Anda di halaman 1dari 22

MODUL-4

NORMALITAS & ABNORMALITAS

Deskripsi Singkat
Batasan antara normal dan abnormal masih samar-samar hingga saat ini. Hal ini
diakibatkan para ahli sendiri kesulitan untuk menetapkan mana saja yang normal dan
abnormal dalam ukuran yang baku. Para ahli mengemukakan berbagai pendapat bahwa
normal dan abnormal dapat didefinisikan dan diidentifikasi dengan berlandaskan pada
berbagai sudut pandang dan pendekatan, tergantung pada apa yang hendak diidentifikasi.
Pada bab ini, akan dibahas konsep normalitas dan abnormalitas, terkait apa yang dimaksud
dengan normal dan abnormal dari berbagai sudut pandang dan pendekatan. Selain itu, bab ini
juga membahas ciri pribadi yang normal dan abnormal serta model pendekatannya dari
tinjauan beberapa rumusan para ahli.

Relevansi
Diharapkan setelah mengikuti perkuliahan yang membahas bab ini, mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan kembali konsep normalitas dan abnormalitas. Selain itu
mahasiswa juga diharapkan mampu mengidentifikasi dan menguraikan ciri pribadi normal
dan abnormal beserta model pendekatannya dalam konteks kesehatan mental.

Capaian Pembelajaran Mata Kuliah


Mahasiswa memahami konsep normalitas & abnormalitas, dengan indikator sebagai
berikut:
 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep normalitas & abnormalitas
 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan kriteria pribadi yang normal
 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan perilaku abnormal

A. Normalitas
1. Pengertian
Apabila ditinjau dari konteks perilaku, normal adalah istilah yang digunakan
untuk menunjukkan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang tidak berbeda secara
signifikan dengan tuntutan masyarakat tempat ia hidup. Meskipun derajatnya
bervariasi, setiap mahkluk hidup yang memiliki perbedaan dalam perilaku juga tidak
diperhitungkan, di mana penggunaan kata yang normal hanya bisa subjektif. Namun
istilah ini seringkali bukan yang paling tepat untuk mendefinisikan kondisi ini, karena
acuan yang disebut "normal" bisa berbeda tergantung pada situasi, kondisi dan
lingkungannya.
Oxford English Dictionary memuat istilah "normal" sebagai "kondisi sesuai
dengan standar". Definisi lain yang lebih mengarah pada ketepatan dalam konteks
kehidupan sehari-hari bahwa "normal" adalah seseorang yang perilakunya sesuai
dengan domain masyarakat dalam lingkungan tertentu. Hal ini dapat disebabkan oleh
berbagai alasan seperti perilaku imitatif yang sederhana, penerimaan sengaja atau
tidak konsisten dengan standar masyarakat, takut akan menerima penghinaan atau
penolakan dan lain sebagainya.
Sosiolog Perancis Émile Durkheim menyebutkan bahwa dalam aturan metode
sosiologi, perilaku yang paling umum ditunjukkan dalam masyarakat adalah sebagai
yang dianggap normal. Orang yang tidak sejalan, melanggar norma sosial dan akan
mengundang hukuman dari orang lain dan otoritas dalam masyarakat.
Sementara itu Kartono (2000), mengemukakan terdapat dua jenis perilaku
manusia, yakni perilaku normal dan perilaku abnormal. Perilaku normal merupakan
perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, sedangkan parilaku
abnormal merupakan perilaku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat pada
umumnya, serta tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku. Perilaku
abnormal ini juga biasa disebut perilaku menyimpang atau perilaku bermasalah.
Kata “normal” awalnya diperkenalkan oleh Gottfried Achenwall sebagai
aritmatik politik penggunaan data untuk kebutuhan negara dalam merancang
kebijakan. Seiring perkembangannya, dalam psikologi klinis pengertian normal
merujuk pada keadaan seseorang yang sehat (tidak patologis) dalam hal fungsi
keseluruhan, sedangkan abnormal adalah menyimpang dari yang normal (Maramis,
1999).
Dalam kesehatan mental, normal juga dikaitkan dengan perilaku yang berarti
perilaku yang adekuat (serasi dan tepat) yang dapat diterima oleh masyarakat pada
umumnya. Sementara itu Kartono (1989) mengemukakan bahwa perilaku abnormal
adalah sikap hidup yang sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat seseorang
berada sehingga tercapai suatu relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan.
Secara konseptual dalam kajian kesehatan mental bahwa normal dapat juga
sebagai kondisi sehat. Pengertian sehat sendiri dirumuskan oleh World Federation for
Mental Health (WHO) sebagai suatu keadaan fisik, mental, dan kehidupan sosial yang
lengkap dan tidak semata-mata karena tidak adanya penyakit atau cacat/luka.
Beranjak dari rumusan WHO tersebut, dapat diasumsikan pula bahwa normal
berarti memiliki mental yang sehat. Terkait dengan asumsi tersebut, Karl Menninger
mengemukakan bahwa sehat secara mental adalah penyesuaian manusia terhadap
dunia lingkungannya dan terhadap diri orang lain dengan keefektifan dan kebahagiaan
yang maksimum. Efektivitas dan isi dari cara orang hidup yakni adanya
penghormatan terhadap ketaatan atas aturan main yang dilakukan secara
menyenangkan. Dalam mental yang sehat harus terdapat kemampuan dalam
memelihara dirinya, temperamen, inteligensi yang siap pakai, perilaku yang memiliki
pertimbangan sosial, dan adanya disposisi (kecenderungan) merasa bahagia.
Berdasarkan uraian di atas, konsep normal dan abnormal sebetulnya dapat
dipisahkan secara jelas, sehingga gejala sakit dapat dibedakan dengan jelas dari gejala
yang sehat. Sebenarnya, kita hanya dapat membedakan secara samar-samar karena
antara normal dan abnormal terdapat garis penghubung kontinuum, artinya suatu
situasi tidak dapat secara jelas dibedakan dengan situasi sebelum atau berikutnya.

2. Pendekatan
Normalitas dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang untuk mendapatkan
pengertian yang lebih tepat, karena pada dasarnya konsep normalitas sendiri samar-
samar batasnya dengan abnormalitas tergantung dari sudut pandang mana yang
digunakan. Baihaqi, dkk (2007) mengemukakan bahwa terdapat beberapa sudut
pandang yang dapat dijadikan patokan untuk meninjau konsep dan kriteria normal dan
abnormal, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Sudut pandang patologi
Berdasarkan sudut pandang patologi, seseorang dikatakan normal apabila
terbebas dari simtom atau gejala gangguan dan penyakit kejiwaan baik yang
bersifat neurosis juga psikosis. Dapat dikatakan bahwa sikap, emosi dan
perilakunya berada dalam keadaan sehat seperti yang telah diungkapkan dalam
pengertian sehat menurut WHO dan pengertian sehat mental oleh para ahli.
Sebaliknya abnormal adalah keadaan di mana seseorang menunjukkan gejala dari
gangguan mental.
Sudut pandang ini kemudian menyisakan pertanyaan bahwa tidak ada
seorangpun yang terlepas dari gejala-gejala gangguan dan atau penyakit mental
baik neurosis juga psikosis. Karena pada kenyataannya seseorang bisa saja
mengalami gejala/simtom gangguan kecemasan (anxiety) seperti gelisah yang
berlebihan tanpa alasan yang rasional misalnya pada saat mengalami ketegangan
dalam menghadapi sidang skripsi. Gejala berupa gelisah tersebut merupakan
bagian dari gangguan mental. Berdasarkan asumsi sebelumnya, dapat diartikan
bahwa perilaku seseorang tersebut termasuk dalam kategori abnormal.
b. Sudut pandang statistik
Pandangan ini membedakan sesuatu yang normal dan abnormal melalui
pendekatan matematis. Dalam perhitungan statistik terdapat beberapa interpretasi
hasil yaitu sering terjadi, rata-rata terjadi dan jarang/sedikit sekali terjadi. Hasil
keseluruhan pada umumnya divisualisasikan ke dalam bentuk grafik lonceng.
Melalui konversi statistik, daerah normal meliputi 2/3 pertengahan dari sebagian
besar kelompok yang diselidiki. Kejadian yang kurang sedikit aatu lebih sedikit
dari pertengahan kurva diartikan sebagai sesuatu yang abnormal. Metode ini
berfungsi optimal apabila digunakan dalam mengukur tingkat inteligensi, namun
kurang efektif dalam mengukur dimensi psikologis.

c. Sudut pandang kebudayaan


Sudut pandang ini menekankan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem
terpadu yang juga dapat bertindak sebagai hakim atas setiap perilaku yang
ditunjukkan oleh seseorang. Perilaku yang tidak menimbulkan polemik dan dapat
diterima oleh mayoritas masyarakat dipandang sebagai perilaku yang normal.
Namun apabila perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang menyebabkan goncangan
di masyarakat terlebih menyebabkan kontroversi, apalagi berakibat merugikan bagi
masyarakat, maka perilaku tersebut dipandang sebagai perilaku yang abnormal
atau menyimpang.
Selain itu, anggapan terhadap perilaku yang normal dan abnormal pada masa
lampau belum tentu masih sama, artinya dapat saja berubah. Seperti halnya,
sebelum terjadinya globalisasi masih lazim terdapat pandangan bahwa perempuan
yang bekerja kantoran merupakan sebuah penyimpangan. Namun pada era
globalisasi, justru kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek
kesempatan kerja merupakan sebuah kewajiban dalam pandangan masyarakat.
d. Sudut pandang keseimbangan lingkungan
Normal merupakan suatu konsekuensi yang harus dicapai dalam rangka
penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya. Kondisi normal dalam kaitnnya
dengan penyesuaian diri disebut dengan keseimbangan (ekuilibrium). Seseorang
yang normal adalah seseorang yang mampu mencapai keseimbangan terhadap
lingkungannya tanpa mengalami ketegangan-ketegangan psikologis.

e. Sudut pandang kaidah agama


Meskipun kaidah-kaidah agama bersifat dogmatif dan normatif, namun tidak
dapat diabaikan bahwa agama memiliki peranan penting sebagai pemberi batas
antara yang normal dan abnormal. Terutama dalam perspektif Islam, terdapat
berbagai ayat al-Quran dan hadist Rasulullah SAW yang di dalamnya tersirat
petunjuk akan batasan yang normal dan abnormal. Salah satunya terdapat dalam
potongan ayat 141 dalam QS al-An’am yang terjemahannya “janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-
lebihan”. Potongan ayat tersebut memberikan gambaran bahwa orang yang normal
adalah orang yang tidak berperilaku berlebihan, sebaliknya bahwa orang yang
abnormal adalah orang yang berperilaku berlebih-lebihan.
Pandangan yang lain terkait dengan normalitas dan abnormalitas dikemukakan
oleh Suprapti Sumarno (1976), dalam konsepnya diutarakan bahwa normal dan
abnormal perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek dan pendekatan. Menurutnya
terdapat dua pendekatan dalam membuat pedoman tentang normalitas, yaitu:

a. Pendekatan kuantitatif
Pendekatan ini didasarkan atas patokan statistik dengan melihat pada sering
atau tidaknya sesuatu terjadi dan berdasarkan perhitungan maupun pikiran
masyarakat umum. Misalnya adalah perilaku makan, idealnya dianjurkan untuk
makan sebanyak 3 kali dalam sehari. Maka perilaku makan lebih dari 3 kali dalam
sehari dapat dianggap sebagai perilaku yang abnormal.

b. Pendekatan kualitatif
Pendekatan ini didasarkan atas observasi empirik pada tipe-tipe ideal dan
sering terikat pada faktor sosial kultural setempat. Misalnya seseorang yang
mengalami depresi karena latar belakang kehilangan seseorang dalam keluarganya.
Untuk memandang batasan normal dan abnormal, Langgulung (1985)
menjelaskan terdapat norma-norma dalam kesehatan mental. Dalam konteks
kesehatan mental, normal diartikan sebagai kondisi sehat. Dengan asumsi yang
demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku yang normal adalah perilaku yang sehat,
sebaliknya perilaku yang tidak normal adalah perilaku yang tidak sehat/sakit. Normal
juga bisa diartikan sebagai wajar. Asumsi tersebut juga dapat diteruskan untuk
merujuk istilah perilaku yang normal atau sehat adalah tanda dari kesehatan mental
yang wajar. Ada tiga norma yang terkait dengan kesehatan mental, berikut adalah
paparannya:

a. Norma statistik
Norma ini sama seperti yang dikemukakan dalam pendapat Baihaqi pada
halaman sebelumnya. Namun menurut Langgulung, penggunaan norma statistik
dalam kesehatan mental adalah untuk mengetahui orang yang sehat dan tidak sehat
dari segi psikologis. Penggunaan metode ini akan menjamin objektivitas yang lebih
besar dari metode-metode lain dalam menentukan konsep sehat dan tidak sehatnya
mental seseorang.
Metode ini digunakan berdasarkan fakta dimana jika kita mengukur salah
satu sifat yang menyatakan tentang seseorang baik dari segi jasmani maupun
intelektual dan emosinya, kemudian digambarkan melalui pertalian antara angka-
angka tersebut. Maka akan didapatkan bahwa angka-angka tersebut cenderung
mengarah pada suatu grafik tertentu, yang mana kebanyakan angka tersebut berada
di tengah dan angka-angka tersebut akan semakin berkurang menuju pada kedua
ujung grafik. Berdasarkan pada fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa orang-
orang yang memperoleh angka-angka di tengah mewakili sebagian besar orang-
orang, atau yang normal menurut pengertian statistik.
Berdasarkan gambar diatas pula, dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan normal adalah mereka yang dapat menyesuaikan diri dengan
kebanyakan orang. Sedangkan apapun yang termasuk ke dalam kebanyakan orang
adalah sebagai suatu anomali atau ketidaknormalan.

b. Norma sosial
Normal dalam kajian norma sosial adalah perilaku yang sesuai dengan norma-
norma sosial dalam masyarakat tertentu, sedangkan perilaku tidak normal adalah
perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat (Langgulung, 1985).
Norma sosial adalah segala pola perilaku, sikap sosial, nilai-nilai yang
disetujui dan diterima oleh sekumpulan masyarakat. Menurut Simanjuntak (1983)
dalam Prasetyo dan Sutoyo (2000:9), yang termasuk ke dalam norma adalah
hukum, agama, kesusilaan, dan adat istiadat. Norma sosial ini adalah petunjuk
hidup yang menentukan dan menjadi patokan sikap manusia dalam hubungan
interpersonal di masyarakat tersebut, dan norma sosial ini memaksa siapapun yang
berada dalam lingkungan tersebut untuk mematuhi kaidah-kaidah tersebut.
Apa yang dianggap normal pada lingkungan masyarakat tertentu belum tentu
dianggap normal pada lingkungan masyarakat yang lain, dan berlakunya norma
masyarakat ini juga terbatas pada waktu tertentu selama masih diakui dan didukung
oleh masyarakat tersebut, apabila masyarakat itu sudah tidak lagi mendukungnya,
maka secara berangsur-angsur norma tersebut dapat hilang dan tidak digunakan
lagi.
Penggunaan norma-norma sosial sebagai kriteria untuk menentukan perilaku
normal adalah asumsi bahwa kesehatan mental seseorang adalah berpegangnya
seseorang tersebut pada norma-norma ini. Ullman dan Krasner (1969)
menganjurkan kriteria ini dalam mendefinisikan kesehatan mental bahwa mental
yang sehat mengandung pola-pola perilaku yang diharapkan oleh masyarakat.
Berdasarkan pada prinsip inilah segala pola perilaku yang tidak sesuai dengan
harapan masyarakat dianggap tidak normal.
c. Perilaku pengakuran
Berbeda dengan norma sosial pada uraian sebelumnya, norma perilaku
pengakuran menitikberatkan perilaku normal pada kesanggupan seseorang dalam
perwujudan potensi-potensinya dalam suatu kelompok yang disebut dengan
conformity. Norma ini menentukan perilaku normal dan tidak normal bukan pada
penerimaan atau penolakan dari lingkungan masyarakat.
Coleman dalam Langgulung (1986) menentukan bahwa perilaku tidak normal
tidak terbatas hanya pada penyakit psikologis dan penyakit syaraf, tetapi juga
meliputi jenis-jenis penyelewengan yang lain seperti kecanduan minuman keras
dan narkoba, perilaku tidak bermoral, fanatisme. Karena perilaku-perilaku tersebut
menghambat pertumbuhan individu dan perwujudan potensi-potensinya.
d. Norma lain
Kriteria lain terus bertambah jumlahnya seiring dengan perkembangan ilmu
kesehatan mental dan psikologi pada khususnya. Menurut banyaknya definisi
kesehatan mental maka jumlah kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan
perilaku normal dan membedakannya dari perilaku tidak normal pun bertambah
jumlahnya. Berikut diantaranya kriteria yang dapat ditambahkan untuk
menggambarkan seseorang yang normal dari segi kesehatan mental:
 Seseorang menerima dirinya dengan pengertian menyadari segi kekuatan dan
kelemahannya
 Jarak antara tingkat aspirasi dan potensinya yang realistik sesuai
 Memiliki keluwesan dalam hubungannya dengan orang lain
 Memiliki keseimbangan emosi yang sesuai
 Memiliki sifat spontanitas yang sesuai
 Berhasil menciptakan hubungan sosial yang dinamis dengan orang lain

3. Ciri-ciri Pribadi Normal


Pada berbagai literature dapat ditemukan beberapa rumusan yang dikemukakan
oleh para ahli terkait dengan ciri-ciri atau karakteristik pribadi yang normal.
Perbedaan sudut pandang keilmuan mewarnai dan memperkaya wawasan tentang hal
ini. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Kilander
Kilander merumuskan bahwa ciri-ciri pribadi yang normal dapat ditinjau dari
segi dibawah ini:
1) Kematangan Emosional
Emosi dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang berkaitan dengan
perasaan yang dibangun menyangkut berbagai macam kegiatan dalam
kehidupan individu dan orang-orang di sekitarnya. Terdapat tiga emosi dasar,
yaitu cinta, takut dan marah. Ketiga emosi dasar tersebut merupakan kekuatan
dasar yang bersifat naluriah untuk pemeliharaan diri.
Ciri-ciri yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi kematangan emosi
diantaranya:
Disiplin diri
Orang yang memiliki kematangan emosional mampu mendisiplinkan diri, yang
mampu mengendalikan dirinya, dapat hidup dengan tenang berdasarkan aturan
dan dapat menerima adanya hukum dan undang-undang yang berlaku. Oleh
karena itu, biasanya mereka mendahulukan pemenuhan aturan dibandingkan
keinginan pribadi.

Determinasi
Determinasi adalah sikap seseorang yang menunjukkan kegigihan dan semangat
pantang menyerah dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Determinasi menjadi
salah satu faktor penting ciri pribadi yang normal karena dalam kegigihannya
mengerjakan atau mengejar sesuatu hal, terdapat tekanan-tekanan yang besar
dan mampu ditangani secara wajar. Dalam konsep agama Islam, sikap ini
disebut dengan istiqamah.
Kemandirian
Kemandirian dipelajari dan disadari oleh seseorang seiring dengan
perkembangan dan bertambahnya usia, kesadaran yang muncul tersebut berupa
keinginan untuk berdiri sendri dalam melakukan berbagai hal di kehidupannya.
Dalam konteks kehidupan sosial, kemandirian akan mengalami perkembangan
saling tergantung disebut interdependensi yaitu saling tergantung diantara orang
mandiri derngan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik untuk kepentingan
bersama (seperti hukum Gestalt).
2) Kemampuan menghadapi realitas
Pada orang-orang yang disebut normal atau tidak sakit, perbedaan antara
keinginan dan kenyataan hanya sedikti, sehingga tidak terlalu sulit untuk
ditangani. Bahkan perbedaan antara kenyataan dan keinginan dianggap sebagai
tantangan hidup yang mana sikap tersebut merupakan tanda dari orang yang
sehat mental. Pada orang-orang yang tidak normal, keinginan dan harapan
seringkali terlalu jauh dibandingkan dengan kenyataan. Hal ini disebabkan oleh
orientasi orang tersebut terlalu bersifat subjektif.
Terdapat beberapa ciri orang sehat dalam kemampuannya untuk menerima
realitas, yaitu:
 Mereka menghadapi dan menangani masalah-masalahnya begitu masalah itu
timbul, tidak menunda suatu masalah atau tugas.
 Mereka menerima responsibilitas, artinya jika mereka melakukan suatu
tindakan, maka resiko dari tindakan tersebut siap ia terima.
 Mereka mengatur atau membangun lingkungan sepanjang dimungkinkan
atau menyesuaikan diri jika diperlukan. Orang yang normal, bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Misalnya, dengan mengubah alam
atau menginterpretasikan alam agar bisa cocok dengan dirinya. Sebaliknya,
diapun menyesuaikan diri dengan alam.
 Mereka merencanakan untuk masa depan, tapi tidak takut akan masa depan,
tidak takut menghadapi hambatan dan kesukaran.
 Mereka menyambut baik pengalaman baru maupun ide-ide baru. Artinya,
perbedaan pengalaman, gagasan dan keyakinan justru akan menambah kaya
kehidupan mereka.
 Mereka menggunakan kapasitas alamiahnya, mereka paham sekali akan
kapasitas awal yang mereka miliki dan dari situ mereka membuat upaya-
upaya untuk memaksimalkan kapasitasnya tersebut.
 Mereka membangun tujuan-tujuan yang realistik bagi diri mereka.
 Mereka mampu untuk berpikir bagi dirinya sendiri dan membuat keputusan-
nya sendiri.
 Mereka melakukan upaya-upaya yang sebaik-baiknya dan menerima atau
merasa puas akan apa yang terjadi sebagai akibat keputusannya sendiri.
3) Kemampuan untuk bekerja sama
Beberapa ciri dari aspek sosial pada individu yang sehat diantaranya adalah:
 Mampu menyayangi orang lain dan mempertimbangkan minat orang lain
dalam tindakan-tindakannya.
 Memiliki hubungan sosial yang kualitasnya memuaskan dan berlangsung
lama.
 Bersikap baik terhadap dan mempercayai orang lain dengan harapan bahwa
ia pun diharapkan orang lain untuk mempercayai dan menyukai.
 Menghargai perbedaan-perbedaan yang terdapat pada banyak orang.
 Tidak memaksa lingkungan, tetapi juga mereka tidak membiarkan diri
mereka dipaksa atau ditekan oleh lingkungan. Tidak ada saling paksa antara
dirinya dengan lingkungan.
 Dapat merasakan bahwa mereka adalah bagian dari kelompok atau
populasinya.
 Merasakan adanya “sense of responsibility” atas tetangga atau teman-
temannya.

b. Maslow dan Mittelman


Maslow dan Mittelmann dalam Kartono (1985) membuat kriteria bagi
seseorang yang pribadinya berfungsi normal atau sehat, dan ditambahkan oleh
Saanin sebagai berikut:
1) Memiliki perasaan aman yang wajar. Mempu berkontak dengan orang lain
dalam bidang kerja, di tengah pergaulan dan dalam lingkungan keluarga.
2) Mempunyai derajat penilaian sendiri yang wajar, memilliki wawasan yang
rasional dengan rasa harga diri yang tidak berlebihan. Memiliki rasa sehat
secara moril dan tidak dihinggapi rasa-rasa berdosa atau bersalah. Dapat menilai
perilaku orang lain yang asosial dan non manusiawi sebagai gejala masyarakat
yang menyimpang.
3) Memiliki tujuan hidup yang realistis. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan yang
bisa dicapai dengan kemampuan sendiri, sebab sifatnya wajar dan realistis.
Ditambah ddengan keuletan dalam mencapai tujuan hidup tersebut, demi
manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.
4) Memiliki hubungan yang efektif dengan kenyataan. Tanpa adanya fantasi
dengan angan-angan yang berlebihan. Dapat menerima segala cobaan hidup
ddengan lapang dada, memiliki kontak yang riil dan efisien dengan dirinya
sendiri dan mudah melakukan adaptasi atau mengasimilasikan diri jika
lingkungan sosial tidak bisa diubah. Bersikap kooperatif terhadap kenyataan
yang tidak bisa ditolak.
5) Memiliki kepribadian yang terintegrasi dan konsisten. Mempunyai kebulatan
unsur jasmaniah dan rohaniah, dan mudah mengadakan asimilasi dan adaptasi
dengan perubahan yang serba cepat, dan mempunyai minat pada macam-macam
aktivitas. Mempunyai moralitasyang tidak kaku dan memiliki daya konsentrasi
terhadap satu usaha yang diminati.
6) Mampu mengolah dan menerima pengalamannya dengan sikap yang luwes.
Bisa menilai batas kekuatan sendiri dan situasi yang dihadapi. Menghindari
teknik pembenaran diri dan pelarian diri yang tidak sehat.
7) Memiliki spontanitas dan emosionalitas yang wajar. Mampu menjalin relasi
yang kuat dan lama seperti persahabatan, komunikasi sosial dan relasi cinta.
Jarang kehilangan control terhadap diri sendiri. Penuh tenggang rasa terhadap
pengalaman orang lain. Dapat tertawa dan bergembira secara bebas, dan mampu
menghayati penderitaan dan kedudukan tanpa lupa diri.
8) Memiliki kesanggupan untuk dapat memuaskan kehendak-kehendak jasmaniah
secara wajar dan tidak berlebih-lebihan, dengan kesanggupan untuk memuaskan
melalui cara-cara yang disetujui.
9) Memiliki dorongan dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat. Mampu memuaskan
nafsu-nafsu tersebut dengan cara yang sehat, namun tidak diperbudak oleh nafsu
itu sendiri. Mampu menikmati kesenangan hidup, dan bisa cepat pulih dari
kelelahan,
10) Adanya sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya dan terhadap
kebudayaan namun dia masih memiiki originalitas serta individualitas yang
khas dan dapet membedakan perbatan buruk dan yang baik.
11) Memiliki pengetahuan diri yang cukup antara lain bisa menghayati motif-motif
hidupnya dalam status kesadaran. Ia menyadari nafsu dan hasratnya, cita-cita
dan tujuan hidupnya yang reaistis dan bisa mengatasi ambisi-ambisi dalam batas
kenormalan.
c. Stern
Stern (1964) mengidentifikasi empat aspek untuk menilai normal atau tidaknya
perilaku seseorang:
1) Daya integrasi, ialah fungsi ego dalam mempersatukan, mengkoordinasi
kegiatan ego ke dalam maupun ke luar diri. Makin terkoordinasi dan terintegrasi
perilaku atau pemikiran, makin baik.
2) Ada atau tidaknya simptom atau gejala gangguan ditinjau dari segi praktis,
merupakan pegangan yang paling jelas dalam mengevaluasi kesehatan jiwa
secara kualitatif.
3) Kriteria psikoanalisis dengan memperhatikan tingkat kesadaran dan jalannya
perkembangan psikoseksual. Makin tinggi tingkat kesadaran seseorang, maka
makin baik atau sehat jiwanya, sebaliknya jika seseorang terlalu banyak
dikuasai alan tak sadar, mak ia kurang sehat jiwanya. Tingkat dan jalannya
perkembangan psikoseksual berhubungan erat dengan perkembangan fisik dan
perkembangan libido.
4) Determinan sosial dan kultural, lingkungan seringkali memegang peranan besar
dalam penilaian suatu gejala sebagai normal atau tidak.
d. Oldewelt
Pendapat yang selanjutnya terkait dengan rumusan ciri pribadi yang normal
dikemukakan oleh Oldewelt (dalam Kartono, 1979). Ciri-ciri yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
1) Memiliki perasaan yang harmonis dan seimbang
2) Selalu merasa aman dan terjamin
3) Memiliki kepercayaan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain
4) Memiliki kemampuan untuk memahami dan mengontrol diri sendiri
5) Punya relasi sosial yang memuaskan
6) Mempunyai strktur sistem syaraf yang sehat dan memiliki kekenyalan (daya
lentur) untuk beradaptasi
7) Bahagia, merdeka jiwanya, luhur dan memiliki kesusilaan serta memeluk agama
8) Tidak sakit supaya dapat produktif

e. Supratiknya
Kriteria atau ciri pribadi yang sehat dalam kajian psikologi kepribadian
dikemukakan oleh Supriatiknya (1995) sebagai berikut:
1) Sikap terhadap diri sendiri, yaitu menunjukkan penerimaan diri, memiliki jati
diri yang positif, memiliki penilaian yang realistik terhadap kelebihan ataupun
kekurangan yang ada pada dirinya.
2) Persepsi terhadap realitas, artinya memiliki pandangan yang rasional terhadap
kenyataan diri maupun dunia di luar dirinya.
3) Integrasi, yaitu berkepribadian utuh, bebas dari konflik-konflik batin, memiliki
toleransi yang baik terhadap stress.
4) Kompetensi, artinya memiliki kemampuan pada segi fisik, intelektual,
emosional, dan sosial yang memadai untuk mengatasi berbagai problem hidup
5) Otonomi, yang berarti memiliki kemandirian, tanggung jawab dan penentuan
diri yang memadai disertai kemampuan untuk membebaskan diri dari berbagai
pengaruh sosial.
6) Pertumbuhan aktualisasi diri, artinya seseorang memiliki kecendrungan ke arah
semakin dewasa atau matang, berkembang kemampuannya dan mencapai
pemenuhan diri sebagai pribadi.

B. Abnormalitas
1. Peristilahan
Pada beberapa literature dapat ditemukan berbagai istilah yang digunakan untuk
merujuk prilaku menyimpang yang oleh orang awam seringkali diartikan memiliki
arti yang sama, yaitu sebagai berikut:
a. Perilaku abnormal: Digunakan untuk menggambarkan tampilan kepribadian dalam
(inner personality) atau perilaku luar (out behavior) atau keduanya. Istilah ini
digunakan untuk menunjukkan perilaku spesifik seperti fobia atau pola gangguan
seperti skizofrenia.
b. Perilaku Maladaptif: Merupakan pemahanam abnormal yang bersifat konseptual,
yang memasukkan setiap perilaku yang memiliki konsekuensi yang tidak
diharapkan. Tidak hanya perilaku psikosis atau neurotis, melainkan juga perilaku
bisnis yang tidak etis, prasangka rasional, alienasi (keterasingan), dan apatis.
c. Gangguan Mental: Istilah ini digunakan untuk pola perilaku abnormal yang
meliputi rentang yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat.
d. Psikopatologi: Diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku abnormal,
psikologi abnormal, atau gangguan mental.
e. Penyakit Jiwa: Digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental. Namun
penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi
otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
f. Gangguan Perilaku: Digunakan secara khusus untuk gangguan yang berasal dari
kegagalan belajar, baik gagal memperlajari kompetensi yang dibutuhkan maupun
gagal dalam memperlajari pola penanggulangan masalah yang maladaptif.
g. Penyakit Mental: Dulu istilah ini menunjuk gangguan-gangguan yang berkaitan
dengan patologi otak. Istlah ini sekarang sudah jarang dipakai.
h. Ketidakwarasan (insanity): Merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan
bahwa individu secara mental tidak mampu untuk mengelola masalah-masalahnya
atau melihat konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Istilah ini
menunjuk pada gangguan mental yang serius. Terutama penggunaan istilah ini
bersangkutan dengan pantas tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana
dihukum atau tidak.
2. Pengertian Abnormalitas
Telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa sulit untuk menentukan batas-batas
yang tegas antara prilaku normal dan tidak normal. Banyak sudut pandang dan
pendekatan yang digunakan untuk menentukan normal atau tidaknya prilaku individu
seperti telah dibahas pada konsep normalitas. Pada umumnya, para psikolog dan
akademisi menjustifikasi label maladaptif untuk merujuk perilaku abnormal seseorang
berdasarkan karakteristik sebagai berikut:
a. Damage (kerusakan) yang sifatnya individual, sama seperti seorang remaja yang
memotong rambutnya dengan potongan aneh sehingga nampak eksklusif sebagai
akibat dari kejenuhan, kekesalan, dan ketidaknyamanan diri.
b. Perilaku yang secara berat atau serius diintervensi khususnya dalam kehidupan
sehari-hari, seperti seseorang yang memiliki fobia-fobia yang ekstrem terhadap
berbagai macam objek ataupun keadaan.
c. Karakteristik yang mengindikasikan bahwa individu telah kehilangan sentuhan
realitas dan tidak dapat mengendalikan perilaku serta pikirannya seperti yang
terjadi dalam gangguan yang disebut skizofrenia.
Secara umum, dalam konteks ilmu kesehatan mental konsep abnormalitas
dikaitkan dengan kemampuan dalam penye4suaian diri. Individu dikatakan abnormal
apabila mengalami penyimpangan prilaku atau ketidak mampuan individu dalam
menyesuaikan diri, baik dengan dirinya sendiri maupun lingkungan masyarakatnya.

3. Model Pendekatan Perilaku Abnormal


a. Model Psikoanalitik/Psikodinamika
Teori-teori psikodinamika yang dipelopori oleh Sigmund Freud menjelaskan
mengenai abnormalitas bahwa setiap perilaku, pikiran, maupun emosi, baik yang
normal maupun yang tidak normal, dipengaruhi paling banyak oleh proses-proses
tidak sadar. Hal ini dapat dipahami karena Freud yang melahirkan landasan bagi
teori-teori ini menganggap bahwa gejala-gejala perilaku merupakan tampilan dari
ketidaksadaran yang dimilikinya. Freud justru mengemukakan psikologi
ketidaksadaran bahwa perilaku kita hanya sedikit ditentukan oleh hal-hal sadar,
sedangkan bagian terbanyak oleh ketidaksadaran. Jiwa kita seperti gunung es, di
mana bagian yang terlihat di permukaan hanya sedikit dibanding dengan yang di
bawahnya.
Keyakinan-keyakinan Freud muncul pertama-tama dari asumsi-asumsi
keyakinan yang bersifat ilmiah tentang adanya proses perkembangan dalam
kehidupan manusia sebagai cerminan dari perkembangan spesies, dan yang kedua
adalah bahwa keyakinan tersebut muncul dari perkembangan pribadi yang sangat
dirasakan Freud pribadi.
Freud mengembangkan Psikoanalisis yang memiliki tiga makna penting, yaitu
sebagai: 1) teori kepribadian dan psikopatologi, 2) metode penyelidikan atau
asesmen jiwa (mind), dan 3) suatu bentuk treatment atau penanganan atas patologi.
Jadi, psikoanalisis dapat diartikan sebagai teori, teknik asesmen, maupun
psikoterapi. Dalam terapannya pun bisa terjadi kesamaan nama dari ketiga kegiatan
tersebut. Tidak sekadar kerancuan dalam nama atau istilah, melalui proses asesmen
bisa berakibat terapi.
Landasan-landasan kepribadian dalam teori psikoanalisis didasarkan pada tiga
subsistem kepribadian, yaitu id, ego, dan super ego. Id merupakan sisi biologis
manusia dan kepribadiannya, ego merupakan sisi sosial, dan super ego merupakan
sisi norma, nilai, atau spiritual. Dengan demikian, pada teori Freud sudah dapat
kita lihat bahwa manusia memiliki tiga aspek, yaitu biologis, sosial, dan spiritual.
Freud yakin ada dua dasar dorongan yang memungkin manusia berperilaku,
yaitu: pertama dorongan seksual, yang kemudian bereferensi pada libido atau
naluri hidup (life instinct, libido); kedua adalah dorongan agresi yang sifatnya
merusak atau menghancurkan (mortido).
Id dapat hidup dan berkembang berdasarkan hasil dari metabolisme
(pertukaran zat); jadi akan tergantung pada makanan, matahari, dsb. yang
dibutuhkan untuk metabolisme. Super ego adalah sub-sistem yang muatannya
berupa pesan-pesan komunitas atau sosial yang disampaikan atau ditanamkan
melalui introjeksi kepada anak kecil melalui orang tua, khususnya Ayah. Di situ
ada nilai, norma, atau makna sosial maupun spiritual.

b. Model behaviorisme
Pendekatan ini mempunyai akar berupa penemuan faali oleh Ivan Pavlov yang
berbicara mengenai refleksologi, ialah bahwa badan kita secara refleks, spontan,
tanpa diolah otak memberikan respon terhadap rangsangan-rangsangan yang
timbul. Respon ini tidak selalu dipikir dulu, tetapi benar-benar refleks yang
sifatnya alamiah. Misalnya, pupil mata yang mengecil ketika ada cahaya yang
membesar atau membesar kalau lampu padam.
Percobaan Pavlov yang kemudian melahirkan Pembiasaan Klasikal (Classical
Conditioning), ialah bahwa terjadi respon sebagai akibat dari adanya asosiasi suatu
stimulus dengan stimulus lainnya. Variasi-variasi dari proses belajar yang
mendasari behaviorisme selain Classical Conditioning adalah pembiasaan operan
atau instrumental (Operant atau Instrumental Conditioning) dari Skinner. Jenis
pembiasaan ini dianggap penting dan paling berharga dalam teori belajar karena
diciptakan dengan memandang manusia tidak sebagai obyek melainkan sebagai
subyek, yaitu makhluk yang memiliki kesadaran diri, kemandirian, dan potensi
untuk bertindak tanpa diatur orang lain. Dalam Classical Conditioning, manusia
dianggap pasif seperti benda-benda lainnya. Sementara dalam Respondent atau
Operant Conditioning manusia dianggap aktif, memiliki potensi untuk melakukan
apa saja yang ia pilih sebagai hal yang sebaiknya ia lakukan bagi kebaikan dirinya.
Model atau mazhab behaviorisme ini melihat perilaku abnormal secara
esensial merupakan akibat dari tiga keadaan, yaitu:
1) Kegagalan dalam mempelajari perilaku-perilaku adaptif yang diperlukan atau
kompetensi-kompetensi yang seyogianya dikuasai;
2) Adanya pembelajaran atas perilaku yang tidak efektif atau maladaptif.

3) Situasi-situasi konflik yang meminta individu untuk melakukan diskriminasi


atau keputusan-keputusan mengenai apa yang ia rasakan tidak mampu.

c. Model humanistik
Salah seorang eksponen utama paham ini adalah Carl Rogers. Dalam melihat
self sebagai sesuatu yang meentukan, ia mengajukan 26 pandangan tentang
manusia. Lima diantaranya yang utama adalah:
1) Setiap individu eksis dalam dunia pengalaman pribadi-nya, dimana dirinya
bertindak sebagai pusat. Jadi, yang menentukan makna kehidupan dan
lingkungan, bahkan dirinya, adalah dirinya sendiri.
2) Upaya dasar yang paling besar ada pada individu adalah usaha pemeliharaan diri
(maintenance), pengembangan diri (enhancement) dan aktualisasi atau realisasi
diri (self actualization dan self realization).
3) Individu bereaksi terhadap situasi dengan cara yang sesuai dengan persepsi khas
dirinya dan dunianya yang berinteraksi, sesuai dengan persepsi dan caranya
yang konsisten dengan konsep dirinya.
4) Ancaman-ancaman terhadap dirinya, sebagaimana yang ia persepsikan diikuti
dengan defense mechanism, termasuk menyempitkan cara pandang dan cara
yang membuat kaku persepsi dan perilaku penanggulangan, serta pengenalan
atas pertahanan diri.
5) Kecenderungan-kecenderungan dasar individu dalam kehidupannya, mengarah
pada kesehatan dan keutuhan keseluruhan diri. Selanjunya dalam kondisi yang
normal, orang berperilaku dengan cara-cara yang rasional dan konstruktif, dan
memilih bagian jalan yang mengarah pada pertumbuhan pribadi dan aktualisasi
diri.

d. Model eksistensial
Mazhab eksistensial menekankan keunikan individual, keinginan untuk
memahami nilai, makna, dan kemerdekaan unuk pengarahan diri (self-
programmer). Di dalam pemi-kiran tersebut, landasan-landasannya sangat
bersamaan dengan model humanistik, dan pada kenyataannya memang banyak
Psikolog Humanistik yang juga adalah Eksistensialis.
Model Eksistensial menampilkan suatu pandangan manusia yang kurang
optimistik jika dibandingkan dengan model humanistik. Selain itu, model
eksistensial juga mene-kankan pada kecenderungan-kecenderungan irasional dalam
hakekat manusia dan kesukaran-kesukaran yang terdapat dalam self-fulfilment
terutama sebagaimana tampak pada masyarakat, di mana massa sering dipenuhi
oleh birokrasi dan dehumanisasi. Faktor orang atau perseorangan disisihkan guna
mencapai hal yang secara objektif lebih besar.

e. Model pendekatan kognitif


Dengan menggunakan berpikir teori belajar, sebagaimana dilakukan para ahli
behaviorisme, beberapa ahli di bidang kognitif membangun suatu wacana
mengenai peranan kognisi terhadap lahirnya perilaku, termasuk perilaku yang
menyimpang. Pada tahun 1950-an, beberapa ahli psikologi eksperimental mulai
mengemukakan bahwa behaviorisme terbatas dalam kekuatannya, karena menolak
beberapa proses pemikiran internal yang memediasikan hubungan antara stimulus
dan respons. Mereka berpendapat bahwa behaviorisme dan pendekatan belajar
(learning approach) pada umumnya hanya memperhitungkan hal-hal yang nyata
saja, yaitu gejala-gejala yang dapat diukur secara obyektif.
Kurangnya perhatian terhadap proses internal atau pemikiran internal, baru
berhenti tahun 1970-an, dimana psikologi bergeser dalam fokusnya untuk
mempelajari substansi kognisi, yaitu proses-proses berpikir yang mempengaruhi
perilaku dan emosi. Pemeran penting dalam revolusi kognitif ini adalah Albert
Bandura, yaitu seorang psikolog klinis yang terlatih dalam behaviorisme dan telah
berhasil memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap penggunaan
behaviorisme dalam psikopatologi. Bandura beranggapan bahwa keyakinan-
keyakinan orang mengenai kemampuan dirinya untuk dapat melakukan suatu
tindakan yang perlu untuk mengendalikan kejadian-kejadian yang penting (self-
efficacy belief) merupakan hal yang penting dalam menentukan kehidupan
sehatnya.

Latihan
Buat kelompok, identifikasi ciri perilaku nomal dan abnormal berdasarkan beberapa sudut
pandang dan pendekatan.

Rangkuman
Nomalitas dan abnormalitas dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang dan tergantung
pada situasi, kondisi, serta kebutuhan terkait hal apa yang akan diukur. Dalam kesehatan
mental, kondisi normal berarti sebuah kondisi di mana individu tidak mengalami ketegangan-
ketegangan fungsi psikologis berdasarkan rumusan sehat dari WHO.
Setidaknya untuk memahami konsep normal dan abnormalitas, dapat digunakan
pendekatan sudut pandang patologi, statistik, kebudayaan, keseimbangan lingkungan dan
kaidah agama. Selain itu, terdapat pendekatan lain yaitu kuantitatif dan kualitatif. Terdapat
beberapa referensi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi ciri-ciri pribadi atau mental
yang sehat. Beberapa diantaranya adalah menurut Kilander, Maslow dan Mittelmann, Stern,
Oldewelt dan Supriatiknya.
Perilaku seseorang termasuk abnormal atau maladaptif apabila perilakunya
menunjukkan indikator berikut: damage (kerusakan) yang sifatnya individual, perilaku itu
menyebabkan perasaan atau alam perasaa individual menderita, perilaku yang secara berat
atau serius diintervensi khususnya dalam kehidupan sehari-hari, karakteristik yang
mengindikasikan bahwa individu telah kehilangan sentuhan realitas dan tidak dapat
mengendalikan perilaku serta pikirannya seperti yang terjadi dalam gangguan yang disebut
skizofrenia. Sedangkan Model pendekatan yang dapat digunakan terhadap perilaku abnormal
dari sudut pandang psikologi diantaranya adalah psikoanalisa, behaviorisme, humanistik,
eksistensial dan pendekatan kognitif.
Alamat website:

Tes formatif
Pilihlah jawaban yang tepat dari setiap pernyataan da pertanyaan berikut ini!
1. Ciri yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi kematangan emosi adalah...
a. Determinasi
b. Anxiety
c. Responsibility
d. Insanity

2. Salah satu aspek sosial pada individu yang sehat adalah:


a. Memiliki hubungan sosial yang kualitasnya memuaskan dan berlangsung lama
b. Menentukan perilaku yang normal dan tidak normal
c. Menerima sesuatu yang menyenangkan
d. Mengarahkan diri menjadi orang yang sehat tanpa bimbingan dan pengawasan
orang lain

3. Aspek yang tidak tercantum dalam pendapat yang dikemukakan Stern tentang normal
atau tidaknya seseorang adalah sebagai berikuti:
a. Daya integrasi, fungsi ego dalam mempersatukan, mengkoordinasi kegiatan ego
ke dalam maupun keluar diri
b. Kriteria psikoanalisis dengan memperhatikan tingkat kesadaran dan jalannya
perkembangan psikoseksual
c. Determinan sosial dan kultural, lingkungan seringkali memegang peranan besar
dalam penilaian suatu gejala sebagai normal atau tidak
d. Dapat merasakan bahwa mereka adalah bagian dari kelompok atau populasinya

4. Kriteria untuk menggambarkan seseorang normal yaitu :


a. Bersifat individual
b. Kehilangan sentuhan realitas
c. Berhasil menciptakan hubungan sosial yang dinamis dengan orang lain
d. Merasakan penderitaan batin yang berat

5. Istilah lain yang bukan digunakan dalam perilaku abnormal adalah


a. Perilaku abnormal
b. Perilaku maladaptif
c. Kemandirian
d. Psikopatologi

6. Landasan landasan kepribadian dalam teori psikoanalisis didasarkan pada tiga


subsistem kepribadian :
a. Id, ego dan super ego
b. Id, emosi dan super ego
c. Id, ego dan sosial
d. Ego, instinc, super ego

7. Salah satu model pendekatan perilaku abnormal diantaranya :


a. Model pengembangan diri
b. Model behaviorisme
c. Model actualisasi
d. Model defense mechanism

8. Normal dalam kajian norma sosial adalah perilaku yang sesuai dengan norma norma
sosial dalam masyarakat tertentu, sedangkan perilaku tidak normal adalah perilaku
yang tidak sesuai dengan norma masyarakat, merupakan pendapat :
a. Hasan Langgulung
b. Suprapti Sumarno
c. Ullman dan Krasner
d. Kartono

9. Istilah yang digunakan untuk pola perilaku abnormal yang meliputi rentang yang
lebar dari yang ringan sampai berat disebut
a. Gangguan mental
b. Kriminal
c. Maladaptif
d. Abnormal

10. Tokoh penting yang mempelopori psikodinamika adalah:


a. Albert Bandura
b. Sigmund Freud
c. Ivan Pavlov
d. B.F. Skinner

Anda mungkin juga menyukai