Anda di halaman 1dari 42

PENGARUH PRMOSI KESEHATAN TERHADAP PERUBAHAN DAN SIKAP

PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG KESEHATAN MENTAL PADA ANAK

REMAJA

Dosen pembimbing :

Dr. Arif Widodo, S.St., M.Kes

Disusun Oleh :
Yeni Rahmawati
J210200147

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHETAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2023


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan mental memiliki arti penting dalam kehidupan seseorang, dengan

mental yang sehat maka seseorang dapat melakukan aktifitas sebagai mahluk hidup.

Kondisi mental yang sehat akan membantu perkembangan seseorang kearah yang

lebih baik dimasa mendatang (Adityawarman, 2018) Kesehatan mental adalah

keadaan dimana seseorang mampu menyadari kemampuannya seb5ndiri, dapat

mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif dan mampu

memberi kontribusi terhadap lingkunganya.Sedangkan masalah kesehatan mental

diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang menyesuaikan diri terhadap tuntutan

dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan tertentu

(Kartono,2000).

Masalah kesehatan mental yang dialami remaja cukup tinggi. Data survei yang

dilakukan National Adoles Health Information Center NAHIC (2005) menunjukkan

bahwa remaja dan dewasa muda pada usia 10-24 tahun baik pria maupun wanita

pernah melakukan rawat jalan gangguan kesehatan mental, sebesar 1,9 juta pria

melakukan rawat jalan kesehatan mental sedangkan wanita sebesar 1,6 juta jiwa.

Survei Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa 11,6% penduduk Indonesia

dengan usia diatas 15 tahun mengalami gangguan kesehatan mental dan emosional,

sekitar 19 juta anak mengalami kesehatan mental dan sosial (Riskesdas, 2007).Data

survei yang dilakukan oleh World Health Organization WHO (2011) menunjukkan

bahwa 20% remaja mengalami masalah kesehatan mental kususnya kecemasan dan

depresi.
Masalah kesehatan mental yang banyak dialami remaja adalah masalah

pertemanan. Menurut (Mugiarso, 2016) masalah pertemanan adalah ketidakmampuan

remaja dalam menjalin relasi pertemanan yang baik dengan teman sebayanya.

Penelitian yang dilakukan oleh Hightower yang dikutip dalam buku Desmita (2013)

menemukan bahwa hubungan yang harmonis dengan teman sebaya selama masa

remaja, berhubungan dengan kesehatan mental yang positif pada masa dewasa.

Kegagalan remaja dalam bersosialisasi dengan teman sebayanya akan

menyebabkan remaja menjadi pemalu, menyendiri, kurang percaya diri atau justru

berperilaku sombong, keras kepala, serta salah tingkah bila berada dalam situasi sosial

(Widodo, 2002). Kelompok teman sebaya yang bermasalah di sekolah akan

memberikan dampak yang negatif bagi sekolah seperti kekerasan, perilaku membolos,

kurangnya sikap menghormati teman dan guru.

Kesehatan mental merupakan kondisi dimana individu memiliki kesejahteraan

yang tampak dari dirinya yang mampu menyadari potensinya sendiri, memiliki

kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam

kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu

memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Mengutip dari jargon yang digunakan

oleh WHO, “there is no health without mental health” menandakan bahwa kesehatan

mental perlu dipandang sebagai sesuatu yang penting sama seperti kesehatan fisik.

Mengenali bahwa kesehatan merupakan kondisi yang seimbang antara diri sendiri,

orang lain dan lingkungan membantu masyarakat dan individu memahami bagaimana

menjaga dan meningkatkannya (WHO, 2003)

WHO melaporkan bahwa 450 juta orang di seluruh dunia memiliki gangguan

kesehatan mental, dengan prevalensi 20% kejadian terjadi pada anak-anak (O’Reilly,

2015). Dengan angka kejadian yang meningkat setiap tahunnya, memperluas


pengetahuan terkait kesehatan mental pada anak dan remaja menjadi hal yang penting.

Kesehatan mental anak dan remaja dapat mempengaruhi masa depan dirinya sendiri

sebagai individu, dan berdampak pada keluarga hingga masyarakat. Oleh karenanya,

kekhawatiran ini berkembang baik untuk institusi kesehatan dan peneliti akademis.

Hal tersebut juga perlu diketahui oleh keluarga sebagai orang terdekat

penderita, sebab keluarga juga memainkan peran penting pada penderita gangguan

jiwa (Ong et, 2017). Keluarga yang tidak dapat beradaptasi dengan baik pada

penderita gangguan jiwa tentu akan menimbulkan suatu stres, sehingga tidak mampu

dalam menjalankan fungsi keluarga dengan baik, termasuk fungsi dalam perawatan

keluarga terhadap kesehatan mental remaja Diketahui bahwa keluarga kurang

memiliki pengetahuanadas` yang akurat terkait kesehatan mental remaja, bagaimana

perjalanan penyakit serta penatalaksanaan rehabilitasi untuk pasien.

Salah satu usaha yang bisa dilaksanakan dalam rangka meningkatkan

pengetahuan dan sikap keluarga tentang kesehatan mental yaitu dengan memberikan

penyuluhan kesehatan. Penyuluhan kesehatan merupakan suatu upaya menyampaikan

informasi kesehatan. Pesan atau informasi yang disampaikan kepada individu,

kelompok maupun masyarakat tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan

dalam memelihara serta meningkatkan kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Penyuluhan

kesehatan dapat memiliki dampak baik jika dalam prosesnya menggunakan teknik dan

media yang sesuai. Penyuluhan kesehatan penting diberikan kepada keluarga

penderita gangguan jiwa agar mereka dapat terus meningkatkan kesehatan mental dan

upaya pengobatan untuk penderita (Keliat et al., 2011).

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti akan melakukan penelitian dengan

judul “ PERUBAHAN PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG

KESEHATAN MENTAL PADA ANAK REMAJA “


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan penelitian ini “ Bagaimana

perubahan pengetahuan keluarga tentang kesehatan mental pada anak remaja ? “

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini “ Untuk

mengetahui perubahan pengetahuan keluarga tentang kesehatan mental pada anak

remaja.”

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap muncul beberapa manfaat

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Peneliti dapat menjadi bahan studi kasus untuk mengembangkan teori-

teori yang sudah ada. Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan peneliti dalam penanganan masalah-masalah anak remaja

yang mengalami kesehatan mental. Selain itu, peneliti mampu menangani

masalah yang dihadapi oleh remaja yang mengalami kesehatan mental

setelah peneliti meneliti beberapa remaja yang sudah ditemui.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini sekiranya dapat memberikan manfaat bagi remaja yang

mengalami kesehatan mental supaya dapat memaknai hidupnya dalam hal

mengembangkan kehidupan yang lebih berarti. Meskipun kelurga yang

dimiliki kurang pengetahuan setidaknya mereka tetap menjalani hidup

dengan sebaik-baiknya supaya mereka tetap memiliki motivasi dalam

belajarnya di sekolah. Selain itu, mereka juga dapat memahami bentuk-


bentuk dan dampak positif ataupun negatif dalam pecahnya keluarga

sehingga mampu mengambil hal positifnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pengetahuan

a. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hal yang diketahui oleh orang atau responden

terkait dengan sehat dan sakit atau kesehatan, misal: tentang penyakit

(penyebab, cara penularan, cara pencegahan), gizi, sanitasi, pelayanan

kesehatan, kesehatan lingkungan, keluarga berencana, dan sebagainya

(Notoatmodjo, Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, 2014).

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini tejadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour).

Berdasarkan pengalaman ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan

akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Utami, 2013). Pengetahuan adalah informasi yang telah

diproses dan diorganisasikan untuk memperoleh pemahaman pembelajaran

dan pengalaman yang terakumulasi sehingga bisa diaplikasikan kedalam

masalah atau proses.

b. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan dalam aspek kognitif menurut (Notoatmodjo, Promosi

Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, 2014), dibagi menjadi 6 (enam)

tingkatan yaitu:

a) Tahu (know)
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya, dari seluruh bahan yang dipelajari. Tahu ini

merupakan tingkat pengertian yang paling rendah.

b) Memahami (comprehension)

Memahami ini diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat

menginterprestasikan materi ke kondisi sebenarnya.

c) Aplikasi (aplication)

Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari

pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

d) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih

dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya

satu sama lain.

e) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakan

atau menghubungkan bagian - bagian di dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru.

f) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

c. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut ( (Notoatmodjo,

Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, 2014) yaitu:


a) Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan

kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan

berlangsung seumur hidup

b) Media massa/ sumber informasi

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa

seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lain

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan

kepercayaan orang

c) Sosial budaya dan ekonomi

Kebisaaan dan tradisi yang dilakukan oleh orang-orang tanpa

melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk

d) Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu,

baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial

e) Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara

untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang

kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah

yang dihadapi masa lalu.

2. Sikap

a) Pengertian Sikap

Seorang individu sangat erat hubunganya dengan sikapnya masing-

masing sebagai ciri pribadinya. Sikap pada umumnya sering diartikan

sebagai suatu tindakan yang dilakukan individu untuk memberikan


tanggapan pada suatu hal. Pengertian sikap dijelaskan oleh (Azwar, 2010)

sikap diartikan sebagai suatu reaksi atau respon yang muncul dari sseorang

individu terhadap objek yang kemudian memunculkan perilaku individu

terhadap objek tersebut dengan cara-cara tertentu.

(Gerungan, 2004) juga menguraikan pengertian sikap atau attitude

sebagai suatu reaksi pandangan atau perasaan seorang individu terhadap

objek tertentu. Walaupun objeknya sama, namun tidak semua individu

mempunyai sikap yang sama, hal itu dapat dipengaruhi oleh keadaan

individu, pengalaman, informasi dan kebutuhan masing- masing individu

berbeda. Sikap seseorang terhadap objek akan membentuk perilaku

individu terhadap objek.

Pengertian mengenai sikap juga disampaikan oleh (Eko, 2009) Sikap

adalah suatu proses penilaian yang dilakukan oleh seorang individu

terhadap suatu objek. Objek yang disikapi individu dapat berupa benda,

manusia atau informasi. Proses penilaian seorang terhadap suatu objek

dapat berupa penilaian positif dan negatif. sikap merupakan sesuatu yang

dipelajari dan menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap situasi

serta menentukan apa yang dicari oleh individu dalam hidupnya.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai sikap, maka dapat

disimpulkan bahwa sikap adalah suatu reaksi atau respon berupa penilaian

yang muncul dari seorang individu terhadap suatu objek. Sikap juga dapat

dikatakan sebagai suatu perwujudan adanya kesadaran terhadap

lingkunganya. Proses yang mengawali terbentuknya sikap adalah adanya

objek disekitar individu memberikan stimulus yang kemudian mengenai

alat indra individu, informasi yang yang ditangkap mengenai objek


kemudian diproses di dalam otak dan memunculkan suatu reaksi. Penilaian

yang muncul, positif atau negatif dipengaruhi oleh informasi sebelumnya,

atau pengalaman pribadi individu.

b) Faktor – factor pembentuk Sikap

Sikap manusia tidak terbentuk sejak manusia dilahirkan. Sikap

manusia terbentuk melalui proses sosial yang terjadi selama hidupnya,

dimana individu mendapatkan informasi dan pengalaman. Proses tersebut

dapat berlangsung di dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun

masyarakat. Saat terjadi proses sosial terjadi hubungan timbal balik antara

individu dan sekitarnya.

Adanya interaksi dan hubungan tersebut kemudian membentuk pola

sikap individu dengan sekitarnya. (Azwar, Sikap Manusia Teori dan

Pengukurannya, 2010) menguraikan faktor pembentuk sikap yaitu:

pengalaman yang kuat, pengaruh orang lain yang dianggap penting,

pengaruh kebudayaan, media masa, lembaga pendidikan dan lembaga

agama, pengaruh faktor emosional. (Eko, Psikologi Sosial, 2009) juga

menjelaskan mengenai pembentukan sikap. Yaitu:

1) pengondisian klasik, proses pembentukan ini terjadi ketika suatu

stimulus atau rangsangan selalu diikuti oleh stimulus yang lain,

sehingga rangsangan yang pertama akan menjadi isyarat bagi

rangsangan yang kedua.

2) pengondisian instrumental, yaitu apabila proses belajar yang

dilakukan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan maka

perilaku tersebut akan diulang kembali, namun sebaliknya apabila


perilaku mendatangkan hasil yang buruk maka perilaku tersebut

akan dihindari.

3) belajar melalui pengamatan atau observasi. Proses belajar ini

berlangsung dengan cara mengamati orang lain, kemudian

dilakukan kegiatan serupa.

4) perbandingan sosial, yaitu membandingkan orang lain untuk

mengecek pandangan kita terhadap suatu hal tersebut benar atau

salah.

Pembentukan sikap seorang individu juga dipengaruhi oleh adanya

interaksi dengan sekitarnya melalui proses yang kompleks. (Gerungan,

2004) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan

sikap seorang individu yang berasal dari faktor internal dan eksternal.

Faktor internal pembentuk sikap adalah pemilihan terhadap objek

yang akan disikapi oleh individu, tidak semua objek yang ada

disekitarnya itu disikapi. Objek yang disikapi secara mendalam adalah

objek yang sudah melekat dalam diri individu. Individu sebelumnya

sudah mendapatkan informasi dan pengalaman mengenai objek, atau

objek tersebut merupakan sesuatu yang dibutuhkan, diinginkan atau

disenangi oleh individu kemudian hal tersebut dapat menentukan sikap

yang muncul, positif maupun negatif.

Faktor eksternal mencakup dua pokok yang membentuk sikap

manusia, yaitu: 1) Interaksi kelompok, pada saat individu berada dalam

suatu kelompok pasti akan terjadi interaksi. Masing-masing individu

dalam kelompok tersebut mempunyai karakteristik perilaku. Berbagai

perbedaan tersebut kemudian memberikan informasi, atau keteladanan


yang diikuti sehingga membentuk sikap. 2) Komunikasi, melalui

komunikasi akan memberikan informasi. Informasi dapat

memeberikan sugesti, motivasi dan kepercayaan. Informasi yang

cenderung diarahkan negatif akan membentuk sikap yang negatif,

sedangkan informasi yang memotivasi dan menyenangkan akan

menimbulkan perubahan atau pembentukan sikap positif.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi

oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal

berupa pengalaman pribadi dan keadaan emosional. Pengalaman

terhadap suatu objek yang memberikan kesan menyenangkan atau baik

akan membentuk sikap yang positif, pengalaman yang kurang

menyenangkan akan membentuk sikap negatif. Sedangkan faktor

emosional, lebih pada kondisi secara psikologis seorang individu,

perasaan tertarik, senang, dan perasaan membutuhkan akan

membentuk sikap positif, sedangkan perasaan benci, acuh, dan tidak

percaya akan membentuk sikap negatif. Sedangkan faktor eksternal

pembentuk sikap, mencakup pengaruh komunikasi, interaksi

kelompok, dan pengaruh kebudayaan.

c) Komponen Sikap

Sikap yang ditunjukan seorang individu terhadap objek, mempunyai

struktur yang terdiri dari beberapa komponen. (Azwar, Sikap Manusia

Teori dan Pengukurannya, 2010) menjelaskan komponen dalam struktur

sikap yaitu:

1) Komponen kognitif, yaitu suatu kepercayaan dan pemahaman

seorang individu pada suatu objek melalui proses melihat,


mendengar dan merasakan. Kepercayaan dan pemahaman yang

terbentuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai objek

tersebut.

2) Komponen afektif, yaitu komponen yang berhubungan dengan

permasalahan emosional subjektif individu terhadap sesuatu.

3) Komponen perilaku atau konatif, yaitu kecenderungan berperilaku

seorang individu terhadap objek yang dihadapinya.

Sikap individu perlu diketahui arahnya, negatif atau positif. Untuk

mengetahui arah sikap manusia dapat dilihat dari komponen-

komponen sikap yang muncul dari seorang individu. (Eko, Psikologi

Sosial, 2009) juga menjelaskan bahwa sikap adalah konsep yang

dibentuk oleh tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan konatif.

Komponen kognitif berisi pemikiran dan ide-ide yang berkenaan

dengan objek sikap, misalnya meliputi penilaian, keyakinan, kesan,

atribusi, dan tanggapan mengenai objek sikap. Komponen afektif

merupakan komponen yang meliputi perasaan atau emosi seseorang

terhadap objek sikap. Komponen afektif pada sikap seseorang dapat

dilihat dari perasaan suka, tidak suka, senang atau tidak senang

terhadap objek sikap. Sedangkan komponen konatif, dapat dilihat

melalui respon subjek yang berupa tindakan atau perbuatan yang dapat

diamati.

(Walgito, 1978) mendieskripsikan komponen sikap sebagai

berikut:

1) Kognitif, yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan,

pandangan dan keyakinan terhadap objek sikap.


2) Afektif, yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang

atau tidak senang terhadap objek sikap.

3) Konatif, yaitu komponen yang berhubungan dengan

kecenderungan bertindak terhadap objek sikap.

Komponen sikap dapat digunakan untuk menilai bagaimana

sikap seseorang terhadap objek sikap.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa komponen sikap mencakup tiga

aspek yaitu, komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen

kognitif berupa pemahaman, pengetahuan, pandangan dan

keyakinan seseorang terhadap objek sikap. Komponen afektif yaitu

perasaan senang atau tidak senang terhadap objek sikap.

Komponen konatif yaitu kecenderungan bertindak terhadap objek

sikap yang menunjukan intensitas sikap yaitu besar kecilnya

intensitas bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek

sikap.

3. Kesehatan Mental

a. Pengertian Kesehatan Mental

Pemahaman akan mental yang sehat tidak lepas dari pemahaman

mengenai sehat dan sakit secara fisik, berbagai penelitian telah

mengungkapkan adanya hubungan antara kesehatan fisik dan mental individu

dimana pada individu dengan keluhan medis menunjukkan adanya masalah

psikis hingga taraf gangguan mental dan sebaliknya individu dengan gangguan

mental juga menunjukkan adanya gangguan fungsi fisiknya (Dewi, 2012) .


Kesehatan mental merupakan kondisi individu yang terbebas dari

segala bentuk gejala gangguan mental. Individu yang sehat secara mental akan

dapat berfungsi secara normal dalam menjalankan kehidupan dan dapat

beradaptasi untuk menghadapi masalah-masalah sepanjang kehidupan dengan

menggunakan kemampuan pengolahan stres (Putri, 2015)

Kesehatan mental lebih dari sekedar gangguan mental. Dimensi positif

kesehatan mental yang ditekankan oleh WHO sebagaimana tertuang dalam

konstitusinya bahwa kesehatan adalah keadaan yang lengkap kesejahteraan

fisik, mental dan sosial dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau

kelemahan. Konsep kesehatan mental meliputi kesejahteraan, self efficacy

yang dirasakan, otonomi, kompetensi dan pengakuan untuk mewujudkan

potensi intelektual dan emosional.

Penyakit mental yang paling umum adalah kecemasan dan gangguan

depresi. Paling ekstrim orang dengan gangguan depresi mungkin tidak dapat

bangun dari tempat tidur atau merawat dirinya secara fisik dan orang dengan

gangguan kecemasan tertentu mungkin tidak dapat meninggalkan rumah atau

mungkin memiliki ritual kompulsif untuk membantu meringankan ketakutan.

Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang

menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga terpaksa

mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menaggulangi stresor

(tekanan mental) yang timbul. Namun tidak semua orang mampu melakukan

adaptasi dan mengatasinya sehingga menimbulkan gangguan jiwa. Jenis

stresor psikososial, yaitu perkawinan misalnya pertengkaran, perpisahan,

perceraian, ketidaksetiaan, kematian salah satu pasangan kemudian problem

orangtua meliputi tidak punya anak, kebanyakan anak, kenakalan anak dan
anak sakit. Hubungan Interpersonal dimana gangguan ini dapat berupa konflik

dengan rekan kerja, konflik dengan atasan dan bawahan kemudian masalah

lingkungan hidup meliputi pindah tempat tinggal dan penggusuran. Pekerjaan

meliputi kehilangan pekerjaan, pensiun, pekerjaan terlalu banyak kemudian

keuangan, perkembangan, penyakit fisik atau cidera, faktor keluarga dan lain-

lain (RI, 2015) .

b. Prinsip – Prinsip Kesehatan Mental

Menurut (Putri, 2015) . Prinsip-prinsip kesehatan mental adalah sebagai

berikut:

a) Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal. Prinsip ini

menegaskan bahwa yang dikatakan sehat mentalnya tidak cukup kalau

dikatakan sebagai orang yang tidak megalami abnormalitas atau orang

yang normal. Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan

pemahaman normalitas itu. Konsep kesehatan mental lebih bermakna

positif daripada makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana

konsep statistik.

b) Kesehatan mental adalah konsep yang ideal. Prinsip ini menegaskan

bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat tinggi bagi seseorang.

Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat kontinum. Jadi

sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling optimal

dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setingi-tingginya.


c) Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup. Prinsip

ini menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang salah satunya ditunjukkan

oleh kesehatan mentalnya. Tidak mungkin membiarkan kesehatan mental

seseorang untuk mencapai kualitas hidupnya, atau sebaliknya kualitas

hidup seseorang dapat dikatakan meningkat jika juga terjadi peningkatan

kesehatan mentalnya. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan

bahwa kesehatan mental adalah suatu kondisi dimana kepribadian,

emosional, intelektual dan fisik seseorang tersebut dapat berfungsi secara

optimal, dapat beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan dan stressor,

menjalankan kapasitasnya selaras dengan lingkungannya, menguasai

lingkungan, merasa nyaman dengan diri sendiri, menemukan penyesuaian

diri yang baik terhadap tuntutan sosial dalam budayanya, terus menerus

bertumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya, dapat menerima

kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-

masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya,

serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya

c. Aspek – Aspek Kesehatan Mental

Aspek-aspek Kesehatan mental yang digunakan dalam penelitian ini

disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Ware, 1983) Kesehatan

Mental terdiri dari dua aspek antara lain:

1) Psychological Distress , mendeskripsikan individu yang berada

dalam keadaan Kesehatan mental yang buruk atau negatif. Keadaan

Kesehatan mental yang negatif diukur dengan melihat adanya

beberapa simptom-simptom klinis yang muncul dan dirasakan oleh

individu. Simptom-simptom yang muncul tersebut dapat


berdampak bagi kehidupan personal maupun sosial seseorang.

Simptom klinis yang pertama yaitu kecemasan atau anxiety yang

dapat termanifestasikan dalam kondisi fisik maupun psikis.

Simptom yang kedua yaitu depresi atau depression yang muncul

dalam bentuk perasaan sedih yang terlalu berlebihan. Simptom

ketiga yaitu loss of behavioural atau emotional control.

2) Psychological Well-Being Mental health merupakan konsep yang

bersifat kontinum karena posisinya berada pada dua titik ekstrem

yang berlawanan yaitu negative states dan positive states. Negative

states digambarkan dengan adanya psychological distress

sedangkan positive states digambarkan dalam kondisi

psychological well-being. Psychological well-being

mendeskripsikan keadaan individu yang memiliki mental health

yang baik. Hal tersebut dilihat dari indikator- indikator yang

dirasakan individu seperti kepuasan dalam hidup atau life

satisfaction, emotional ties, dan general positive affect. Individu

yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik akan memiliki

kepuasan terhadap dirinya sendiri, keterikatan emosi dengan orang-

orang yang disekitarnya, serta selalu memiliki tujuan atau

pencapaian-pencapaian yang realistis.

4. Anak Remaja

a) Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan

perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual.

Sifat khas remaja mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai


petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang.

Menurut World Health Organization (WHO), remaja adalah penduduk

dalam rentang usia 10-19 tahun, menurut Peraturan Kesehatan RI Nomor

25 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun

dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN)

rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah.

Remaja adalah seseorang yang tumbuh menjadi dewasa mencakup

kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Dimana remaja

mempunyai rasa keingintahuan yang besar dan sedang mengalami proses

perkembangan sebagai persiapan memasuki masa dewasa.

a. Ciri – Ciri Remaja

Ciri remaja menurut (Putro, 2017) , yaitu:

1) Masa remaja sebagai periode yang penting

Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun

akibat jangka panjang tetaplah penting. Perkembangan fisik

yang begitu cepat disertai dengan cepatnya perkembangan

mental, terutama pada masa awal remaja. Semua

perkembangan ini menimbulkan perlunya penyesuaian

mental serta perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat

baru.

2) Masa remaja sebagai periode peralihan

Pada fase ini, remaja bukan lagi seorang anak dan

bukan juga orang dewasa. Kalau remaja berperilaku seperti

anak-anak, ia akan diajari untuk bertindak sesuai dengan


umurnya. Kalau remaja berusaha berperilaku sebagaimana

orang dewasa, remaja seringkali dituduh terlalu besar

ukurannya dan dimarahi karena mencoba bertindak seperti

orang dewasa. Di lain pihak, status remaja yang tidak jelas

ini juga menguntungkan karena status memberi waktu

kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan

menentukan pola perilaku, nilai, dan sifat yang paling

sesuai bagi dirinya.

3) Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama

masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama

awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan

pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat.

Kalau perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan

perilaku juga menurun.

4) Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode perkembangan mempunyai

masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa

remaja sering menjadi persoalan yang sulit diatasi baik

oleh anak laki-laki maupun anak perempuan.

Ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri

masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak

remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya

tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.

5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas


Pada tahun-tahun awal masa remaja,

penyesuaian diri terhadap kelompok masih tetap penting

bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka

mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi

dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam

segala hal, seperti sebelumnya. Status remaja yang

mendua ini menimbulkan suatu dilema yang

menyebabkan remaja mengalami “krisis identitas” atau

masalah-masalah identitas ego pada remaja.

6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja suka

berbuat semaunya sendiri, yang tidak dapat dipercaya

dan cenderung berperilaku merusak, menyebabkan

orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi

kehidupan remaja yang takut bertanggung jawab dan

bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang

normal.

7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Masa remaja cenderung memandang kehidupan

melalui kacamata berwarna merah jambu. Ia melihat

dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia

inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih

dalam hal harapan dan cita-cita. Harapan dan cita-cita

yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri

tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya,


menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri

dari awal masa remaja. Remaja akan sakit hati dan

kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau

ia tidak berhasil mencapai tujuan yang telah

ditetapkannya sendiri.

8) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekatnya usia kematangan yang

sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan

stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan

bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan

bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah

cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri

pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa,

yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan

obat- obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks bebas

yang cukup meresahkan. Mereka menganggap bahwa

perilaku yang seperti ini akan memberikan citra yang

sesuai dengan yang diharapkan mereka.


B. Kerangka Konsep

Pengetahuan
Saifudin Azwar (2010: 3)
sikap diartikan sebagai suatu reaksi
atau respon yang muncul dari
sseorang individu terhadap objek
Kesehatan Mental Pada Anak Remaja
yang kemudian memunculkan
Masa remaja sebagai periode yang
perilaku individu terhadap objek
tersebut dengan cara-cara tertentu penting Masa remaja sebagai periode
Saifudin Azwar (2010: 23-28) peralihan Masa remaja sebagai periode
menjelaskan komponen dalam perubahan Masa remaja sebagai usia
struktur sikap yaitu: bermasalah Masa remaja sebagai masa
1. Komponen kognitif, mencari identitas Masa remaja sebagai
2. Komponen afektif usia yang menimbulkan ketakutan Masa
3. Komponen perilaku atau remaja sebagai masa yang tidak realistic
konatif Masa remaja sebagai ambang masa
dewasa
Ciri remaja menurut (Putro, 2017),
yaitu:
1. Masa remaja sebagai periode yang
Sikap Keluarga penting
Kesehatan mental merupakan 2. Masa remaja sebagai periode
kondisi individu yang terbebas peralihan
dari segala bentuk gejala 3. Masa remaja sebagai usia
gangguan mental. Individu yang bermasalah
sehat secara mental akan dapat 4. Masa remaja sebagai masa mencari
berfungsi secara normal dalam identitas
menjalankan kehidupan dan dapat 5. Masa remaja sebagai usia yang
beradaptasi untuk menghadapi menimbulkan ketakutan
masalah-masalah sepanjang
6. Masa remaja sebagai masa yang
kehidupan dengan menggunakan
tidak realistic
kemampuan pengolahan stres
7. Masa remaja sebagai ambang masa
(Putri et al, 2015)
dewasa
Aspek-aspek Kesehatan
mental menurut Veit dan Ware
(1983). Kesehatan Mental terdiri
dari dua aspek antara lain:
1. Psychological Distress
2. Psychological Well-Being
Mental health
C. Kerangka Teori

Faktor lainnya meliputi pendidikan dan pekerjaan yang buruk, hubungan pertemanan
dan kekeluargaan yang buruk, kaum minoritas, mengalami kondisi fisik yang buruk,
mengalami atau saksi pada kekerasan rumah tangga, serta mempunyai orang yang
menderita penyalahgunaan obat atau penyakit mental lainnya

Sasaran :
1.Sasaran primer Mental pada anak
remaja Pengetahuan keluarga
2.Sasaran sekunder
3.Sasaran tesier

Dampak positif : Anak,


1. Pengetahuan menyediakan
meningkat kesempatan untuk
2. Norma subjektif baik mempraktikkan,
3. Kesadaran keluarga memberi tanggung
jawab, mengawasi
dan mengarahkan
anak agar
selektivitas dalam
bergaul. Hambatan
– hambatan peran
orang tua dalam
pendidikan.

D.Hipotesis

Ho : Tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan keluarga tentang kesehatan mental pada
remaja

Ha : Ada perbedaan tingkat pengetahuan keluarga tentang kesehatan mental pada


remaja
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Rancangan ini menggunakan jenis penelitian pre- eksperimental design dengan

pendekatan one group pre-post test design. Rancangan ini tidak menggunakan kelompok

kontrol. Peneliti memberikan pretest untuk mengukur tingkat pengetahuan dan sikap

responden sebelum dilakukan intervensi, kemudian responden diberikan intervensi

penyuluhan tentang kesehatan mental. Setelah dilakukan intervensi peneliti melakukan

posttest untuk mengukur tingkat pengetahuan dan sikap responden dengan menggunakan

kuisioner.

Pre Test Perlakuan Post Test


O1 Desain Penelitian One X
Gambar 3.1 : Rancangan O2
Group Pre-Post Test Design
Keterangan :

O1 : Tingkat pengetahuan dan sikap responden sebelum perlakuan

X : Intervensi pemberian promosi tentang kesehatan mental remaja kepada responden

O2 : Observasi tingkat pengetahuan dan sikap responden setelah dilakukan perlakuan

Pre-experimental design ialah rancangan yang meliputi hanya satu kelompok atau kelas

yang diberikan pra dan pasca uji. Rancangan one grup pretest and posttest design ini,

dilakukan terhadap satu kelompok tanpa adanya kelompok control atau pembanding

(Gazadinda et al., 2023).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Nurzeta, 2020). Populasi yang


digunakan dalam penelitian ini seluruh keluarga dengan anak remaja Desa Gonilan

Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo Jawa Tengah yang berjumlah 99 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi (Nurzeta, 2020). Adapun kriteria inklusi dalam sampel yaitu :

a. Keluarga dengan anak remaja Desa Gonilan Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo

b. Keluarga dengan anak remaja Desa Gonilan Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo yang

bersedia untuk menandatangani lembar persetujuan atau informed consent untuk

menjadi responden.

c. Keluarga yang mengikuti jalannya penelitian dari awal sampai akhir

d. Keluarga yang dapat bekerja sama dan kooperatif

e. Keluarga yang tidak menderita ketulian

Sedangkan yang termasuk kriteria eksklusi yaitu :

a. Keluarga di Desa Gonilan Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo yang tidak mempunyai

anak usia remaja

b. Keluarga dengan anak remaja di Desa Gonilan Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo

yang tidak bersedia menjadi responden

c. Keluarga yang tidak mengikuti penelitian dari awal sampai akhir

2.1 Jumlah Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumus

slovin, yaitu :

N
n= 2
1+N e

Keterangan :

n : Jumlah Sampel

N : Jumlah Populasi
e : Standart Error (10%)

Maka sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah n=99/(1+99(0,1)2= 49,74

dibulatkan menjadi 50 siswa. Untuk mencegah kriteria drop out, peneliti menambah

10% dari jumlah sampel. Dengan rumus tersebut didapatkan jumlah minimal sebesar 55

orang.

2.2 Teknik Sampling

Teknik sampling dibagi menjadi dua kelompok yaitu probability sampling dan non

probability sampling. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan probability sampling.

Probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang

atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih

menjadi sampel. Probability sampling terdiri dari simple random sampling, proponate

stratified random sampling, disproportionate stratified random, sampling area (cluster

sampling) (Dian, 2019).

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random

sampling. Simple random sampling adalah pengambilan anggota sampel dari populasi

yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu

(Dian, 2019) .

C. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama satu bulan yaitu pada bulan Juni 2023. Tempat penelitian

berada di Desa Gonilan Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo.

D. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel dependen dan

independen.

a. Variabel Bebas (Independen)

Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang nilainya

menentukan variabel-variabel lain (Nursalam, 2020). Variabel independen dalam

penelitian ini adalah promosi kesehatan mental.

b. Variabel Terikat (Dependen)

Variabel dependen atau variabel tergantung adalah variabel yang nilainya

ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2020.) Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah tingkat pengetahuan dan sikap.

2. Definisi Operasional

Definisi
Variabel Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Variabel Cara Aspek-aspek SOP dan SAP -
Independen: penyampaian kesehatan mental
Promosi pembelajaran
Kesehatan kepada keluarga
dengan cara
ceramah
tentang
kesehatan
mental remaja di
Desa Gonilan
Kec. Kartasura
Kab. Sukoharjo
dalam satu
kelompok besar.
Variabel Tingkat Mental Health Kuesioner tertutup Ordinal
Dependen: pemahaman Knowledge 1) Baik : Hasil
Tingkat keluarga tentang
Questionnaire Presentase
pengetahuan pengetahuan (MHKQ) 76-100%
kesehatan 2) Cukup : Hasil
mental remaja Presentase
56-75%
3) Kurang : Hasil
Presentase
<56%
Variabel Respon berupa Sikap Kuesioner tertutup Ordinal
Dependen: keyakinan dan keluarga yang 1) Sikap baik : Hasil
Sikap kecenderungan mempengaru Presentase
keluarga untuk hi kesehatan 76-100%
melakukan mental remaja 2) Sikap cukup :
tindakan yang Hasil Presentase
berhubungan 56-75%
dengan 3) Sikap kurang :
kesehatan Hasil
mental remaja Presentase<56%

3. Instrumen Penelitian

Teknik untuk pengumpulan data adalah suatu teknik pendekatan kepada subjek dan

proses karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2020).

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner.

Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh

informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang

diketahui (Arikunto, 2019). Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan pertanyaan

tertutup (close questions) yaitu bentuk pertanyaan dalam kuesioner dimana responden

tinggal memilih jawaban dari alternative-alternatif jawaban yang telah disediakan

(Budiman & Riyanto, 2014).

Variabel dependen yang pertama dalam penelitian ini adalah pengetahuan

kesehatan mental. Pengetahuan kesehatan mental merupakan pengetahuan seseorang

mengenai kesehatan mental yang mencakup kemampuan mencari dan memahami

informasi tentang kesehatan mental, serta menyelesaikan suatu masalah mengenai

kesehatan mental (penerapan dari pengetahuan yang telah dimiliki) (Amiliyanti, 2022).

Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel pengetahuan kesehatan mental ini

adalah skala Mental Health Knowledge Questionnaire (MHKQ) yang telah diadaptasi

oleh Widayana, (2019) dengan subjek mahasiswa.

Variable dependen yang kedua adalah sikap keluarga mengenai kesehatan mental

remaja. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel sikap ini adalah kuesioner
tertutup Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini ada 20 soal menggunakan skala

ordinal.

E. Uji Validitas dan Reliabilitas

Kuesioner pengetahuan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 20 item yang

setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas terdapat 9 item yang tidak valid, sehingga item

yang dapat digunakan adalah 11 item. Item-item disusun berdasarkan aspek-aspek yaitu

knowledge (pengetahuan), belief (kepercayaan), dan attitude (sikap). Skala ini berbentuk

skala Guttman dengan dua pilihan jawaban.

Contoh item pada skala ini ialah “Hampir seluruh gangguan mental tidak dapat

disembuhkan”, item tersebut disajikan dengan pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Dari 11

item yang digunakan, terdapat 3 item (2, 4, dan 6) yang merupakan item unfavorable (respon

yang benar dan bernilai 5 adalah “Tidak”). Sedangkan 8 item lainnya (3, 7, 11, 12, 15, 16, 17,

dan 19) adalah item favorable (respon yang benar dan bernilai 5 adalah “Ya”).

Tinggi dan rendahnya tingkat pengetahuan kesehatan mental akan dilihat dari total skor

item. Semakin besar skor yang diperoleh maka semakin tinggi tingkat pengetahuan kesehatan

mental yang dimiliki. Sebaliknya, semakin kecil skor yang diperoleh maka semakin rendah

juga tingkat pengetahuan kesehatan mental yang dimiliki. Hasil jawaban responden yang

telah diberi skor dijumlahkan dan dibandingkan dengan jumlah tertinggi lalu dikalikan 100%,

dengan rumus :

Keterangan:

n : Presentase

∑Sp : Jumlah skor yang didapat

∑Sm : Skor maksimal


Nilai koefisien Alpha Cronbach’s (reliabilitas) instrumen ini sebesar 0,857. Hal ini

berarti ke 11 item skala pengetahuan kesehatan mental tersebut dapat dinyatakan reliabel dan

layak untuk digunakan dalam penelitian.

Pada kuesioner sikap keluarga terhadap kesehatan mental remaja peneliti melakukan uji

validitas terhadap 20 sampel diluar responden penelitian. Reabilitas alat ukur pada

prinsipnya menunjukkan sejauh mana alat ukur dapat memberikan hasil pengukuran yang

relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama

(Arikunto, 2019).

Reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dapat diuji dengan alat uji reliabilitas Alpha

Cronbach Test, yaitu :

Keterangan :

r11 : reliabilitas instrumen

K : banyaknya pertanyaan



σ b2 : jumlah varians

σ2 : varian total

Semakin tinggi koefisiensi korelasi berarti koefisin antara hasil pengenalan dua tes

tersebut dikatakan reliable. Sebaliknya apabila dianggap parallel menghasilkan skor yang

satu sama lainberkorelasi rendah maka dapat dikatakan reliabilitas hasil ukur tersebut tidak

tinggi (Arikunto, 2019).

F. Etika Penelitian

1. Autonomy atau kemandirian

Partisipan memiliki hak untuk membuat keputusan secara sadar untuk menerima

atau menolak menjadi partisipan. Peneliti menjelaskan kepada partisipan tentang proses
penelitian selanjutnya partisipan diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia

atau menolak berpartisipasi dalam penelitian.

2. Informed Consent atau lembar persetujuan

Subyek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian yang

akan dilakukan dan juga mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau menolak

menjadi responden. Pada informed consent juga perlu dicantumkan bahwa data

diperoleh hanya dipergunakan untuk mengembangkan ilmu.

3. Anonimity atau tanpa nama

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, pada lembar pengumpulan data atau

observasi yang diisi adalah kode responden atau hanya nama inisialnya saja dan lembar

tersebut hanya diberi kode.

4. Confidentiality atau kerahasiaan

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subjek dijamin oleh peneliti.

Data tersebut hanya akan disajikan atau dilaporkan kepada orang yang berhubungan

dengan penelitian.

5. Beneficience atau tidak membahayakan

Penelitian ini tidak membahayakan partisipan dan peneliti telah berusaha melindungi

partisipan dari bahaya ketidaknyamanan (protection from discomfort). Peneliti

menjelaskan tujuan, manfaat, pengolahan, dan penggunaan data penelitian sehingga

dapat dialami oleh partisipan dan bersedia menandatangani surat ketersediaan

berpartisipasi atau Informed Consent. Selama proses promosi kesehatan berlangsung

peneliti memperhatikan beberapa hal yang dapat merugikan partisipan.

6. Justice atau keadilan


Peneliti memberikan kesempatan yang sama bagi pasien yang memenuhi kriteria

untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti memberikan kesempatan

yang sama dengan partisipan untuk bertanya saat promosi kesehatan berlangsung.

G. Pengolahan Data

1. Editing : dilakukan dengan cara mengoreksi data yang telah diperoleh sehingga

dapat dilakukan perbaikan data yang kurang.

2. Coding : pemberian kode dimaksudkan untuk mempermudah dalam pengolahan data

dan proses selanjutnya melalui tindakan pengklasifikasian data.

3. Entry data : proses pemasukan data dalam suatu program komputer.

4. Tabulating : data distribusi, disusun dan disajikan dalam bentuk tabel yang

selanjutnya data ini digunakan untuk analisis data.

H. Analisa Data Penelitian

Mengingat penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh promosi kesehatan

terhadap perubahan dan sikap pengetahuan keluarga tentang kesehatan mental pada anak

remaja. Dimana tingkat pengetahuan menggunakan skala ordinal dan menggunakan uji

wilcoxon.

Pada uji statistik dilakukan dengan Uji Wilcoxon dengan α ≤0,05, α diartikan sebagai

tingkat kesalahan atau tingkat kekeliruan yang ditolerir peneliti, yang diakibatkan oleh

kemungkinan adanya kesalahan dalam pengambilan sampel.

Rumus :

Z−
T− [ 1
4N
( N +1) ] Z−
TN ( N4 + 1)
√ √
1 Atau
N ( N + 1 ) (2 N +1)
24 N (N +1)(2 N +1) 24

Keterangan :

Z = Hasil uji Wilcoxon


T = Jumlah ranking dari nilai selisih yang negatif atau positif

N = Jumlah data

Dengan menggunakan perangkat lunak komputer program Statistical Product and

Service Solution (SPSS) 22 for window. Bila α≤0,05 maka H0 ditolak, berarti ada perbedaan

tingkat pengetahuan dan sikap keluarga sebelum dan sesudah pemberian promosi kesehatan

mental anak remaja di Desa Gonilan Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo. Bila α>0,05 maka H 0

diterima, berarti tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap keluarga sebelum dan

sesudah pemberian promosi kesehatan mental anak remaja di Desa Gonilan Kec. Kartasura

Kab. Sukoharjo.

I. Jalannya Penelitian

Rencana pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahap :

1. Tahap Persiapan

Kegiatan padatahap ini adalah :

a. Pengajuan judul tanggal 26 mei 2023

b. Pembuatan proposal tanggal 1 juni 2023

c. Permohonan ijin tempat penelitian tanggal 15 juni 2023

d. Uji validitas dan reabilitas penelitian tanggal 20 juni 2023, dilakukan terhadap 20

sampel diluar responden penelitian di desa.

2. Tahap Pelaksanaan

Kegiatan pada tahap pelaksanaan meliputi langkah langkah sebagai berikut :

a. Pengambilan kelompok perlakuan sesuai dengan kriteria sampel dengan terlebih

dahulu dilakukan skoring kemudian diambil responden yang masuk kategori

untuk mengikuti penyuluhan kesehatan mental remaja. Responden yang terpilih

kemudian mengisi informed consent sebagai pernyataan kesediaan menjadi


responden selama penelitian. Pada tahap ini dilakukan oleh peneliti tanggal 25

juni 2023.

b. Pengumpulan data

Penelitian ini dilakuan oleh peneliti sendiri dalam satu kelompok besar. Setelah

itu akan diberikan kuesioner untuk mengukur tingkat pengetahuan dan sikap

sebelum diberikan intervensi. Kemudian responden dikumpulkan lagi menjadi satu

kelompok untuk diberikan intervensi berupa ceramah atau penyuluhan tentang

kesehatan mental remaja dan melakukan sesi tanya jawab. Setelah intervensi

responden diberikan kuesioner posttest tentang pengetahuan dan sikapkeluarga

terhadap kesehatan mental remaja. Selanjutnya, nilai pre test dan post test direkap

oleh peneliti untuk ditabulasi.

3. Tahap Analisa Data

Terdiri dari tahapan analisa pengumpulan data terdiri dari :

a. Proses skoring yaitu menganalisis data hasil penelitian dilakukan pada tanggal

b. Menyusun laporan hasil pembahasan penelitian dilakukan pada tanggal

menginterpretasikan data kemudian setelah diinterpretasikan antara variable

bebas dan variable terikat secara univariat dan bivariat yang dianalisis, kemudian

direlevansikan dengan beberapa teori terkait. Penyajian hasil penelitian dalam

bentuk tertulis dan dilanjutkan dengan seminar hasil penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Adityawarman. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Orang dengan Masalah Kejiwaan


(ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Makasar: Fakultas Ilmu Hukum
Universitas Hasanudin .
Azwar, S. (2010). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka. Pelajar.
Bungin, B. (2001). etodologi Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif. Yogyakarta:: Gajah Mada
Press.
Dewi. (2012). Buku Ajar Kesehatan Mental. Lembaga Pengembangan Dan. Penjaminan
Mutu Pendidikan. Semarang: Universitas Diponegoro.
Eko, S. d. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Gerungan. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: Rafika Aditama.
J.Moleong, L. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mugiarso, R. &. (2016). Pengaruh Layanan Bimbingan Kelompok Terhadap Kemampuan
Menjalin Relasi Pertemanan. Indonesia. Journal of Guidance and Counseling :
Theory and Application, 12-18.
Notoatmodjo. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo. (2014). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ong et, a. (2017). Attitudes to mental illness among mental health professionals in Singapore
and comparisons with the general population. Singapore: Singapore Inch.
Putri. (2015). Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia (Pengetahuan, Dan Keterbukaan
Masyarakat Terhadap Gangguan. (p. 2 (2)). Jakarta: PROSIDING KS: RISET &
PKM.
Putro. (2017). Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Remaja. APLIKASIA: Jurnal
Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 17, 1, 1-8 .
RI, K. (2015). Rencana Strategis. Jakarta: Sekretariat r Jenderal.
Syahrum, S. d. (2017). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Bandung: Cipta. Pustaka.
Utami, T. d. (2013). Hubungan Pengetahuan Remaja Usia 17-20 Tahun Tentang Kesehatan
Reproduksi Terhadap Sikap Berpacaran Sehat. ISSN Vol. IX, 33-53.
Walgito, B. (1978). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: C.V Andi. Offset.
Ware, V. d. (1983). The Structure of Psychological Distress and Well Being in General
Populations. England: Journal of Consulting and Clinical Psychology.
WHO. (2003). Kesehatan mental dalam kedaruratan. Geneva: WHO.
Widodo, P. &. (2002). “Perkembangan Peserta Didik”. Malang: UMM.
Dian, W. (2019). Metode Penelitian Metode Penelitian. Metode Penelitian Kualitatif, 17, 43.

Arikunto, S. (2019). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Budiman & Riyanto, A. (2014). Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Gazadinda, R., Putri, G. W., & Maulana, H. (2023). Reducing Loneliness in Undergraduate
Students through E-Journaling Intervention: A Pre-Experimental Study. Bulletin of
Counseling and Psychotherapy, 5(1), 58–68.

Nursalam. (2020). Metodologi Peneletian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis Edisi 5.


Jakarta : Salemba Medika.
Nurzeta, D. F. (2020). Pengaruh Promosi Kesehatan Melalui Media Video Remaja Putri
Tahun 2020. Politeknik Kesehatan Kemenkes Bengkulu, 1–121.

Nurzeta, D. F. (2020). Pengaruh Promosi Kesehatan Melalui Media Video Remaja Putri
Tahun 2020. Politeknik Kesehatan Kemenkes Bengkulu, 1–121.

Amiliyanti, Andini Rizki. (2022). Hubungan Pengetahuan Kesehatan Mental Terhadap


Kecemasan pada Remaja yang Berada pada Masa Gap Year. Journal UMM, 1(12).

Widyana, N. D. N. (2019). Hubungan Antara Literasi Kesehatan Mental Dengan Mental


Illness Stigma Pada Mahasiswa Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2(3).
KUESIONER

Skala Pengetahuan Kesehatan Mental

Mental Health Knowledge Questionnaire (MHKQ) oleh Nikmah D. (2019).

Petunjuk Pengerjaan:

Dibawah ini terdapat beberapa pernyataan dengan dua pilihan jawaban yaitu “Ya” dan
“Tidak”. Tugas anda adalah pilihlah satu jawaban yang menurut anda benar dan sesuai
dengan apa yang anda ketahui.

Pilihan Jawaban
No. Pernyataan
Ya Tidak
1 Gangguan mental disebabkan oleh pikiran-pikiran
yang tidak benar/salah
2 Banyak orang yang memiliki masalah terhadap
mentalnya akan tetapi tidak menyadarinya
3 Layanan Psikolog dan Psikiater seharusnya selalu
tersedia jika ada orang yang terindikasi memiliki
masalah psikis atau gangguan mental
4 Sikap positif, hubungan nterpersonal yang baik, dan
gaya hidup yang sehat dapat memelihara kesehatan
mental
5 Individu yang memiliki riwayat keluarga dengan
gangguan jiwa akan memperoleh resiko yang lebih
tinggi untuk mendapatkan masalah psikologis dan
gangguan jiwa
6 Individu yang memiliki temperament yang buruk
lebih mungkin untuk mendapatkan masalah
kesehatan mental.
7 Masalah atau gangguan mental mungkin dapat
terjadi ketika individu tersebut mendapatkan
tekanan secara psikis yang besar di hidupnya,
seperti kematian anggota keluarga
8 Semua gangguan mental disebabkan oleh tekanan
eksternal
9 Hampir seluruh gangguan mental tidak dapat
disembuhkan
10 Apakah anda pernah mendengar tentang the
International Mental Health Day?
11 Apakah anda pernah mendengar tentang the
International Suicide Prevention Day?

Informasi skor
Pernyataan favorable: Ya = 1 Tidak = 0
Pernyataan unfavorable : Ya = 0 Tidak = 1
Lembar Kuesioner Sikap Keluarga

Petunjuk: Lembar instrumen ini diisi oleh orang tua untuk mengetahui apakah terdapat pola

asuh toxic yang dilakukan oleh orang tua dalam mengasuh anak. Berilah tanda ceklis pada

kolom yang sudah disediakan sesuai dengan rubrik, dengan kriteria sebagai berikut: TS :

Tidak Setuju KS : Kurang Setuju S : Setuju SS : Sangat Setuju

Penilaian
No. Indicator Soal Butir
STS TS KS S SS
1 Memiliki Saya mengharapkan anak saya
ekspektasi selalu mendapatkan prestasi di
tinggi sekolah
2 Saya beranggapan bahwa
keberhasilan saya jika anak saya
juga berhasil di sekolah
3 Suka mengatur Saya merasa kecewa jika anak
keinginan anak saya mengabaikan perintah saya
4 Jika anak saya mengutarakan
pendapatnya, saya akan tetap
menggunakan pendapat saya
5 Sulit Saya membebaskan anak saya
membangun tanpa ingin terlibat dalam
kedekatan dunianya
6 emosional Saya jarang bercanda dengan
dengan anak anak saya
7 Saya merasa baik -baik saja
ketika saya sedang jauh dengan
anak saya
8 Sulit Saya hanya dapat memahami
menumbuhkan anak saya jika ia
sikap empati mengutarakannya
9 terhadap anak Jika anak saya menangis,
menengkannya bukanlah
kewajiban saya
10 Meremehkan Saya merasa biasa saja ketika
anak anak saya mengerjakan sesuatu
yang bagus
11 Jika anak saya melakukan
kesalahan, saya merasa itu
sepenuhnya adalah kesalahan
mereka
12 Mengumbar Saya sering menyampaikan
keburukan kesalahan yang pernah
anak dilakukan anak saya
13 Saya mengingat-ingat kesalahan
yang pernah dilakukan anak
saya
14 Saya merasa apa yang telah
dicapai oleh anak saya tidak
sebanding dengan pencapaian
anak lain
15 Selalu Saya sulit memberikan apresiasi
menyalahkan terhadap apa yang dilakukan
anak anak saya
16 Apapun yang dikerjakan oleh
anak saya, saya merasa itu
sesuatu yang tidak semestinya

Lembar Kisi-Kisi dan Kuesioner Sikap Keluarga

Kisi-kisi Instrumen Sikap Keluarga

No. Aspek Indikator Nomor Butir Jumlah


1 Pageant Parents Memiliki ekspektasi 1,2 2
tinggi
Suka mengatur 3,4 2
keinginan anak
2 Dismissive Parents Sulit membangun 5,6,7 3
kedekatan emosional
dengan anak
Sulit menumbuhkan 8,9 2
sikap empati terhadap
anak
3 Contemptous Parents Meremehkan anak 10,11 2
Mengumbar 12,13,14 3
keburukan anak
Selalu menyalahkan 15,16 2
anak

Anda mungkin juga menyukai