Anda di halaman 1dari 23

BAB I

TINJAUAN TEORI
A. Latar Belakang
Abnormalitas dilihat dari sudut pandang biologis berawal dari pendapat bahwa
patologi otak merupakan faktor penyebab tingkah laku abnormal. Pandangan ini
ditunjang lebih kuat dengan perkembangan di abad ke-19 khususnya pada bidang
anatomi faal, neurologi, kimia dan kedokteran umum.
Ada beberapa istilah psikologis populer yang sering dikaburkan sebagai “stres”.
Pada hakikatnya, tentunya kata ini merujuk pada sebuah kondisi seseorang yang
mengalami tuntutan emosi berlebihan dan atau waktu yang membuatnya sulit
memfungsikan secara efektif semua wilayah kehidupan. Keadaan ini dapat
mengakibatkan munculnya cukup banyak gejala, seperti depresi, kelelahan kronis,
mudah marah, gelisah, impotensi, dan kualitas kerja yang rendah.
Berbagai penyakit neurologis saat ini telah dipahami sebagai terganggunya fungsi
otak akibat pengaruh fisik atau kimiawi dan seringkali melibatkan segi psikologis
atau tingkah laku. Akan tetapi kita harus perhatikan bahwa kerusakan neurologis
tidak selalu memunculkan tingkah laku abnormal, dengan kata lain tidak selalu jelas
bagaimana kerusakan ini dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang.
Fungsi otak yang kuat bergantung pada efisiensi sel saraf atau neuron untuk
mentransmisikan suatu pesan melalui synaps ke neuron berikutnya dengan
menggunakan zat kimia yang disebut neurotransmiter. Dengan ketidakseimbangan
bio kimia otak inilah yang mendasari perspektif biologis munculnya tingkah laku
abnormal. Akan tetapi selain dari patologi otak sudut pandang biologis juga
memandang bahwa beberapa tingkah laku abnormal ditentukan oleh gen yang
diturunkan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari abnormal ?
2. Apa Pengertian dari Stres ?
3. Apa penyebab dari perilaku abnormal ?
4. Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku abnormal dan Stres?
5. Apa saja karakteristik perilaku abnormal ?
6. Apa saja jenis – jenis dari perilaku abnormal ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui apa itu perilaku abnormal dan Stres, penyebab – penyebab dari
perilaku abnormal, faktor – faktor yang memperngaruhi perilaku abnormal dan Stres,
karakteristik perilaku abnormal dan untuk mengetahui jenis – jenis perilaku
abnormal.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perilaku Abnormal Dan Stres


Psikologi Abnormal adalah ilmu jiwa yang mempelajari tingkah atau perilaku
yang maladatif atau abnormalitas. Abnormalitas atau yang disebut juga perilaku
abnormal adalah suatu bentuk perilaku yang maladaptif. Ada juga yang menyebutnya
mental disorder, psikopatologi, emotional discomfort, mental illness (penyakit
mental), ataupun insanity. Psikologi abnormal kadang-kadang disebut juga
psikopatologi. Dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan istilah Abnormal
Psychology.
Singgih Dirgagunarsa mendefinisikan psikologi abnormal atau psikopatologi
sebagai lapangan psikologi yang berhubungan dengan kelainan atau hambatan
kepribadian, yang menyangkut proses dan isi kejiwaan. Psikologi abnormal
merupakan salah satu cabang psikologi yang berupaya untuk memahami pola
perilaku abnormal dan cara menolong orang – orang yang mengalaminya.
Perilaku abnormal merupakan tampilan dari kepribadian seseorang baik
penampilan dari dalam maupun penampilan dari luar. Perilaku abnormal juga
merupakan perilaku spesifik, phobia, atau pola – pola perilaku yang lebih mendalam,
misalnya skizofren. Perilaku abnormal juga merupakan sebutan untuk masalah –
masalah yang berkepanjangan atau bersifat kronis dan gangguan – gangguan yang
gejala – gejalanya bersifat akut dan temporer, seperti intoksinasi (peracunan obat –
obatan), terutama narkoba yang kesemuanya itu diakibatkan dari gaya hidup
seseorang.
Menurut Richard (2010) stres adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa
sebagai sesuatu yang mengancam, ataupun membahayakan dan individu merespon
peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku. Peristiwa yang
memunculkan stres dapat saja positif (misalnya merencanakan perkawinan) atau
negatif (contoh : kematian keluarga). Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang

3
menekan (stressful event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh
individu terhadapnya. Compas (dalam Preece, 2011) berpendapat bahwa stres adalah
suatu konsep yang mengancam dan konsep tersebut terbentuk dari perspektif
lingkungan dan pendekatan yang ditransaksikan. Baum (dalam Yusuf, 2004)
mendefinisikan stres sebagai pengalaman emosional yang negatif yang disertai
dengan perubahan-perubahan biokimia, fisik, kognitif, dan tingkah laku yang
diarahkan untuk mengubah peristiwa stres tersebut atau mengakomodasikan dampak-
dampaknya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu peristiwa
atau pengalaman yang negatif sebagai sesuatu yang mengancam, ataupun
membahayakan dan individu yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem
biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.
2.2 Aspek Stres dan Pendekatan Abnormal
Pada saat seseorang mengalami stres ada dua aspek utama dari dampak yang
ditimbulkan akibat stres yang terjadi, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis (Sarafino,
1998) yaitu :
1. Aspek fisik
Berdampak pada menurunnya kondisi seseorang pada saat stres sehingga
orang tersebut mengalami sakit pada organ tubuhnya, seperti sakit kepala, gangguan
pencernaan.
2. Aspek psikologis Terdiri dari gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah
laku. Masing-masing gejala tersebut mempengaruhi kondisi psikologis seseorang dan
membuat kondisi psikologisnya menjadi negatif, seperti menurunnya daya ingat,
merasa sedih dan menunda pekerjaan. Hal ini dipengaruhi oleh berat atau ringannya
stres. Berat atau ringannya stres yang dialami seseorang dapat dilihat dari dalam dan
luar diri mereka yang menjalani kegiatan akademik di kampus.

4
Abnormal perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek dan pendekatan. Profesor
Suprapti Sumarno (1976), ada dua pendekatan dalam membuat pedoman tentang
normalitas:
1. Pendekatan Kuantitatif
Pendekatan yang didasarkan atas patokan statistik dengan melihat pada sering
atau tidaknya sesuatu terjadi berdasarkan perhitungan maupun pikiran awam.
Contoh : Perilaku makan sepuluh kali dalam sehari.
2. Pendekatan Kualitatif
Pendekatan yang didasarkan observasi empirik pada tipe – tipe ideal dan sering
terikat pada faktor sosial kultural setempat.
Contoh : perilaku menangis berlebihan hingga menjerit – jerit pada mereka yang
sedang mengalami kehilangan seseorang di suatu lingkungan budaya.
D. Model – Model Perilaku Abnormal
Model – model perilaku abnormal juga mulai bermunculan, meliputi model –
model yang mewakili perspektif biologis, psikologis, sosiokultural, dan
biopsikososial.
1. Perspektif Biologi
Seorang dokter Jerman, Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa
perilaku abnormal berakar pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi
dokter Jerman lainnya, seperti Emil Kraepelin (1856-1926) yang menulis buku teks
penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa gangguan mental
berhubungan dengan penyakit fisik. Memang tidak semua orang yang mengadopsi
model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari
kerusakan biologis, namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku
abnormal tersebut dapat dihubungkan dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat
dikonseptualisasikan sebagai simtom – simtom dari gangguan yang mendasarinya.

5
2. Perspektif Psikologis
Sigmund Freud, seorang dokter muda Austria (1856-1939) berpikir bahwa
penyebab perilaku abnormal terletak pada interaksi antara kekuatan – kekuatan di
dalam pikiran bawah sadar. Model yang dikenal sebagai model psikodinamika ini
merupakan model psikologis utama yang pertama membahas mengenai perilaku
abnormal.
3. Perspektif Sosiokultural
Pandangan ini meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks – konteks
sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari
perilaku abnormal. Penyebab perilaku abnormal dapat ditemukan pada kegagalan
masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah – masalah psikologis bisa
jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial,
diskriminasi ras, gender, gaya hidup, dans ebagainya.
4. Perspektif Biopisikososial
Pandangan ini meyakini bahwa perilaku abnormal terlalu kompleks untuk dapat
dipahami hanya dari salah satu model atau perspektif. Mereka mendukung pandangan
bahwa perilaku abnormal dapat dipahami dengan paling baik bila memperhitungkan
interaksi antara berbagai macam penyebab yang mewakili bidang biologis,
psikologis, dan sosiokultural.
Jadi, batas antara normal dengan abnormal bukan dilihat sebagai dua kutub yang
berlawanan, melainkan lebih berada dalam satu kontinum sehingga garis yang
membedakan sangatlah tipis.
2.3 Penyebab Perilaku Abnormal
1. Penyebab Primer ( Primary Cause )
Penyebab primer adalah kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan tidak
akan muncul. Kondisi yang harus dipenuhi agar suatu gangguan dapat muncul,
meskipun dalam kenyataan gangguan tersebut tidak atau belum muncul. Contoh
dalam bidang psikologi adalah kecemasan yang terjadi ketika seorang anak masih

6
kecil. Ini merupakan penyebab primer yang harus ada untuk terjadinya suatu
gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku.
2. Penyebab yang Menyiapkan (Predisposing Cause)
Keadaan sebelum munculnya suatu gangguan yang merintis kemungkinan
terjadinya sesuatu gangguan dimasa yang akan datang. Misalnya sifat tertutup dapat
merupakan predisposisi gangguan perilaku menghindar di kemudian hari. Kondisi
yang mendahului dan membuka jalan bagi kemungkinan terjadinya gangguan tertentu
dalam kondisi – kondisi tertentu di masa mendatang. Misalnya anak yang ditolak oleh
orang tuanya (rejected child) mungkin menjadi lebih rentan dengan tekanan hidup
sesudah dewasa dibandingkan dengan orang – orang yang memiliki dasar rasa aman
yang lebih baik.
3. Penyebab Pencetus (Preciptating Cause)
Peristiwa yang sebenarnya tidak terlalu parah namun seolah – olah merupakan
sebab timbulnya perilaku abnormal. Misalnya seorang anak yang sejak lama sudah
meredam frustasi (predisposisi), setelah terjadinya sesuatu peristiwa sepele (peristiwa
pencetus) mengalami gangguan jiwa. Adapun seorang wanita muda yang menjadi
terganggu sesudah mengalami kekecewaan berat ditinggalkan oleh tunangannya.
Contoh lain seorang pria setengah baya yang menjadi terganggu karena kecewa berat
sesudah bisnis pakaiannya bangkrut.
4. Penyebab Yang Menguatkan (Reinforcing Cause)
Kondisi yang cenderung mempertahankan atau memperteguh tingkah laku
maladaptif yang sudah terjadi. Misalnya perhatian yang berlebihan pada seorang
gadis yang ”sedang sakit” justru dapat menyebabkan yang bersangkutan kurang
bertanggung jawab atas dirinya, dan menunda kesembuhannya.
5. Sirkulasi Faktor – Faktor Penyebab
Dalam kenyataan, suatu gangguan perilaku jarang disebabkan oleh satu penyebab
tunggal. Serangkaian faktor penyebab yang kompleks, bukan sebagai hubungan sebab
akibat sederhana melainkan saling mempengaruhi sebagai lingkaran setan, sering
menjadi sumber penyebab sebagai abnormalitas. Misalnya sepasang suami istri

7
menjalani konseling untuk mengatasi problem dalam hubungan perkawinan mereka.
Sang suami menuduh istrinya senang berfoya – foya sedangkan sang suami hanya
asyik dengan dirinya dan tidak memperhatikannya. Menurut versi sang suami dia
jengkel kepada istrinya karena suka berfoya – foya bersama teman – temannya. Jadi
tidak lagi jelas mana sebab mana akibat.
2.4 Penyebab Perilaku Abnormal Menurut Sumber Asalnya
1. Faktor Biologis
Adalah berbagai keadaan biologis atau jasmani yang dapat menghambat
perkembangan ataupun fungsi sang pribadi dalam kehidupan sehari – hari seperti
kelainan gen, kurang gizi, penyakit dsb. Pengaruh – pengaruh faktor biologis
lazimnya bersifa menyeluruh. Artinya mempengaruhi seluruh aspek tingkah laku,
mulai dari kecerdasan sampai daya tahan terhadap stress.
2. Faktor – Faktor Psikososial
a) Trauma Di Masa Kanak – Kanak
Trauma Psikologis adalah pengalaman yang menghancurkan rasa aman, rasa
mampu, dan harga diri sehingga menimbulkan luka psikologis yang sulit
disembuhkan sepenuhnya. Trauma psikologis yang dialami pada masa kanak
–kanak cenderung akan terus dibawa sampai ke masa dewasa.
b) Deprivasi Parental
Tiadanya kesempatan untuk mendapatka rangsangan emosi dari orang tua,
berupa kehangatan, kontak fisik,rangsangan intelektual, emosional dan social.
Ada beberapa kemungkinan sebab misalnya:
1) Dipisahkan dari orang tua dan dititipkan di panti asuhan.
2) Kurangnya perhatian dari pihak orang tua kendati tinggal bersama orang
tua di rumah.
c) Hubungan Orang Tua – Anak Yang Patogenik
Hubungan patogenik adalah hubungan yang tidak serasi, dalam hal ini
hubungan antara orang tua dan anak yang berakibat menimbulkan masalah
atau gangguan tertentu pada anak.

8
d) Struktur Keluarga Yang Patogenik
Struktur keluarga sangat menentukan corak komunikasi yang berlangsung
diantara para anggotanya. Struktur keluarga tertentu melahirkan pola
komunikasi yang kurang sehat dan selanjutnya muncul pola gangguan
perilaku pada sebagian anggotanya. Ada empat struktur keluarga yang
melahirkan gangguan pada para anggotanya:
1) Keluarga yang tidak mampu mengatasi masalah sehari – hari. Kehidupan
keluarga karena berbagai macam sebab seperti tidak memiliki cukup
sumber atau karena orang tua tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan secukupnya.
2) Keluarga yang antisosial keluarga yang menganut nilai – nilai yang
bertentangan dengan masyarakat luas.
3) Keluarga yang tidak akur dan keluarga yang bermasalah.
4) Keluarga yang tidak utuh. Keluarga dimana ayah / ibu yang tidak ada di
rumah, entah karena sudah meninggal atau sebab lain seperti perceraian,
ayah memiliki dua istri dll.
e) Stress Berat
Stress adalah keadaan yang menekan khususnya secara psikologis. Keadaan
ini dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, seperti :
1) Frustasi yang menyebabkan hilangnya harga diri.
2) Konflik nilai.
3) Tekanan kehidupan modern.
3. Faktor – Faktor Sosiokultural
Meliputi keadaan obyektif dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang
dapat berakibat menimbulkan tekanan dalam individu dan selanjutnya melahirkan
berbagai bentuk gangguan seperti :
a) Suasana perang dan suasana kehidupan yang diliputi oleh kekerasan,
b) Terpaksa menjalani peran social yang berpotensi menimbulkan gangguan,
seperti menjadi tentara yang dalam peperangan harus membunuh.

9
c) Menjadi korban prasangka dan diskriminasi berdasarkan penggolongan
tertentu seperti berdasarkan agama, ras, suku dll.
2.5 Faktor Abnormalitas
Penyebab yang mendasari seseorang abnormal menurut Kartini Kartono (1989)
sebagai berikut:
A. Faktor Keturunan ( Hereditas )
1. Idiopathy ( Penyakit yang timbul dari dalam organ tubuh )
2. Psikosis ( Penyakit mental yang parah )
3. Neurosis ( Penyakit saraf )
4. Ideocy ( Ketidak sempurnaan mental pada tingkat rendah )
5. Psikosis sifilitik
B. Faktor Sebelum Lahir ( Prenatal )
1. Kekurangan Nutrisi
2. Infeksi
3. Luka
4. Keracunan
5. Menderita Penyakit
6. Menderita Psikosis
7. Trauma Pada Kandungan

10
2.6 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Abnormal dan Stres
A. Faktor – Faktor Biologis
Dalam tiga studi adopsi berskala besar di Swedia, Denmark, dan Amerika Serikat,
mengindikasikan bahwa perilaku kriminal dan agresif dipengaruhi oleh faktor genetik
dan lingkungan dimana faktor lingkungan pengaruhnya sedikit lebih besar. Beberapa
sifat kepribadian yang umum dapat diturunkan dari orangtua kepada anaknya. Dari
studi terhadap orang kembar mengindikasikan bahwa perilaku agresif ( kejam
terhadap hewan, berkelahi dan merusak kepemilikan ) jelas diturunkan, sedangkan
perilaku kenakalan lainnya (mencuri, lari dari rumah dan membolos sekolah)
kemungkinan tidak demikian. Dalam studi terhadap 10 pasangan kembar, angka
kriminalitas pada saat dewasa mencapai 50% untuk kembar monozigot, dan 20%
untuk kembar dizigot. Sebaliknya, tujuh penelitian pada anak dengan perilaku
antisosial pada remaja menunjukkan angka yang tinggi, namun seimbang antara
kembar monozigot dan dizigot.
Kelemahan neurologis, tercakup dalam profil masa kanak – kanak dari anak –
anak yang mengalami gangguan tingkah laku. Kelemahan tersebut termasuk
keterampilan verbal yang rendah, masalah dalam fungsi pelaksanaan ( kemampuan
mengantisipasi, merencanakan, menggunakan pengendalian diri, dan menyelesaikan
masalah) dan masalah memori. Telah lama diketahui bahwa gangguan otak seperti
trauma kepala, ensefalitis, neoplasma, dan lain-lain dapat mengakibatkan perubahan
kepribadian. Anak dengan sindroma otak organik ini mungkin menunjukkan
hiperkinesa, kegelisahan, kecenderungan untuk merusak dan kekejaman
B. Faktor – Faktor Psikologis
Teori pembelajaran yang melibatkan modelling dan pengondisian operant
memberikan penjelasan yang bermanfaat mengenai perkembangan dan berlanjutnya
masalah tingkah laku. Anak – anak dapat mempelajari agresivitas orang tua yang
berperilaku agresif. Anak juga dapat meniriu tindakan agresif dari berbagai sumber
lain seperti televisi. Karena agresi merupakan cara mencapai tujuan yang efektif,
meskipun tidak menyenangkan, kemungkinan hal tersebut dikuatkan. Oleh karena itu

11
setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan dipertahankan. Berbagai
karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan tidak konsisten dan kurangnya
pengawasan secara konsisten dihubungkan dengan perilaku antisosial pada anak –
anak.
C. Pengaruh Lingkungan
1. Orang Tua
Sikap orangtua terhadap anak mereka merupakan faktor yang sangat penting bagi
kepribadian anak itu. Perkawinan yang tidak bahagia atau perceraian dapat
menimbulkan kebingungan pada anak. Bila orangtua tidak rukun, maka sering
mereka tidak konsekuen dalam mengatur kedisiplinan dan sering mereka bertengkar
di depan anak. Sebaliknya, disiplin yang dipertahankan secara kaku dapat
menimbulkan frustasi yang hebat. Kepribadian orangtua sendiri juga sangat penting.
2. Saudara – Saudara
Rasa iri hati terhadap saudara adalah normal, biasanya lebih nyata pada anak
pertama dan lebih besar antara anak – anak dengan jenis kelamin yang sama.
Perasaan ini akan bertambah keras bila orangtua memperlakukan anak – anak tidak
sama. Untuk menarik perhatian dan simpati orangtuanya, anak – anak tersebut bisa
menunjukkan perilaku yang agresif atau negativistik.
3. Orang Lain Di Dalam Rumah
Seperti nenek, saudara orangtua atau peayan, juga dapat memengaruhi
perkembangan kepribadian anak.
4. Teman – Teman Seusia
Penelitian mengenai pengaruh teman seusia terhadap agresi dan antisocial anak –
anak memfokuskan pada dua bidang yaitu Penerimaan atau penolakan dari teman –
teman seusia. Penolakan menunjukkan hubungan yang kausal dengan perilaku
agresif, bahkan dengan tindakan pengendalian perilaku agresif yang terdahulu (Coie
& Dodge, 1998), dan Afiliasi dengan teman – teman seusia yang berperilaku
menyimpang. Pergaulan dengan teman seusia yang nakal juga dapat meningkatkan
kemungkinan perilaku nakal pada anak (Capaldi & Patterson, 1994).

12
D. Faktor – Faktor Sosiologis
Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang rendah, kehidupan
keluarga yang terganggu, dan subkultur yang menganggap perilaku kriminal sebagai
suatu hal yang dapat diterima terungkap sebagai faktor-faktor yang berkontribusi
(Lahey dkk, 1999; Loeber & Farrington, 1998). Kombinasi perilaku antisosial anak
yang timbul di usia dini dan rendahnya status sosioekonomi keluarga
memprediksikan terjadinya penangkapan di usia muda karena tindakan criminal
(Patterson, Crosby, & Vuchinich, 1992).
Gangguan perilaku lebih sering didapati pada anak-anak dari golongan sosio-
ekonomi tinggi atau rendah. Hal ini mungkin terjadi karena orangtua mereka terlalu
sibuk dengan kegiatan sosial (pada kalangan atas) atau sibuk dengan mencari nafkah
(pada kalangan bawah) sehingga lupa menyediakan waktu untuk berkomunikasi
dengan baik dengan anak-anak mereka.
E. Faktor-Faktor Stres
Setiap teori yang berbeda memiliki konsepsi atau sudut pandang yang berbeda
dalam melihat penyebab dari berbagai gangguan fisik yang berkaitan dengan stres. Di
bawah ini akan dijelaskan beberapa sudut pandang tersebut.
a. Sudut pandang psikodinamik
Sudut pandang psikodinamik mendasarkan diri mereka pada asumsi
bahwa gangguan tersebut muncul sebagai akibat dari emosi yang
direpres. Hal-hal yang direpres akan menentukan organ tubuh mana
yang terkena penyakit. Sebagai contoh, apabila seseorang merepres
kemarahan, maka berdasarkan pandangan ini kondisi tersebut dapat
memunculkan essensial hypertension.

13
b. Sudut pandang biologis
Salah satu sudut pandang biologis adalah somatic weakness
model. Model ini memiliki asumsi bahwa hubungan antara stres dan
gangguan psikofisiologis terkait dengan lemahnya organ tubuh
individu. Faktor biologis seperti misalnya genetik ataupun penyakit
yang sebelumnya pernah diderita membuat suatu organ tertentu
menjadi lebih lemah daripada organ lainnya, hingga akhirnya rentan
dan mudah mengalami kerusakan ketika individu tersebut dalam
kondisi tertekan dan tidak fit .
c. Sudut pandang kognitif dan perilaku
Sudut pandang kognitif menekankan pada bagaimana individu
mempersepsi dan bereaksi terhadap ancaman dari luar. Seluruh
persepsi individu dapat menstimulasi aktivitas sistem simpatetik dan
pengeluaran hormon stres. Munculnya emosi yang negatif seperti
perasaan cemas, kecewa dan sebagainya dapat membuat sistem ini
tidak berjalan dengan berjalan lancar dan pada suatu titik tertentu
akhirnya memunculkan penyakit. Berdasarkan penelitian diketahui
bahwa bagaimana seseorang mengatasi kemarahannya ternyata
berhubungan dengan penyakit tekanan darah tinggi (Fausiah dan
Widury, 2005)
2.7 Karakteristik Perilaku Abnormal
A. Kriteria Statistik
Seorang individu dikatakan berperilaku abnormal apabila menunjukkan
karakteristik perilaku yang tidak lazim alias menyimpang secara signifikan dari rata –
rata. Dilihat dalam kurve distribusi normal (kurve Bell), jika seorang individu yang
menunjukkan karakteristik perilaku berada pada wilayah ekstrem kiri (-) maupun
kanan (+), melampaui nilai dua simpangan baku, bisa digolongkan ke dalam perilaku
abnormal. Salah satu aspek perilaku abnormal adalah perilaku tersebut jarang
ditemukan. Perkataan yang mengungkapkan bahwa seseorang dianggap normal

14
adalah orang tersebut tidak menyimpang jauh dari rata – rata pola trait atau perilaku
tertentu.
B. Kriteria Norma
Banyak ditentukan oleh norma – norma yang berlaku di masyarakat, ekspektasi
kultural tentang benar – salah suatu tindakan, yang bersumber dari ajaran agama
maupun kebiasaan – kebiasaan dalam masyarakat, misalkan dalam berpakaian,
berbicara, bergaul, dan berbagai kehidupan lainnya. Apabila seorang individu kerap
kali menunjukkan perilaku yang melanggar terhadap aturan tak tertulis ini bisa
dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal. Perilaku tersebut melanggar norma
sosial atau mengancam atau mencemaskan mereka yang mengamatinya.
C. Personal Distress
Perilaku dianggap abnormal jika hal itu menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan bagi individu. Tidak semua gangguan (disorder) menyebabkan distress.
Misalnya psikopat yang mengancam atau melukai orang lain tanpa menunjukkan
suatu rasa bersalah atau kecemasan. Juga tidak semua penderitaan atau kesakitan
merupakan abnormal. Misalnya seseorang yang sakit karena disuntik. Kriteria ini
bersifat subjektif karena susah untuk menentukan standar tingkat distress seseorang
agar dapat diberlakukan secara umum.
D. Disabilitas atau Disfungsi Perilaku
Disabilitas yaitu ketidakmampuan individu dalam beberapa bidang penting dalam
hidup (seperti hubungan kerja atau pribadi), karena abnormalitas.
E. Yang Tidak Diharapkan ( Unexpectedness )
Tidak semua distress atau diabilitas masuk dalam bidang psikologi abnormal.
Distress seringkali dianggap abnormal bila hal tersebut merupakan respons yang tidak
diharapkan terhadap stressor lingkungan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku abnormal itu adalah perilaku yang jarang
ditemukan, melanggar norma sosial, menciptakan tekanan bagi yang mengalaminya,
yang menyebabkan ketidak mampuan individu untuk hidup normal, dan menjadi
respons yang tidak diharapkan oleh lingkungan. Oleh karena itu, suatu perilaku yang

15
dianggap abnormal adalah perilaku yang sesuai dengan kriteria diatas. Dimana harus
terdapat semua kriteria yang sesuai agar dapat digolongkan sebagai perilaku
abnormal. Sebab tidak semua perilaku abnormal yang sesuai dengan satu kriteria,
juga akan sesuai untuk kriteria yang lainnya.
2.8 Jenis - Jenis Perilaku Abnormal
A. Gangguan Kecemasan
Sebagian besar kita merasa cemas dan tegang bila menghadapi situasi yang
mengancam dan menekan. Persaan ini merupakan reaksi yang normal terhadap stress.
Kecemasan dianggap abnormal bila terjadi dalam situasi yang oleh kebanyakan orang
dapat diatasi dengan mudah. Gangguan kecemasan mencakup sekelompok gangguan
dimana rasa cemas merupakan gejala utama(kecemasan merata dan gangguan panik)
atau kecemasan dialami bila individu berupaya mengendalikan perilaku maladaptif
tertentunya ( fobia dan obsesi kompulsif ).
1. Kecemasan Merata ( Generalized Anxiety )
Selalu merasa bersalah/khawatir, cenderung memberikan respon yang berlebihan
pada stress yang ringan. Setiap hari hidup dalam ketegangan. Terus menerus
mengkhawatirkan segala macam masalah yang mungkin terjadi dan sult sekali
berkonsentrasi dan mengambil keputusan. Keluhan fisik yang lazim antara lain tidak
dapat tenang, tidur terganggu, kelelahan, macam – macam sakit kepala ,kepeningan,
jantung berdebar – debar.
2. Gangguan Panik ( Panic Attacks )
Keadaan tiba – tiba yang penuh dengan keprihatinan atau teror akut yang meluap
– luap. Pada saat serangan panik individu merasa yakin bahwa sesuatu yang
mengerikan akan terjadi. Perasaan ini disertai dengan gejala seperti jantung berdebar
– debar, kehabisan nafas, berkeringat, otot – otot bergetar, kepusingan, dan rasa
muak. Semua ini akibat dari aktifnya bagian simpatetik sistem saraf otonomik.
3. Fobia
Berbeda dengan gangguan kecemasn merata, gangguan fobia mengandung
ketakutan yang spesifik. Seseorang yang bereaksi dengan ketakutan yang amat sangat

16
terhadap suatu stimulus atau situasi yang menurut kebanyakan orang tidaklah sangat
berbahaya, disebut orang yang fobia. Orang tersebut biasanya menyadari bahwa
ketakutanya itu tidak rasional tapi dia tetap merasakan kecemasan (mulai dari rasa
serba salah yang amat sangat sampai panik) yang hanya dapat diredakan dengan
menghindari benda atau situasi yang menakutkan itu. Rasa takut biasanya tidak
didiagnosa sebagai gangguan fobia apabila rasa takut tersebut tidak sangat
mengganggu kehidupan sehari – hari individu tersebut. Bagaimana fobia dapat
berkembang, yaitu:
a. Teori Belajar
Beberapa fobia mungkin disebabkan oleh pengalaman yang
menakutkan. Contoh: mengembangkan rasa takut naik pesawat setelah
mengalami musibah udara atau takut anjing setelah perah digigit anjing)
b. Pengamatan
Seorang anak yang mengamati orang tuanya yang bereaksi pada situasi
tertentu dengan rasa takut dapat menghayati reaksi tersebut sebagai reaksi
yang normal. Para orang tua yang penakut cenderung akan menghasilkan
anak – anak yang penakut pula karena orang tua yang penakut menjadi
model untuk ditiru anak – anak.
c. Diberi Imbalan
Fobia yang terjadi karena pada saat – saat tentu seseorang tidak mau
kehilangan/berpisah dengan orang terdekatnya (orang tua) sehingga selalu
mencari alasan untuk tetap dekat dengan orang yang disayanginya. Dan
alasanya selalu diterima sehingga dia mendapat imbalan yaitu bisa tetap
dekat dengan orang-orang tersayangnya.Misalnya fobia sekolah pada anak
kecil biasanya bukan takut pada sekolahnya tapi takut berpisah dengan
ibunya. Karena selalu ingin berdekatan dengan ibunya menciptakan
berbagai alasan misalnya dengan sakit perut, jika si ibu juga takut berpisah
dengan anaknya akan mengalah pada alasannya maka si anak akan
mendapat imbalan yakni kesenangan tinggal di rumah dengan ibunya.

17
Rasa takut berpisah yang mendapat imbalan pada masa kanak-kanak dapat
berkembang menjadi fobia agora sebagai respon terhadap terhadap stress
dikemudian hari.
d. Teori Psikoanalisis
Fobia berkembang sebagai pertahanan melawan impuls yang dirasa
individu dapat berbahaya. Misalnya individu yang mengalami kecemasan
karena memiliki dorongan homoseksualitas menghindari timbulnya
impuls homoseksualitas dengan tetap tinggal dirumahnya,menjauhi teman
laki –laki, dan tidak menggunakan wc umum.
4. Gangguan obsesi kompulsif
Orang yang mengalami gangguan obsesi kompulsi merasa terpaksa berpikir
tentang hal – hal tidak mereka inginkan.
Obsesi: gangguan terus menerus dari pikiran/bayangan yang tidak diinginkan.
Kompulsif: desakan yang tak tertahankan untuk melaksanakan tindakan/ritual rutin
tertentu. Pikiran obsesi dapat dikaitkan dengan tindakan kompulsif (misalnya, pikiran
tentang kuman penyakit yang dihubungkan dengan kompulsi untuk mencuci alat -
alat makan berkali -kali sebelum dipakai). Individu yang mengalami gangguan
obsesi kompulsif, pikiran dan desakan ini sangat mengganggu tetapi merasa tak
berdaya mengendalikannya.
B. Gangguan Afektif
Gangguan afektif adalah gangguan pada afeksi atau suasana hati (mood). Orang
yang terganggu ini dapat mengalami depresi atau manik (girang yang tidak wajar)
yang parah atau dapat berganti – ganti antara saat – saat. Perubahan suasana hati
semacam ini mungkin saja sangat parah sehingga individu tersebu tperlu dirumah
sakitkan.
1. Episode manik
a. Episode manik ringan (hipomania) orangnya penuh energi ,antusias dan
percaya diri. Terus berbicara, berpindah – pindah kegiatan tanpa
memikirkan waktu tidur yang cukup, dan membuat rencana – rencana

18
besar tetapi tidak diimbangi dengan pelaksanaannya. Perilaku manik
bersifat mendesak dan seringkali lebih mengekspresikan rasa kebencian
daripada kegembiraan.
b. Episode manik ringan (hipomania)orangnya penuh energi ,antusias dan
percaya diri. Terus berbicara, berpindah-pindah kegiatan tanpa
memikirkan waktu tidur yang cukup, dan membuat rencana-rencana besar
tetapi tidak diimbangi dengan pelaksanaannya. Perilaku manik bersifat
mendesak dan seringkali lebih mengekspresikan rasa kebencian daripada
kegembiraan.
2. Gangguan Manik Depresi
Individu yang mengalami manik dan mengalami depresi secara berganti-ganti
dalam suatu episode yang bersamaan. Kondisi ini disebut sebagai gangguan bipolar;
individu beralih dari satu kutub perasaan ke kutub perasaan yang lain. Gangguan
bipolar atau gangguan manik depresif jarang terjadi. Gangguan manik depresif
berbeda dengan gangguan afeksi lainnya karena gangguan ini cenderung terjadi pada
usia yang lebih muda,lebih mungkin terjadi dalam keluarga,memberi respons pada
beberapa pengobatan terapis yang berbeda, dan mudah terjadi lagi bila tidak diobati.
3. Skisofrenia
Gangguan yang ditandai dengan parahnya, Kekacauan kepribadian, Distorsi
realita dan Ketidak mampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari – hari.
Biasanya muncul pada umur sangat muda; puncaknya antara umur 25 th-35 th.
Kadang - kadang berkembang secara lamban sebagai proses yang sedikit demi
sedikit. Meningkat pada perilaku mengasingkan diri dan perilaku yang tidak wajar.
Gangguan skisofrenia dapat juga terjadi secara tiba – tiba, ditandai dengan
kerancuan yang intens dan kekacauan emosi. Kasus ini timbul dengan segera yang
disebabkan oleh adanya saat stress pada individu yang memiliki gaya hidup yang:
Cenderung menyendiri, Suka bekerja sendiri dan Merasa tidak aman.
Ciri-ciri Skisofrenia :
a. Kekacauan Pikiran dan Perhatian.

19
Kesulitan umum untuk menyaring stimulus yang relevan. Individu tersebut
menanggapi begitu banyak stimulus yang bersamaan dan sulit mengambil
makna.Pembicaraan para penderita ini tidak relevan, tidak ada ujung
pangkalnya.
b. Kekacauan Persepsi
Dalam fase yang akut seringkali dilaporkan bahwa dunia tampak lain bagi
penderita tersebut. Ketidakmampuan memahami sesuatu sebagai suatu
keseluruhan.
c. Kekacauan Afektif
Tidak dapat merespon rangsangan emosional secara wajar dan normal.
Namun ekspresi emosi yang datar ini/tumpul ini dapat menyembunyikan
kekacauan dalam hatinya dan dapat tiba-tiba sangat marah. Kadang-kadang
penderita mengukapkan perasan yang tidak relevan dengan situasi/pikiran
yang diungkapkan.
d. Delusi dan Halusinasi
Penderita dengan tahap akut dalam proses pikiran dan persepsi yang
menyimpang disertai pula dengan berbagai delusi. Delusi yang paling umum
adalah keyakinan bahwa kekuatan eksternal mencoba mengendalikan pikiran
dan tindakan orang tersebut. Macam-macam delusi yaitu :
i. Delusi penganiayaan = Paranoid.
ii. Delusi kehebatan = Orang tersebut kuat dan penting.
iii. Halusinasi dapat terjadi sendiri atau merupakan bagian dari keyakinan.
iv. Halusinasi Auditorik = Suara – suara.
v. Halusinasi Visual = Melihat mahluk – mahluk aneh, malaikat
vi. HalusinasiSensorik = Bau busuk, rasa racun, perasaan disentuh.
C. Gangguan Kepribadian
Gangguan kepribadian merupakan pola perilaku mal adaptif yang sudah kuno.
Sebelumnya kita telah menjabarkan sifat-sifat kepriadian sebagai cara-cara yang tetap
dalam menghayati atau berhubungan dengan lingkungan atau berpikir tentang dirinya

20
sendiri. Bila sifat-sifat kepribadian menjadi tidak luwes dan bersifat maladaptif,
sehingga mengganggu kemampuan individu berfungsi, maka sifat-sifat tersebut
merupakan gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan cara-cara yang
tidak dewasa dan tidak wajar dalam mengatasi stress atau memecahkan masalah.
Sifat-sifat tersebut biasanya muncul pada masa remaja dan dapat berlangsung
sepanjang hidup. Berbeda dengan orang yang mengalami gangguan afektif dan
kecemasan yang juga berperilaku maladaptif, orang yang menderita gangguan
kepribadian biasanya tidak merasa sangat terganggu atau cemas dan tidak punya
motivasi untuk mengubah perilakunya. Mereka tidak kehilangan kontak dengan
realita atau tidak menunjukkan kekacauan perilaku yang mencolok seperti orang yang
menderita skisofrenik.
2.9 Penyembuhan Perilaku Abnormal
Pendekatan biologis dalam penyembuhan perilaku abnormal berpendapat bahwa
gangguan mental, seperti penyakit fisik disebabkan oleh disfungsi biokimiawi atau
fisiologis otak. Terapi fisiologis dalam upaya penyembuhan perilaku abnormal
meliputi kemoterapi, elektrokonvulsif dan prosedur pembedahan.
A. Kemoterapi ( Chemotherapy )
Chemotherapy atau Kemoterapi dalam kamus J.P. Chaplin diartikan sebagai
penggunaan obat bius dalam penyembuhan gangguan atau penyakit-penyakit mental.
Adapun penemuan obat-obat ini dimulai pada awal tahun 1950-an, yaitu
ditemukannya obat yang menghilangkan sebagian gejala Schizophrenia. Beberapa
tahun kemudian ditemukan obat yang dapat meredakan depresi dan sejumlah obat –
obatan dikembangkan untuk menyembuhkan kecemasan.
B. Terapi Elektrokonvulsif ( Electroconvulsive Therapy )
Terapi elektrokonvulsif (electroconvulsive therapy) dijelaskan oleh psikiater asal
Itali Ugo Carletti pada tahun 1939. Pada terapi ini dikenal electroschot therapy, yaitu
adanya penggunaan arus listrik kecil yang dialirkan ke otak untuk menghasilkan
kejang yang mirip dengan kejang epileptik. Pada saat ini ECT diberikan pada pasien
yang mengalami depresi yang parah dimana pasien tidak merespon pada terapi otak.

21
C. Psychosurgery
Pada terapi ini, tindakan yang dilakukan adalah adanya pemotongan serabut saraf
dengan penyinaran ultrasonik. Psychosurgery merupakan metode yang digunakan
untuk pasien yang menunjukan tingkah laku abnormal, diantaranya pasien yang
mengalamai gangguan emosi yang berat dan kerusakan pada bagian otaknya.
Pada pasien yang mengalami gangguan berat, pembedahan dilakukan terhadap
serabut yang menghubungkan frontal lobe dengan sistim limbik atau dengan area
hipotalamus tertentu.
Terapi ini digunakan untuk mengurangi simptom psikotis, seperti disorganisasi
proses pikiran, gangguan emosionalitas, disorientasi waktu ruang dan lingkungan,
serta halusinasi dan delusi.

22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa psikologi abnormal adalah ilmu
jiwa yang mempelajari tentang tingkah laku atau perilaku maladatif seseorang. Jika
seseorang mengalami psikologi yang abnormal maka orang tersebut akan cenderung
memperlihatkan perilaku-perilaku yang abnormal sehingga akan orang tersebut
melakukan penyimpangan-penyimpangan perilaku dalam kehidupannya.
Untuk menangani penyimpangan-penyimpangan, maka dilakukan berbagai
pendekatan, yang lebih berfokus pada pendekatan biologis yang memberikan terapi-
terapi obat dan pendekatan psikologis yang memfokuskan pada terapi konseling
keseorang psikolog, psikiater dan para pekerja kesehatan lainnya untuk meningkatkan
kesejahteraan serta ketenangan kehidupan perasaan penderita gangguan-gangguan
psikologi tersebut.

3.2 Saran
Bagi para Mahasiswa diharapkan agar dapat memahami dengan baik konsep-
konsep dan teori, karateristik serta tipe-tipe abnormalitas, sehingga dapat
membedakan antara stres dan perilaku abnormal dan, mahasiswa juga diharapkan
untuk dapat mengontrol diri agar senantiasa berperilaku sehat dan normal baik secara
mental maupun fisik dalam kehidupan sehari-hari.

23

Anda mungkin juga menyukai