Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KELOMPOK

“GANGGUAN PSIKOLOGI”
KELAS PENGANTAR PSIKOLOGI C
Dosen Pengampun: Maria Nugraheni Mardi R., M.Psi., Psi.

KELOMPOK 9:
Petricia Cindy Loveni (802021022)
Rafika Kharisma Firdhausy (802021081)
Salshabila Agustine Marsseda (802021147)
Puput Amiser Takalapeta (802021205)
Rosa Marsella Sinensis Saupa (802021224)

PROGRAM STUDI S1 PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2021
RANGKUMAN MATERI
GANGGUAN PSIKOLOGI

A. PENGERTIAN DAN PENJELASAN PERILAKU ABNORMAL

I. Pengertian Perilaku Abnormal Menurut Para Ahli

Perilaku abnormal adalah perilaku yang menyimpang jauh dari perilaku normal atau
berbeda dari keadaan yang seharusnya. Perilaku abnormal sendiri memiliki pemahaman dari
American Psychiatric Association (APA), yang mendefinisikan perilaku abnormal dalam
istilah medis sebagai penyakit mental yang mempengaruhi atau dimanifestasikan dalam otak
seseorang dan dapat mempengaruhi cara individu untuk berpikir, berperilaku, dan
berinteraksi dengan orang lain.
a. Karakteristik Perilaku Abnormal
Terdapat 3 karakteristik yangmembedakan orang normal dan orang yang
berperilaku abnormal, orang yang berperilaku abnormal memiliki karakteristik sebagai
berikut:
a) Deviant (Menyimpang)
Sebuah perilaku yang menyimpang dalam suatu lingkungan atau budaya contohnya
seorang anak yang makan setiap 1 jam sekali bisa dianggap orang yang memiliki perilaku
abnormal.
b) Maladaptive (Maladaptif)
Perilaku yang mengganggu seseorang untuk bekerja secara efektif, contohnya
seseorang yang menganggap dirinya sebagai pembawa sial bagi orang-orang disekitarnya
sehingga dia tidak beraktifitas keluar rumah dan menjuhkan dirinya dari kegiatan-kegiatan
sosial, dengan begitu dirinya dianggap sebagai orang pengidap perilaku abnormal yang
memiliki karakteristik maladaptive.
c) Personal Distress (Tekanan Pribadi)
Perilaku yang datang dari diri sendiri yang justru membuat pribadi orang tersebut
menyalahkan dirinya sendiri dan kurang nyaman dengan situasi yang ada, contohnya orang
yang suka mencari perhatian lalu ketika diperhatikan dia merasakan adanya ketidak-
nyamanan.
b. Penyebab Perilaku Abnormal
Penyebab yang mendasari seseorang mengalami perilaku abnormal, menurut
Purwanto Heri (1998), adalah:
a) faktor keturunan, seperti idiopathy, psikosis, neurosis, idiot dan psikosa sifilitik;
b) faktor sebelum lahir, yaitu terjadi pada ibu karena kekurangan nutrisi, infeksi, luka,
keracunan, menderita penyakit, menderita psikosis, dan trauma pada kandungan;
c) faktor ketika lahir, seperti, kelahiran dengan menggunakan alat, asfiksia, prematur, atau
primogenitur;
d) faktor setelah lahir, seperti, pengalaman traumatik, kejang atau stuip, infeksi pada otak
atau selaput otak, kekurangan nutrisi dan faktor psikologis.

1. Teori Pendekatan Pada Gangguan Psikologis

Beberapa teori yang disarankan untuk pendekatan kepada orang-orang yang mengalami
gangguan psikologis, seperti:
1) Pendekatan Biologis
Pendekatan yang berfokus pada bagian dalam diri manusia seperti otak, faktor genetik,
fungsi neurotransmitter sebagai sumber kelainan.
2) Pendekatan Psikologis
Berfokus pada pengalaman, pikiran, emosi, dan karakteristik kepribadian manusia
dalam menjelaskan gangguan psikologi. Contoh pendekatan psikologi seperti pada
pengalaman masa kecil, ciri-ciri kepribadian dalam pengembangan dan penyebab
gangguan psikologis lainnya.
3) Pendekatan Sosiokultural
Berfokus pada lingkungan dimana seseorang tinggal yaitu termasuk juga jenis kelamin,
etnis dan budaya, status sosial ekonomi, dan hubungan keluarga. Status sosial ekonomi
sangat berperan dalam penyebab gangguan psikologis. Kemiskinan menyebabkan keadaan
stres yang berperan dalam penyebab gangguan psikologis pada manusia.

4) Model Biopsikososial

Perilaku abnormal dapat dipengaruhi oleh faktor biologi(seperti gen), faktor


psikologi(seperti pengalaman masa kecil), faktor sosial(seperti status sosial ekonomi).
2. Klasifikasi Perilaku Abnormal

Untuk memahami, mencegah, dan mengobati perilaku abnormal, psikiater dan


psikolog telah merancang sistem yang mengklasifikasikan perilaku ke dalam gangguan
psikologis tertentu yaitu menurut klasifikasi psikologis, klasifikasi fisiologis, dan
klasifikasi mutakhir, mari kita membahasnya satu per satu:
a. Klasifikasi Psikologis
Berdasarkan letak dominasi gangguan pada fungsi-fungsi psikologis yang
dikemukakan oleh Linneaus, Arnold, Pritchard, Heinroth, Bucknill dan Tuke, Zienhen
(dalam Henderson et.Al.1956) :
 Linneaus membedakan antara gangguan-gangguan dalam ide imajinasi dan emosi.
 Pritchard membedakan antara ‘moral- insnity’ dan ‘intelectual insanity’.
 Heinroth membedakan antara gangguan dalam pengertian, gangguan dalam kehendak,
dan gangguan campuran.
 Bucknill dan Tuke membedakan antara gangguan intelek dan gangguan afektif (emosi)
yang selanjutnya dibagi menjadi gangguan afektif moral dan afektif animal.
 Zienhen membedakan antara gangguan tanpa efek atau kerusakan intelektual, dan
gangguan dengan efek intelektual baik dari lahir, maupun yang diperoleh kemudian.
b. Klasifikasi Fisiologis
Klasifikasi ini berdasarkan asumsi bahwa prses-proses mental memiliki dasar fisiologis.
Kekurangan dari klasifikasi ini adalah belum jelasnya proses dan lokasi fisiologis dari
proses mental normal. Tuke, Maynart, Wernicke (dalam Henderson et.al.1956)
mengemukakan sistem klasifikasi fisiologis sebagai berikut:
 Tuke mengadakan pembagian gangguan atas gangguan fungsi sensorik, fungsi motorik,
dan ide. Contoh gangguan fungsi sensorik adalah terjadinya halusinasi, contoh
gangguan fungsi motorik adalah terjadinya kelumpuhan, dan contoh gangguan fungsi
ide adalah demensia.
 Maynart membagi kelainan tingkah laku menurut tiga penyebab faali, yaitu perubahan
anatomis, gangguan gizi, intoksikasi atau keracunan.
 Wernick membuat asumsi-asumsi psikofisiologis antara lain bahwa tiap isi kesadaran
tergantung pada seperangkat elemen saraf tertentu. Seseorang yang mengalami
gangguan jiwa mungkin mengalami interupsi atau hambatan, atau ia terlalu peka
terhadap rangkaian asosiasi psikosensoris, intrapsikis, atau psikomotor.
c. Klasifikasi Mutakhir
Pada tahun 1952, American Psychiatric Association (APA) menerbitkan klasifikasi
besar pertama untuk gangguan psikologis di Amerika Serikat yang disebut Diagnostic and
Statistical Manual Of Mental Disorders (DSM). Semula DSM hanya memperhatikan satu
dimensi yaitu dimensi simtom klinis yang dinyatakan dalam Aksis 1, namun saat ini DSM
yang telah memasuki versi IV yang memperhatikan hingga 5 dimensi. Pada DSM-IV
mengklasifikasikan individu berdasarkan lima dimensi atau sumbu, yang memperhitungkan
sejarah individu dan tingkat fungsi tertinggi pada tahun sebelumnya. Pencipta sistem
dimaksudkan untuk memastikan bahwa individu tidak hanya didiagnosis untuk kategori
gangguan psikologis tetapi sebaliknya dicirikan dalam hal sejumlah faktor. 5 faktor(aksis)
itu adalah:
 Aksis I: Semua kategori diagnostik kecuali gangguan kepribadian dan keterbelakangan
mental;
 Aksis II: gangguan kepribadian dan keterbelakangan mental;
 Aksis III: kondisi medis umum;
 Aksis IV: masalah kejiwaan dan lingkungan;
 Aksis V: tingkat fungsi saat ini.
5 aksis diatas adalah klasifikasi tingkat internasional sedangkan di Indonesia yang
digunakan adalah PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa).
Diagnosis Berdasarkan PPDGJ ini juga dibuat berdasarkan 5 Aksis, yaitu:
 Aksis I : simtom klinis;
 Aksis II : gangguan ciri kepribadian tertentu;
 Aksis III : dasar-dasar organik : gangguan fisik;
 Aksis IV : keparahan stressor : taraf stres psikososial;
 Aksis V : taraf tertinggi dari fungsi penyesuaian dalam satu tahun terakhir.

