: Psikologi Klinis
Henderson dan Gillespie (1956) membagi beberapa jenis klasifikasi gangguan jiwa,
antara lain:
1. Klasifikasi psikologis
2. Klasifikasi fisiologis
3. Klasifikasi etiologis
4. Klasifikasi simtomatologis
1. KLASIFIKASI PSIKOLOGIS
Gangguan “ideal” dan gangguan ‘notional” atau dalam fungsi persepsi dan imajinasi
serta gangguan dalam bidang konseptual/pemikiran (Arnold)
Gangguan intelektual dan gangguan afeksi (emosi) yang selanjutnya dibagi menjadi
gangguan afektif moral dan gangguan afektif animal (Bucknill & Tuke)
Gangguan tanpa efek atau kerusakan intelektual dan gangguan dengan efek
intelektual, baik dari lahir maupun yang diperoleh kemudian (Ziehen)
2. KLASIFIKASI FISIOLOGIS
Penyebab tingkah laku abnormal ada tiga yaitu: Perubahan anatomis, gangguan gizi,
intoksikasi/keracunan. Gangguan gizi dapat mengakibatkan rangsangan atau
2
Tiap isi kesadaran tergantung pada seperangkat elemen saraf tertentu. Seseorang
yang mengalami gangguan jiwa mungkin mengalami interupsi/hambatan atau ia
terlalu peka pada rangkaian asesoris psikosensori, intrapsikis atau psikomotor.
Gangguan ini berturut-turut diberi nama sebagai berikut:
3. KLASIFIKASI ETIOLOGIS
Contoh klasifikasinya:
a. Oligophrenia
c. Konstitusi Psikopatik
d. Psikosis Afektif
f. Psikosis Epileptik
g. Kelumpuhan Umum
3
i. Dementia
j. Tak tergolongkan
4. KLASIFIKASI SIMTOMATOLOGIS
Kraeplin berpendapat bahwa ada tiga kategori fungsi psikis manusia yaitu:
S = Stimmung/Afeksi/Emosi
D = Denken/Kognisi/Pikiran
H = Handlung/Konasi/Tindakan
Jika ketiga hal tersebut semakin terintegrasi dengan baik, maka kondisi kejiwaan
seseorang semakin baik atau semakin sehat mental.
Salah satu dari sistem klasifikasi gangguan mental yang menggunakan metode
ini yaitu The Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) yang
dipakai di kalangan psikolog dan psikiater.
Dikarenakan DSM tidak menganut suatu teori abnormal tertentu, akibatnya DSM
tidak bisa digunakan sebagai rujukan teoritik untuk menjelaskan penyebab suatu
gangguan. Selain itu DSM juga bisa digunakan oleh praktisi dari berbagai
pendekatan. Di DSM I dan II, masih terdapat istilah neurosis (mengacu pada teori
psikodinamika), namun sejak DSM III (1980), dihilangkan dan kemudian diganti
Gangguan Kecemasan dan Gangguan Mood.
Ciri-ciri DSM:
Klinisi mendiagnosis dengan cara mencocokkan perilaku klien dengan kriteria yang
menggambarkan pola perilaku abnormal tertentu.
Kriteria diagnostik dideskripsikan melalui ciri-ciri esensial (kriteria yang harus ada
supaya diagnosis dapat ditegakkan) dan ciri-ciri asosiatif (kriteria yang sering
diasosiakan dengan gangguan tapi tidak esensial dalam penegakkan diagnostik)
• Sistem multiaksial
Bertujuan untuk menyediakan jangkauan informasi yang luas tentang individu, tidak
hanya satu diagnosis saja.
Aksis-aksisnya yaitu:
1. Aksis I
2. Aksis II
3. Aksis III
4. Aksis IV
• Kategori Problem:
5. Aksis V
2. Siapa yang membagi gangguan menjadi gangguan intelektual dan gangguan afeksi?
4. Apakah contoh gangguan yang berhubungan dengan fungsi sensoris, menurut Tuke?
8. Bagaimana seseorang disebut sehat mental atau memiliki kondisi kejiwaan yang baik
menurut Kraeplin?
10. Mengapa DSM tidak bisa digunakan sebagai rujukan teoritik untuk menjelaskan
penyebab suatu gangguan?
11. Apa yang harus diisi di Axis I saat menegakkan diagnostic sebuah gangguan?
JAWAB
1. Klasifikasi psikologis
2. Bucknill dan Tuke
3. Perubahan anatomis, gangguan gizi, dan intoksikasi atau keracunan
4. Halusinasi
5. Delusi dan halusinasi
6. Klasifikasi etiologis
7. KIasifikasi fisiologis
8. Seseorang dikatakan sehat mental jika memenuhi kategori SDH (S=
Stimmung/afeksi/emosi; D= Denken/kognisi/pikiran; H= Handlung/konasi/tindakan
9
9. Menggunakan kriteria diagnostik yang spesifik, pola perilaku abnormal yang memiliki ciri-
ciri klinis yang sama dikelompokan menjadi satu, dan sistem multiaksial
10. Karena DSM tidak menganut suatu teori abnormal tertentu
11. Gangguan klinis dan kondisi lainnya yang mungking merupakan fokus perhatian klinis
12. Aksis IV
13. GAF : Merupakan assesment menyeluruh klinisi tentang fungsi psikis, soial dan
pekerjaan lain. Menggunakan skala 1-100. Semakin tinggi nilainya semakin baik fungsi klien.
14. Gangguan kepribadian dan retardasi mental
15. Memiliki gejala serius atau hendaya serius dalam fungsi sosial pekerjaan atau sekolah
“SubjectiveWell-Being”
Bagi Freud, laporan diri yang menjadi "sangat bahagia" bisa jadi adalah
hasil dari mekanisme pertahanan yang dirancang untuk melindungi keadaan
sadar seseorang dari impuls yang tidak dapat diterima. Jika Freud benar, laporan
diri dari kebahagiaan akan berbeda-beda dari ketetapan jaminan (laporan yang
diberikan oleh orang lain yang tahu orang itu dengan baik, dengan kata lain
“penilaian subjektif”). Namun, penelitian telah menemukan bahwa laporan diri
dan laporan dari orang lain yang mengenal baik orang itu, sering menunjukkan
kesepakatan yang wajar. (Sandvik, Diener, &Seidlitz, 1993; Diener, 1994)
Kedua, jika dua orang yang berbeda, keduanya memberikan angka 8 pada
tes kebahagiaan, maka mereka memiliki tingkat kebahagiaan juga yang sama.
Misalnya, jika seorang jutawan di Riviera Perancis dan seorang lain adalah sopir
taksi di New York, memberikan angka 8 pada tes kebahagiaan, maka mereka sama-
sama bahagia.
Bottoem up theories
hidup. Faktanya, banyak orang yang memiliki harga diri rendah tetapi
mereka memiliki kepuasan hidup. Studi juga menemukan jika hal ini
berhubungan dengan berkurangnya kejahatan, kontrol kemarahan yang
lebih baik, keintiman yang lebih baik, kepuasan dalam hubungan,
kemampuan untuk peduli pada orang lain dan meningkatnya kapasitas dan
produktivitas dalam pekerjaan.
Hubungan kuat antara harga diri dan kebahagiaan tidak ditemukan secara
konsisten di beberapa negara, seperti China, dimana autonomy dan self-
assertion berperan dibalik kekompakan keluarga dan lingkungan
sosial. Dalam hal ini harga diri menjadi peramal yang kurang penting dalam
kesejahteraan hidup.
Harga diri yang terlalu tinggi meliputi evaluasi diri yang positif tetapi ini
pun terbilang rapuh. Kerapuhan berasal dari evaluasi diri positif yang
didasarkan pada penilaian diri yang realistis atau rentan celaan terhadap
diri.
Pada masa lalu, prediktor khusus biasanya diukur sebagai locus of control
dalam kesejahteraan subjektif. Dalam penelitian-penelitian, locus of control
secara umum diukur sebagai sebuah keterkaitan dari internal ke eksternal.
Seseorang dengan internal locus of control yang kuat cenderung untuk
bersikap outcome untuk berusaha mengarahkan dirinya sendiri daripada
dengan faktor eksternal atau perubahan. Selama empat puluh tahun
terakhir, telah ada sejumlah penelitian besar tentang locus of control dalam
psikologi. Pada umumnya, orang yang memiliki internal locus of control
biasanya akan mendapatkan hasil positif.
15
- Extroversion
- Optimism
16
Seperti kontrol pribadi, konsep dari optimisme sudah dilihat pada angka
yang luar biasa (Peterson, 2000). Hal ini dapat dilihat sebagai dispositional
optimism, atau dugaan global dari sesuatu yang akan berjalan baik dalam
masa depan ( Scheir&Carver, 1987, 1992). Akhirnya, optimisme akan
terlihat seperti explanatory style atau sebuah jalan yang seseorang di
dalamnya dapat menjelaskan penyebab kejadian mereka sendiri. Lisa
Aspinwall (lihat Aspinwall&Brunhart, 2000) meyakini ini tidak seperti hal yang
sebenarnya dan optimisme mungkin akan menjadi fakta yang sebenarya.
Sandra Schneider (2001) membuat keadaan dimana sebagai jalan alternatif,
dapat disebut dengan realistic optimisme. Sesuai dengan Scheneider,
realitas optimisme adalah optimistik pemikiran yang tidak menyimpang dari
realitas.
Karena optimistik adalah kepercayaan, ini bisa saja menjadi salah satu
kepercayaan yang salah. Contohnya, banyak orang yang percaya resiko
yang mereka miliki dari perkembangan kanker, penyakit hati atau perceraian
adalah lebih banyak dikarenakan oleh resiko yang menurun dari beberapa
peristiwa mereka. (Weinstein, 1980). Ini adalah tipe dari unrealistic optimism
yang membuat kesalahan perasaan dari keamanan dan bias resiko persepsi
seseorang yang mengakibatkan hal yang fatal.
- Intimasi emosional
- Kontak Sosial
Memiliki a sense of meaning and purpose dalam hidup juga adalah hal
yang penting sebagai predictor paling tinggi dari subjectivewell-being. Dalam
subjectivewell-being, variabel ini akan lebih sering mengukur religiositas
(lihat Myers, 1992, 2000). Misalnya, studi tentang penelitian ketika
seseorang yang aktif menggunakan pengejaran varietas akhir yang penuh
18
arti bagi mereka, well-being akan meningkat (Oishi, Diener, Suh& Lucas,
1999).