Anda di halaman 1dari 19

Mata Kuliah  

: Psikologi Klinis

Materi : KLASIFIKASI GANGGUAN MENTAL DAN TINGKAH LAKU ABNORMAL

KLASIFIKASI SEBELUM DSM IV

Henderson dan Gillespie (1956) membagi beberapa jenis klasifikasi gangguan jiwa,
antara lain:

1. Klasifikasi psikologis

2. Klasifikasi fisiologis

3. Klasifikasi etiologis

4. Klasifikasi simtomatologis

1. KLASIFIKASI PSIKOLOGIS

Merupakan klasifikasi gangguan yang menitikberatkan pada gangguan fungsi-


fungsi psikologis, antara lain:

Gangguan-gangguan dalam ide, imajinasi dan emosi (Linneaus)

Gangguan “ideal” dan gangguan ‘notional” atau dalam fungsi persepsi dan imajinasi
serta gangguan dalam bidang konseptual/pemikiran (Arnold)

Gangguan dalam pengertian, gangguan dalam kehendak dan gangguan campuran


(Heinroth)

Gangguan intelektual dan gangguan afeksi (emosi) yang selanjutnya dibagi menjadi
gangguan afektif moral dan gangguan afektif animal (Bucknill & Tuke)

Gangguan tanpa efek atau kerusakan intelektual dan gangguan dengan efek
intelektual, baik dari lahir maupun yang diperoleh kemudian (Ziehen)

2. KLASIFIKASI FISIOLOGIS

Asumsinya, proses-proses mental memiliki dasar faal/fisiologis. Beberapa


pendapat ahli antara lain:

Gangguan fungsi sensorik (misalnya halusinasi), fungsi motorik (contohnya


kelumpuhan / paralysis) dan ide (contohnya demensia) (Tuke)

Penyebab tingkah laku abnormal ada tiga yaitu: Perubahan anatomis, gangguan gizi,
intoksikasi/keracunan. Gangguan gizi dapat mengakibatkan rangsangan atau
2

gangguan di otak yang bisa menyebabkan gangguan, misalnya di bagian kortikal


bisa mengakibatkan mania dan delusi. Di bagian subkortikal bisa mengakibatan
delusi dan halusinasi, di bagian subkortikal vascular bisa mengakibatkan gangguan
epilepsi (Maynart)

Tiap isi kesadaran tergantung pada seperangkat elemen saraf tertentu. Seseorang
yang mengalami gangguan jiwa mungkin mengalami interupsi/hambatan atau ia
terlalu peka pada rangkaian asesoris psikosensori, intrapsikis atau psikomotor.
Gangguan ini berturut-turut diberi nama sebagai berikut:

- Di bidang psikosensoris, ada gangguan-gangguan anesthesia (tidak ada


rasa), hyeraesthesia (rasa berlebihan) dan parasthesia (rasa yang tidak
tepat).

- Di bidang intrapsikis, ada gangguan afunction (tidak berfungsi),


hyperfunction (fungsi berlebihan) dan parafunction (salah fungsi).

- Di bidang psikomotor, ada gangguan akinesis (tak ada gerakan),


hyperkinesis (gerakan berlebihan) dan parakinesis (gerakan salah)

3. KLASIFIKASI ETIOLOGIS

Klasifikasi ini didasarkan pada penyebab-penyebab yang memunculkan sebuah


gangguan. Ada pendapat yang menjelaskan bahwa penyakit fisik bisa
berpengaruh terhadap kondisi psikis sampai bisa menyebabkan gangguan jiwa.
Misalnya seseorang yang menderita sakit demam tinggi , hingga otaknya
terganggu, setelah sembuh bisa menunjukan gejala kelainan perilaku atau sifat.
Contoh lain, adalah seorang wanita saat menstruasi bisa mengalami perubahan
mood,ke arah depresif.

Contoh klasifikasinya:

a. Oligophrenia

b. Neurosis dan Psikoneurosis

c. Konstitusi Psikopatik

d. Psikosis Afektif

e. Keadaan Kacau (Confusional States)

f. Psikosis Epileptik

g. Kelumpuhan Umum
3

h. Psikosis lain yang berkaitan dengan penyakit otak

i. Dementia

j. Tak tergolongkan

4. KLASIFIKASI SIMTOMATOLOGIS

Klasifikasi gangguan ini didasarkan pada gejala-gejala yang muncul. Metode


klasifikasi seperti ini merupakan metode yang paling penting dalam psikiatri.
Metode ini mencakup etiologi dan menekankan observasi (pada simtom yang
muncul). Ada asumsi bahwa gejala-gejala atau symptom complex yang sifatnya
sementara disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya yang sesuai dengan
innate disposition (Kahlbaum & Bleuler).

Kraeplin berpendapat bahwa ada tiga kategori fungsi psikis manusia yaitu:

S = Stimmung/Afeksi/Emosi

D = Denken/Kognisi/Pikiran

H = Handlung/Konasi/Tindakan

Jika ketiga hal tersebut semakin terintegrasi dengan baik, maka kondisi kejiwaan
seseorang semakin baik atau semakin sehat mental.

Salah satu dari sistem klasifikasi gangguan mental yang menggunakan metode
ini yaitu The Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) yang
dipakai di kalangan psikolog dan psikiater.

THE DIAGNOSTIC AND STATISTICAL MANUAL OF MENTAL DISORDER (DSM)

Di psikologi dan psikiatri menggunakan satu sistem klasifikasi gangguan mental


yang disebut The Diagnostic and Statiitical Manual of Mental Disorder (DSM). DSM
pertama kali dikenalkan pada tahun 1952 oleh APA (American Psychiatric
Association). Saat ini, psikolog dan psikiater di Indonesia menggunakan DSM-IV TR
(Text Revision) (2000) sebagai pedoman menegakkan diagnosis sebuah gangguan.
Walaupun DSM 5 sudah dipublikasikan pada tahun 2013, tapi hingga saat ini belum
digunakan di Indonesia.

DSM menggolongkan pola perilaku abnormal ke dalam sebuah Gangguan Mental


yang mencakup: distres emosional dan hendaya/impairment yang signifikan pada
fungsi psikis di tempat kerja, keluarga atau masyarakat. Gangguan mental di DSM
digolongkan berdasarkan ciri-ciri klinis dan pola perilaku tertentu, bukan atas
mekanisme teoritis yang mendasarinya.
4

Dikarenakan DSM tidak menganut suatu teori abnormal tertentu, akibatnya DSM
tidak bisa digunakan sebagai rujukan teoritik untuk menjelaskan penyebab suatu
gangguan. Selain itu DSM juga bisa digunakan oleh praktisi dari berbagai
pendekatan. Di DSM I dan II, masih terdapat istilah neurosis (mengacu pada teori
psikodinamika), namun sejak DSM III (1980), dihilangkan dan kemudian diganti
Gangguan Kecemasan dan Gangguan Mood.

Ciri-ciri DSM:

• Menggunakan kriteria diagnostik yang spesifik

Klinisi mendiagnosis dengan cara mencocokkan perilaku klien dengan kriteria yang
menggambarkan pola perilaku abnormal tertentu.

Kriteria diagnostik dideskripsikan melalui ciri-ciri esensial (kriteria yang harus ada
supaya diagnosis dapat ditegakkan) dan ciri-ciri asosiatif (kriteria yang sering
diasosiakan dengan gangguan tapi tidak esensial dalam penegakkan diagnostik)

• Pola perilaku abnormal yang mempunyai ciri-ciri klinis yang sama


dikelompokkan menjadi satu

Tidak berdasarkan spekulasi teoritis tentang penyebabnya

Pola perilaku yang ditandai dengan kecemasan digolongkan sebagai gangguan


kecemasan, dsb

• Sistem multiaksial

Bertujuan untuk menyediakan jangkauan informasi yang luas tentang individu, tidak
hanya satu diagnosis saja.

Aksis-aksisnya yaitu:

1. Aksis I

• Gangguan Klinis : pola perilaku abnormal yang menyebabkan hendaya


fungsi dan perasaan tertekan pada individu. Misal: skizofrenia,
gangguan kecemasan, gangguan mood, dsb

• Kondisi lainnya yang mungkin merupakan fokus perhatian klinis:


permasalahan lain yang menjadi fokus penanganan atau diagnostik
tapi bukan merupakan gangguan mental, spt: problem akademik,
pekerjaan/sosial dan faktor psikis yang mempengaruhi kondisi medis
(misal kesembuhan pasca operasi karena depresi)
5

2. Aksis II

• Gangguan Kepribadian: melibatkan kekakuan yang berlebihan, terus


menerus dan maladaptif dalam hal berhubungan dengan orang lain
dan penyesuaian thd permintaan eksternal. Misal: skizoid, paranoid,
skizotipal, antisosial, dsb.

• Retardasi Mental: melibatkan suatu perlambatan atau hendaya di dalam


perkembangan kemampuan intelektual dan adaptif

3. Aksis III

• Kondisi-kondisi Medis Umum: penyakit-penyakit akut dan kronis dan


kondisi-kondisi medis yang penting untuk pemahaman atau
penanganan gangguan psi’s atau yang berperan langsung sebagai
penyebab gangguan psikis.

4. Aksis IV

• Problem Psikososial dan Lingkungan: permasalahan dalam lingkungan


sosial atau fisik yang mempengaruhi diagnosis, penanganan dan
terjadinya gangguan psikis

• Kategori Problem:

Permasalahan dengan kelompok pendukung utama: kematian atau


kehilangan anggota keluarga, problem kesehatan anggota
keluarga, gangguan perkawinan dlm bentuk perpisahan, perceraian
atau kerenggangan, KDRT, sibling rivalry, dsb

Problem yang berkaitan dengan lingkungan sosial: kematian atau


kehilangan teman, hidup sendiri, masalah akulturasi di lingkungan
baru, diskrimanasi, transisi dalam siklus perkembangan misal:
pensiun

Problem pendidikan: buta huruf, kesulitan akademik, problem


dengan guru atau teman sekolah serta dengan lingkungan sekolah

Problem pekerjaan: beban kerja yang berlebihan, problem dengan


bos dan rekan kerja, perubahan pekerjaan, tidak puas dengan
pekerjaan, PHK, pengangguran

Problem perumahan: tunawisma, rumah tidak layak huni, lingkungan


tidak aman, masalah dengan tetangga,penggusuran
6

Problem ekonomi: kesulitan keuangan, kemiskinan ekstrem,


dukungan kesejahteraan yang tidak memadai

Permasalahan dengan akses terhadap pelayanan kesehatan: jasa


pelayanan kesehatan yang tidak memadai, tidak dilayani
semestinya di RS/puskesmas, kesulitan transportasi ke
RS/puskesmas, tidak ada asuransi kesehatan

Problem yang berkaitan dengan interaksi sistem


legal/kejahatan: penangkapan atau hukuman penjara, menjadi
tersangka dalam pengadilan, menjadi korban kejahatan,
dimasukkan panti rehabilitasi.

Problem psikososial dan lingkungan lainnya: bencana alam atau


bencana buatan manusia (bom, kebakaran, kompor meledak, dsb),
peperangan, pertikaian dua kelompok, masalah dengan petugas
pelayanan kesejahteraan, misalnya konselor, psi’g, peksos, dokter,
tidak tersedia lembaga pelayanan sosial di lingkungannya.

5. Aksis V

• Global Assessment of Functioning (GAF)

• Merupakan asesmen menyeluruh klinisi tentang fungsi psikis, sosial dan


pekerjaan klien. Menggunakan skala 1-100. Semakin tinggi nilainya,
semakin baik fungsi klien.

Tabel Penilaian Skala GAF

Kode Tingkat Keparahan Simtom Contoh


91-100 Berfungsi superior dalam berbagai Tidak ada gejala,
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari menangani problem
dengan baik
81-90 Gejala minimal atau tdk adanya Sedikit cemas saat
simtom, tdk lbh drpd problem harian ujian, beda pendapat
yang biasa dalam diskusi
71-80 Reaksi yg dpt diramalkan & bersifat Kesulitan bkomunikasi
smntr thd peristiwa yg mrpk stres stlh argumentasi dng
atau hendaya ringan dlm berfungsi keluarga, untuk smnt
terpuruk dlm tgs
akademik
61-70 Bbrp gejala ringan atau sedikit Rasa murung,insomnia
kesulitan(hendaya ringan)dlm fungsi rungan, kadang bolos
sos, pekerjaan atau sklh, ttp scr sekolah
7

umum masih baik


51-60 Gejala sedang,atau kesulitan sedang Kadang2 ada serangan
dlm fungsi sos,pekerjaan atau panik, memp sedikit
sekolah teman,konflik
41-50 Gejala serius atau hendaya serius Pikiran bunuh
dlm fungsi sosial pekerjaan atau diri,sering mengutil,tdk
sekolah punya teman, ganti-
ganti pekerjaan
31-40 Bbrp hendaya dlm uji realitas atau Bicara tdk logis,depresi
komunikasi atau hendaya berat shg tdk mampu
di bbrp bidang kerja,melalaikan
keluarga dan mhindari
teman
21-30 Pengaruh kuat pd perilaku delusi Perilaku yg sgt tdk
atau halusinasi,atau hendaya berat layak,bicaranya kadang
dlm komunikasi atau daya nilai,atau inkoheren,di tempat
ketidak mampuan untuk bfungsi tidur sepanjang hari,tdk
hampir di semua bidang ada pekerjaan,rumah
atau teman
11-20 Bahaya mencederai diri sendiri atau Tindakan ingin bunuh
orang lain,atau kadang2 gagal diri,seringkali
mengurus diri,atau hendaya berat melakukan tindak
dalam komunikasi kekerasan
1-10 Bahaya yg terus menerus untuk Sangat inkoheren atau
mencederai diri sendiri atau orang membisu, usaha bunuh
lain,atau ketidakmampuan yg terus diri yang serius,
menerus untuk mengurus diri secara kekerasan yang
minimal,atau tindakan bunuh diri berulang
yang serius

Contoh Diagnosis dengan Sistem Multiaksial


Aksis I : Gangg.Kecemasan Menyeluruh

Aksis II : Gangg.Kepribadian Dependen

Aksis III : Hipertensi

Aksis IV  : Problem dengan kelompok pendukung utam (perceraian), problem


pekerjaan (pengangguran)

Aksis V : GAF = 51-60


8

1. Gangguan dalam pengertian, gangguan dalam kehendak, gangguan ide, gangguan


imajinasi merupakan contoh gangguan dalam klasifikasi apa?

2. Siapa yang membagi gangguan menjadi gangguan intelektual dan gangguan afeksi?

3. Sebutkan penyebab tingkah laku abnormal menurut Maynart!

4. Apakah contoh gangguan yang berhubungan dengan fungsi sensoris, menurut Tuke?

5. Gangguan pada bagian subkortikal bisa mengakibatkan gejala gangguan apa?

6. Gangguan-gangguan didasarkan pada penyebab terjadinya. Hal itu merupakan


prinsip dalam klasifikasi apa?

7. DSM IV menggunakan klasifikasi gangguan yang mana?

8. Bagaimana seseorang disebut sehat mental atau memiliki kondisi kejiwaan yang baik
menurut Kraeplin?

9. Sebut dan Jelaskan tentang ciri-ciri DSM!

10.  Mengapa DSM tidak bisa digunakan sebagai rujukan teoritik untuk menjelaskan
penyebab suatu gangguan?

11. Apa yang harus diisi di Axis I saat menegakkan diagnostic sebuah gangguan?

12. Jika ada seseorang yang mengalami perceraian dan perceraiannya mengakibatkan


munculnya gangguan, maka dalam pendekatan multiaxial, dicantumkan di axis
berapa?

13. Apa yang dimaksud dengan GAF?

14. Axis II dalam pendekatan multiaxial berisi gangguan apa?

15. Jika seseorang diberi nilai GAF sebesar 41-50, apa artinya?

JAWAB

1. Klasifikasi psikologis
2. Bucknill dan Tuke
3. Perubahan anatomis, gangguan gizi, dan intoksikasi atau keracunan
4. Halusinasi
5. Delusi dan halusinasi
6. Klasifikasi etiologis
7. KIasifikasi fisiologis
8. Seseorang dikatakan sehat mental jika memenuhi kategori SDH (S=
Stimmung/afeksi/emosi; D= Denken/kognisi/pikiran; H= Handlung/konasi/tindakan
9

9. Menggunakan kriteria diagnostik yang spesifik, pola perilaku abnormal yang memiliki ciri-
ciri klinis yang sama dikelompokan menjadi satu, dan sistem multiaksial
10. Karena DSM tidak menganut suatu teori abnormal tertentu
11. Gangguan klinis dan kondisi lainnya yang mungking merupakan fokus perhatian klinis
12. Aksis IV
13. GAF : Merupakan assesment menyeluruh klinisi tentang fungsi psikis, soial dan
pekerjaan lain. Menggunakan skala 1-100. Semakin tinggi nilainya semakin baik fungsi klien.
14. Gangguan kepribadian dan retardasi mental
15. Memiliki gejala serius atau hendaya serius dalam fungsi sosial pekerjaan atau sekolah

“SubjectiveWell-Being”

Studi kontemporer yang menyelidiki tentang penyebab, prediksi dan


konsekuensi dari kebahagiaan dan kepuasaan hidup menunjuk kepada sebuah studi
mengenai kesejahteraan hidup. Penelitian dalam psikologi menunjukkan indeks
kesejahteraan dalam 2 faktor besar, yaitu happiness (kebahagian) dan satisfaction
at Life (kepuasan dalam hidup). Ketika peneliti bertanya mengenai kebahagiaan
mereka, peneliti bertanya mengenai bagian emosional mereka dan bagaimana
perasaan mengenai dunia mereka dan dirinya sendiri. Lalu pertanyaan tentang
kepuasan orang dengan hidupnya, mereka cenderung memberikan persepsi umum
10

mengenai penerimaan atas kehidupan mereka. Jawaban-jawaban ini dihasilkan dari


proses kognitif mereka sendiri. Orang mempertimbangkan penghasilan yang
sebenarnya dan membuat penilaian apakah mereka puas dengan hasilnya dan
membandingkannya. Kadang, faktor rendahnya neurotik juga mempengaruhi
kesejahteraan ini.

A. The measurement of SubjectiveWell-being

Dalam mengukur kesejahteraan, yang terpenting adalah bagaimana bisa


mengukur kebahagiaan. Banyak peneliti yang belum mendefinisikan dan masih
mempertimbangkan mengenai cara mendefinisikan kebahagiaan, kesejahteraan.
Tapi saat ini, peneliti mulai meneliti tentang hal ini bahwa penilaian yang benar
dari bagaimana orang yang bahagia itu akan merasa hidup dalam kulit seorang.
(Myers&Diener, 1995, p.11).

Peneliti beralasan bahwa karena evaluasi dari kebahagiaan itu adalah


fenomena yang subjektif, mereka harus mengukurnya dengan laporan yang
subjektif juga. Selanjutnya peneliti akan bertanya, “apakah kamu senang?” atau
“seberapa senang kamu?” lalu menggunakan respon-respon atas jawaban ini
sebagai data valid dalam studi mereka.

Bagi Freud, laporan diri yang menjadi "sangat bahagia" bisa jadi adalah
hasil dari mekanisme pertahanan yang dirancang untuk melindungi keadaan
sadar seseorang dari impuls yang tidak dapat diterima. Jika Freud benar, laporan
diri dari kebahagiaan akan berbeda-beda dari ketetapan jaminan (laporan yang
diberikan oleh orang lain yang tahu orang itu dengan baik, dengan kata lain
“penilaian subjektif”). Namun, penelitian telah menemukan bahwa laporan diri
dan laporan dari orang lain yang mengenal baik orang itu, sering menunjukkan
kesepakatan yang wajar. (Sandvik, Diener, &Seidlitz, 1993; Diener, 1994)

Studi mengenai subjective well-being menemukan bahwa orang yang


melaporkan level yang tinggi dari kebahagiaan dan kepuasan dalam hidupnya
cenderung berperilaku seperti mereka benar-benar orang yang bahagia dan
puas.
11

- Self Report Measures of Subjective Well-Being

Skala pengukuran yang sebenarnya mungkin berasal dari persepsi diri


mengenai kebahagiaan itu sendiri (Fordyce, 1988). Dan skala ini juga mungkin akan
meminta orang untuk membandingkan diri mereka dengan teman sebayanya
(Lyubomirsky&Lepper, 1999). Skala dapat memberikan serangkaian wajah kartun
yang berbeda dari senyum lebar sampai mengerutkan dahi (tanda tidak senang) dan
meminta orang untuk memilih mana yang mengungkapkan perasaan mereka
tentang kehidupan mereka sendiri (Andrews &Withey, 1976).

Sedangkan pertanyaan yang lain, didasarkan pada 2 asumsi tentang jawaban


atas pertanyaan. Pertama, asumsi bahwa jumlah kebahagiaan atau kepuasaan yang
dialami seseorang itu dapat dituliskan dalam skala angka. Jika seorang memberikan
angka 6 pada tes kebahagiaan ini sebelum menikah dan angka 8 pada tes yang
sama setelah menikah, maka dibenarkan bahwa kebahagiaan seseorang meningkat
setelah menikah.

Kedua, jika dua orang yang berbeda, keduanya memberikan angka 8 pada
tes kebahagiaan, maka mereka memiliki tingkat kebahagiaan juga yang sama.
Misalnya, jika seorang jutawan di Riviera Perancis dan seorang lain adalah sopir
taksi di New York, memberikan angka 8 pada tes kebahagiaan, maka mereka sama-
sama bahagia.

Pada penelitian studi tertentu, ini cenderung mendukung penggunaan asumsi


kedua. Bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup bisa terjadi di sepanjang hidup dan
berkelanjutan dan bahwa nilai setara mencerminkan perkiraan tingkat setara
kebahagiaan dan kepuasan dengan kehidupan (Diener, 1984).

- The stability of SubjectiveWell-being

Selain cara mengukur kesejahteraan itu sendiri dengan menggunakan


laporan diri, ada juga pertanyaan lain mengenai apakah pengukuran kesejahteraan
dengan menggunakan laporan diri itu cukup stabil untuk mewakili fungsi psikologi
atau hanya respons sementara dari perubahan mood. Jika pada pengambilan hasil
tes ini, hasilnya selalu berubah-ubah, maka bisa jadi hasil tersebut tidak
12

memungkinkan untuk membuat prediksi tentang penyebab kebahagiaan.


Untungnya, saat ini penelitian telah mendukung bahwa level rata-rata kebahagiaan
dan kepuasan seseorang bersifat relatif stabil. Pada kenyataannya, penelitian telah
menemukan bahwa peringkat diri atas kepuasan hidup dan kebahagiaan cukup
stabil hingga enam tahun setelah pengujian. Pada akhirnya, orang yang relatif stabil
pada laporan dirinya tentang kesejahteraan tidak terlepas dari keadaan eksternal
orang itu sendiri. Tapi, metodologi yang digunakan dalam mengambil hasil pengujian
ini masih dipertanyakan apakah benar perubahan kejadian selama hidup, mood atau
suasana hati dan faktor lainnya memiliki pengaruh yang kuat dalam bagaimana
orang mengevaluasi kesejahteraanya dari hari ke hari. Meskipun masih
dipertanyakan tentang, metode ini masih menjadi alat yang paling banyak dipakai
untuk melakukan penelitian.

- Are most people happy or unhappy?

Kebanyakan orang melaporkan tingkat kebahagiaan dan kepuasan dengan


kehidupan mereka yang lebih tinggi dari yang diharapkan. Penelitian mengenai
kesejahteraan di banyak negara-negara industri Barat menemukan bahwa
kebanyakan orang menilai/memperingkatkan kehidupan mereka sebagai "diatas
rata-rata". David Myers (2000) melaporkan dalam survey dari National Opinion
Research Center dimana ditemukan bahwa 60% dari orang Amerika
menggambarkan dirinya “cukup bahagia” dan 30% mengatakan “sangat bahagia”,
sisanya 10% berkata “tidak terlalu bahagia”.

- Top-down and bottom up theories

Bottoem up theories

Kebahagiaan dan kepuasan tergantung pada jumlah kesenangan yang lebih


kecil dan momen bahagia (Diener, 1984). Dalam perspektif ini, dikenal sebagai teori
bottom-up. Kesejahteraan adalah penjumlahan dari pengalaman positif dalam
kehidupan seseorang. Ini mengasumsikan bahwa orang menciptakan diri mereka
peringkat dari kesejahteraan subjektif dengan menjumlahkan berbagai keadaan
eksternal dan membuat penilaian. Semakin sering seseorang mendapatkan moment
yang bahagia, semakin senang kehidupannya. Kebahagiaannya termasuk
13

kebahagiaan pernikahan, kepuasan dalam pekerjaan dan jumlah penghasilan yang


ia dapatkan.

Top down theories

Dalam perspektif lain, kesejahteraan subjektif lebih terkait dengan


kecenderungan umum untuk mengevaluasi dan menafsirkan pengalaman dalam
cara yang positif. Dari perspektif ini, seseorang membawa kecenderungan ke arah
positif dengan situasi yang dia temui dalam hidup. Ini pendekatan kesejahteraan
subjektif dikenal sebagai teori top-down. Pendekatan ini sering diukur dengan
melihat ciri-ciri kepribadian, sikap, atau cara seseorang menafsirkan pengalaman
dalam hidup.

Jika perspektif bottom-up benar, maka upaya untuk meningkatkan kesejahteraan


harus fokus pada pengisian daya lingkungan dan situasi bahwa pengalaman yang
lebih baik, pekerjaan yang baik, lingkungan yang lebih aman, dan lebih banyak
pendapatan menjadi fokus utama. Jika top-down benar, maka upaya untuk
meningkatkan kebahagiaan harus fokus pada pengisian daya persepsi seseorang,
beliefe, atau ciri kepribadian.

Dalam mendukung teori bottom-up, sebagian besar studi lintas-nasional telah


menemukan bahwa orang yang tinggal di negara-negara lebih miskin melaporkan
tingkat yang lebih rendah dari kesejahteraan subjektif (Diener&Biswas-Diener,
2002). Teori top-down didukung oleh studi yang telah menemukan bahwa ciri
kepribadian tertentu, sikap, dan self-persepsi sangat berkorelasi dengan
kesejahteraan subjektif yang dilaporkan sendiri (lihat DeNeve&Cooper, 1998;
Diener& Lucas, 1999)

B. Predictors of Subjective Well-being

- Positif Self esteem

Seperti yang diharapkan, kebahagiaan dan kepuasan hidup dapat


menghasilkan harga diri yang positif. Campbell (1981) menemukan bahwa
harga diri merupakan prediktor yang paling penting dalam kesejahteraan
14

hidup. Faktanya, banyak orang yang memiliki harga diri rendah tetapi
mereka memiliki kepuasan hidup. Studi juga menemukan jika hal ini
berhubungan dengan berkurangnya kejahatan, kontrol kemarahan yang
lebih baik, keintiman yang lebih baik, kepuasan dalam hubungan,
kemampuan untuk peduli pada orang lain dan meningkatnya kapasitas dan
produktivitas dalam pekerjaan.

Hubungan kuat antara harga diri dan kebahagiaan tidak ditemukan secara
konsisten di beberapa negara, seperti China, dimana autonomy dan self-
assertion berperan dibalik kekompakan keluarga dan lingkungan
sosial. Dalam hal ini harga diri menjadi peramal yang kurang penting dalam
kesejahteraan hidup.

Harga diri yang terlalu tinggi meliputi evaluasi diri yang positif tetapi ini
pun terbilang rapuh. Kerapuhan berasal dari evaluasi diri positif yang
didasarkan pada penilaian diri yang realistis atau rentan celaan terhadap
diri.

- Sence of perceived control

Memiliki kontrol hidup itu adalah sesuatu yang penting.Tanpa kontrol


hidup, orang-orang merasa memiliki kehidupan seperti angin puyuh,
kehidupan yang berantakan.

Pada masa lalu, prediktor khusus biasanya diukur sebagai locus of control
dalam kesejahteraan subjektif. Dalam penelitian-penelitian, locus of control
secara umum diukur sebagai sebuah keterkaitan dari internal ke eksternal.
Seseorang dengan internal locus of control yang kuat cenderung untuk
bersikap outcome untuk berusaha mengarahkan dirinya sendiri daripada
dengan faktor eksternal atau perubahan. Selama empat puluh tahun
terakhir, telah ada sejumlah penelitian besar tentang locus of control dalam
psikologi. Pada umumnya, orang yang memiliki internal locus of control
biasanya akan mendapatkan hasil positif.
15

Arti penting kontrol sebagai faktor kesejahteraan subjektif yang lebih


besar berasal dari agama. Orang yang sangat religius dapat percaya bahwa
Tuhan memiliki kendali penuh atas hidup mereka.Slogan perang dunia II
yang berbunyi “GOD is my co-pilot” adalah contoh dari kemunculan dari
locus of control eksternal. Namun, contoh ini adalah yang disebut kontrol
sekunder. Dengan kontrol sekunder, orang bisa mendapatkan rasa atau
sistem yang mereka lihat sebagai yang lebih kuat dari diri mereka sendiri.

- Extroversion

Orang yang ekstrovert memiliki ketertarikan kepada sesuatu yang


berorientasi kepada pengalaman dunia luar dari dirinya sendiri. Sedangkan
orang yang introvert tertarik lebih banyak kepada dirinya sendiri dan
perasaannya.

Ekstroversi telah ditunjukkan untuk memprediksi tingkat kebahagiaan


hingga 30 tahun dari pengujian awal. Ketika variable ini berkorelasi dengan
kesejahteraan subjektif, tidak berarti bahwa orang-orang introvert ditakdirkan
untuk depresi dan bosan.