B. GANGGUAN KECEMASAN (ANXIETY DISORDERS)

Biasanya, apabila kita sedang dalam situasi bahaya atau situasi yang belum kita kenal,
kita merasa cemas atau takut. Emosi yang kita rasakan ini bersifat adaptif jika berlangsung
dalam jangka waktu yang pendek, tetapi terkadang emosi–emosi itu tetap ada meskipun
situasi yang dialami sudah berlalu. Hal itu biasanya dapat menyebabkan gangguan
kecemasan kronikyang biasanya diikuti gejala-gejala, diantaranya gelisah, gemetar, pusing,
jantung berdebar-debar.
1. Generalized Anxiety Disorder (Gangguan Kecemasan Umum)
Gangguan kecemasan umum berbeda dari perasaan cemas sehari-hari di mana
penderita gangguan ini mengalami kecemasan terus-menerus setidaknya selama enam bulan
tanpa mengetahui alasan spesifiknya. (Fisher, Granger, & Newman, 2010).
Gangguan ini biasanya ditandai dengan kesulitan beristirahat, merasa gelisah, sulit
berkonsenterasi, kesulitan untuk tidur, dan perasaan tegang yang berlebihan. Tetapi, bisa
saja penderita memiliki kecenderungan fisiologis untuk mendapati gejala seperti, telapak
tangan berkerimgat, jantung berdebar-debar, kesulitan untuk bernafas.
2. Panic Disorder (Gangguan Panik)
Gangguan ini terjadi selama beberapa menit ketika seseorang mengalami serangan
rasa takut atau rasa panik yang sangat kuat. Seringkali gangguan ini datang tiba-tiba dan
tanpa penyebab khusus.
Gejala yang sering kali muncul adalah gemetar, pusing, rasa tidak nyaman di dada,
meningkatnya detak jantung, dan berkeringat. Reaksi-reaksi fisik ini akan menghasilkan
rasa ketakutan akan kematian, ketakutan menjadi tidak waras, atau kehilangan kendali,
banyak juga penderita yang mengalami ketakutan bahwa mereka akan mengalami serangan
jantung.
Meskipun serangan panik sepertinya muncul begitu saja, namun sebenarnya serangan
panik akan muncul sebagai akibat dari stress, emosi yang berlangsung untuk waktu yang
lama, kekhawatiran mengenai sesuatu secara spesifik, atau pengalaman yang menimbulkan
rasa takut (McNally, 1998).
Penderita gangguan ini juga bisa merasakan gejala-gejala yang berbeda beda
dikarenakan kultur-kultur daerah yang juga berbeda beda. Perasaan tersedak, atau perasaan
tercekik, perasaan mati rasa (numb), dan ketakutan akan kematian merupakan gejala yang
umum ditemukan pada masyarakat Latin Amerika, dan Eropa bagian selatan ketakutan
terhadap tempat-tempat umum merupakan gejala yang paling sering ditemukan di Eropa
bagian utara dan di Amerika; sementara perasaan ketakutan bahwa dirinya sudah menjadi
tidak waras merupakan gejala yang lebih sering ditemukan di Amerika, dibandingkan
Eropa. Beberapa nelayan di daerah Greenland menderita “kayak angst” adalah suatu
serangan mendadak dimana seseorang akan merasa pusing dan mengalami ketakutan, yang
terjadi saat mereka sedang memancing dengan menggunakan perahu kecil untuk satu orang,
seperti kayak (Amering & Katschnig, 1990).
3. Phobic Disorder (Gangguan Fobia)
Gangguan ini berbeda dengan Generalized Anxiety Disorder karena penderita
gangguan ini mengetahui penyebab dari perasaan cemas mereka. Biasanya, penderita phobia
mengalami panic attack ketika berhadapan dengan hal yang ditakutinya. Fobia yang paling
umum dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
1) Fobia Sosial
Gangguan ini merupakan rasa takut berlebihan saat berada di situasi sosial seperti
bertemu orang baru, bahkan berbelanja. Penderita sering kali merasa takut dihina atau
dipermalukan oleh orang lain. Fobia ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti faktor
lingkungan dan faktor genetik.
2) Agoraphobia
Gangguan ini terjadi di saat penderita berada pada situasi yang membuatnya merasa
sulit untuk melarikan diri dan tidak bisa meminta tolong.
3) Fobia Spesifik
Fobia spesifik adalah ketakutan yang berlebih terhadap objek, situasi atau aktivitas
tertentu. Contohnya arachnophobia (fobia terhadap laba-laba), nyctophobia (fobia terhadap
kegelapan), astraphobia (fobia mendengar guntur atau kilat), thalassophobia (fobia
terhadap laut).
4. Obsessive Compulsive Disorder (Gangguan Obsesi Kompulsi)
Gangguan ini atau yang disebut juga dengan OCD ditandai dengan adanya obsesi, yaitu
pikiran atau gambaran yang mengganggu yang dapat meningkatkan rasa cemas atau
khawatir, serta dengan adanya kompulsi yang merupakan perilaku atau aktivitas yang
berulang yang dilakukan penderita untuk mengurangi rasa cemas atau khawatir. Contohnya,
mencuci tangan berulang kali hingga tangan lecet.
Penderita OCD biasanya merasa bahwa mereka tidak memiliki kendali atas tubuh mereka
sendiri. Mereka akan terus menerus merasa bahwa mereka sedang dalam bahaya, dan akan
terus menerus mengulangi suatu usaha untuk mengurangi kecemasan yang diakibatkan
perasaan tersebut.
Belum diketahui apa penyebab OCD, ada sejumlah faktor yang mungkin berperan, seperti
faktor genetik, faktor masa lampau, dan bisa juga faktor kepribadian.
5. Post Traumatic Stress Disorder (Gangguan Stres Pasca Trauma)
Gangguan Stress Pasca Trauma adalah gangguan kecemasan yang dipicu oleh adanya
trauma yang biasanya terjadi setelah suatu peristiwa traumatik, seperti perang,
pemerkosaan, bencana alam, penyiksaan, meninggalnya seseorang yang kita kasihi.
Penderita gangguan ini biasanya mengalami gejala – gejala, seperti kehilangan
semangat melakukan aktivitas yang biasanya disukai, tidak dapat menunjukkan energi
positif dalam diri, kesulitan merasakan berbagai emosi di dalam diriterganggunya
konsentrasi, dan kesulitan untuk tidur, dada berdebar kencang, rasa cemas dan takut yang
muncul dengan tiba-tiba. Adapun reaksi fisik yang mungkin muncul pada penderita PTSD
adalah diantaranya mudah terkejut atau merasa takut, kecenderungan untuk selfharm,
mudah marah atau menjadi lebih agresif dalam berbagai hal, perasaan malu dan bersalah
yang berlebihan.

Sebagian besar orang yang pernah mengalami peristiwa traumatik akan dapat sembuh,
tanpa mengalami PTSD, salah satu survei berskala nasional di Amerika menemukan bahwa
sekitar 60 persen pernah mengalami peristiwa traumatik, namun hanya 8 persen pria, dan
20 persen wanita, yang kemudian mengalami PTSD (Kessler dkk., 1995).

Sebagian besar orang yang pernah mengalami peristiwa traumatik dapat kembali normal,
mengapa beberapa orang lainnya akan mengalami PTSD selama bertahun-tahun? Karena
adanya warisan genetik, memiliki riwayat psikologis dan kesulitan mengatur emosi, bisa
juga disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf seseorang yang terjadi sebelum mereka
mengalami peristiwa traumatik, dan kemudian terpicu saat peristiwa itu terjadi.

C. GANGGUAN SUASANA HATI (MOOD DISORDER)

Mood disorder atau gangguan suasanahati adalah gangguan psikologis yang di


dalamnya terdapat gangguan primer suasana hati: emosi berkepanjangan yang mewarnai
seluruh keadaan emosional individu.

1. Depressive Disorders(Gangguan Depresif)

Depresi merupakan gangguan mental yang seing terjadi di masyarakat, maknanya


pun tidak dapat didefinisikan secara jelas. Namun depresi bisa dijelaskan secara singkat
yaitu depresi menjadi sebuah masalah apabila ia timbul tanpa alasan yang jelas dan bertahan
lama setelah penyebabnya terselesaikan.

Depresi terbagi menjadi 2 tingkat keparahan yaitu :

1) Gangguan Depresi Mayor (MDD)


MDD digambarkan sebagai hilangnya ketertarikan atas aktivitas yang biasa dilakukan
sehari hari. Gejala yang tampak biasanya gangguan fungsi sosial atau aktivitas kurang lebih
selama 2 minggu tanpa gejala manik.Orang yang mengalami depresi mayor biasanya
mempunyai selera makan yang buruk, atau bertambah berat badan secara mencolok,
mengalami gelisah secara fisik, bahkan memiliki masalah tidur atau bahkan tidur terlalu
banyak.Episode depresi mayor dapat dialami dalam jangka bulanan atau satu tahun bahkan
lebih dan memliki beberapa tipebeserta ciri khasnya yaitu :

a. Depresi Melankolis; dengan ciri ciri, mood nonreaktif, kehilangan berat badan, rasa
bersalah, mood yang memburuk pada pagi hari, terbangun di pagi buta.
b. Depresi Atipikal; dengan ciri ciri, mood reaktif, terlalu banyak tidur, makan terlalu
berlebihan, sensitive pada penolakan.
c. Depresi Psikotik; dengan ciri ciri, halusinasi atau waham.
d. Depresi Kronik; dengan ciri ciri, 2 tahun atau lebih dengan kriteria gangguan
depresi mayor.

Ada pula faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko seseorang terkena depresi
mayor yaitu usia, status ekonomi, dan status pernikahan. Wanita mempunyai kecenderungan
2x lebih besar dari pada lelaki, namun American Pshycologycal Assosiation (APA)
menyatakan bahwa wanita lebih baik menghadapi faktor faktor kehidupan yang penuh
tekanan ketimbang laki laki.

Untuk dinyatakan sebagai depresi harus terdapat lima dari gejala berikut, yaitu mood
depresi, kehilangan minat, kehilangan kesenangan dalam semua atau sebagian besar
kegiatan, berat badan berkurang atau bertambah (lebih dari 5%), insomnia atau hipersomnia,
retardasi atau agitasi psikomotor, lelah, perasaan tidak berharga atau bersalah yang tidak
jelas, penurunan kemampuan berkonsentrasi, pemikiran kematian atau bunuh diri yang
berulang. Gejala tersebut setidaknya terjadi selama dua minggu, yang menyebabkan
gangguan fungsi, dan tidak merupakan pengaruh penggunaan zat, kondisi medis, atau
kehilangan (kematian).

2) Gangguan Distimik (DD)


Gangguan Distimik adalah gangguan yang mirip dengan MDD namun bersifat lebih
ringan, gangguan ini digambarkan dengan suasana hati merasa sedih atau terpuruk dalam
tekanan perasaan. Klein Schwartz et al., menyatakan bilamana sesorang yang mengalami
gangguan ini selalu merasa kurang bersemangat dan depresi yang dialami tergolong ringan
namun dapat bertahan menahun. Pada gangguan ini tidak ditemukan gejala psikotik, hanya
perasaan tertekan kronik selama beberapa hari, atau lebih selama kurang lebih 2 tahun.
Gangguan ini dibagi menjadi 2 klasifikasi yaitu (1) kejadian dini sebelum usia 21 dan (2)
kejadian lambat setelah usia 21.
Untuk seseorang dikatakan memiliki gangguan distimik harus mengalami beberapa
gejala ini, karena berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural terlibat dalam
perkembangan depresi ini, yaitu :
a. Nafsu makan yang buruk atau makan yang berlebihan
b. Problem tidur
c. Tidak memiliki energy atau kelelahan
d. Rendah diri
e. Konsentrasi yang buruk atau kesulitan membuat keputusan
f. Perasaan tanpa harapan

2. Bipolar Disorder (Gangguan Bipolar)

Gangguan bipolar adalah gangguan mood yang ditandai dengan perubahan suasana
hati yang ekstrem yang mencakup satu atau lebih episode mania, terlalu bersemangat,
optimis yang tidak realistis negara. Terdapat 2 fase dalam bipolar, yaitu:

1) Manic
Seseorang yang berada pada fase manic tidak merasa lelah dan tidak bergairah,
melainkan ia merasakan semangat dan kegembiraan yang berlebihan, dan mudah
tersinggung apabila terhalangi. Seseorang yang manic akan merasa dirinya sangat energic
dan memiliki banyak sekali rencana,namun rencana tersebut dikembangkan berdasarkan
pemikiran yang sebenarnya delusi. Mereka yang berada pada fase manic sering kali
mengalami kesulitan menghabiskan waktu mereka untuk bersenang senang dengan cara
impulsif.
2) Deppresive
Sedangkan pada periode deppresive, pengidapnya akan terlihat sedih, lesu, dan
hilag minat terhadap aktivitas sehari hari. Beberapa penulis, artis, dan musisi dilaporkan
juga memiliki gangguan bipolar, saat sedang titik tertinggi banyak artis yang dapat
menghasilkan karya terbaik mereka, namun hubungan yang tidak sehat, kebangkrutan,
bunuh diri, bias menjadi salah satu harga yang mereka bayar saat berada di titik terendah.

3. Suicide (Bunuh Diri)

Suicide atau bunuh diri bukan gangguan yang dapat didiagnosis, lebih tepatnya,
konsekuensi tragis dari gangguan psikologis, paling sering dialami adalah depresi dan
kecemasan. Menurut Institut Kesehatan Mental Nasional (NIMH), pada tahun 2008, bunuh
diri adalah penyebab kematian tertinggi ke-11. Penelitian menunjukkan bahwa untuk setiap
1 kasus bunuh diri, 8 sampai 25 percobaan bunuh diri terjadi. Suicide adalah penyebab
utama ketiga kematian hari ini di kalangan remaja AS 13 sampai 19 tahun (Pusat Statistik
Kesehatan Nasional, 2005).

1) Faktor Biologis

Nampaknya faktor genetik juga berperan dalam bunuh diri, yang biasanya
diturunkan dalam keluarga. Sejumlah penelitian telah menghubungkan bunuh diri dengan
rendahnya kadar neurotransmitter serotonin. Individu yang mencoba bunuh diri dan yang
memiliki kadar serotonin 10 kali lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri lagi daripada
yang mencoba yang memiliki kadar serotonin tinggi. Kesehatan fisik yang buruk, terutama
bila sudah berlangsung lama dan kronis, merupakan faktor risiko lain untuk bunuh diri.

2) Faktor Psikologi

Faktor psikologis pada bunuh diri juga termasuk gangguan mental dan trauma
dengan berbagai macam penyebab. Sekitar 90 persen individu yang melakukan bunuh diri
diperkirakan memiliki gangguan psikologis yang dapat didiagnosis.

Ada beberapa contoh peristiwa yang menyebabkan sesorang melakukan percobaan


bunuh diri misalnya, kehilangan orang yang dicintai satu atau pekerjaan, gagal keluar dari
sekolah, atau kehamilan.

3) Faktor Struktural

Kesulitan ekonomi kronis dapat menjadi salah satu faktor dalam bunuh diri.
D. GANGGUAN DISOSIATIF
1. Amnesia Disosiatif dan Fugue Disosiatif

Amnesia disosiatif adalah jenis amnesia yang ditandai dengan hilangnya ingatan
karena disebabkan tekanan psikologis. Biasanya memiliki kepribadian ganda yang terdapat
dalam individu yang sama dan gangguan ini termasuk langka.

Fugue disosiatif adalah gangguan disosiatif yang di tandai dengan hilangnya


identitas diri. Fugue berasal dari Bahasa latin yaitu “terbang” atau “kabur” sehingga
seseorang dengan gangguan disosiatif ini cenderung melakukan perjalanan yang secara tiba-
tiba. Penyebabnya bisa saja karena individu mengalami pemerkosaan, kecelakaan,
kekerasan,pelecehan fisik atau emosional dalam jangka Panjang dan masih banyak lagi.

2. Gangguan Identitas Disosiatif

Dissociactive identity disorder (DID) dahulu disebut sebagai kepribadian ganda


yang paling dramatis, paling tidak umum dan berbeda.

E. SCHIZOPHRENIA/SKIZOFRENIA

1. Gejala Schizophrenia

Ciri-ciri dan gejala skizofrenia itu sendiri bervariasi, tergantung pada jenis dan tingkat
keparahannya. Oleh karena itu, ada beberapa gejala yang paling dominan diantaranya:

1) Halusinasi

Gejala ini biasanya ditandai dengan sering mendengar, melihat, mencium, atau
merasakan hal-hal yang tidak sebenarnya nyata. Namun, di antara semua yang sudah
sebutkan itu, mendengar suara yang tidak nyata merupakan tanda yang paling sering terjadi
pada penderita skizofrenia ini.

2) Delusi

Delusi atau diartikan dengan keyakinan yang salah ini juga dialami pada penderita
skizofrenia. Pada penderitanya kerap memiliki keyakinan kuat akan suatu hal yang salah,
seperti merasa orang lain ingin mencelakakan atau membunuh dirinya. Yang bisa
berdampak langsung pada perilaku pengidapnya.
3) Pikiran kacau dan ucapan membingungkan

Dimana orang lain tidak dapat mengerti alur dan cara berpikirnya orang dengan kondisi
ini. Mereka juga mungkin tidak dapat memahami apa yang dibicarakan, saat orang lain
mengajaknya berbicara. Dan juga tidak hanya itu saja, saat mereka berbicara, mereka sering
mengeluarkan ucapan yang tidak masuk akal dan terdengar membingungkan.

4) Masalah kognitif

Termasuk dalam masalah perhatian, konsentrasi, dan memori. Pada penderita


skizofrenia umumnya mengalami gejala seperti sulit fokus dan konsentrasi serta tidak dapat
memproses informasi untuk membuat keputusan dengan baik.

5) Gerakan yang tidak teratur

Beberapa penderita skizofernia dalam kondisi ini sering nampak gelisah atau
melakukan hal-hal yang konyol seperti anak kecil dan juga sering kali melakukan gerakan
yang sama berulang kali atau berlebihan.

2. Penyebab Skizofrenia

Hingga saat ini, para ahli belum mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan
seseorang mengalami skizofrenia. Meski demikian, para peneliti percaya bahwa ada
beberapa hal yang dapat memicu penyakit ini. Yang dapat menjadi penyebab penyakit
skizofrenia itu sendiri, adalah:

1. Masalah dengan keseimbangan kimia di otak

Kadar dopamine dan glutamat di dalam otak yang tidak seimbang diyakini para ahli
bisa menyebabkan penyakit ini.

2. Perbedaan struktur otak

Studi pemindai saraf otak pada orang dengan penyakit ini menunjukkan perbedaan
dalam struktur otak dan sistem saraf pusat. Para peneliti belum meyakini mengapa hal
tersebut bisa terjadi, tetapi mereka menyebutkan bahwa gangguan kejiwaan ini terkait
dengan penyakit otak.

3. Genetik
Penyebab skizofrenia itu sendiri juga adanya faktor genetik atau keturunan. Jadi, jika
salah satu keluarga inti anda terkena penyakit ini, anda berisiko tinggi mengalami
skizofrenia ini.

4. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang mungkin menjadi penyebab termasuk infeksi virus dan
kekurangan beberapa nutrisi ketika masih dalam kandungan, atau berada di lingkungan yang
penuh tekanan dan mengakibatkan stres.

5. Obat-obatan tertentu

Penyalahgunaan obat-obatan terlarang, seperti narkotika disebut juga dapat menjadi


penyebab skizofrenia.

C. GANGGUAN KEPRIBADIAN
1. Gangguan Kepribadian Antisosial

Gangguan kepribadian antisosial (ASPD) dan psikopatis merupakan gangguan fisiologis


yang ditandai dengan rasa tidak bersalah, terus menerus melanggar hukum, agresi, sering
berbohong, tidak peduli pada keselamatan orang lain dan diri sendiri, kurang memiliki rasa
penyesalan atas tindakannya. Meskipun mereka sangat menawan, individu dengan ASPD
sering menjalani kehidupan kekerasan dan kriminal. ASPD lebih dominan terjadi pada pria
daripada wanita dan sering berkaitan dengan kriminal, vandalism, penyalahgunaan zat dan
alcohol. Kepribadian antisosial meliputi; kegagalan menyesuaikan diri dengan norma-
norma social dan hukum yang ada, berbohong, menggunakan nama samaran untuk
keuntungan/kesenangan pribadi, implusif atau gagal dalam merencanakan ke depan,
melakukan penyerangan dan masih banyak lagi. Umumnya, ASPD tidak didiagnosis kecuali
individu menunjukkan perilaku antisosial yang secara terus menerus atau sebelum usia 15
tahun.

2. Gangguan Kepribadian Ambang

Individu dengan kepribadian ambang (Borderline Personality Disorder)memiliki


kecenderungan tidak stabil dalam berhubungan dan juga mood. Dalam DSM–IV
kepribadian ambang memiliki beberapa tanda seperti memiliki hubungan yang tidak stabil,
gangguan identitas, mood yang berubah-ubah. Karena itu individu dengan kepribadian
ambang memiliki kecenderungan depresi dan sering kali melukai diri mereka sendiri dengan
benda tajam tanpa niat bunuh diri dan juga niat bunuh diri. DSM – IV menetapkan bahwa
BPD ditunjukkan dengan adanya lima atau lebih dari gejala berikut:

 Bingung untuk menghindari ditinggalkan nyata atau dibayangkan


 Hubungan interpersonal yang tidak stabil dan intens yang ditandai dengan perubahan
yang ekstrim antara idealisasi dan devaluasi
 Citra diri atau perasaan yang jelas dan terus menerus tidak stabil
 Perilaku yang implusif yang berpotensi merusak diri sendiri (misalnya, berbelanja,
seks, penyalahgunaan zat, mengemudi dengan sembrono, pesta makan)
 Respon emosional/ perilaku yang tidak stabil dan ekstrim (mencoba bunuh diri
berulang, gerakan atau ancaman perilaku mutilasi
 Perasaan kosong yang kronis, kemarahan yang tidak pantas dan sulit untuk
dikendalikan,kecemasan yang biasanya berlangsung beberapa jam
 Paranoia tekait stress sementara (pola pemikiran yang terganggu menampilkan delusi
gangguan atau penganiyayaan)
 Stress sementara atau gejala disosiatif yang parah

D. GANGGUAN PSIKOLOGIS DAN KESEHATAN


Memberi label pada seseorang sebagai orang yang mengalami gangguan psikologis
hanya akan membuat gangguan psikologis terlihat seperti hanya terjadi pada orang lain,
yang sebenarnya gangguan psikologis bukan hanya untuk orang lain namunkemungkinan
adalah kamu, saya atau seseorang yang kita kenal mengalami gangguan psikologis. Saat
ini, gangguan psikologis dapat diobati seperti banyak penyakit fisik, beberapa mungkin bisa
"disembuhkan" sedangkan gangguan psikologis lainnya akan membutuhkan perhatian
dalam jangka panjang. Bagi banyak orang yang didiagnosis menderita satu atau lebih
gangguan psikologis atau semacam itu, hambatan yang signifikan dalam menjalani
kehidupan adalah ketakutan akan stigma, aib, budaya, prasangka, dan diskriminasi.
Untuk memahami betapa besarnya pengaruh label-label yang menempel pada orang-
orang yang memiliki gangguan Psikologis, sebuah penelitian klasik dan dilakukan oleh
David Rosenhan (1973) untuk mengetahui apakah psikiater dapat membedakan antara
pasien yang benar-benar menderita gangguan psikologis dan ataupun tidak. Ia merekrut
delapan orang dewasa (termasuk ibu rumah tangga, mahasiswa psikologi, dokter anak,
psikolog, pelukis dan psikiater) yang tidak memiliki gangguan psikologis atau sehat mental
untuk pergi ke psikiater di berbagai rumah sakit. Pasien-pasien palsu ini diperintahkan untuk
bertindak dengan cara yang normal tetapi mengeluh tentang mendengar suara-suara yang
asing didengar. Meskipun hanya disengaja namun, delapan orang tersebut dicap
“skizofrenia” dan dirawat di rumah sakit selama 3 sampai 52 hari dengan rata-rata 19 hari
mereka berada disana. Melalui percobaan ini Rosenhan menyimpulkan bahwa tidak semua
psikiater dapat dipercaya dalam membedakan orang yang waras dan yang tidak. Maka,
jelaslah begitu seseorang dicap dengan gangguan psikologis, orang itu akan memasang
penilaian bagaimana orang lain memandang semua hal yang ia lakukan.
Stigma dapat menjadi penghalang yang tidak dapat ditangani oleh individu yang
menghadapi gangguan psikologi, serta untuk keluarga dan orang yang mereka cintai
(Corrigan, 2007; Hinshaw, 2007). Ketakutan akan stigma dapat mencegah individu untuk
mencari pengobatan dan berbicara tentang masalah yang dialami kepada keluarga dan
orang-orang terdekat.
1. Konsekuensi Stigma
Stigma yang diakibatkan oleh gangguan psikologis dapat menimbulkan prasangka dan
diskriminasi terhadap orang-orang yang sedang berjuang mengatasi penyakit ini, sehingga
bisa memperparah situasi yang sulit ini. Mengalami gangguan dan mendapat stigma dapat
juga secara negatif mempengaruhi kesehatan fisik orang-orang yang mengalaminya.
a. Dikriminasi dan Prasangka
Label gangguan psikologis dapat merusak keadaan karena hal itu dapat mengarah ke
penilaian negatif, misalnya sebutan "skizofrenia" sering kali memiliki konotasi negatif
seperti "menakutkan" dan "berbahaya".
Kasus-kasus nyata berupa perilaku yang sangat berbahaya dari individu-individu
dengan gangguan psikologis dapat melestarikan penilaian bahwa orang-orang dengan
gangguan psikologis adalah orang yang melakukan tindak kekerasan. Misalnya Cho
Seung-Hui, seorang mahasiswa berusia 23 tahun, membunuh 32 mahasiswa di Virginia
Tech University pada bulan April 2007 sebelum ia bunuh diri. Fakta yang dilaporkan
luas bahwa Cho telah berjuang dengan gangguan psikologis sepanjang hidupnya,
mungkin telah memperkuat gagasan bahwa individu dengan gangguan berbahaya. Akan
tetapi, orang-orang yang mengalami gangguan psikologis terkhusunya yang sedang
menjalani pengobatan cenderung lebih mengalami gangguan pada mental mereka.
Orang - orang yang didiagnosis menderita gangguan psikologis sering kali sadar akan
aib negatif yang diakibatkan oleh kondisinya (Brohan & lainnya, 2010; Musa, 2010).
Sebelumnya, mungkin mereka telah bersikap negatif seperti itu. Namun orang-
orang dengan gangguan psikologis membutuhkan bantuan, tetapi mereka mencari
bantuan yang bisa menerima identitas stigma yang mereka alami.(Thornicroft & lainnya,
2009; Yen & lainnya, 2009). Orang-orang yang mengalami gangguan psikologis
terkadang tidak diterima dalam dunia pekerjaan karena penampilan atau perilaku yang
mungkin tidak biasa, aneh atau menjengkelkan, tetapi selama individu yang mengalami
gangguan psikologis itu mampu menyelesaikan tugas-tugas yang dibutuhkan dalam suatu
jabatan, maka dia bisa saja diberi pekerjaan dan dipromosikan.
b. Kesehatan Fisik
Orang-orang dengan gangguan psikologis lebih cenderung sakit secara fisik dan dua
kali lebih besar kemungkinan meninggal dari pada orang - orang yang secara psikologis
sehat (Gittelman, 2008; Kumar, 2004). Mereka juga lebih cenderung gemuk, merokok,
minum secara berlebihan, dan menempuh kehidupan dengan kurang gerak(berolahraga)
(Beard, Weisberg, & Keller, 2010; J. Y. Kim & lainnya, 2007; Lindwall & lainnya, 2007;
Mykletun & lainnya, 2007). Riset memperlihatkan bahwa promosi program kesehatan
dapat berfungsi dengan baik bahkan bagi orang-orang yang menderita gangguan
psikologis yang parah (Addington & lainnya, 1998; Chafetz & lainnya, 2008). Karena
itu olahraga sangat penting bagi kesehatan manusia, untuk kesehatan jasmani maupun
kesehatan mental dan jiwa. Ketika kita mengabaikan kesehatan fisik ataupun tidak ikut
campur dalam perubahan hidup mereka kearah positif, sama saja kita melakukan
penyimpangan kepada orang-orang tersebut.
2. Mengatasi Stigma
Satu kendala dalam mengubah sikap orang terhadap orang dengan gangguan psikologis
adalah bahwa penyakit mental sering kali tidak terlihat. Seperti, kadang-kadang seseorang
dapat memiliki gangguan psikologis tanpa diketahui orang-orang sekitarnya. Mungkin kita
tidak menyadari akan banyaknya kehidupan di sekitar kita yang menjalani hidup dalam
konteks mengalami gangguan psikologis, namun, karena kekhawatiran mengenai stigma
bisa menghambat penderita untuk keluar dari zonanya dan memberitahukan kepada orang
lain tentang semua hal yang sedang mereka alami.
Penting untuk mengenali kekuatan mereka baik dalam menghadapi gangguan yang
dialami maupun dalam menjalani dan terlepas dari masalah mereka dan pencapaian yang
mereka dapat. Dengan menciptakan lingkungan yang positif bagi orang-orang yang
mengalami gangguan psikologis, kita mendorong lebih banyak dari mereka untuk terlihat
percaya diri, dan bisa memperkuat mereka untuk menjadi panutan positif bagi orang lain.
Contoh dari Sheila Hollingsworth seorang ibu berusia 51 tahun yang memiliki 2 anak,
merupakan contoh yang baik bagi pengidap gangguan psikologis yang sedang berjuang. Dia
punya gelar master dan bekerja salah satu dewan kesehatan mental. Dia begitu dicintai di
tempat kerjanya, semua orang memanggilnya “Sheila Love”. Dia bernyanyi dalam paduan
suara gerejanya, dan mengambil kelas kaligrafi. Sheila mengidap skizofrenia. Akan tetapi,
ia tidak membiarkan keaiban gangguan skizofrenia yang dialaminya ini merenggut
kehidupannya. Dia bekerja sebagai penasihat dan membantu orang lain dengan memimpin
kelompok-kelompok dan memodalkan perawatan yang efektif. Orang-orang yang
menghadapi gangguan psikologis yang parah bisa menjadi positif karena mereka memiliki
panutan yang positif untuk ditiru.
Setelah mempelajari hal ini saya menjadi mengerti bahwa ketika kita mengalami
gangguan psikologis, kita tidak boleh terus menerus bersedih dan malu akan hal itu,
melainkan kita harus membangun diri dan berusaha untuk bisa sembuh, bisa keluar dari
gangguan yang dialami sehingga kelak nanti kita bisa menjadi versi yang lebih baik dari
sebelumnya, dan juga dapat menjadi motivasi bagi orang-orang pengidap gangguan
psikologis lainya yang sedang berjuang. Karena, orang-orang yang sedang menjalani
pengobatan bisa lebih semangat untuk sembuh ketika memiliki panutan atau penyemangat
disampingnya. Diagnosis pada orang yang mengalami gangguan psikologis tidak
menghalangi prestasi mereka, justru mereka bisa survive dan menjadi contoh untuk
lingkungan sekitar mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Ciccarelli, S. K. & White, J. N. (2014). Psychology (4th ed). Pearson.

Namora L, (2016). Depresi. Kencana.

King, Laura A. (2011). The Science of Psychology 2nd ed. The McGraw-Hill Companies.

Rosyanti, L. H. I. & Wijayati, F. (2021). Memahami Gangguan Depresi Mayor. Health,


9, 8-14.

Sovitriana, R. (2019). Dinamika Psikologis Kasus Penderita Skizofrenia, Uwais Press.

Wade, C dan Tavris, C. (2007). Psikologi Edisi Kesembilan Jilid 2. Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai