Oleh :
Anggun Septiani
185070207111007
FASE
PRODROMAL
FASE
AKTIF
FASE
RESIDUAL
1. Fase Prodromal
Pada fase prodromal,sesorang mulai kehilangan minat dalam kegiatan
yang biasa ia lakukan. Penderita juga mulai menarik diri dari pertemanan
dan keluarga. Mereka mungkin akan menjadi mudah bingung, kesulitan
berkonsentrasi, merasa lesu dan apatis, lebih memilih mengahbiskan
sebagian besar hari-hari mereka dengan sendirian. Fase ini bisa
berlangsung berminggu-minggu hingga bulanan.
2. Fase Aktif
Selama fase aktif, penderita biasanya mengalami delusi, halusinasi, yang
ditandai dengan distorsi pemikiran dan gangguan dalam perilaku serta
perasaan. Fase ini merupakan fase yang paling ekstrim dan menakutkan
bagi penderita maupun orang sekitarnya.
3. Fase Residual (Sisa Fase)
Setelah fase aktif,penderita mungkin mengalami lesu dan sulit
berkonsentrasi. Gejala-gejala yang terjadi pada fase ini mirip dengan yang
terjadi pada fase prodromal.
Selain dari fase-fase beserta tanda gejalanya seperti yang telah disebutkan di
atas, tahapan halusinasi dan delusi yang biasa menyertai gangguan jiwa juga
memiliki tahapan lain yang tersendiri. Menurut Janice Clack (1962), klien yang
mengalami gangguan jiwa sebagian besar disertai dengan halusinasi dan delusi.
Halusinai dapat dibagi menjadi beberaoa tahapan (Dalami, et al, 2009) :
1. Sleep Disorder
Merupakan tahap awal seseorang sebelum muncul halusinasi.
Karakteristiknya yaitu klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari
lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah.
Masalah menjadi makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi
dan support system yang kurang serta persepsi terhadap masalah sangat
buruk. Klien menjadi susah tidur dan berlangsung terus-menerus sehingga
terbiasa menghayal dan menganggap menghayal sebagai awal pemecahan
masalah.
2. TahapComforting
Merupakan halusinasi tahap menyenangkan. Karakteristiknya yaitu klien
mengalami perasaan yang mendalam seperti cemas, kesepian, rasa bersalah,
takut, dan mencoba berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk
meredakan cemas. Klien terkadang tersenyum, tertawa sendiri,
menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, respon verbal
yang lambat, diam dan berkonsentrasi.
3. Tahap Condeming
Merupakan tahap halusinasi yang menjadi menjijikan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumber yang dipersepsikan sebagai hal yang menjijikan dan menakutkan.
System syaraf otonom meningkat akibat ansietas otonom seperti
peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah. Rentang
perhatian dengan lingkungan berkurang dan terkadang asik dengan
pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan
halusinasi dan realita.
4. Tahap Controling
Merupakan tahap pengalaman halusinasi yang berkuasa. Cemas berat.
Karakteristiknya yaitu klien menghentikan perlawanan terhadap halusinasi
dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik dank
lien mungkin akan mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi
berhenti. Klien menjadi taat pada halusinasi, sulit berhubungan dengan
orang lain, respon perhatian pada lingkungan berkurang, ketidakmampuan
mengikuti perintah dari perawat, termor, dan berkeringat.
5. Tahap Conquering
Merupakan tahap halusinasi panik, umumnya menjadi melebur dalam
halusinasi. Karakteristiknya yaitu pengalaman sensori menjadi mengancam
jika klien mengikuti perintah halusinasi. Perilaku klien panic, resiko tinggi
mencederai, bunuh diri atau membunuh. Tindak kekerasan agitasi, menarik
atau katatonik, serta ketidakmampuan berespon terhadap lingkungan.
2.2 Stres Adaptasi dalam Aplikasi di Keperawatan Jiwa
Model stres adaptasi pertama kali dikembangkan oleh Gail Stuart pada
tahun 1983. Fakta menunjukan bahwa banyak pasien mengalami gangguan
jiwa karena kegagalan beradaptasi. Gangguan jiwa bukan disebabkan karena
roh halus yang bersarang di tubuh manusia, melainkan karena kegagalan
beradaptasi dengan kenyataan yang harus dihadapi. Beberapa hal yang harus
diamati dakam model stress adaptasi adalah factor predisposisi, factor
presipitasi, penilaian terhadap stressor, siumber koping, dan mekanisme koping
yang digunakan. Ada dua kemungkinan koping terpilih yaitu berada antara
adaptif dalm maladaptive. Koping bersifat dinamis, oleh karena itu perilaku
manusia juga selalu dinamis sesuai dengan berbagai factor yang mempengaruhi
koping terpilih.
Berikut ini adalah komponen pengkajian model stress adaptasi dalam
keperawatan kesehatan jiwa :
1. Faktor Predisposisi
Merupakan faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya stress yang
mempengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi stress baik
yang biologis, psikososial,dan sosiokultural. Secara bersama-sama, faktor
ini akan mempengaruhi seseorang dalam memberikan arti dan nilai terhadap
pengalaman stress yang dialaminya. Macam-macam faktor predisposisi
adalah sebagai berikut :
Biologis : Latar belakang genetic, status nutrisi, kepekaan biologis,
kesehatan umum, dan terpapar racun.
Psikologis : Kecerdasan, ketrampilan verbal, moral, personal,
pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis
dan control
Sosiokultural : Usia, gender, pendidikan, pendapatan, okupasi,
posisi social, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman
social, dan tingkat sosial
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah timbul stimulus yang mengancam individu. Faktor
presipitasi memerlukan energy yang besar dalam menghadapi stress atau
tekanan hidup. Faktor ini dapat bersifat biologis, psikologis, dan
sosiokultural.
3. Penilaian Terhadap Stresor
Penilaian terhadap stressor meliputi penentuan arti dan pemahaman
terhadap pengaruh situasi yang penuh dengan stress bagi individu. Penilaian
adalah dihubungkan dengan evaluasi terhadap pentingnya suatu kejadian
yang berhubungan dengan kondisi sehat. Penilaian tersebut meliputi
beberapa respon yaitu :
Respon kognitif
Meupakan bagian kritis yang mencatat kejadian yang menekan,
memilih pola koping yang digunakan, serta emosional, fisiologis,
perilaku, dan reaksi social seseorang.
Respon afektif
Berupa membangun perasaan yang meliputi sedih, takut, marah,
menerima, tidak percaya, antisipasi atau kaget.
Respon fisiologis
Merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin yang meliputi
hormon prolactin, hormon adrenokortikotropik (ACTH),
vasopressin, oksitosin, insulin, epineprin morepineprin, dan
neurotransmitter lain di otak.
Respon perilaku
Merupakan hasil dari respon emosional dan fisiologis.
Respon social
Didasarkan pada tiga aktivitas, yaitu mencari arti, atribut social, dan
perbandingan sosial.
4. Sumber Koping
Sumber koping meliputi asset ekonomi, kemampuan dan ketrampilan,
teknik pertahanan, dikungan sosial, serta motivasi.
5. Mekanisme Koping
Merupakan suatu usaha langsung dalam manajemen stress. Ada tiga tipe
dalam mekanisme koping, yaitu :
Mekanisme koping problem focus
Terdiri atas tugas dan usaha langsung untuk mengatasi ancaman diri.
Contoh : Negosiasi, konfrontasi, dan mencari nasihat.
Mekanisme koping cognitively focus
Berupa seseorang dapat mengontrol masalah dan menetralisirnya.
Contoh : Perbandingan positif, selective ignorance, substitution of
reward, dan devaluation of desired objects.
Mekanisme koping emotion focus
Klien menyesuaikan diri terhadap distress emosional secara tidak
berlebihan. Contoh : Menggunakan mekanisme pertahanan ego
seperti denial, supresi, atau proyeksi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan jiwa adalah suatu keadaam dimana terdapat kelainan
fungsi jiwa yang membuat sesorang mengalami penderitaan dan hambatan
dalam hubungan sosial. Angka terjadinya gangguan jiwa di Indonesia masih
relatif tinggi. Tahapan terjadinya gangguan jiwa terbagi menjadi 3 fase,
yaitu fase prodromal, fase aktif, dan fase residual. Salah satu tanda gejala
gangguan jiwa yang paling umum dan banyak terjadi adalah halusinasi.
Stress dan adaptasi adalah suatu model pengkajian yang digunakan dalam
penangan gangguan jiwa oleh keperawatan jiwa. Komponen pengkajian
pada model stress dan adaptasi terdiri dari 5 hal, yaitu faktor
predisposisi,faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping,
dan mekanisme koping.
3.2 Saran
Sebaiknya mahasiswa keperawatan memperlajari konsep terkait
tahap terjadinya gangguan jiwa dan juga stress adaptasi dalam aplikasi di
keperawatan jiwa. Hal itu sangat penting dikarenakan masih tingginya
angka kejadian gangguan jiwa di Indonesia. Dengan memahami terkait hal
tersebut diharapkan nantinya mahasiswa keperawatan dapat menyusun
asuhan keperawan yang efektif sehingga dapat menekan angka kejadian
gangguan jiwa di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA