Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dengan semakin berkembangnya kehidupan manusia, komunikasi yang
dikembangkan dalam masyarakat juga mengalami kemajuan. Dewasa ini komunikasi
tidak hanya digunakan sebagai media untuk memenuhi kebutuhan dasar antar individu
saja, namun juga memiliki peran dalam aspek lainnya dalam kehidupan, salah satunya
dalam dunia kesehatan.
Pada umumnya anggapan yang berkebang di masyarakat adalah bahwa setiap penyakit
disembuhkan dengan cara pemberian obat-obatan. Namun ternyata ada hal lain yang juga
berperan sebagai alat pemulihan penyakit tertentu seperti penderita penyakit / gangguan
jiwa, disinilah komunikasi berperan penting sebagai obat / medicine dalam proses
pemulihan pasien gangguan jiwa. Gangguan kejiwaan merupakan permasalahan yang
cukup banyak ditemukan dalam kehidupan rmasyarakat. Hingga saat ini perhatian
masyarakat terhadap permasalahan gangguan jiwa masih terkesan minim. Fakta ini
dibuktikan dengan tindakan masyarakat yang tidak memberikan perhatian maksimal
terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Hal ini bertolak belakang
dengan rencana pembangunan yang diusung oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Dewasa ini, jumlah masyarakat yang mengalami gangguan jiwa tiap tahunnya
cenderung meningkat. Dengan kecenderungan peningkatan jumlah masyarakat yang
terkena gangguan jiwa, maka perlu perhatian lebih dari semua pihak untuk dapat
mengurangi angka penderita gangguan jiwa. Hal ini merupakan tantangan bagi tenaga
kesehatan di seluruh Indonesia untuk dapat memberikan pelayanan penuh dan maksimal
dalam proses pemulihan pasien gangguan jiwa. Penurunan tingkat kesehatan jiwa
terutama bila terjadi pada usia produktif tentu saja akan menyebabkan kerugian dalam
pembangunan daerah.
Proses pemulihan pasien gangguan jiwa biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu
terapi medik yang menggunakan obat-obatan dan terapi non medik yang menggunakan
komunikasi terapeutik. Komunikasi yang digunakan dalam proses pemulihan dalam
dunia kesehatan terutama dalam keperawatan jiwa dikenal dengan sebutan Komunikasi
Terapeutik. Komunikasi terapeutik merupakan suatu bentuk komunikasi yang
direncanakan secara sadar untuk membantu penyembuhan/pemulihan pasien (Suliswati,
2005). Komunikasi terapeutik merupakan hal yang utama dalam perawatan pasien, begitu
juga dalam keperawatan jiwa. Dengan adanya komunikasi terapeutik diharapkan dapat
membantu memperbaiki masalah yang dialami pasien secara berangsur-angsur.

1.2. Tujuan Penulisan


Adapun tujuannya adalah sebagai berikut :
a. Tujuan umum
Untuk memberikan gambaran tentang penerapan asuhan keperawatan pada pasien
gangguan jiwa dengan masalah utama isolasi sosial dengan metode komunikasi
terapeutik.
b. Tujuan khusus :
1. Mahasiswa dapat menyusun perencanaan tindakan keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan klien dan mengatasi masalah klien.
2. Mahasiswa dapat memahami perbedaan komunikasi teurapeutik pada setiap
pasien khusus.
3. Mahasiswa dapat melakukan komunikasi teurapeutik, terutama pada pasien
gannguan jiwa.
4. Mahasiswa mampu menerapkan teknik komunikasi teurapeutik, terutama pada
pasien gangguan jiwa
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Gangguan Jiwa
Penyakit kejiwaan, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa adalah gangguan yang
mengenai satu atau lebih fungsi mental. Penyakit mental adalah gangguan otak yang
ditandai ooleh tegangguanya emosi. Proses berfikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan
panca indra), penyakit mental ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita(dan
keluarga).
Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi-manifestasi
psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan yang nyata dan kinerja yang buruk,
dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi.
Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan tidak beres yang berhakikatkan penyimpangan
dari suatu konsep normatif. Setiap jenis ketidakberesan kesehatan itu memiliki tanda-
tanda dan gejala-gejala yang khas.
Setiap gangguan jiwa dinamai dengan istilah yang tercantum dalam PPDGJ-IV
(Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi IV) atau
DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition with
text revision). Kendati demikian, terdapat pula beberapa istilah yang dapat digunakan
untuk mendeskripsikan gangguan jiwa :
1. Gangguan jiwa psikotik : ditandai hilangnya kemampuan menilai realitas, ditandai
waham (delusi) dan halusinasi, misalnya schizophrenia.
2. Gangguan jiwa neurotik : tanpa ditandai kehilangan kemampuan menilai realitas,
terutama dilandasi konflik intrapsikis atau peristiwa kehidupan yang menyebabkan
kecemasan (ansietas), dengan gejala-gejala obsesi, fobia, dan kompulsif.
3. Gangguan jiwa fungsional : tanpa kerusakan struktural atau kondisi biologis yang
diketahui dengan jelas sebagai penyebab kinerja yang buruk.
4. Gangguan jiwa organik : ketidakberesan kesehatan disebabkan oleh suatu penyebab
spesifik yang membuahkan perubahan struktural di otak, biasanya terkait dengan
kinerja kognitif, delirium, atau demensia, misalnya pada penyakit Pick. Istilah ini
tidak digunakan dalam DSM-IV-TR karena ia merangkum pengetian bahwa beberapa
gangguan jiwa tidak mengandung komponen biologis.
5. Gangguan jiwa primer : tanpa penyebab yang diketahui disebut pula idiopatik atau
fungsional.
6. Gangguan jiwa sekunder : diketahui sebagai sutu manifestasi simtomatik dari suatu
gangguan sistemik, medis atau serebral, misalnya delirium yang disebabkan oleh
penyakit infeksi otak.

2.2 Gejala Gangguan Jiwa


Gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah sebagai berikut :
1. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan
yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut,
pikiran-pikiran buruk.
2. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar (mempersepsikan) sesuatu
bisikan yang menyuruh membunuh, melempar, naik genting, membakar rumah,
padahal orang di sekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak
ada hanya muncul dari dalam diri individu sebagai bentuk kecemasan yang sangat
berat dia rasakan. Hal ini sering disebut halusinasi, klien bias mendengar sesuatu,
melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada menurut orang lain.
3. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat
keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi, merawat diri
sendiri sehingga terlihat kotor, bau dan acak-acakan.
4. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan (Waham kebesaran).
Klien merasa sebagai orang penting, sebagai raja, pengusaha, orang kaya, titisan Bung
karno tetapi di lain waktu ia bisa merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya (depresi)
sampai ada ide ingin mengakhiri hidupnya.
5. Gangguan psikomotor : Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan yang berlebihan
naik ke atas genting berlari, berjalan maju mundur, meloncat-loncat, melakukan apa-
apa yang tidak disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam lama tidak bergerak
atau melakukan gerakan aneh. (Yosep, 2007).

2.3 Komunikasi Terhadap Pasien Gangguan Jiwa


Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah teknik khusus,
ada beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara orang gangguan jiwa dengan
gangguan akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah :
a. Penderita gangguan jiwa cenderung mengalami gangguan konsep diri, penderita
gangguan penyakit fisik masih memiliki konsep diri yang wajar (kecuali pasien
dengan perubahan fisik, ex : pasien dengan penyakit kulit, pasien amputasi, pasien
pentakit terminal dll).
b. Penderita gangguan jiwa cenderung asyik dengan dirinya sendiri sedangkan penderita
penyakit fisik membutuhkan support dari orang lain.
c. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik, penderita penyakit fisik bisa
saja jiwanya sehat tetapi bisa juga ikut terganggu.

Sebenarnya ada banyak perbedaan, tetapi intinya bukan pada mengungkap perbedaan
antara penyakit jiwa dan penyakit fisik tetapi pada metode komunikasinya. Komunikasi
dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar pengetahuan tentang ilmu
komunikasi yang benar, ide yang mereka lontarkan terkadang melompat, fokus terhadap
topik bisa saja rendah, kemampuan menciptakan dan mengolah kata – kata bisa saja
kacau balau.

Ada beberapa trik ketika harus berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa :

a. Pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas komunikasi, baik meminta klien
berkomunikasi dengan klien lain maupun dengan perawat, pasien halusinasi terkadang
menikmati dunianya dan harus sering harus dialihkan dengan aktivitas fisik.
b. Pada pasien harga diri rendah harus banyak diberikan reinforcement
c. Pada pasien menarik diri sering libatkan dalam aktivitas atau kegiatan yang bersama –
sama, ajari dan contohkan cara berkenalan dan berbincang dengan klien lain, beri
penjelasan manfaat berhubungan dengan orang lain dan akibatnya jika dia tidak mau
berhubungan dll.
Tujuan Komunikasi Terhadap Pasien Gangguan Jiwa
a. Perawat dapat memahamiorang lain.
b. Menggali perilaku pasien
c. Memahami perlunya memberi pujian
d. Memproleh informasi klien

2.4 Komunikasi terapeutik


Komunikasi teurapeutik adalah alat dasar yang digunakan untuk membentuk
hubungan antara Perawat- Klien. Komunikasi terapeutik ini khusus dilaksanakan oleh
penyelenggara jasa kesehatan yang dalam hal ini adalah perawat dan tenaga kesehatan.
Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus
direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan profesional. Akan tetapi, jangan
sampai karena terlalu asyik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai manusia
dengan beragam latar belakang dan masalahnya (Arwani, 2003:50). Hubungan
tindakan terapeutik dapat didefinisikan melalui tindakan yang diambil oleh perawat
dan pasien yang dimulai dengan perawat, respon pasien, interaksi kedua pihak untuk
mengkaji kebutuhan pasien dan tujuannya, serta transaksi timbal balik untuk mencapai
tujuan hubungan.
Tujuan komunikasi terapeutik menurut Machfoedz (2009:105) adalah
bertujuan membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban pikiran dan perasaan
untuk dasar tindakan guna mengubah situasi yang ada apabila pasien percaya pada
hal-hal yang diperlukan, untuk mengurangi keraguan serta membantu dilakukannya
tindakan yang efektif, serta mempererat interaksi kedua pihak, yakni antara pasien dan
perawat secara professional dan proporsional dalam rangka membantu penyelesaian
masalah pasien.
Untuk menerapkan komunikasi yang efektif perawat harus mempunyai
keterampilan yang memadai dan memahami dirinya dengan baik.dengan harapan
perawat dapat menghadapi, mempersepsikan, bereaksi, dan menghargai keunikan
pasien. Proses komunikasi mungkin akan terlihat canggung, semu, dan seperti dibuat-
buat saat perawat berkomunikasi secara terapeutik untuk pertama kalinya. Menurut
Stuart dan Sunden (dalam Purwaningsih dan Karlina, 2009:14), ada beberapa macam
teknik komunikasi terapeutik yang digunakan perawat dalam menanggapi pesan, yaitu
Mendengarkan, Pertanyaan Terbuka, Mengulang, Klarifikasi, Identifikasi Tema,
Diam, Refleksi, Fokuskan, Informing, Saran, Humor, Memberi Penghargaan, dan
Menganjurkan Meneruskan Pembicaraan.
Komunikasi terapeutik dilaksanakan dalam beberapa tahapan. Tahapan
komunikasi terapeutik merupakan sebuah siklus atau langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam komunikasi terapeutik. Stuart (dalam Suryani, 2009: 37) menyatakan
bahwa dalam prosesnya, komunikasi terapeutik terbagi menjadi empat tahapan, yaitu:
1. Tahap Persiapan (Pra interaksi)
Tahap Persiapan atau prainteraksi sangat penting dilakukan sebelum berinteraksi
dengan pasien. Pada tahap ini perawat menggali perasaan dan mengidentifikasi
kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap ini perawat juga mencari informasi
tentang pasien.
2. Tahap Perkenalan / Orientasi
Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu atau
kontak dengan pasien. Tujuan tahap ini adalah untuk memvalidasi keakuratan
data dan rencana yang telah dibuat dengan keadaan pasien saat ini. III.Tahap
Kerja
Tahap kerja ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi
terapeutik. Pada tahap ini perawat dan pasien bekerja bersama-sama untuk
mengatasi masalah yang dihadapi pasien. Pada tahap kerja ini dituntut
kemampuan perawat dalam mendorong pasien mengungkap perasaan dan
pikirannya. Perawat juga dituntut untuk mempunyai kepekaan dan tingkat analisis
yang tinggi terhadap adanya perubahan dalam respon verbal maupun nonverbal
pasien.
Pada tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat
pada tahap kerja ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah pasien. Melalui
active listening, perawat membantu pasien untuk mendefinisikan masalah yang
dihadapi, bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara atau
alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih. IV. Tahap Terminasi
3. Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan pasien.Tahap
terminasi dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Terminasi sementara,
Merupakan akhir dari tiap pertemuan perawat dan pasien. Pada terminasi
sementara, perawat akan bertemu lagi dengan pasien pada waktu yang telah
ditentukan, misalnya satu atau dua jam pada hari berikutnya. Isi komunikasi
pada tahap ini berupa evaluasi hasil, tindak lanjut, dan kontrak yang akan
datang.
b. Terminasi akhir,
Terminasi akhir terjadi jika pasien akan pulang dari rumah sakit. Hal ini
tergantung dari diagnosa dari dokter atau ahli kejiwaan yang menangani pasien
tersebut. Isi percakapan pada tahap ini lebih mengarah kepada keramah
tamahan perawat terhadap pasien yang sudah bisa dikembalikan ke
masyarakat.
Komunikasi terapeutik akan berjalan baik dan memperoleh hasil yang maksimal jika
tiap-tiap tahapan tersebut dapat dijalankan dengan baik. Seorang perawat yang bekerja dalam
proses pemulihan pasien gangguan jiwa harus benar-benar mendalami tahapan terapeutik
yang ada, mulai dari tahap persiapan yang mencakup personal perawat, hingga tahap
terminasi. Tahap-tahap komunikasi terapeutik ini tidak bisa dijalankan secara tergesa-gesa,
semuanya memerlukan perencanaan dan waktu. Seringkali dibutuhkan kesabaran dan
ketekunan dalam menjalankannya terutama dalam menghadapi pasien gangguan jiwa.
Gangguan jiwa atau mental adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang
karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan
sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin,2001). Para ahli psikologi berbeda
pendapat tentang sebab-sebab terjadinya gangguan jiwa. Selain pendapat Djamaluddin di atas,
Sigmund Freud dalam Maslim (2002) berpendapat bahwa gangguan jiwa terjadi karena tidak
dapat diselaraskannya tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan
tuntutan super ego (tuntutan normal sosial). Orang ingin berbuat sesuatu yang dapat
memberikan kepuasan diri, tetapi perbuatan tersebut akan mendapat celaan masyarakat.
Konflik yang tidak terselesaikan antara keinginan diri dan tuntutan masyarakat ini akhirnya
akan mengantarkan orang pada gangguan jiwa.
BAB III
KOMUNIKASI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA
(ISOLASI SOSIAL)

3.1 Tahap Persiapan (Pra interaksi)


Tahap Persiapan atau prainteraksi sangat penting dilakukan sebelum berinteraksi dengan
pasien. Pada tahap ini perawat menggali perasaan dan mengidentifikasi kelebihan dan
kekurangannya. Pada tahap ini perawat juga mencari informasi tentang pasien. Dari
hasil wawancara dengan Kepala Desa dan ibu pasien didapatkan data sebagai berikut:
a. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Umum Pasien
Pengkajian di lakukan pada tanggal 30 Oktober 2014, jam 09.00WIB di Desa
Bungursari RT/RW 002/003 Karawang dengan data sebagai berikut:
a) Identitas
1) Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Umur : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status perkawinan : Janda
Suku/Bangsa : Sunda/Indonesia
Pendidikan Terakhir : Tamat SD
Alamat : Desa Bungursari RT/RW 002/003 Karawang
Sumber informasi : Dari klien dan Kartu Identitas
2) Identitas penanggung jawab
Nama : Ny. S
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Bungursari RT/RW 002/003 Karawang
b) Riwayat Kesehatan
Ibu klien mengatakan anaknya dipulangkan dari Arab Saudi. Info dari BNP2TKI
klien tiba – tiba mengamuk, verbal kacau mondar mandir, teriak-teriak. Klien
pernah dirawat di RS POLRI dengan keluhan yang sama, keluarga membawa
klien pulang dengan alasan keterbatasan biaya dan rumah klien jauh dari rumah
sakit jiwa. Setelah pulang dari rumah sakit klien tidak melanjutkan pengobatan

2. Analisa Data
Dari pengkajian data pada tanggal 30 Oktober 2017, maka dapat dibuat analisa data
sebagai berikut :

No. Data Etiologi Masalah


1. Data Subyektif : Isolasi sosial: Resiko tinggi
Ibu klien mengatakan klien menarik diri perubahan persepsi
sering menyendiri dan jarang sensori : halusinasi
bergaul dengan tetangga

Data Obyektif :
• Klien tampak masih
ngalamun di tempat tidur
• klien kadang senyum
sendiri, bicara sendiri dan
menangis tiba – tiba tanpa
ada alasannya.

2. Data Subyektif : Gangguan konsep Isolasi sosial: menarik


• Klien mengatakan suka diri : harga diri diri
diam dan menyendiri di rendah
tempat tidurnya
• Klien susah untuk memulai
pembicaraan.
• Klien mengatakan apabila
klien tidak ditanya klien
tidak mau memulai
pembicaraan terlebih
dahulu

Data Obyektif :
• Kontak mata kurang
• Klien kadang menunduk
• Klien menjawab pertanyaan
secara singkat
• Jika terlalu lama
berkomunikasi verbal kacau

A. Pohon Masalah

B. Strategi Pelaksanaan Isolasi Sosial


1. Strategi pelaksanaan 1 (sp 1) isolasi sosial
Tindakan Keperawatan.
a. Membina hubungan saling percaya.
b. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien.
c. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain.
d. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian berinteraksi dengan orang lain
e. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
f. Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan
orang lain dalam kegiatan harian.
Proses Pelaksanaan
Fase pra interaksi
Dalam tahapan ini perawat menggali perasaan dan menilik dirinya
dengan cara mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap ini juga
perawat mencari informasi tentang klien sebagai lawan bicaranya. Setelah hal ini
dilakukan perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan klien.
Tahapan ini dilakukan oleh perawat dengan tujuan mengurangi rasa cemas atau
kecemasan yang mungkin dirasakan oleh perawat sebelum melakukan komunikasi
terapeutik dengan klien.

Fase Orentasi.
Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali pertemuan dengan klien dilakukan.
Tujuan dalam tahap ini adalah memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah
dibuat sesuai dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang
telah lalu (Stuart. G. W, 2009). Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:
1. Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan dan komunikasi terbuka.
2. Merumuskan kontrak (waktu, tempat pertemuan, dan topik pembicaraan)
bersama-sama dengan klien dan menjelaskan atau mengklarifikasi kembali
kontrak yang telah disepakati bersama.
3. Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien yang
umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik komunikasi pertanyaan
terbuka.
4. Merumuskan tujuan interaksi dengan klien
Sangat penting bagi perawat untuk melaksanakan tahapan ini dengan baik karena
tahapan ini merupakan dasar bagi hubungan terapeutik antara perawat dan klien.

Perawat : “Assallamualaikum wr,wb”


Pasien : (pasien hanya diam)
Perawat : “ Saya Ervika, saya senang dipanggil Sr. Vika. Saya perawat yang sedang
bertugas di Desa Bungursari, disini saya akan merawat Ibu selama 2 minggu,
saya akan mengunjungi ibu 1x sehari, pagi jam 10.00 WIB. “
Pasien : “Ya”
Perawat : “Nama Ibu siapa? “
Pasien : “ Endah “
Perawat : “Apa yang ibu rasakan saat ini ?
Pasien : “Tidak ada”
Perawat : “Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan teman-teman
Bu Endah ?
Pasien : (hanya mengangguk)
Perawat : “ Mau dimana kita bercakap-cakap ? “ Bagaimana kalau di ruang tamu?
Pasien : “Ya”
Perawat : Mau berapa lama bu? Bagaimana kalau 15 menit saja.
Pasien : “Ya”

Fase kerja.
Tahap kerja merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik (Stuart, G.
W, 2009). Tahap kerja merupakan tahap yang terpanjang dalam komunikasi terapeutik karena
didalamnya perawat dituntut untuk membantu dan mendukung klien untuk menyampaikan
perasaan dan pikirannya dan kemudian menganalisa respons ataupun pesan komunikasi verbal
dan non verbal yang disampaikan oleh klien. Dalam tahap ini pula perawat mendengarkan
secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga mampu membantu klien untuk
mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien, mencari penyelesaian masalah dan
mengevaluasinya.
Dibagian akhir tahap ini, perawat diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya
dengan klien. Teknik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan
hal-hal penting dalam percakapan, dan membantu perawat dan klien memiliki pikiran dan ide
yang sama (Murray, B. & Judith, P, 2011 dalam Suryani, 2010). Dengan dilakukannya
penarikan kesimpulan oleh perawat maka klien dapat merasakan bahwa keseluruhan pesan
atau perasaan yang telah disampaikannya diterima dengan baik dan benar-benar dipahami
oleh perawat.
Perawat : “Dengan siapa ibu tinggal serumah?”
Pasien : “Ibu”
Perawat : “Siapa yang paling dekat dengan bu Endah?”
Pasien : “Ibu”
Perawat : “Apa yang menyebabkan bu Endah dekat dengan ibu?”
Pasien : “Karena dari kecil saya tinggal dengan ibu saya.”
Perawat : “Siapa anggota keluarga dan teman ibu yang tidak dekat dengan ibu?”
Pasien : “Bapak dan Mantan Suami saya, bapak saya ninggalin saya dari kecil. Kalau
mantan suami saya malah pergi setelah nikah 1 tahun dan kita tidak punya
anak.”
Perawat : “ Apa yang bu Endah rasakan sekarang?”
Pasien : “Merasa sendiri” (murung)
Perawat : “O …. Bu Endah merasa sendirian, siapa saja yang bu Endah kenal di
lingkungan sini “.
Pasien : ( hanya menggelengkan kepala)
Perawat : “ Bu Endah mau berkenalan dengan tetangganya? ”
Pasien : (diam)
Perawat : “ Menurut bu Endah apa saja keuntungan kalau kita mempunyai teman ?
Pasien : “Ada teman ngobrol”
Perawat : “Wah benar, ada teman ngobrol,trus apa lagi bu?” (sampai pasien dapat
menyebutkan beberapa )
Pasien : “Ada teman berbagi, ada teman untuk melakukan aktivitas”
Perawat : “Nah kalau kerugiannya tidak mempunyai teman apa ya?”
Pasien : “Tidak punya teman bicara”
Perawat : “Betul, apa lagi ya ?”
Pasien : “Tidak ada teman untuk diajak main”
Perawat : “Kalau begitu bu Endah mau kan belajar dan bergabung dengan orang lain?”
Pasien : “Ya.”
Perawat : “ Bagus, bagaimana sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain ya“
Begini bu, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan nama kita, nama
panggilan yang kita sukai,asal kita, dan hobi kita”. “Contoh : Nama saya
Endah, Senang dipanggil Endah , Asal dari Bungursari , Hobi memasak,
selanjutnya bu Endah menayakan nama orang yang diajak
berkenalan.“Contohnya Begini, Nama bapak/ibu siapa ? senang dipanggil apa
? asalnya dari mana ? Hobbinya apa ? Ayo bu Endah dicoba, Misalnya saya
belum kenal denggan ibu, coba berkenalan dengan saya !!!
Pasien : “Nama saya Endah, Senang dipanggil Endah, Asal dari Bungursari, Hobbi
memasak. Nama bapak siapa? Senang dipanggil apa? Asalnya dari mana?
Hobinya apa?.”
Perawat : “Ya bagus sekali “ coba sekali lagi”
Pasien : “Nama saya Endah, Senang dipanggil Endah, Asal dari Bungursari, Hobbi
memasak. Nama bapak siapa? Senang dipanggil apa? Asalnya dari mana?
Hobinya apa?.”
Perawat : “Bagus sekali. Setelah bu Endah berkenalan dengan orang tersebut, bu Endah
bisa melanjutkan percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan bu Endah
bicarakan , Misalnya tentang cuaca, tentang hobi , tentang keluarga ,
pekerjaan dan sebaginya .”
Pasien : “Ya”

Terminasi.
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan klien. Tahap terminasi dibagi
dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir (Stuart, G. W, 2009). Terminasi sementara
adalah akhir dari tiap pertemuan perawat dan klien, setelah hal ini dilakukan perawat dan
klien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan kontrak waktu
yang telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi akhir dilakukan oleh perawat setelah
menyelesaikan seluruh proses keperawatan. Tugas perawat dalam tahap ini adalah:
1. Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan (evaluasi objektif).
Brammer dan McDonald (2009) menyatakan bahwa meminta klien untuk menyimpulkan
tentang apa yang telah didiskusikan merupakan sesuatu yang sangat berguna pada tahap
ini.
2. Melakukan evaluasi subjektif dengan cara menanyakan perasaan klien setelah berinteraksi
dengan perawat.
3. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut yang
disepakati harus relevan dengan interaksi yang baru saja dilakukan atau dengan interaksi
yang akan dilakukan selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam tahap orientasi pada
pertemuan berikutnya.

Perawat : “ Bagaimana Perasaan bu Endah setelah kita latihan berkenalan ?”


Pasien : “Senang.”
Perawat : “Bu Endah tadi sudah mempraktekan cara berkenalan dengan baik sekali,
selanjutnya ibu dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama saya
tidak ada, sehingga ibu lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. Ibu
mau praktekan dengan orang lain?”
Pasien : “Mau”
Kontrak waktu, topik dan tempat.
Perawat : “Mau jam berapa mencobanya?”
Pasien : “Jam 10”
Perawat : “ Baik, kalau begitu mari kita masukkan ke jadwal kegiatan harian. Besok pagi
jam 10 saya akan datang kesini untuk mengajak bu endah berkenalan dengan
teman saya sr. Amel, bagaimana ibu bersedia?”
Pasien : “Ya”

Salam
Perawat : “Baik bu, hari ini saya rasa cukup, ketemu saya lagi besok pagi ya bu jam 10.
00. Assalamu alaikum Wr.Wb.
BAB IV
PEMBAHASAN

Penggolongan gangguan jiwa sangatlah beraneka ragam menurut para ahli


berbeda-beda dalam pengelompokannya. Menurut Damaiyanti (2010:67) gangguan
jiwa dikelompokkan menjadi Perilaku kekerasan, harga diri rendah, halusinasi, isolasi
sosial, waham, dan kurangnya perawatan diri.
Isolasi sosial merupakan salah satu dari jenis gangguan jiwa, dimana
penderitanya mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain di sekitarnya dengan gejala dan tanda seperti yang dijelaskan di
atas. Pasien gangguan jiwa yang mengalami isolasi sosial sangat memerlukan
perawatan untuk perbaikan dirinya. Dalam kasus ini komunikasi terapeutik sangat
diperlukan agar pasien dapat merubah dirinya menjadi seseorang yang lebih terbuka
dan bersosialisasi terhadap lingkungan tanpa ada rasa rendah diri, merasa ditolak, dan
tidak diterima.
Menurut Twonsend (dalam Farida dan Yudi, 2010 :120) Isolasi Sosial
merupakan suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain
menyatakan sikap yang negatif dan mengancam. Terjadinya gangguan jiwa ini
dipengaruhi oleh faktor predisposisi diantaranya perkembangan dan sosial budaya.
Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak percaya pada orang lain, ragu, takut
salah, pesimis, putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan,
dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri, menghindar dari orang
lain, dan kegiatan sehari-hari menjadi terabaikan.
Setelah melakukan pembahasan terhadap komunikasi terapeutik pada pasien
dengan isolasi sosial, penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Komunikasi terapeutik memiliki peranan yang besar dalam proses pemulihan
pasien gangguan jiwa khususnya pasien gangguan jiwa dengan diagnosa Isolasi
Sosial. Hal ini terbukti dari hasil pengamatan peneliti terhadap kondisi pasien
yang baru dirawat, serta kondisi pasien yang telah menjalani komunikasi
terapeutik dalam jangka waktu tertentu. Komunikasi terapeutik merupakan satu-
satunya metode pemulihan yang diaplikasikan oleh perawat terhadap pasien
gangguan jiwa, disamping pemberian obat-obatan yang bersifat sebagai
penenang bagi pasien. Keberhasilan komunikasi terapeutik dalam proses
pemulihan pasien gangguan jiwa jenis isolasi sosial tidak terlepas dari 8
pelaksanaan tahap-tahap komunikasi terapeutik yang baik. Ada empat tahapan
dalam komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat dalam proses
pemulihan pasien gangguan jiwa jenis isolasi sosial yaitu : tahap pra interaksi
sebagai tahap persiapan sebelum melaksanakan komunikasi dengan pasien, tahap
perkenalan untuk mendapatkan perhatian dan kepercayaan dari pasien, tahap
kerja yang berguna untuk mengubah perilaku pasien menjadi lebih baik dan
normal, serta tahap terminasi dimana perawat memutuskan untuk menyelesaikan
pertemuan secara sementara untuk bertemu kembali di lain waktu yang telah
dijanjikan bersama atau untuk selamanya dikarenakan pasien telah didiagnosa
pulih kembali / normal.
2. Faktor pendukung keberhasilan komunikasi terapeutik dalam proses pemulihan
pasien gangguan jiwa jenis isolasi sosial terletak pada pengetahuan perawat,
pengalaman perawat dalam bidang terapeutik, dukungan sarana dan pra sarana
dalam proses pemulihan, serta keluarga pasien. Faktor pendukung ini
menyebabkan semakin mudahnya proses pemulihan / perubahan tindakan pasien
ke arah normal melalui komunikasi terapeutik. Faktor penghambat keberhasilan
komunikasi terapeutik dalam proses pemulihan pasien gangguan jiwa jenis
isolasi sosial adalah kondisi psikis pasien isolasi sosial, kondisi perawat, bahasa
dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik, dan faktor lingkungan.
Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien
mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dengan orang lain.
Pengkajian
Untuk mengkaji pasien isolasi sosial Saudara dapat menggunakan wawancara dan
observasi kepada pasien dan keluarga.
Tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan dengan wawancara, adalah:
• Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
• Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
• Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
• Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
• Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
• Pasien merasa tidak berguna
• Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini dapat Saudara tanyakan pada waktu wawancara untuk
mendapatkan data subyektif:
• Bagaimana pendapat pasien terhadap orang-orang di sekitarnya (keluarga atau tetangga)?
• Apakah pasien mempunyai teman dekat? Bila punya siapa teman dekat itu?
• Apa yang membuat pasien tidak memiliki orang yang terdekat dengannya?
• Apa yang pasien inginkan dari orang-orang di sekitarnya?
• Apakah ada perasaan tidak aman yang dialami oleh pasien?
• Apa yang menghambat hubungan yang harmonis antara pasien dengan orang sekitarnya?
• Apakah pasien merasakan bahwa waktu begitu lama berlalu?
• Apakah pernah ada perasaan ragu untuk bisa melanjutkan kehidupan?

Tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat diobservasi:


• Tidak memiliki teman dekat
• Menarik diri
• Tidak komunikatif
• Tindakan berulang dan tidak bermakna
• Asyik dengan pikirannya sendiri
• Tak ada kontak mata
• Tampak sedih, afek tumpul

Tindakan Keperawatan
1. Tindakan keperawatan untuk pasien.
a. Tujuan: Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu
1) Membina hubungan saling percaya
2) Menyadari penyebab isolasi sosial
3) Berinteraksi dengan orang lain

Tindakan
1) Membina Hubungan Saling Percaya
Tindakan yang harus dilakukan dalam membina hubungan saling percaya, adalah:
a) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien
b) Berkenalan dengan pasien: perkenalkan nama dan nama panggilan yang
Saudara sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien
c) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini
d) Buat kontrak asuhan: apa yang Saudara akan lakukan bersama pasien, berapa
lama akan dikerjakan, dan tempatnya di mana
e) Jelaskan bahwa Saudara akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi
f) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien
g) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
Untuk membina hubungan saling percaya pada pasien isolasi sosial kadang-
kadang perlu waktu yang lama dan interaksi yang singkat dan sering, karena
tidak mudah bagi pasien untuk percaya pada orang lain. Untuk itu Saudara
sebagai perawat harus konsisten bersikap terapeutik kepada pasien. Selalu
penuhi janji adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan. Pendekatan yang
konsisten akan membuahkan hasil. Bila pasien sudah percaya dengan Saudara
program asuhan keperawatan lebih mungkin dilaksanakan.
2) Membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial
Langkah-langkah untuk melaksanakan tindakan ini adalah sebagai berikut :
• Menanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain
• Menanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain
3) Membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dengan orang lain
Dilakukan dengan cara mendiskusikan keuntungan bila pasien memiliki
banyak teman dan bergaul akrab dengan mereka
4) Membantu pasien mengenal kerugian tidak berhubungan
Dilakukan dengan cara:
• Mendiskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak
bergaul dengan orang lain
• Menjelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien
5) Membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
Saudara tidak mungkin secara drastis mengubah kebiasaan pasien dalam
berinteraksi dengan orang lain, karena kebiasaan tersebut telah terbentuk dalam
jangka waktu yang lama. Untuk itu Saudara dapat melatih pasien berinteraksi
secara bertahap. Mungkin pasien hanya akan akrab dengan Saudara pada awalnya,
tetapi setelah itu Saudara harus membiasakan pasien untuk bisa berinteraksi secara
bertahap dengan orang-orang di sekitarnya.
Secara rinci tahapan melatih pasien berinteraksi dapat Saudara lakukan sebagai
berikut:
• Beri kesempatan pasien mempraktekkan cara berinteraksi dengan orang
lain yang dilakukan di hadapan Saudara
• Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang (pasien, perawat atau
keluarga)
• Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi
dengan dua, tiga, empat orang dan seterusnya.
• Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh
pasien.
• Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi dengan
orang lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan atau
kegagalannya. Beri dorongan terus menerus agar pasien tetap semangat
meningkatkan interaksinya.

SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal


penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan
berhubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain,
dan mengajarkan pasien berkenalan
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi-manifestasi
psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan yang nyata dan kinerja yang buruk,
dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi
Komunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar pengetahuan
tentang ilmu komunikasi yang benar, ide yang mereka lontarkan terkadang melompat,
fokus terhadap topik bisa saja rendah, kemampuan menciptakan dan mengolah kata – kata
bisa saja kacau balau.
5.2 Saran
Kita sebagai perawat hendaknya menggunakan bahasa yang santung terhadap pasien
gangguan jiwa karenaKomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah
dasar pengetahuan tentang ilmu komunikasi yang benar.
Daftar pustaka

Hamid, Achir Yani. 2008. Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penebit Buku
Kedokteran EGC

Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa: Aplikasi Dalam Praktik. Yogyakarta:
CV. Andi Offset

Anda mungkin juga menyukai