Anda di halaman 1dari 9

REFERAT

HUBUNGAN TRAUMA MASA KECIL DAN GANGUAN JIWA MASA


KECIL TINJAUAN KRITIS TERHADAP BAUER, ET AL

Pembimbing:
Dr. dr. Astri Parawita Ayu, Sp.KJ

Disusun oleh:
Chelsea Quatro
(202106010141)

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
21 NOVEMBER 2022 – 24 DESEMBER 2022
Latar Belakang
Trauma masa kecil merupakan kejadian pada anak 0-17 tahun yang melibatkan
kondisi yang mengancam nyawa, cedera serius, kecelakaan, bencana, kekerasan seksual,
kekerasan dalam rumah tangga, kehilangan keluarga inti dan penelantaran.1,2 Trauma masa
kecil juga sering disebut sebagai adverse childhood experience.3 Prevalensi kejadian trauma
masa kecil di dunia terjadi pada 60% anak sebelum berusia 16 tahun dan 30% di antaranya
mengalami kejadian trauma yang berulang.4 Di Indonesia pada tahun 2021 dilaporkan
bahwa, anak laki-laki yang berusia 13-17 tahun mengalami kekerasan dalam bentuk seksual,
fisik, dan emosional dengan persentase sebanyak 23,23% anak di perkotaan dan 22,49% anak
di pedesaan.5 Pada anak perempuan yang berusia 13-17 tahun sebanyak 25,72% anak di
perkotaan dan 27,26% anak di pedesaan mengalami kekerasan dalam bentuk seksual, fisik,
dan emosional.5 Hal tersebut menunjukkan bahwa anak-anak sangat rentan mengalami
tindak kekerasan yang dapat memicu terjadinya trauma.
Anak-anak biasanya sulit mengutarakan kejadian yang mereka alami mengenai
kekerasan seperti intimidasi, pengabaian oleh orang tua, dan pelecehan seksual. Anak korban
kekerasan sering kali menampilkan perilaku diam, selalu waspada, atau agresif.6 Dampak
trauma masa kecil dikaitkan dengan gangguan jiwa seperti, Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD), Attention Deficit and Hyperactive Disorder (ADHD), depresi, penggunaan zat
terlarang, gangguan kognitif, Borderline Personality Disorder (BPD), dan ketidakstabilan
emosi.7,8 Selain memengaruhi kejiwaan, trauma masa kecil dapat menyebabkan masalah
lain, seperti gangguan saraf, gangguan imunitas, dan penyakit lainnya.7,8 Trauma masa kecil
merupakan faktor risiko yang kuat untuk munculnya ide dan perilaku bunuh diri yang
merugikan bagi individu, keluarga, dan komunitas.9
Faktor yang memengaruhi kejadian trauma masa kecil terdiri dari faktor risiko dan
faktor protektif.2 Kedua faktor tersebut dibagi menjadi faktor individu, keluarga, dan
komunitas.2 Faktor risiko individu dan keluarga yang memengaruhi kejadian trauma masa
kecil yaitu, keluarga yang memiliki kesulitan mengasuh anak, hubungan yang renggang
antara keluarga, anak yang memiliki pasangan pada usia muda, keluarga dengan pendapatan
rendah, keluarga dengan pendidikan rendah, pola asuh anak yang buruk, keluarga dengan
konflik dan kekerasan dalam rumah tangga.2 Faktor risiko komunitas yang berpengaruh
terhadap trauma masa kecil meliputi, komunitas dengan pergaulan bebas (seks, penggunaan
rokok, dan alkohol), lingkungan rumah yang tidak sehat (misalnya dengan tinggi kriminalitas
yang tinggi), komunitas yang tinggi angka kemiskinan dan rendah pendidikan.2 Faktor
protektif individu yang dapat dipraktikkan oleh anak salah satunya yaitu, mencari hubungan
pertemanan yang baik dan positif.2 Faktor protektif keluarga yang dapat dilakukan oleh orang
tua dan pengasuh adalah membuat lingkungan keluarga yang stabil, aman dan nyaman,
memiliki pendidikan yang cukup, membantu anak dalam kegiatan sehari-hari, sekolah, dan
permasalahan yang anak hadapi.2 Faktor protektif komunitas adalah lingkungan yang aman,
akses terhadap pengobatan, dan sekolah yang memadai.2,10
Penelitian Bauer, et al. meneliti hubungan antara trauma masa kecil dan gangguan
jiwa di Brazil menggunakan data kohort.11 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara trauma masa kecil dengan gangguan mental yang diharapkan dapat
melengkapi penelitian mengenai trauma masa kecil yang masih terbatas di negara
berpenghasilan menengah, terutama Brazil.11 Penelitian ini juga menelaah lebih lanjut
hubungan trauma interpersonal dan non-interpersonal dengan gangguan kejiwaan.11 Metode
yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara menggunakan The Development and
Well-Being Assessment interview (DAWBA) terhadap pengasuh utama anak hingga anak
berusia 6 dan 11 tahun.11 Penelitian ini menemukan bahwa trauma yang didapat hingga anak
berusia 6 tahun dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya gangguan kecemasan dan
gangguan psikiatri lainnya.11 Anak yang berusia 11 tahun dengan trauma masa kecil berisiko
mengalami gangguan kecemasan, ADHD, gangguan perilaku, dan gangguan psikiatri
lainnya.11 Trauma interpersonal dan trauma non-interpersonal masing-masing dikaitkan
dengan peningkatan kemungkinan gangguan kejiwaan yang beragam.11
Penelitian mengenai trauma masa kecil di Indonesia masih sangat terbatas
dibandingkan dengan negara lain. Data-data mengenai epidemiologi anak yang mengalami
trauma dalam konteks kejiwaan di Indonesia masih belum memadai. Tinjauan dari United
Nations Children’s Fund menunjukkan bahwa kajian empiris terhadap faktor risiko dan
protektif dari trauma masa kecil masih sangat jarang dilakukan di Indonesia.12 Trauma masa
kecil termasuk hal yang dapat dicegah sehingga jika dilakukan intervensi yang tepat dapat
mengurangi dampak negatif dari hal tersebut. Hasil dari penelitian Bauer, et al. dapat
dijadikan acuan untuk melakukan penelitian mengenai hubungan trauma masa kecil terhadap
gangguan jiwa, sehingga trauma masa kecil dapat diperhatikan oleh individu, orang tua,
masyarakat, dan pemerintah. Referat ini akan membahas tinjauan kritis penelitian Bauer, et
al. berdasarkan JBI critical appraisal.13
Critical Appraisal terhadap Kualitas Penelitian Bauer, et al
Penelitian Bauer, et al. merupakan studi kohort mengenai trauma masa kecil dan
gangguan jiwa masa kecil di Brazil. Sampel dari penelitian ini dibagi menjadi kelompok
yang terpapar dengan trauma dan kelompok yang tidak terpapar dengan trauma. Kedua
kelompok tersebut didapatkan dari populasi yang sama yaitu, data kohort prospektif Kota
Pelotas di Brazil tahun 2004. Jumlah anak yang masuk ke dalam sampel penelitian adalah
sebanyak 4231 anak. Anak yang masuk ke dalam sampel penelitian di nilai ketika anak
berusia 6 tahun dan berusia 11 tahun. Anak yang tidak memiliki data lengkap di eksklusi dari
penelitian ini. Dengan demikian, pertanyaan pertama pada checklist JBI (Apakah kedua
kelompok mempunyai kesamaan dan diambil dari populasi yang sama?) dapat dijawab
dengan “ya”.
Data penelitian Bauer, et al. diperoleh dari hasil wawancara dengan 4229 sampel.
Paparan terhadap trauma pada kedua kelompok dinilai secara sama menggunakan bagian
penilaian PTSD pada The Development and Well-Being Assessment interview (DAWBA)
dan pertanyaan paparan trauma terhadap pengasuh (trauma interpersonal dan non-
interpersonal). DAWBA merupakaan wawancara yang telah tervalidasi secara klinis dan
sesuai dengan DSM-IV, DSM, 5 dan ICD-10 anak usia 5-17 tahun. DAWBA juga memiliki
reliabilitas yang baik pada sampel penelitian di Brazil.11 Aebi, et al. menyatakan bahwa
reliabilitas DAWBA cukup memuaskan dalam menegakkan diagnosis.14 Instrumen tersebut
telah divalidasi dan diuji untuk mengetahui psikopatologi anak dan remaja.15 Dengan
demikian, pertanyaan kedua (Apakah paparan diukur secara sama untuk menetapkan
kelompok yang terpapar dan kelompok yang tidak terpapar?) dan pertanyaan ketiga (Apakah
paparan diukur secara valid dan reliabel?) pada checklist JBI dapat dijawab dengan “ya”.
Faktor-Faktor perancu (confounders) dinilai pada penelitian Bauer, et al. Faktor-
faktor yang memengaruhi penelitian ini meliputi, jenis kelamin anak, hubungan maternal,
suku dan etnis ibu, kebiasaan merokok ibu, kebiasaan konsumsi alkohol ibu, pendidikan ibu,
pendapatan keluarga, depresi pada ibu, gangguan jiwa sebelumnya pada anak. Faktor
perancu tersebut dinilai berdasarkan maternal self report. Faktor perancu disingkirkan untuk
menilai hasil yang lebih baik. Penelitian ini, faktor perancu memberikan hasil yang berbeda
pada odd ratio. Dengan demikian, pertanyaan keempat (Apakah faktor perancu
diidentifikasi?) pada checklist JBI dapat dijawab dengan “ya”. Penelitian Bauer, et al. kurang
menjelaskan bagaimana cara peneliti mengatasi faktor perancu, sehingga pertanyaan kelima
(Apakah strategi untuk mengatasi faktor perancu diidentifikasi?) pada checklist JBI dapat
dijawab dengan “belum jelas”.
Subjek padan penelitian Bauer, et al. yang pernah mengalami gangguan jiwa
sebelumnya di nilai menggunakan the parent-reported child behavior checklist. Gangguan
jiwa yang ditanyakan berupa perilaku menarik diri, keluhan somatik, cemas/depresi, masalah
sosial, masalah pikiran, masalah perhatian, perilaku melanggar aturan, dan perilaku agresif
pada anak. Penelitian ini tidak menjelaskan kenapa the parent-reported child behavior
checklist dapat memastikan responden bebas dari gangguan jiwa sebelumnya. Dengan
demikian, pertanyaan keenam (Apakah kelompok/peserta bebas dari hasil pada awal
penelitian atau saat pemaparan?) pada checklist JBI dapat dijawab dengan “belum jelas”.
Hasil penelitian Bauer, et al. dibagi menjadi 4 kategori yaitu, gangguan kecemasan
(misalnya dengan fobia, gangguan kecemasan menyeluruh, PTSD, serangan panik, dan
tindakan obsesi dan kompulsi); gangguan suasana hati (misalnya dengan depresi dan
bipolar); Attention Deficit and Hyperactive Disorder (ADHD); dan gangguan perilaku pada
anak. Diagnosis ditegakkan berdasarkan DSM-IV, DSM-5, dan ICD-10 oleh psikolog yang
terdaftar dan terlatih. Psikiater juga berperan dalam mengawasi data yang masuk setiap
minggu. Psikolog yang teregister dapat menegakkan diagnosis, tetapi tidak dapat
memberikan obat-obatan. Dengan demikian, pertanyaan ketujuh (Apakah hasil diukur
dengan cara yang valid dan dapat diandalkan?) pada checklist JBI dapat dijawab dengan
“ya”.
Penelitian Bauer, et al. menjelaskan bahwa terdapat 32 data yang tidak berhasil di
follow-up. Pasa penelitian ini follow-up dilakukan pada usia 3 bulan, 1 tahun, 2 tahun, 4
tahun, 6 tahun, dan 11 tahun. Penelitian Chan, et al. menyatakan waktu yang baik untuk
melakukan penelitian kohort pada pasien dengan trauma sekurang-kurangnya adalah 4
tahun.16 Dengan demikian, pertanyaan kedelapan (Apakah waktu tindak lanjut dilaporkan
dan cukup lama untuk menghasilkan hasil?) pada checklist JBI dapat dijawab dengan “ya”.
Proses follow-up pasien tidak lengkap alasan responden tidak datang, dan tidak bisa
dihubungi tidak dijelaskan lebih lanjut pada penelitian ini, sehingga untuk pertanyaan
kesembilan (Apakah tindak lanjut lengkap, dan jika tidak, apakah alasan dari responden yang
tidak ditindak lanjuti dijelaskan dan dieksplorasi?), dan pertanyaan kesepuluh (Apakah
terdapat strategi yang digunakan untuk mengatasi tindak lanjut yang tidak lengkap?) pada
checklist JBI dapat dijawab dengan “tidak”.
Analisa statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah regresi logistic biner yang
digunakan untuk menilai hubungan antara trauma masa kecil dengan munculnya gangguan
kecemasan, gangguan suasana hati, gangguan suasana hati, Attention Deficit and
Hyperactive Disorder (ADHD), dan gangguan perilaku pada anak. Analisis regresi logistic
biner sering digunakan pada penelitian kohort.17 Analisis regresi logistik biner digunakan
untuk mencari hubungan antara variabel respon yang bersifat biner.18 Pada penelitian Bauer,
et al. variable yang digunakan adalah unexposed dan exposed terhadap trauma. Dengan
demikian, pertanyaan kesebelas (Apakah analisa statistik yang digunakan tepat?) pada
checklist JBI dapat dijawab dengan “ya”.
Berdasarkan penilaian menggunakan JBI critical appraisal checklist for cohort
studies, secara keseluruhan penelitian Bauer, et al. sudah cukup baik untuk penelitian kohort
(7 dari 11 kriteria terpenuhi). Hal-hal yang perlu diperhatikan pada penelitian ini adalah cara
mengatasi faktor perancu, alasan dan strategi responden yang tidak berhasil dilakukan
follow-up. Penelitian ini layak untuk dijadikan referensi bagi penelitian serupa karena
memiliki teknik pengumpulan data yang baik, instrumen yang valid dan reliabel, waktu
tindak lanjut yang cukup, dan analisis data yang baik.
JBI CRITICAL APPRAISAL CHECKLIST FOR COHORT
STUDIES
Reviewer: Chelsea Quatro Date:10 Desember 2022
Author : Bauer et al. Year : 2022
Yes No Unclear Not
applicable
1. Were the two groups similar and recruited from the
same population? □ □ □ □
2. Were the exposures measured similarly to assign
people to both exposed and unexposed groups? □ □ □ □
3. Was the exposure measured in a valid and reliable
way? □ □ □ □
4. Were confounding factors identified?
□ □ □ □
5. Were strategies to deal with confounding factors
stated? □ □ □ □
6. Were the groups/participants free of the outcome
at the start of the study (or at the moment of
exposure)?
□ □ □ □
7. Were the outcomes measured in a valid and reliable
way? □ □ □ □
8. Was the follow up time reported and sufficient to
be long enough for outcomes to occur? □ □ □ □
9. Was follow up complete, and if not, were the
reasons to loss to follow up described and explored? □ □ □ □
10. Were strategies to address incomplete follow up
utilized? □ □ □ □
11. Was appropriate statistical analysis used?
□ □ □ □
Overall appraisal: Include □ Exclude □ Seek further info □
Daftar Pustaka

1. Danese A, McLaughlin KA, Samara M, Stover CS. Psychopathology in children exposed


to trauma: detection and intervention needed to reduce downstream burden. BMJ.
2020;371:m3073.
2. CDC. Adverse Childhood Experiences (ACEs) [Internet]. 2022 [cited 2022 Dec 2].
Available from: https://www.cdc.gov/violenceprevention/aces/fastfact.html
3. Associations between adverse childhood experiences and health outcomes in adults aged
18–59 years - PMC [Internet]. [cited 2022 Dec 18]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6366931/
4. Copeland WE, Shanahan L, Hinesley J, Chan RF, Aberg KA, Fairbank JA, et al.
Association of Childhood Trauma Exposure With Adult Psychiatric Disorders and
Functional Outcomes. JAMA Network Open. 2018;1:e184493.
5. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 [Internet]. 2021
[cited 2022 Dec 2]. Available from:
https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/41/4000/infografis-snphar-2021
6. Rahapsari S, Valendra Granitha Shandika Puri, Adelia Khrisna Putri. An Indonesian
Adaptation of the World Health Organization Adverse Childhood Experiences
International Questionnaire (WHO ACE-IQ) as a Screening Instrument for Adults.
gamajop. 2021;7:115.
7. Dye H. The impact and long-term effects of childhood trauma. Journal of Human
Behavior in the Social Environment. 2018;28:381–92.
8. Herzog JI, Schmahl C. Adverse Childhood Experiences and the Consequences on
Neurobiological, Psychosocial, and Somatic Conditions Across the Lifespan. Front
Psychiatry. 2018;9:420.
9. Park C, Park IH, Yoo T, Kim H, Ryu S, Lee JY, et al. Association between Childhood
Trauma and Suicidal Behavior in the General Population. Chonnam Med J.
2021;57:126–31.
10. Austin AE, Lesak AM, Shanahan ME. Risk and protective factors for child
maltreatment: A review. Curr Epidemiol Rep. 2020;7:334–42.
11. Andreas Bauer, Graeme Fairchild, Gemma Hammerton, Joseph Murray, Ina S Santos,
Luciana Tovo Rodrigues, et al. Associations between childhood trauma and childhood
psychiatric disorders in Brazil: a population-based, prospective birth cohort study - The
Lancet Psychiatry. 2022;9:960–77.
12. Rumble L, Ramly AA, Nuryana M, Dunne MP. The Importance of Contextual Factors
in Carrying Out Childhood Violence Surveys: a Case Study from Indonesia. Child Ind
Res. 2018;11:405–21.
13. JBI. Critical Appraisal Tools [Internet]. [cited 2022 Dec 13]. Available from:
https://jbi.global/critical-appraisal-tools
14. Aebi M, Kuhn C, Metzke CW, Stringaris A, Goodman R, Steinhausen HC. The use of
the development and well-being assessment (DAWBA) in clinical practice: a
randomized trial. Eur Child Adolesc Psychiatry. 2012;21:10.1007/s00787-012-0293–6.
15. Goodman R, Ford T, Richards H, Gatward R, Meltzer H. The Development and Well-
Being Assessment: Description and Initial Validation of an Integrated Assessment of
Child and Adolescent Psychopathology. Journal of Child Psychology and Psychiatry.
2000;41:645–55.
16. Chan CMH, Ng CG, Taib NA, Wee LH, Krupat E, Meyer F. Course and predictors of
post-traumatic stress disorder in a cohort of psychologically distressed patients with
cancer: A 4-year follow-up study. Cancer. 2018;124:406–16.
17. Noma H, Tanaka S. Analysis of case-cohort designs with binary outcomes: Improving
efficiency using whole-cohort auxiliary information. Stat Methods Med Res.
2017;26:691–706.
18. Harris JK. Primer on binary logistic regression. Fam Med Community Health.
2021;9:e001290.

Anda mungkin juga menyukai