, tetapi
mungkin meremehkan masalah perilaku.

Ketiga, ada masalah praktis dengan penelitian epidemiologi. Banyak orang


tidak ingin berpartisipasi dalam survei yang panjang, yang lain tidak memahami
pertanyaan yang diajukan kepada mereka, dan yang lainnya memberikan informasi
yang tidak akurat. Melakukan wawancara atau survei berskala besar juga memakan
biaya dan waktu.

C. Survey Kesehatan Mental Anak dan Remaja di Indonesia


Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei
kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental
pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja
Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja
Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara
dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja.

Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan
mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental
di Indonesia.

Meskipun pemerintah sudah meningkatkan akses ke pelbagai fasilitas


kesehatan, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah
kesehatan mental mereka. Padahal, hampir 20% dari total penduduk Indonesia berada
dalam rentang usia 10 – 19 tahun. Hanya 2,6% dari remaja yang memiliki masalah
kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk
membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan
terakhir. Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang
sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka,

I-NAMHS berfokus untuk menghitung beban penyakit atau prevalensi enam


gangguan mental yang paling umum di antara remaja, yaitu fobia sosial, gangguan
cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres
pasca trauma (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).

I-NAMHS juga mengidentifikasi faktor risiko dan pelindung yang


berhubungan dengan gangguan mental remaja seperti perundungan, sekolah dan
pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat,
pengalaman masa kecil yang traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan.

Hasil survei terbaru UNICEF 2021 terhadap anak sekolah usia 13–17 tahun di
Indonesia menyoroti kesehatan jiwa sebagai isu utama yang dirasakan remaja. Lebih
dari 5% murid yang mengikuti survei menyatakan pernah secara serius
mempertimbangkan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir, dengan angka murid
perempuan lebih tinggi dibandingkan murid lelaki. Pikiran melakukan bunuh diri pun
tampaknya paling sering terjadi di kalangan murid SMA (usia 16–17).

Gangguan psikologis memiliki konsekuensi langsung dan merusak pada


kehidupan anak-anak dan keluarga mereka. Masalah kesehatan mental anak-anak juga
dapat membahayakan kesejahteraan pengasuh mereka, yang
menyebabkan berkurangnya produktivitas di tempat kerja dan meningkatnya
ketegangan di rumah. Mencegah gangguan masa kanak-kanak akan menyelamatkan
keluarga dari penderitaan dan dapat menciptakan kesejahteraan dalam keluarga.

D. Faktor Apa yang Mempengaruhi Prevalensi Gangguan Anak?


Prevalensi gangguan mental bervariasi antar kelompok sosiodemografi. Empat
faktor sosiodemografi sangat penting: (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) status sosial
ekonomi (SES), dan (4) etnis.

1. Usia
Prevalensi gangguan jiwa bervariasi dengan usia. Rata-rata, remaja lebih
mungkin mengalami masalah kesehatan mental daripada anak-anak (Merikangas
& He, 2014).

Studi ini juga memungkinkan kami untuk membandingkan prevalensi


gangguan tertentu pada masa kanak-kanak dan remaja Gangguan tertentu lebih
sering terjadi pada anak-anak yang lebih muda: autisme, kecemasan akan
perpisahan, dan ADHD. Namun, prevalensi sebagian besar gangguan meningkat
seiring bertambahnya usia. Misalnya, remaja jauh lebih mungkin mengalami
masalah dengan fobia sosial, depresi, gangguan bipolar, dan gangguan makan
dibandingkan anak praremaja. Masalah dengan alkohol dan penggunaan narkoba
lainnya juga biasanya muncul pada masa remaja dan relatif jarang terjadi pada
anak-anak praremaja.

2. Jenis Kelamin
Prevalensi gangguan psikologis juga bervariasi antar jenis kelamin. Pada
masa kanak-kanak, banyak kelainan lebih sering terlihat pada anak laki-laki.
Misalnya, anak laki-laki 4 kali lebih mungkin dibandingkan anak perempuan
untuk didiagnosis dengan ASD dan 3 kali lebih mungkin dibandingkan anak
perempuan untuk didiagnosis dengan ADHD.

Anak laki-laki juga lebih mungkin dibandingkan anak perempuan untuk


menunjukkan masalah perilaku yang mengganggu, seperti gangguan
pemberontak oposisi (ODD). Prevalensi gangguan lain kira-kira sama pada anak
laki-laki dan perempuan muda.

Namun, pada masa remaja, anak perempuan lebih mungkin mengalami


kesehatan mental daripada anak laki-laki. Remaja laki-laki terus berada pada
risiko yang lebih besar daripada remaja perempuan untuk mengembangkan
masalah perilaku. Demikian pula, remaja laki-laki sedikit lebih mungkin
dibandingkan remaja perempuan untuk mengembangkan masalah dengan alkohol
dan obat-obatan lainnya.

Remaja perempuan 2 sampai 3 kali lebih mungkin dibandingkan remaja


laki-laki untuk mengalami masalah depresi atau kecemasan. Selanjutnya, remaja
perempuan 5 sampai 10 kali lebih mungkin dibandingkan remaja laki-laki untuk
didiagnosis dengan gangguan makan.

Psikolog telah berjuang untuk menjelaskan mengapa anak perempuan


menunjukkan peningkatan dramatis dalam masalah kesehatan mental selama
masa remaja. Para peneliti telah menyarankan banyak penyebab mulai dari
perubahan biologis selama pubertas hingga ekspektasi sosial-budaya yang tidak
masuk akal yang diberikan pada anak perempuan. Namun baru-baru ini, para
peneliti telah mengidentifikasi dua faktor yang sangat penting: peristiwa
kehidupan yang penuh tekanan dan cara berpikir anak perempuan tentang
peristiwa tersebut.

Dalam satu studi, peneliti mengikuti sampel besar remaja dari akhir masa
kanak-kanak hingga remaja tengah (Hamilton, Stange, Abramson, & Alloy,
2015). Sebagian besar remaja melaporkan peningkatan stres selama periode ini;
namun, anak perempuan sangat sensitif terhadap "stres yang bergantung secara
interpersonal" yaitu, peristiwa stres yang melibatkan orang atau hubungan
penting dalam hidup mereka. Misalnya, anak perempuan cenderung melaporkan
kesulitan dengan orang tua, teman sebaya, atau pasangan romantis. Mungkin
yang lebih penting, cara berpikir para gadis tentang stressor yang bergantung
secara interpersonal ini mempengaruhi suasana hati mereka. Temuan ini
menunjukkan bahwa pemikiran anak perempuan tentang peristiwa antarpribadi
dapat sangat menentukan kesejahteraan mereka.

3. Status Sosial Ekonomi


Status sosial ekonomi (SES) adalah salah satu prediktor terbaik kesehatan
mental anak-anak. SES adalah variabel gabungan yang mencerminkan tiga aspek
lingkungan anak: (1) tingkat pendidikan orang tua, (2) pekerjaan orang tua, dan
(3) pendapatan keluarga. Seperti yang Anda duga, ketiga variabel ini berkorelasi;
orang tua dengan pendidikan lebih tinggi cenderung bekerja lebih kompleks,
pekerjaan bergaji lebih tinggi. Secara keseluruhan, anak-anak dari keluarga SES
rendah berisiko lebih besar mengalami gangguan mental dibandingkan anak-anak
dari keluarga SES menengah atau tinggi (Kessler et al., 2012a).

Ada dua penjelasan untuk hubungan antara SES dan risiko gangguan psikologis.
● Pertama, orang tua dengan SES tinggi mungkin lebih kecil kemungkinannya
untuk mengalami masalah psikologis sendiri. Mereka mewariskan gen yang
kondusif untuk kesehatan mental yang lebih baik kepada anak-anak mereka.
● Kedua, orang tua dengan SES lebih tinggi mungkin lebih mampu
menyediakan lingkungan bagi anak-anak mereka yang melindungi mereka
dari masalah psikologis. Misalnya, orang tua dengan pendapatan lebih tinggi
mungkin lebih mampu membayar perawatan kesehatan, nutrisi, atau sekolah
berkualitas lebih tinggi untuk anak-anak mereka.
Pengalaman awal ini, pada gilirannya, dapat melindungi anak-anak mereka dari
munculnya masalah kesehatan mental.

Prediktor terkait kesehatan mental anak-anak adalah komposisi keluarga.


Penelitian terbaru menunjukkan bahwa anak muda yang tinggal dengan hanya
satu orang tua biologis dua kali lebih mungkin mengalami gangguan kecemasan
atau gangguan mood dibandingkan anak muda yang tinggal dengan kedua orang
tua kandung. Selain itu, remaja yang tinggal di rumah dengan orang tua tunggal
mungkin 6 kali lebih mungkin mengembangkan gangguan perilaku atau
penggunaan zat dibandingkan remaja yang tinggal di rumah dengan dua orang tua
(Kessler et al., 2012a).
Hubungan antara keluarga dengan orang tua tunggal dan peningkatan
masalah kesehatan mental sebagian dijelaskan oleh SES; orang tua tunggal
seringkali mendapatkan pendapatan keluarga yang lebih rendah daripada keluarga
dengan dua orang tua. Namun, orang tua tunggal juga melaporkan stres yang
lebih besar dan lebih sulit memantau perilaku anak-anak mereka daripada
keluarga dengan dua orang tua. Faktor-faktor ini, pada gilirannya, dapat
berkontribusi pada masalah perilaku anak-anak mereka (Frick, 2013).

4. Etnis
Kemungkinan bahwa latar belakang ras atau etnis anak-anak mungkin
sebagian menentukan kemungkinan gangguan mereka diidentifikasi dan diobati.
Kemungkinan lain bahwa perbedaan ini mencerminkan praktik pengasuhan yang
berbeda dan nilai-nilai budaya lintas kelompok ras dan etnis. Selain itu, semakin
banyak remaja mendukung keyakinan suatu budaya, semakin besar kemungkinan
penerapannya dalam kehidupan.

Etnisitas anak-anak dapat mempengaruhi kemungkinan mereka


teridentifikasi dengan kelainan setidaknya dalam empat cara: (1) nilai-nilai
budaya keluarga anak mungkin berbeda dari nilai-nilai dari dokter; (2) keluarga
imigran dapat mengalami peningkatan stres akibat akulturasi; (3) perbedaan
bahasa dapat menyebabkan masalah komunikasi antara dokter dan keluarga; dan
(4) anak-anak minoritas seringkali kurang terwakili dalam penelitian kesehatan
mental.

E. Bagaimana Kita Mengidentifikasi Perilaku “Abnormal” pada Anak?


Tidak ada konsensus tentang bagaimana mendefinisikan perilaku abnormal
pada anak-anak dan remaja, dan tidak ada kesepakatan tentang cara terbaik untuk
membedakan kelainan dari fungsi normal. Namun, praktisi dan peneliti kesehatan
mental telah mengusulkan beberapa kriteria untuk mengidentifikasi anak-anak dengan
masalah perilaku dan sosial-emosional (Cicchetti, 2016a; Dulcan, 2015; Hayden &
Mash, 2014).

Perilaku abnormal ditentukan oleh frekuensi relatifnya dalam populasi umum.


Misalnya, pemikiran sementara tentang kematian cukup umum di kalangan remaja.
Namun, pemikiran berulang tentang bunuh diri jarang terjadi secara statistik dan dapat
mengindikasikan gangguan suasana hati, seperti depresi. Pendekatan infrekuensi
statistik ini dapat memberikan skala penilaian kepada klien dan mengidentifikasi
remaja yang menunjukkan gejala jauh di luar kisaran normalitas, dibandingkan
dengan anak dan remaja lain dengan usia dan jenis kelamin yang sama (Achenbach,
2015). Keterbatasan utama dari pendekatan penyimpangan statistik untuk
mendefinisikan kelainan adalah bahwa tidak semua perilaku yang jarang
menunjukkan gangguan mental. Bayangkan seorang anak yang menangis, lebih suka
tinggal di kamarnya, tidak mau bermain dengan teman, dan kesulitan menyelesaikan
tugas sekolah. Dari perspektif penyimpangan statistik, kita mungkin mendiagnosis
gadis ini dengan depresi karena dia menunjukkan masalah suasana hati yang jarang
terjadi pada anak seusianya. Namun, jika kita mengetahui bahwa kakeknya meninggal
beberapa hari sebelum penilaiannya, kita mungkin akan menafsirkan perilakunya
sebagai reaksi kesedihan yang normal, bukan sebagai indikator gangguan depresi
mayor (MDD). Meskipun infrekuensi statistik mungkin merupakan komponen
penting dari definisi kelainan, itu tidak cukup. Penyimpangan statistik tidak
memperhitungkan konteks perilaku anak.

Pendekatan lain untuk mendefinisikan kelainan didasarkan pada kecacatan


atau tingkat kecacatan. Tidak ada konsensus tentang bagaimana mendefinisikan
perilaku abnormal pada anak-anak dan remaja, dan tidak ada kesepakatan tentang
cara terbaik untuk membedakan kelainan dari fungsi normal. Namun, praktisi dan
peneliti kesehatan mental telah mengusulkan beberapa kriteria untuk mengidentifikasi
anak-anak dengan masalah perilaku dan sosial-emosional (Cicchetti, 2016a; Dulcan,
2015; Hayden & Mash, 2014). Dari perspektif ini, perilaku abnormal didefinisikan
sebagai pikiran, perasaan, atau tindakan yang mengganggu fungsi sosial, akademik,
atau pekerjaan seseorang. Misalnya, seorang remaja yang merasa sedih karena putus
dengan pacarnya tidak akan didiagnosis depresi, selama ia mampu menjaga hubungan
dengan teman, bergaul dengan orang tua, dan berprestasi di sekolah. Namun,
perilakunya mungkin dianggap tidak normal jika fungsinya memburuk di salah satu
area ini. Mendefinisikan ketidaknormalan berdasarkan tingkat kecacatan memiliki
kekurangan yang serius: Banyak orang dengan gangguan mental tidak menunjukkan
gangguan fungsi yang nyata.
Definisi lain dari ketidaknormalan menggabungkan tingkat tekanan psikologis
seseorang.Orang dapat menunjukkan tekanan psikologis melalui suasana hati yang
tertekan, lekas marah, cemas, khawatir, panik, bingung, frustrasi, marah, atau
perasaan disforia lainnya. Tekanan psikologis adalah salah satu ciri utama dari
sebagian besar gangguan kecemasan dan suasana hati. Salah satu batasan dalam
mendefinisikan abnormalitas dalam istilah tekanan psikologis adalah bahwa tekanan
seringkali bersifat subyektif. Beberapa tanda kesusahan dapat diamati oleh orang lain,
seperti telapak tangan berkeringat dan wajah memerah. Namun, distres biasanya
dinilai dengan meminta klien untuk melaporkan perasaannya. Dengan kata lain,
ketidaknormalan dapat didefinisikan sebagai penyimpangan budaya. Misalnya,
gangguan perilaku (CD) ditandai dengan pola perilaku yang terus-menerus melanggar
hak orang lain atau aturan masyarakat. Remaja dengan CD sering memiliki riwayat
masalah perilaku yang mengganggu yang jelas bertentangan dengan norma budaya
dan adat istiadat: mengutil, perampokan, kekerasan terhadap orang lain, dan
membolos.

Penilaian subjektif dari kesusahan pada anak-anak sangat bermasalah. Banyak


anak kecil tidak menyadari keadaan suasana hati mereka. Misalnya, beberapa remaja
menyatakan kecemasan atau depresi dalam bentuk keluhan fisik, seperti sakit kepala
atau sakit perut, bukannya mengalami emosi negatif. Anak-anak lain kesulitan
membedakan perasaan mereka. Misalnya, anak kecil sering mengacaukan emosi
negatif, seperti "ketakutan" dan "kemarahan". Terakhir, penilaian anak-anak tentang
kesusahan seringkali tidak dapat dibandingkan dengan kriteria objektif. Misalnya,
seorang anak yang melaporkan perasaan "buruk" mungkin mengalami lebih banyak
tekanan daripada anak lain yang melaporkan perasaan "buruk". Keterbatasan kedua
untuk mendefinisikan kelainan berdasarkan tekanan adalah bahwa banyak remaja
dengan masalah perilaku serius tidak mengalami emosi negatif. Misalnya, remaja
dengan masalah tingkah laku seringkali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan
atau depresi. Mereka mungkin hanya mengungkapkan penyesalan ketika mereka
ditangkap dan dihukum. Demikian pula, anak-anak yang lebih muda dengan perilaku
menentang dan menentang orang dewasa jarang mengungkapkan tekanan psikologis.
Namun definisi lain dari ketidaknormalan menggabungkan tingkat tekanan psikologis
seseorang. Orang dapat menunjukkan tekanan psikologis melalui suasana hati yang
tertekan, lekas marah, cemas, khawatir, panik, bingung, frustrasi, marah, atau
perasaan disforia lainnya. Tekanan psikologis adalah salah satu ciri utama dari
sebagian besar gangguan kecemasan dan suasana hati. Sebaliknya, perilaku mereka
yang mengganggu menyebabkan kesusahan bagi orang tua dan guru mereka.

Perilaku abnormal juga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau aturan yang
melanggar aturan masyarakat. Dengan kata lain, ketidaknormalan dapat didefinisikan
sebagai penyimpangan budaya. Misalnya, gangguan perilaku (CD) ditandai dengan
pola perilaku yang terus-menerus melanggar hak orang lain atau aturan masyarakat.
Remaja dengan CD sering memiliki riwayat masalah perilaku yang mengganggu yang
jelas bertentangan dengan norma budaya dan adat istiadat: mengutil, perampokan,
kekerasan terhadap orang lain, dan membolos. Keterbatasan utama dalam
mendefinisikan perilaku abnormal secara eksklusif berdasarkan sejauh mana perilaku
tersebut melanggar norma sosial adalah bahwa norma-norma ini dapat sangat
bervariasi dari satu budaya ke budaya lainnya. Misalnya, di masyarakat Barat, orang
tua sering meminta anak kecil untuk tidur di tempat tidur mereka sendiri, biasanya di
kamar terpisah. Anak yang menolak untuk tidur di tempat tidurnya sendiri dapat
digolongkan mengalami gangguan tidur. Namun, di banyak masyarakat non-Barat,
mewajibkan anak kecil untuk tidur sendiri dianggap kejam dan merugikan kehidupan
sosial dan lingkungan perkembangan emosional mereka.

Beberapa ahli mendefinisikan kelainan dalam hal kekakuan perilaku. Dari


perspektif ini, perilaku abnormal ditandai dengan tampilan tindakan, pikiran, atau
emosi tertentu yang berulang dan tidak fleksibel sebagai respons terhadap stresor
psikososial. Pertimbangkan seorang anak yang menunjukkan ketakutan akan
kemungkinan berpisah dari ibunya. Dalam beberapa keadaan, kelekatan pada orang
tua bersifat adaptif, misalnya saat anak berada di lingkungan yang asing dan
berpotensi berbahaya, seperti bandara yang ramai. Namun, dalam keadaan lain,
kecemasan perpisahan jelas maladaptif, seperti ketika seorang anak tidak mau
meninggalkan orang tuanya untuk bersekolah. Sedangkan kesehatan mental ditandai
dengan fleksibilitas dan adaptasi terhadap keadaan yang berubah, kelainan dapat
ditandai dengan penggunaan perilaku yang sama secara terus-menerus dalam semua
situasi, terlepas dari konteksnya.
Cara terakhir untuk membedakan kelainan dari normalitas didasarkan pada
gagasan tentang disfungsi yang berbahaya. Menurut Jerome Wakefield (1992),
gangguan muncul ketika dua kriteria terpenuhi. Pertama, orang tersebut harus
menunjukkan disfungsi yaitu , kegagalan dalam beberapa mekanisme internal untuk
bekerja dengan cara yang benar. Kedua, disfungsi tersebut harus menyebabkan
kerugian, atau harus membatasi atau mengancam orang tersebut dengan cara tertentu.
riteria disfungsi berbahaya dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan mental. Misalnya, depresi adalah gangguan mental karena (1) melibatkan
ketidaknormalan dalam fungsi kapasitas seseorang untuk mengatur emosi dan (2)
disfungsi mendasar ini menyebabkan penderitaan dan gangguan yang hebat. Ketika
menerapkan kriteria disfungsi berbahaya ke bidang psikologi anak abnormal, kita
harus ingat untuk mempertimbangkan perilaku anak dalam konteks perkembangannya
dan lingkungan sosial-budaya (Wakefield, 1997). Perilaku hanya dapat dipahami
dalam konteks kehidupan seseorang dan konteks sosial.

F. Memahami Perkembangan Abnormal


1. Menentukan Normal Dari Perilaku Abnormal
Secara historis, salah satu penghalang utama untuk mengenali
psikopatologi anak sebagai bidang studi yang unik adalah kecenderungan untuk
mempertimbangkan gangguan anak dari perspektif orang dewasa. Perspektif
orang dewasa terbukti dalam deskripsi gangguan menggunakan istilah orang
dewasa dan resep perawatan orang dewasa (Peterson & Roberts, 1991). Sebagai
contoh, seorang psikiater/psikolog yang memiliki keahlian dalam mengenali
depresi dan ciri-ciri depresi pada populasi orang dewasa mungkin mengalami
kesulitan jika diminta untuk mendiagnosis apakah seorang anak berusia 5 tahun
memiliki gejala depresi. Bahkan, dalam situasi ini, jika psikolog", kemungkinan
besar psikolog akan merujuk anak ke sumber yang lebih tepat, mengakui
keterbatasan keahliannya (salah satu dari standar etika psikolog).

2. Kompetensi dan Keterampilan dalam Menentukan Perilaku Normal Dari


Abnormal.
Psikiater dan atau psikolog yang bekerja dengan populasi anak atau orang
dewasa menghadapi tantangan serupa dalam menentukan apakah suatu perilaku
normal atau tidak normal. Meskipun mereka memiliki pemahaman yang luas
tentang apa yang dimaksud dengan perilaku "normal", penilaian klinis tentang
kelainan paling konsisten di antara rekan profesional untuk perilaku yang
mewakili bentuk yang paling menyimpang.

Bagaimana dengan perilaku yang hanya sedikit di luar batas normal?


Haruskah perilaku ini juga dianggap tidak normal? Untuk menjawab pertanyaan
semacam ini dan untuk membantu proses pengambilan keputusan, psikiater dan
atau psikolog sering mengandalkan sejumlah alat klinis, seperti wawancara
terstruktur dan skala penilaian standar (misalnya, inventarisasi depresi) untuk
memberikan cara yang lebih objektif untuk mengukur sejauh mana perilaku
menyimpang dari norma.

Klinisi juga dapat dibantu dalam mengevaluasi perilaku normal versus


abnormal dengan menerapkan pedoman untuk mengevaluasi bagaimana perilaku
berbeda dari perilaku normal dalam tiga area luas: perbedaan konseptual,
frekuensi kejadian, dan pervasiveness di seluruh situasi.

Secara konseptual, salah satu cara mengevaluasi perilaku relatif terhadap


ekspektasi normal adalah dengan mempertimbangkan perbedaan dari norma,
dalam empat area vital: penyimpangan, disfungsi, tekanan, dan bahaya (Comer,
2001). Sebagai bagian dari keseluruhan proses perumusan keputusan mengenai
“perilaku normal versus perilaku abnormal”, dokter tidak hanya akan
mengevaluasi secara kategoris apakah perilaku tersebut menyimpang,
disfungsional, menyusahkan, atau berbahaya; mereka juga akan
mempertimbangkan sejauh mana perilaku itu terjadi dan besarnya dampaknya.
Untuk tujuan ini, informasi akan dikumpulkan untuk menentukan intensitas,
durasi, dan frekuensi perilaku relatif terhadap norma. Selanjutnya, tetap dalam
perspektif bagaimana lingkungan dapat mempengaruhi hasil perilaku, penekanan
juga akan ditempatkan pada apakah suatu perilaku telah dicatat secara konsisten
di berbagai situasi, atau apakah perilaku tersebut khusus untuk konteks
lingkungan tertentu (misalnya, perilaku hanya terjadi di rumah, tidak di sekolah
atau bekerja). Berdasarkan informasi ini, dokter dipandu dalam pengambilan
keputusan tentang di mana menempatkan perilaku yang tidak teratur relatif
terhadap norma, sepanjang rangkaian penyimpangan ringan, sedang atau berat
dari perilaku normal.

3. Konsep Abnormalitas
Mengkonseptualisasikan abnormalitas sepanjang kontinum adalah salah
satu cara untuk membantu dalam evaluasi apakah perilaku secara signifikan
berbeda dengan norma. Secara konseptual, salah satu cara mengevaluasi perilaku
relatif terhadap ekspektasi normal adalah dengan mempertimbangkan perbedaan
dari norma, dalam empat area vital, antara lain:

a. Penyimpangan
Instrumen psikometri tersedia untuk membantu dokter dalam
mengukur keberadaan variabel kepribadian, dan untuk mendapatkan
informasi tentang gejala potensial untuk sejumlah gangguan. Metode
penilaian dapat berkisar dari wawancara informal, atau observasi, hingga
penggunaan kuesioner yang panjang atau tes standar. Dalam
mempertimbangkan perilaku menyimpang, beberapa faktor harus
dipertimbangkan, termasuk apa yang dianggap "normal" dalam budaya atau
subkultur tertentu yang terkait dengan norma umum.

b. Disfungsi
Sejauh mana seseorang mampu berfungsi secara memadai setiap hari
adalah contoh lain dari perilaku normal versus abnormal. Dokter yang
bekerja dengan orang dewasa mungkin menyelidiki sejauh mana memiliki
gangguan dapat membahayakan pekerjaan atau fungsi keluarga, sementara
dokter anak mungkin tertarik untuk mendapatkan informasi dari guru anak
mengenai bagaimana kinerja anak di sekolah secara akademis dan sosial.
Sangat mungkin untuk memiliki kelainan namun tidak memiliki kelainan itu
membuat individu tidak berfungsi. Misalnya fobia berat pada laba-laba
(arachnophobia), meskipun tidak menyimpang dari norma, mungkin
berdampak minimal pada fungsi sehari-hari jika individu tinggal di
lingkungan bebas serangga, sehingga individu mungkin dilumpuhkan
aktivitasnya oleh ketakutan fobia yang sama.
Klinisi dapat dipandu dalam membuat penilaian derajat disfungsi
menggunakan sejumlah ukuran yang tersedia (seperti skala penilaian
perilaku) dan instrumen penilaian yang dapat membantu klinisi dalam
melaporkan tingkat fungsi individu secara keseluruhan.

c. Distres
Bidang lain yang menantang untuk dievaluasi adalah tingkat distres
yang disebabkan oleh gangguan tersebut bagi seseorang dan orang-orang di
sekitarnya. Sementara orang dewasa dapat diwawancarai secara langsung
mengenai tingkat kesusahan mereka, anak-anak mungkin memiliki sedikit
pemahaman tentang emosi dan perilaku mereka dan kurang mampu untuk
mengomunikasikan apa yang mereka rasakan. Anak-anak hiperaktif atau
orang dewasa dalam fase manik mungkin mengalami distres minimal, tetapi
secara tidak sengaja dapat menimbulkan stres/distres yang besar pada
orang-orang di lingkungan terdekat mereka. Secara umum, kategori distres
dapat menjadi konsep yang sulit dipahami dan sulit untuk dievaluasi, karena
beberapa individu mungkin tidak menyadari distres yang dialami orang lain
sebagai akibat dari gangguan mereka.

d. Bahaya
Secara historis, dokter mengandalkan dua bidang investigasi yang luas
untuk menentukan apakah klien berbahaya: pertanyaan tentang bahaya klien
terhadap dirinya sendiri (niat bunuh diri), dan pertanyaan yang diarahkan
pada apakah klien menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang lain.
Ketika kita mempertimbangkan konsep bahaya atau risiko dalam kaitannya
dengan populasi anak, secara naluriah kita menganggap anak-anak sebagai
korban penganiayaan, seperti pelecehan atau penelantaran anak, atau pikiran
kita mungkin beralih ke pemikiran tentang risiko melukai diri sendiri di masa
remaja. bunuh diri. Namun, ada kecenderungan yang meningkat untuk
menghubungkan pemikiran tentang bahaya dengan konsep anak dan remaja
sebagai pelaku daripada korban kekerasan
G. Dampak Perilaku Abnormal Pada Anak & Remaja
Dampak perilaku abnormal pada anak dan remaja dapat memiliki konsekuensi
yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Perilaku abnormal pada
tahap perkembangan yang penting ini dapat mempengaruhi kesejahteraan mereka
secara sosial, emosional, akademis, dan fisik. Dalam artikel ini, kami akan
menjelaskan beberapa dampak utama dari perilaku abnormal pada anak dan remaja.

Salah satu dampak yang paling umum dari perilaku abnormal adalah gangguan
sosial. Anak dan remaja dengan perilaku yang tidak normal sering kali mengalami
kesulitan dalam berinteraksi dengan teman sebaya. Mereka mungkin merasa terisolasi,
tidak memiliki koneksi sosial yang kuat, atau dijauhi oleh kelompok sebaya mereka.
Ini dapat menyebabkan masalah dalam pembentukan hubungan yang sehat, serta
menimbulkan rasa kesepian dan rendah diri.

Dampak lain dari perilaku abnormal adalah pada kesehatan mental dan
emosional. Anak dan remaja dengan perilaku abnormal lebih rentan terhadap
gangguan kecemasan, depresi, dan stres. Mereka mungkin mengalami perasaan cemas
yang berlebihan, sering kali khawatir, atau merasa sedih secara konstan. Hal ini dapat
mengganggu kemampuan mereka untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik,
termasuk dalam kinerja akademis dan hubungan interpersonal.

Perilaku abnormal juga dapat berdampak negatif pada prestasi akademis anak
dan remaja. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi,
mempertahankan perhatian, atau menyelesaikan tugas sekolah. Hal ini bisa
mengakibatkan penurunan kinerja akademis, absensi yang tinggi, atau bahkan putus
sekolah. Perilaku yang tidak normal juga dapat mempengaruhi motivasi mereka untuk
belajar dan mencapai potensi penuh mereka.

Dampak lain yang perlu diperhatikan adalah dampak pada kesehatan fisik.
Anak dan remaja dengan perilaku abnormal mungkin memiliki pola makan yang tidak
sehat, seperti makan berlebihan atau kurang makan. Mereka juga mungkin terlibat
dalam perilaku berisiko seperti penyalahgunaan zat, penggunaan obat-obatan
terlarang, atau perilaku seksual yang tidak aman. Semua ini dapat berdampak negatif
pada kesehatan fisik mereka dan meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan
jangka panjang. Tidak hanya anak dan remaja yang terkena dampak, tetapi juga
keluarga mereka. Perilaku abnormal anak dan

Remaja dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan kelelahan pada orang tua
dan anggota keluarga lainnya. Mereka mungkin merasa terbebani dengan tanggung
jawab ekstra untuk merawat dan mendukung anak atau saudara mereka yang memiliki
perilaku yang tidak normal.

H. Bentuk Perilaku Abnormal Pada Anak & Remaja Indonesia


1. Gangguan Kecemasan
Gangguan kecemasan atau ansietas. sering terjadi pada masa kanak-kanak atau
remaja dan berlanjut ke masa dewasa biasanya berupa gangguan obsesif
kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada anak-anak
dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada orang dewasa.
Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang
ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya.
Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas
berat terhadap perpisahan dan khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang
yang mengasuhnya (separation anxiety disorder).

Metode penanganan gangguan kecemasan:

a. Medikamentosa
Penggunaan medikamentosa dilaporkan efektif dalam penanganan jangka
pendek gangguan cemas pada anak dan remaja. Modalitas farmakoterapi
yang direkomendasikan adalah penggunaan golongan selective serotonin
reuptake inhibitor (SSRI), seperti fluoxetine, sertraline, escitalopram, dan
vortioxetine. SSRI menjadi pilihan utama karena efektivitas dan profil
keamanannya.

b. Psikoterapi
Psikoterapi menjadi pilihan modalitas utama penanganan gangguan cemas
pada anak dan remaja karena efek ketergantungan minimal, dan efek terapi
bisa bertahan jangka panjang sampai beberapa tahun pasca terapi. Psikoterapi
bisa dilakukan secara individual, kelompok, atau bersama dengan orang tua.
Terapi behavior dan cognitive behavioural therapy (CBT) bisa dilakukan
pada anak-anak berusia >6 tahun. CBT untuk gangguan cemas pada anak dan
remaja terdiri dari psikoedukasi, modifikasi pikiran negatif, paparan,
pelatihan kompetensi sosial, pelatihan perilaku koping, dan sesi penguatan
mandiri.

2. Gangguan Depresi Mayor


Gangguan depresi mayor contohnya adalah pada Anak-anak yang berumur 3
tahun, mungkin menunjukkan depresinya melalui ekspresi wajah serta perilaku
makan, tidur dan bermain. (Durrand & Barlow, 2007) mengemukakan bahwa
13% dari 1.265 remaja mengembangkan ganggaun depresi berat pada usia 14-16
tahun sehingga rentan kepada percobaan bunuh diri dan penyalahgunaan obat.
Gejala depresi mayor Pada anak-anak atau remaja, gejala yang muncul biasanya
akan disertai dengan penurunan prestasi di sekolah atau sikap-sikap nakal
lainnya. Remaja juga akan lebih mudah tersinggung terkait hal-hal kecil
disekitarnya. Gejala-gejala di atas tidak boleh untuk disepelekan, terutama jika
gejala tersebut dapat Anda lihat dari orang-orang disekeliling Anda.

Metode penanganan gangguan depresi mayor:


a. Mengonsumsi Obat Antidepresan
Antidepresan adalah obat yang bisa mengatasi gangguan depresi mayor
karena dapat meningkatkan cara otak menggunakan bahan kimia tertentu lalu
mengendalikan suasana hati atau stres. Namun, obat ini hanya boleh
dikonsumsi berdasarkan resep dari psikiater atau dokter.

b. Psikoterapi
Beberapa jenis psikoterapi, disebut "terapi bicara" atau dalam bentuk yang
kurang spesifik yakni konseling. Contoh pendekatan berbasis bukti khusus
untuk pengobatan depresi termasuk terapi kognitif-perilaku (CBT), terapi
interpersonal (IPT), dan terapi pemecahan masalah.

c. Terapi Stimulasi Otak


Jika obat tidak mengurangi gejala gangguan depresi mayor, Berdasarkan
penelitian terbaru, ECT dapat memberikan kelegaan bagi orang dengan
depresi berat yang belum dapat merasa lebih baik dengan perawatan lain.
terapi electroconvulsive Perawatan terdiri dari serangkaian sesi, biasanya tiga
kali seminggu, selama 2 hingga 4 minggu. ECT dapat menyebabkan
beberapa efek samping, termasuk kebingungan, disorientasi, dan kehilangan
memori.

3. Gangguan Perilaku Jenis Conduct Disorder


Gangguan Perilaku misalnya yaitu tidak dapat membedakan benar-salah (conduct
disorder). Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu
membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah
munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari
aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak
bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Selain itu, conduct
disordser juga dikategorikan pada remaja yang berperilaku oppositional deviant
disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur
permusuhan yang akan merugikan orang lain.

Metode Penanganan conduct disorder:


a. Training untuk orang tua sehingga dapat mengetahui dan mengenali perilaku
anaknya yang mengalami conduct disorder.
b. Training keluarga untuk lebih peka antara satu dan yang lain sehingga
gangguan conduct disorder pada anak dapat diminimalisir.
c. Training tentang keterampilan dalam memecahkan masalah untuk para
penderita conduct disorder.

Community base service merupakan sebuah terapi yang dikhususkan untuk


anak-anak. Conduct disorder yang mengalami masalah dalam keluarga maupun
lingkungannya.

4. Gangguan Post Traumatic Stress Disorders (PTSD)


Menurut DSM-V PTSD merupakan sekelompok gejala kecemasan yang terjadi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis yang mengakibatkan perasaan
ngeri, tidak berdaya, dan ketakutan. ] terhadap cara menanggapi trauma setelah
mengalami kejadian traumatis sebagai reaksi normal tubuh dan otak. Pada anak,
Sering mengenang kembali peristiwa traumatis berulang kali dalam pikiran atau
bercerita, Mimpi buruk dan Menjadi sangat kesal ketika ada sesuatu yang
menyebabkan ia mengingat peristiwa traumatis tersebut. Serta Kurangnya emosi
positif seperti kehilangan minat pada hal-hal yang dulu mereka sukai.

Metode penanganan Post Traumatic Stress Disorders:


Psikoterapi untuk PTSD. Ada beberapa jenis psikoterapi yang dipilih oleh dokter
untuk menangani PTSD, antara lain:

a. Terapi paparan (exposure therapy): dilakukan dengan mendekati pasien


terhadap situasi atau hal yang ditakutkan.
b. Terapi kognitif atau cognitive behavioral therapy (CBT): terapi bicara untuk
membantu penderita PTSD mengenali pola pikir dirinya sendiri yang dapat
mempengaruhi emosinya.
c. Obat anti cemas. Obat ini digunakan untuk meredakan kecemasan pasien
PTSD yang biasanya diresepkan oleh dokter dalam waktu singkat saja.
Prazosin. untuk mengurangi mimpi buruk yang dialami oleh penderita PTSD
dam Antidepresan. untuk membantu meringankan depresi.

5. Gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)


Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Dicirikan dengan tingkat
gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap
perkembangan. Menurut DSM IV, ADHD pasti terjadi sedikitnya di dua tempat
(misalkan, di sekolah dan di rumah) dan terjadi sebelum usia 7 tahun. ADHD ditandai
dengan kemampuan yang lemah dalam menyelesaikan tugas, kesulitan untuk fokus
dan memperhatikan sesuatu, kesulitan mengontrol kebiasaan, aktivitas motorik yang
berlebihan, hiperaktivitas (overactivity) dan impulsivitas.

Seorang anak yang mengalami ADHD sering kali gelisah, sulit duduk dalam waktu
yang lama, mudah bingung, kesulitan berkonsentrasi dan mengikuti instruksi yang
diberikan jarang mendengarkan apa yang sedang dikatakan, mudah kehilangan
barang, sering terlibat dalam kegiatan yang berbahaya secara fisik tanpa
mempertimbangkan akibat yang mungkin terjadi.

Metode penanganan Gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder


(ADHD):
a. Intervensi biologis (pengobatan methylphenidate, D-amphetamine, dan
premoline).
b. Intervensi psikologis (misalkan intervensi behavior dengan reward and
punishment).
c. Terapi token economy juga dapat digunakan untuk meningkatkan atensi pada
anak ADHD

Selain itu, bagi orang tua yang anaknya mengalami ADHD, dapat diterapkan latihan
untuk orang tua dan terapi keluarga untuk mengajarkan beberapa keterampilan orang
tua agar percaya diri dalam mengasuh anak ADHD dan untuk memodifikasi pola
interaksi negatif pada keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Robert Weis. Introduction to Abnormal Child and Adolescent Psychology. 3 Edition.

Linda Wilmshurst. Abnormal Child And Adolescent Psychology (A Developmental


Perspective). 2nd edition.

https://ugm.ac.id/id/berita/23086-hasil-survei-i-namhs-satu-dari-tiga-remaja-indonesia
-memiliki-masalah-kesehatan-mental/

Anda mungkin juga menyukai