Anda di halaman 1dari 7

Bengkulu, Senin 29 september 2021

Lampiran : 1 (Satu) Berkas

Prihal : Permohonan Pengajuan Judul Skripsi

Kepada Yth,
Ketua Jurusan S1 Keperawatan
STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu
di-
Bengkulu

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Mardiana

NPM : 1826010072

Bermaksud mengajukan judul skripsi, sebagai salah satu syarat untuk


menyelesaikan studi starata 1 (S1) Program Studi S1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Tri Mandiri Sakti Bengkulu.

Adapun judul yang saya ajukan :

1. Hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan pasien


mengontrol halusinasi pada penderita skizofrenia
2. Literatur review Asuhan Keperawatan Jiwa pada pasien dengan
resiko perilaku kekerasan
3. Hubungan antara berfikir positif dengan harga diri pada lansia yang
tinggal di Panti jompo Tresna werdha

Demikian surat permohonan ini saya ajukan, atas perhatian dan


kebijaksanaan Bapak/Ibu saya ucapkan terimakasih.
Ketua Prodi Hormat Saya

Ns. Pawiliyah, S.Kep, MAN Mardiana

Judul : Hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan pasien


mengontrol halusinasi pada penderita skizofrenia

Latar belakang

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang mengenai masyarakat di seluruh dunia.


Skizofrenia diartikan sebagai suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan perilaku yang aneh dan
terganggu (Videbeck, 2001 dalam Prabowo,2014).

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan


mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,

pikiran, afek dan perilaku seseorang (Sadock, 2010) dimana memiliki gejala
positif dan gejala negatif yang meliputi gejala positif adalah

halusinasi, waham, perilaku aneh, gangguan pikiran formal sedangkan gejala


negatif adalah alogia, anhedonia- asosialitas sertaatensi.
Halusinasi merupakan gejala yang paling sering muncul pada klien skizofrenia
yaitu sekitar 70%. (Setyo, 2008). Jenis-jenis halusinasi menurut Struart dan
Sundeen (2007), meliputi halusinasi pendengaran, halusinasi penglihatan,
halusinasi penciuman, halusinasi pengecapan, halusinasi perabaan, halusinasi
sinesthetic dan halusinasikinesthetic.

Faktor penting yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan keberhasilan


asuhan keperawatan pada pasien halusinasi adalah dukungan keluarga, karena
dukungankeluarga

selama pasien dirawat di rumah sakit sangat dibutuhkan, sehingga pasien


termotivasi untuk sembuh (Keliat et al. 2011).

Perlunya perawat memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang


pengendalian halusinasi selama pasien berada di Rumah Sakit diharapkan
keluarga mampu merawat pasien secara konsisten agar pasien menjadi mandiri
dan patuh mengikuti program pengobatan (Yosep, 2010). Oleh karena itu, perawat
perlu memberikan asuhan keperawatan yang di dalamnya terdapat intervensi
dukungan keluarga agar nantinya keluarga mampu merawat dan berkerja sama
dalam mengontrolhalusinasi.

Dukungan keluarga menurut Friedman (2010) adalah sikap, tindakan penerimaan


keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan informasional,
dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan emosional. Sedangkan
menurut Smet (1994, dalam Christine, 2010) dukungan keluarga didefinisikan
sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah
laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam
lingkungannya atau yang berupa kehadiran dan hal - hal yang dapat
memberikan keuntungan emosional dan berpengaruh pada tingkah
lakupenerimanya.
Judul : Literatur review Asuhan Keperawatan Jiwa pada pasien dengan
resiko perilaku kekerasan

Latar belakang

Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta
orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena
dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial
dengan keanekaragamanpenduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus
bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan
produktivitas manusia untuk jangka panjang

Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak


sesuai dimana seseorangmelakukan tindakan-tindakan yang dapat membahayakan
atau mencederai diri sendiri, orang lain bahkan merusak lingkungan. Perilaku
kekerasan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara
fisik maupun psikologis (Prabowo, 2014)

Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut Direja, (2011) meliputi: Fisik :Mata
melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah, dan tegang, serta postur tubuh kaku. Verbal : mengancam, mengumpat
dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar, ketus. Perilaku :
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain, merusak lingkungan,
amuk atau agresif. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa
terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan, dan menuntut, Intelektual: Mendominasi, cerewet, kasar,
berdebat, meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada
sarkasme. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat. Sosial : menarik diri, pengasingan,
penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran. Perhatian : bolos, melarikan diri, dan
melakukan penyimpangan seksual.
Intervensi pada pasien dengan perilaku kekerasan dapat dilakukan dengan
pemberian teknik mengontrol perilaku kekerasan dengan pemberian SP I cara
fisik yaitu relaksasitarik nafas dalam serta penyaluran energi, SP II dengan
pemberian obat, SP III verbal atau social, SP IV spiritual. Intervensi tersebut
dilakukan kepada pasien lalu pasien diberikan jadwal kegiatan sehari dalam upaya
mengevaluasi kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan pasien
(Prasetya, 2018)

Berdasarkan paparan diatas maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian


agar dapat mengetahui ulasan kritis dari jurnal jurnal yang sudah ada.

Judul : Hubungan antara berfikir positif dengan harga diri pada lansia yang
tinggal di Panti jompo Tresna werdh

Latar belakang

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara adalah keberhasilan pada
beberapa bidang yaitu sosiale Qkonomi dan kesejahteraan, termasuk pada bidang
kesehatan,dimana kemajuan pada bidang kesehatan dan sosial ekonomiakan
berdampak langsung pada meningkatnya usia harapan hidup individu. Dengan
meningkatnya usia harapan hidup individu maka jumlah lansia juga akan
mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah lansia secara signifikan dialami
oleh beberapa negara, dimana Indonesia merupakan negara keempat yang mengalami
jumlah lansia terbanyak setelah Cina, India dan Jepang (U.S.CensusBureau,2009). Zulfitri
(2008) menyebutkan bahwa Indonesia telah memasuki era penduduk berstruktur lanjut
usia (agingstructuredpopulation), halini disebabkan oleh jumlah penduduk lanjut usia
(lansia) yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Santrock (2002) menyebutkan bahwa lansia dimulai ketika individu


memasuki usia 60 tahun keatas. Saputri (2011) juga menyebutkan lansia
merupakan tahap akhir dari siklus perkembangan hidup manusia. Banyak
diantara lansia berharap saat mencapai tahap akhir perkembangan hidup, lansia
akan hidup tenang, damai dan hidup bersama dengan anak-anak serta cucu
dengan bahagia. Tapi pada kenyataan, sebagian besar harapan-harapan lansia
tidak terwujud. Kesulitan untuk mencapai harapan lansia untuk bahagia
dikarenakan beberapa faktor seperti lansia akan diantarkan ke panti jompo
karena berbagai alasan, salah satu alasan adalah anak-anak tidak dapat mengurus
lansia yang tinggal di rumah dengan alasan sibuk bekerja. Santrock (2002)
menyatakan bahwa kemungkinan lansia lebih banyak tinggal di dalam institusi-
institusi, hampir ¼ lansia atau 23% dari jumlah lansia tidak tinggal di rumah
sendiri tetapi tinggal di institusi atau tempat pelayanan kesehatan. Baines (dalam
Santrock, 2002) menyatakan semakin lansia menua, kemungkinan lansia tinggal
di dalam panti jompo dan fasilitas-fasilitas kesehatan lainnya juga semakin
meningkat. Beban yang berat dari ketidakmampuan kronis, biaya kesehatan yang
semakin mahal dan ketidakmampuan mengurus lansia yang sedang sakit dan
bergantung pada pertolongan orang lain membuat keluarga akan mengirim lansia
ke pantijompo.
Ketika lansia diantarkan oleh keluarga ke panti jompo, maka lansia akan
merasa tidak berguna dan tidak diinginkan sehingga membuat banyak lansia
akan mengembangkan perasaan rendah diri dan marah terhadap diri sendiri,
orang lain dan juga lingkungan. Perasaan rendah diri tidak akan membantu
penyesuaian sosial dan menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini menyebabkan
interaksi sosial akan menurun serta lansia akan secara perlahan menarik diri dari
hubungan dengan masyarakat sekitar. Hutapea (2011) menyatakan bahwa sangat
banyak lansia yang dirawat di berbagai panti jompo dengan alasan anak-anak
tidak mampu lagi mengurus lansia. Hal ini banyak ditemukan di kota-kota besar.
Tidak hanya kaum laki-laki yang bekerja, perempuan pun banyak menjadi
wanita karir sehingga tidak selalu berada di rumah untuk mengurus orang tua
yang sudah lanjut usia. Anak-anak yang telah tumbuh dewasa dan mendapatkan
pekerjaan yang layak akan menitipkan lansia di panti karena alasan sibuk dengan
pekerjaan dan jarang di rumah. Kebanyakan dari kasus penitipan lansia, anak-
anak tidak meminta persetujuan lansia terlebih dahulu, lansia dipaksa untuk
tinggal di panti. Lansia yang memiliki pemikiran tidak sehat atau berpikir negatif
akan menerima keputusan keluarga dengan anggapan jika masih tinggal bersama
akan menyusahkan serta menghambat masa depan anak-anak.
Untuk menghindari harga diri yang rendah, lansia diharapkan dapat
mempertahankan serta meningkatkan pikiran positif agar dapat melanjutkan
kehidupan selanjutnya, saat lansia berada di dalam panti jompo. Dengan tetap
berpikir positif kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan maka lansia akan
dapat melakukan penyesuaian yang baik di dalam panti, lansia dapat berinteraksi
dengan baik dengan lansia lainnya serta tidak menjauhkan diri dari pergaulan
baru di panti. Dengan pemikiran positif, lansia tidak akan membenci keluarga
yang membawa lansia ke panti. Lansia dapat berpikir bahwa keluarga hanya
ingin membuat lansia merasa bahagia dengan membawa mereka ke panti. Lansia
juga diharapkan mempunyai harga diri yang positif sehingga lansia berpikir
bahwa tinggal di panti jompo tidak akhir dari segalanya, bukan suatu hal yang
buruk, sehingga lansia dapat menjalani kehidupan selanjutnya dengan lebih baik
danbahagia.
Berpikir positif juga sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan pengertian
dan perasaan lansia bahwa keputusan yang diambil oleh keluarga saat membawa
lansia ke panti jompo semata-mata untuk kebaikan lansia. Dimana lansia bisa
berinteraksi dengan teman-teman sebaya serta dapat melakukan hal-hal yang
menyenangkan, tidak hanya mengurus cucu atau pekerjaan rumah lainnya.
Aspek-aspek dari berpikir positif seperti perhatian positif, afirmasi diri,
penggambaran diri apa adanya, penyesuain diri terhadap keadaan dan harapan
positif terhadap masa depan akan membuat harga diri lansia juga menjadi positif
dalam memandang kehidupan lansia di dalam pantijompo.
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk melihat hubungan
antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo
tresna Wardha.

Anda mungkin juga menyukai