Anda di halaman 1dari 5

Penelitian Penyebab Remaja Mengalami Mentall Illness

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah


Kehidupan para remaja saat ini harus mendapatkan perhatian khusu, semakin
mendekati puncak globalisasi mengakibatkan banyaknya remaja yang melakukan
tindakan tak wajar dan melampaui batas. Mengetahui hal ini, peran orang tua sangat
dibutuhkan. Keluarga adalah tempat pertama kepribadian seorang anak dibentuk.
Keluarga harus bisa menjadi sahabat sekaligus keluarga yang baik dalam
mendengarkan keinginan anak dan menasihati yang baik jika itu tidak sesuai dengan
norma yang berlaku. Mengekang anak juga bukan perbuatan yang sesuai dengan
permasalahan ini, karena anak di usia remaja juga membutuhkan eksplorasi mengenai
apa yang ada di sekitarnya dan dapat memilah yang baik dan benar untuk dirinya.
Motivasi serta nasihat yang baik dari orang tua sangat berperang penting dalam proses
perkembangan mental anak.
Kesehatan mental memiliki definisi dalam kehidupan sebagai penentu
kehidupan seseorang dalam kesehariannya. Mental menunjukkan kesehatan manusia
untuk berkembang kearah yang lebih baik di masa mendatang (Adityawarman, 2010).
Definisi lain dari kesehatan mental adalah kondisi dimana seseorang merasa mampu
untuk menyadari kemampuan atas dirinya, dapat mengatasi tekanan hidup yang
normal dan mampu bekerja secara produktif serta bisa memberikan kontribusi dirinya
terhadap lingkungan sekitarnya. Sedangkan, masalah kesehatan mental adalah kondisi
yang menunjukkan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam menyesuaikan diri
terhadap kondisi lingkungan dan tuntutan yang megakibatkan ketidakmampuan
tertentu (Kartono, 2000). Masalah kesehatan mental yang dialami remaja cukup
tinggi. Data survei yang dilakukan National Adoles Health Information Center
NAHIC (2005) menunjukkan bahwa remaja dan dewasa muda pada usia 10-24 tahun
baik pria maupun wanita pernah melakukan rawat jalan gangguan kesehatan mental,
sebesar 1,9 juta pria melakukan rawat jalan kesehatan mental sedangkan wanita
sebesar 1,6 juta jiwa. Survei Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa 11,6%
penduduk Indonesia dengan usia diatas 15 tahun mengalami gangguan kesehatan
mental dan emosional, sekitar 19 juta anak mengalami kesehatan mental dan sosial.
Masalah kesehatan menal yang banyak dihadapi remaja karena adanya
permasalahan dalam lingkup pertemanan. Masalah pertemanan ini menunjukkan
ketidakmampuan remaja dalam menjalin rasa dan relasi pertemanan yang sehat dan
baik dengan teman sebayanya (Rohman dan Mugiarso, 2016). Kegagalan remaja
dalam bersosialisasi dengan teman sebayanya akan menyebabkan remaja menjadi
pemalu, menyendiri, kurang percaya diri atau justru berperilaku sombong, keras
kepala, serta salah tingkah bila berada dalam situasi sosial (Poerwanti & Widodo,
2002).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, adapun identifikasi masalah yag akan
dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Faktor penyebab mental illness pada remaja.
2. Pengaruh mental illness pada remaja dengan lingkungan keluarga.
3. Dampak dari mental illness pada remaja.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah sebagai penjelas ruang lingkup dalam suatu penelitian.
Pembatasan masalah dalam penelitian hanya terbatas pada kondisi mental illness apad
anak berusia remaja yakni berusia 12-24 tahun menurut WHO.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari paparan pembatasan masalah serta latar belakang masalah.
Penelitian ini akan merumuskan beberapa masalah, antara lain :
1. Apa factor penyebab terjadinya mental illness pada remaja ?
2. Bagaimana proses seorang remaja bisa mengalami mental illness?
3. Apa saja dampak dari mental illness pada remaja ?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan hasil akhir dari dibentuknya rumusan masalah.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui factor apa saja yang menyebabkan terjadinya mental illness
pada remaja.
2. Mampu memahami dengan jelas proses seorang remaja bisa mengalami mental
illness.
3. Untuk mengetahui dampak dari mental illness pada remaja.

BAB II
Landasan Teori

A. Tinjauan Pustaka
Kesehatan mental merupakan kondisi dimana individu memiliki kesejahteraan
yang tampak dari dirinya yang mampu menyadari potensinya sendiri, memiliki
kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam
kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu
memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Mengutip dari jargon yang digunakan
oleh WHO, “there is no health without mental health” menandakan bahwa kesehatan
mental perlu dipandang sebagai sesuatu yang penting sama seperti kesehatan fisik.
Mengenali bahwa kesehatan merupakan kondisi yang seimbang antara diri sendiri,
orang lain dan lingkungan membantu masyarakat dan individu memahami bagaimana
menjaga dan meningkatkannya.
Sebelum abad pertengahan, kesehatan mental seringkali dikaitkan dengan
kekuatan gaib, makhlus halus, ilmu sihir dan sejeninya. Oleh karenanya, jika terjadi
gangguan kesehatan mental pada individu, maka penanganannya dilakukan dengan
upacara ritual atau perlakuan tertentu supaya roh jahat dalam tubuh individu tersebut
dapat keluar. Seiring perkembangan waktu dan kemunculan tokoh-tokoh dalam
bidang Medis di Yunani seperti Hippocrates (460 B.C.), konsep kesehatan mental
mulai menggunakan konsep biologis yang menganggap bahwa gangguan mental
terjadi disebabkan adanya gangguan kondisi biologis seseorang, penanganan atas
gangguan tersebut pun menjadi lebih manusiawi. Hippocrates dan para tabib Yunani
serta Romawi pengikutnya lalu menekankan pada pentingnya lingkungan yang
menyenangkan, olahraga, diet yang tepat, dan mandi yang menenangkan untuk
menangani gangguan kesehatan mental.
Memahami kesehatan mental pada anak dan remaja artinya perlu memahami
juga faktor-faktor apa saja yang dapat membahayakan kesehatan mental (risk factor)
dan faktorfaktor apa saja yang dapat melindungi kesehatan mental (protective factor)
anak. Risk factor menimbulkan kemungkinan kerentanan dalam diri anak, sedangkan
protective factor menimbulkan kemungkinan kekuatan dalam diri anak. Semakin
banyak risk factor, maka semakin besar tekanan pada anak. Di sisi lain, semakin
banyak protective factor, maka besar kemungkinan anak untuk dapat terhindar dari
gangguan. Risk factor merupakan faktor yang dapat memunculkan kerentanan
terhadap distress. Artinya, ketidakmampuan menyesuaikan diri dapat dikarenakan
adanya kondisi-kondisi yang menekan, seperti anak yang tumbuh pada keluarga yang
memiliki status ekonomi rendah, tumbuh di lingkungan penuh kekerasan dan adanya
pengalaman trauma (Schoon, 2006). Kesehatan mental yang baik bukan hanya dilihat
dari tidak adanya masalah kesehatan mental yang didiagnosis, melainkan
berhubungan dengan well-being seseorang. Well-being adalah sebuah konsep yang
lebih luas dibanding kesehatan mental. Walaupun begitu, keduanya memiliki
keterkaitan. Gangguan yang terjadi pada kesehatan mental anak dapat memberikan
dampak pada keseluruhan well-being anak, sebaliknya well-being yang buruk dalam
bentuk apapun dapat menjadi resiko terhadap kesehatan mental. Masa anak dan
remaja yang masih erat kaitannya dengan masa perkembangan membuat adanya
kesulitan dalam melakukan diagnosis dan memberikan perlakuan.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh yayasan Semai Jiwa Amini (2008) di 3 kota
besar yaitu Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta menunjukkan bahwa perilaku bullying
pada siswa dan siswi SLTA sebesar 67,9%, sedangkan bullying pada siswa dan siswi
SLTP sebesar 66,1% dengan kategori tertinggi yaitu kekerasan psikologis yaitu
pengucilan, sedangkan peringkat kedua adalah kekerasan verbal seperti mengejek dan
kekerasan fisik seperti memukul (Kurniasari dkk., 2017). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Wiguna, Manengkei, Pamela, Rheza, & Hapsari (2010) menunjukkan
bahwa proporsi terbesar masalah emosi dan perilaku anak usia sekolah, 54,81%
adalah masalah dengan teman sebaya dan 42,2% adalah masalah emosional.
Prosentase masalah dengan teman sebaya pada usia kurang dari 12 lebih besar yaitu
54,81%, sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun lebih banyak mengalami
masalah emosi yaitu sebesar 33,5% (Wiguna dkk., 2010).
C. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini memunculkan pertanyaan penelitian yang menduga beberapa
substansi dari mental illness sendiri dalam lingkungan remaja.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat yang dijadikan penelitian adalah lingkungan sekitar peneliti dan waktu
yang dijadikan acuan untuk melakukan penelitian dalam proses pembelajaran
semester genap 2020/2021 ini.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah remaja yang berusa rentang 12-
24 tahun.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuisioner untuk memudahkan
akumulasi data.
E. Objek Penelitian
Kesehatan mental remaja menjadi objek yang penting dalam penelitian ini.
F. Validitas Data
Validitas data sebagai tolak ukur reliabilitas dan kredibilitas dalam suatu
penelitian. Penelitian ini menggunakan metode meningkatkan ketekunan dan
diskusi.
G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
data metode analisis isi.
Daftar Pustaka
Kurniasari, dkk. (2017). Prevalensi Kekerasan Terhadap Anak Laki-Laki Dan Anak
Perempuan Di Indonesia Dalam Jurnal Sosio Konsepsia Vol. 6, No. 03, Mei -
Agustus, Tahun 2017, hlm. 287-300.
Wiguna, dkk. (2010). Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja di
Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSUPN dr. Ciptomangunkusumo (RSCM),
Jakarta dalam Jurnal Sari Pediatri, Vol. 12, No. 4, Desember 2010, hlm. 270-
277.
Adityawarman, I. (2010). Sejarah Perkembangan Gerakan Kesehatan Mental. Jurnal
Dakwah dan Komunikasi. 4 (1), 91-110. doi: 1978-1261.
Kartono,K. (2000). Hygiene Mental. Bandung: CV. Mandar Maju. Rohman, Y. N., &
Mugiarso, H. (2016). Pengaruh layanan bimbingan kelompok terhadap
kemampuan menjalin relasi pertemanan. 5 (1), 13-18. doi: 0065-2407102.
Poerwanti, E., & Widodo, N. (2002). Perkembangan Peserta Didik. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang.

Anda mungkin juga menyukai