Studi terbaru juga telah melihat bagaimana keterbukaan dapat


mempengaruhi kesejahteraan. Para peneliti percaya bahwa, orang-orang
yang lebih banyak bergaul memiliki kesempatan yang lebih baik untuk
membentuk suatu hubungan yang positif dengan oranglain dan memiliki
kesempatan yang lebih besar pula untuk mendapat hubungan timbal balik
dari orang lain.

Orang-orang ekstrovert tidak mengabiskan banyak waktu bersama orang-


orang yang introvert. Mereka dapat merasa lebih bahagia dari orang
introvert ketika mereka sedang mengabiskan waktu sendirian. Ini juga yang
memungkinkan orang-orang ekstrovert lebih mudah mendapatkan
kesejahteraan hidup karena mereka lebih banyak mengalami emosi yang
positif.

- Optimism
16

Biasanya, seseorang yang lebih optimis tentang masa depan mereka


akan lebih bahagia dan lebih puas dengan kehidupan mereka. (lihat Diener
et al, 1999). Keterangan dari diskusi yang lainnya, ini membuat perasaan
yang sempurna. Seseorang yang mengevaluasi diri sendiri dalam jalan yang
positif, meyakini bahwa dia mengontrol aspek terpenting dalam hidup, dan
sukses dalam interaksi sosial yang akan lebih mungkin melihat masa depan
dengan harapan dan pengharapan yang positif. Jadi, ini jelas untuk
menghasilkan masa depan yang positif, bukan hanya mempertinggi suasana
hati tapi juga mengizinkan untuk pertahanan kemampuan stres yang lebih
baik.

Seperti kontrol pribadi, konsep dari optimisme sudah dilihat pada angka
yang luar biasa (Peterson, 2000). Hal ini dapat dilihat sebagai dispositional
optimism, atau dugaan global dari sesuatu yang akan berjalan baik dalam
masa depan ( Scheir&Carver, 1987, 1992). Akhirnya, optimisme akan
terlihat seperti explanatory style atau sebuah jalan yang seseorang di
dalamnya dapat menjelaskan penyebab kejadian mereka sendiri. Lisa
Aspinwall (lihat Aspinwall&Brunhart, 2000) meyakini ini tidak seperti hal yang
sebenarnya dan optimisme mungkin akan menjadi fakta yang sebenarya.
Sandra Schneider (2001) membuat keadaan dimana sebagai jalan alternatif,
dapat disebut dengan realistic optimisme. Sesuai dengan Scheneider,
realitas optimisme adalah optimistik pemikiran yang tidak menyimpang dari
realitas.

Karena optimistik adalah kepercayaan, ini bisa saja menjadi salah satu
kepercayaan yang salah. Contohnya, banyak orang yang percaya resiko
yang mereka miliki dari perkembangan kanker, penyakit hati atau perceraian
adalah lebih banyak dikarenakan oleh resiko yang menurun dari beberapa
peristiwa mereka. (Weinstein, 1980). Ini adalah tipe dari unrealistic optimism
yang membuat kesalahan perasaan dari keamanan dan bias resiko persepsi
seseorang yang mengakibatkan hal yang fatal.

- Positive social relationship

Ramalan kuat yang lain dari subjective well-being adalah kehadiran


hubungan sosial yang positif (lihat Dieneretal, 1999: Myers, 2000).
17

Kebutuhan untuk interaksi sosial dapat menjadi kebutuhan manusia.


Hubungan positif antara subjective well-being yang tinggi dan kepuasan
dengan keluarga dan teman, merupakan salah satu upaya pencarian
hubungan yang universal dalam penelitian cross cultural pada well-being
(Diener, Oishi& Lucas, 2003). Banyak studi (lihat e.g., Sarason,
Sarason&Pierce, 1990) memiliki dokumentasi mengenai pengaruh yang kuat
dari hubungan positif yang terlihat dapat mendorong dalam well-being.

- Intimasi emosional

Intimasi hubungan sosial tampak pada pemberian enchancement tetap


pada subjective well-being. Contohnya, salah satu studi dari intimasi,
menemukan bahwa hubungan dengan suami/istri dan keluarga dan
persahabatan tingkat tinggi akan menguatkan kepuasan kehidupan.
(Cummins, 1996). