Dosen Pengampu:
Ns. Luri Mekeama, S.Kep., M.Kep
Disusun oleh:
Yayu Anggriani
G1B119053
2. Risiko bunuh diri merupakan suatu perilaku individu yang secara sadar
dan disengaja melakukan upaya untuk mengakhiri kehidupan. Berdasarkan
data yang ada, pasien tersebut mengalami masalah keperawatan harga diri
rendah dimana pasien malu dan merasa jelek sehingga tertutup saat
berkomunikasi. Saat ini pasien belum menunjukkan gejala risiko bunuh
diri, namun jika dibiarkan dan tidak diatasi bisa saja terjadi risiko bunuh
diri. (YAYU ANGGRIANI)
3. Karena obat antipsikotik terapi jangka panjang yang dialami oleh pasien
tidak dipantau dan dievaluasi secara teratur setiap bulannya. Berkaitan
dengan kondisi tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai pola
penggunaan antipsikotik dan tinjauan efek samping yang mungkin terjadi
selama pengobatan jangka panjang. (NADIA RIFELDA)
4. Dapat menyebabkan masalah fisik, emosi, dan perilaku yang ekstrim yang
mempengaruhi setiap area kehidupan orang tersebut. Atau bahkan dapat
mengalami depresi, melukai diri sendiri, bahkan sampai melakukan
percobaan bunuh diri. (FENNI DWI ANANDA)
5. Menurut kasus tersebut, mekanisme koping yang tepat seperti dukungan,
relaksasi, humor, aktivitas fisik. Bisa saja perawat memberikan kopong
agar tidak merasa minder, rilaksasi dengan mengatur napas, dan
pemberian obat pendukungnya sehingga bisa mengontrol gejalanya.
(ROSSIE INTAN)
6. Obat psikotik itu sendiri merupakan obat yang digunakan sebagai obat
penenang untuk insomnia, kecemasan, dan juga untuk agitasi. Seringkali,
obat ini diminum dengan obat penstabil suasana hati yang dapat
menurunkan gejala mania sampai penstabil suasana hati berpengaruh
penuh. Karena beberapa dari obat psikotik ini dapat membantu
menstabilkan suasana hati, Sebagai hasilnya, obat ini dapat digunakan
sebagai pengobatan jangka panjang. Obat antidepresan juga bisa diberikan
untuk gangguan mood karena obat ini akan membantu memperbaiki gejala
terkait depresi, seperti kesedihan dan keputusasaan. Obat tidur dan obat
penenang, biasanya diresepkan untuk pasien yang mengalami gangguan
tidur dan gangguan kecemasan kronisSelain obat - obatan terapi juga
sangat membantu klien dengan gangguan jiwa . Berbagai bentuk terapi
digunakan dalam pengobatan psikosis:
a. Terapi perilaku kognitif (CBT) mungkin sangat membantu dengan
mengubah pola pikir yang dapat menyebabkan delusi dan halusinasi.
b. Terapi bicara individu juga dapat membantu pengidapnya mengatasi
perasaannya sendiri, yang dapat berguna dalam menangani kasus
trauma.
c. Terapi psikoanalitik dapat berdampak signifikan pada fungsi orang
dengan psikosis.
d. Beberapa orang juga menemukan terapi kelompok atau keluarga
membantu dalam manajemen psikosis.
e. Rehabilitasi sosial dapat sangat membantu orang-orang terkasih yang
telah mengisolasi diri mereka sendiri karena gejalanya. (INDAH
WIDYA)
7. Obat antipsikotik tidak menjamin kesembuhan pada pasien dengan
gangguan kesehatan mental. terdapat 2 faktor yang mempengaruhi proses
recovery pada pasien dengan gangguan kesehatan mental yaitu : faktor
internal dan eksternal. contoh dari faktor internal adalah hope (harapan)
dari dalam diri pasien sendiri dan faktor eksternal contohnya support atau
dukungan dari keluarga atau orang orang di sekitarnya. (SEPTIA DWI
MAWARTI)
10. Obat anti psikotik ialah obat-obatan yang digunakan untuk mengobati
jenis gangguan jiwa yang disebut gangguan psikotik, gguan psikotik
adalah gangguan jiwa yang mempengaruhi cara orang dalam berfikir,
merasa dan berprilaku. nah pada kasus tersebut mengapa tn. aj
mengonsumsi obat anti psikotik hal ini berdasarkan data-data pasien yang
telah disebutkan pada kasus bahwa pasien merasa malu, minder, jelek, dan
selalu menghindari orang lain, tidak mau bertemu dengan teman lainnya,
lebih sering mengurung diri di kamar, dan sulit dalam memulai interaksi,
hal tersebut termasuk kedalam gangguan jiwa. (HARNIKA)
13. Perawat bisa memberikan edukasi kepada keluarga pasien dengan menkaji
masalah yg dirasakan keluarga dlm merawat pasien, memberikan
penjelasan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta proses
terjadinya isolasi sosial.. perawat bisa mendiskusikan cara merawat isolasi
sosial dan memutuskan cara merawat yg sesuai dengan kondisi pasien,
melatih keluarga dalam merawat isolasi sosial : tidak mendukung dan
tidak membantah isolasi sosial, membimbing pasien melakukan latihan
cara mengendalikan isolasi sosial sesuai dengan yang dilatih perawat
kepada pasien, memberikan pujian atas keberhasilan pasien, melibatkan
seluruh anggota keluarga dalam membumbing orientasi realita ( orang,
tempat, dan waktu), memotivasi melakukan kemampuan/ aspek positif
yang dimiliki dan memberi memberi pujian atas keberhasilan pasien.. serta
memberikan penjelasan kepada keluarga tanda dan gejala yang
memerlukan rujukan segera serta melakukan follow up ke pelayanan
kesehatan secara teratur. (NIKEN LARASATI)
14. Sikap perawat saat berhadapan dengan klien yan menjadi korban bully
yaitu, perawat dpat mengajak klien untuk menanam nilai2 moral dan
mengajarkan kepada klien cara membedakan perbuatan yang baik dengan
perbuatan yang tidak patut dilakukan pada sesama manusia, perawat dapat
membangun komunikasi yang baik dengan klien serta mendampingi klien
dalam proses penyembuhannya, mengajarkan klien cara bersikap asertif
atau tegas tetapi tetap sopan agar klien tidak mudah ditindas dan menjadi
people pleaser, perawat juga dapat menasehati klien agar berani melapor
kepada orang sekitar klien saat mengalami perilaku bully. (RIZKI DINI
MAHARANI)
STEP IV. MIND MAPPING
Etiologi
ISOLASI SOSIAL
STEP V. LEARNING OBJEKTIF
3. Jenis gangguan mental seperti apa yang di alami klien? (Tri Gumay)
Jawaban: Gangguan mental atau lebih tepatnya masalah kesehatan jiwa yang
dialami Tn. AJ adalah isolasi sosial yang disebabkan oleh pengalaman buruk di
masa lalu Tn. AJ.
STEP VI. REFERENSI
ISOLASI SOSIAL
A. Definisi Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya
(Damaiyanti, 2012). Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011).
Isolasi sosial juga merupakan kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat
didorong oleh keberadaan orang lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam
(NANDA-I dalam Damaiyanti, 2012). Isolasi sosial merupakan suatu gangguan
interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel
menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam
hubungan sosial (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Isolasi sosial merupakan
upaya Klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang lain (Trimelia,
2011). Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan keaadaan
seseorang yang mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain karena mungkin merasa ditolak, kesepian dan
tidak mampu menjalin hubungan yang baik antar sesama.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor
presipitasi dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor
keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang
yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
2. Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah
dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
Adaptif Maladaptif
a. Respon Adaptif
Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku.
Dengan kata lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika
menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang termasuk respon adaptif:
1. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telahterjadi di lingkungan sosialnya.
2. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal
yang saling membutuhkan satu sama lain.
4. Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling
ketergantungan antara individu dengan orang lain
b. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang
menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini
adalah perilaku yang termasuk respon maladaptif:
1. Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri
sendiri.
2. Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu
sebagai subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan
tidak mampu melakukan penilaian secara objektif.
3. Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan
mudah marah.
b. Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting
dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan
rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat
empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat
mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur
kepada pasien (Videbeck, 2012).
c. Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan pada
individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilaku-
perilakunya. Terapi ini meliputi hubungan satu-satu antara ahli terapi dan
klien(Videbeck, 2012). Terapi individu juga merupakan salah satu bentuk
terapi yang dilakukan secara individu oleh perawat kepada kliensecara tatap
muka perawat-klien dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Zakiyah, 2018). Salah satu bentuk
terapi individu yang bisa diberikan oleh perawat kepada klien dengan isolasi
sosial adalah pemberian strategi pelasanaan (SP). Dalam pemberian strategi
pelaksanaan klien dengan isolasi sosial hal yang paling penting perawat
lakukan adalah berkomunikasi dengan teknik terapeutik. Komunikasi
terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dank klien,
yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus
klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat
dan Klien (Videbeck, 2012). Semakin baik komunikasi perawat, maka
semakin bekualitas pula asuhan keperawatan yang diberikan kepadaklien
karena komunikasi yang baik dapat membina hubungan saling percaya antara
perawat dengan klien, perawat yang memiliki keterampilan dalam
berkomunikasi secara terapeutik tidak saja mudah menjalin hubungan saling
percaya dengan klien, tapi juga dapat menumbuhkan sikap empati dan
caring, mencegah terjadi masalah lainnya, memberikan kepuasan profesional
dalam pelayanan keperawatan serta memudahan dalam mencapai tujuan
intevensi keperawatan (Sarfika, 2018).
e. Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi
seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau tugas yang sengaja dipilih
dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat, meningkatkan harga diri
seseorang, dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Contoh terapi okupasi
yang dapat dilakukan di rumah sakit adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi,
dan terapi membuat kerajinan tangan yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan klien dalam keterampilan dan bersosialisasi (Elisia, 2014).
f. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga banyak
manfaat. Misalnya angkat rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti
kegiatan keagamaaan lebih rendah bila dibandingan dengan mereka yang
tidak mengikutinya (Dadang, 1999 dalam Yosep 2009). Menurut Zakiah
Darajat, perasaan berdosa merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang
berkaitan dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini diakibatkan karena
seseorang merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut
(Yosep, 2009). Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut
Yosep (2009) meliputi:
a. Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang
agamanya/ kolaborasidengan agamawan atau rohaniawan.
b. Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya tetapi
menggali sumber koping.
c. Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat,
fasilitas ibadah, buku- buku, music/lagu keagamaan.
d. Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama
untuk pasienrehabilitasi.
e. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat hidup di
dunia, dan sebagainya.
Untuk klien dengan isolasi sosial terapi psikoreligius dapat bermanfaat dari
aspek auto- sugesti yang dimana dalam setiap kegiatan religius seperti sholat,
dzkir, dan berdoa berisi ucapan-ucapan baik yang dapat memberi sugesti
positif kepada diri klien sehingga muncul rasa tenang dan yakin terhadap diri
sendiri (Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut Djamaludin Ancok
(1989) dan Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009) aspek kebersamaan
dalam shalat berjamaah juga mempunyai nilai terapeutik, dapat
menghindarkan seseorang dari rasa terisolir, terpencil dan tidak diterima.
g.Rehabilitasi
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit yang
dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan, antaranya terapi
okupasional yang meliputi kegiatan membuat kerajinan tangan, melukis,
menyanyi, dan lain-lain. Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung
3-6 bulan (Yusuf, 2019).
3. Intervensi Keperawatan
Setelah mengetahui diagnosa keperawatan pada klien dengan isolasi sosial, langkah selanjutnya yaitu menyusun perencanaan
tindakan keperawatan. untuk membina hubungan saling percaya dengan klien isolasi sosil perlu waktu yang tidak sebentar. perawat harus
konsisten bersikap terapeutik pada klien. Selalu penuhi janji, kontak singkat tapi sering dan penuhi kebutuhan dasarnya adalah upaya yang
bisa dilakukan (Trimelia, 2011).
5. Evaluasi Keperawatan
Sp 2
1. Evaluasi masalah sebelumnya, lalu berikan
pujian
2. Latih pasien cara berkenalan dengan orang
yangpertama (perawat).
3. Masukan kedalam jadwal harian
SP 3
1. Evaluasi kegiatan sebelumnya, yaitu
caraberkenalan dengan satu orang
(perawat)
2. Ajarkan pasien cara berkenaala dengan orang
kedua(pasien lain)
3. Masukan ke dalam jadwal harian
SP 4:
1. Evaluasi kegatan sebelumnya (SP 1, SP 2)
yaitucara berkenalan dengan orang kedua
(pasien).
2. Ajarkan membuat kegiatan dengan kelompok.
3. Masukan kedalam jadwal kegiatan harian.
SP 2:
1. Evaluasi kemampuan SP 1
2. Latih (langsung ke pasien)
3. RTL keluarga/ jadwal untuk merawat pasien
SP 3:
1. Evaluasi kemampuan SP 2
2. Latih (langsung ke pasien)
3. RTL keluarga/ jadwal untuk merawat pasien
SP 4:
1. Evaluasi kemampuan pasien
2. Evaluasi kemampuan keluarga
3. Rencana tindak lanjut pasien
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS
1. Pengkajian
a. Identitas
Nama : Tn. AJ
Umur : 34 tahun
Jenis kelamin : Pria
Pendidikan :-
Agama :-
Pekerjaan :-
Suku bangsa : Indonesia
Alamat :-
Nomor rekam medis :-
Ruang rawat :-
Tanggal masuk rumah sakit : -
Tanggal pengkajian :-
b. Faktor Predisposisi:
1) Saat masih sekolah klien merasa malu karena sering diejek oleh teman-
temannya (Bullying)
2) Klien memiliki riwayat menjadi korban bully disekolah sejak SMP.
3) Klien pernah mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan saat
kedua orang tua berpisah dan kakak satu-satunya meninggal dunia
karena sakit kanker otak.
c. Fisik: -
d. Konsep Diri:
1) Gambaran Diri :-
2) Ideal Diri : -
3) Harga Diri : -
4) Penampilan Peran : -
5) Hubungan Sosial : klien tampak malu, sulit memulai interkasi, dan
kontak mata jarang.
6) Spiritual : -
7) Status Mental : kontak mata jarang, klien menghindari orang lain, tidak
mau bertemu teman lainnya, dan membuat klien lebih banyak
mengurung diri dikamar.
8) Penampilan : -
9) Pembicaraan : -
10) Aktifitas Motorik: -
11) Alam Perasaan : -
12) Afek: -
13) Persepsi: -
14) Interaksi Selama Wawancara: klien tampak malu, sulit memulai
interkasi, dan kontak mata jarang.
15) Proses Pikir : -
16) Isi Pikir: -
17) Tingkat Kesadaran: -
18) Memori: -
19) Tingkat Konsentrasi Dan Kalkulasi: -
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada kasus diatas adalah isolasi sosial.
3. Rencana Keperawatan
Trimelia. (2012). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM
Yosep, Iyus. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.
Yusuf. (2019). Isolasi Sosial. Angewandte Chemie International Edition, 6(11),
951–952., 5–21.
Zilvia Ariska. (2020). Isolasi Sosial. Universitas Muhammadiyah Semarang.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ve
d=2ahUKEwi86-
C4z9PyAhWLbX0KHVmgB1EQFnoECAIQAQ&url=http%3A%2F%2Fepri
nts.umm.ac.id%2F42885%2F3%2FBAB%2520II.pdf&usg=AOvVaw30VlR
o5p8q90rHkWuYMRmn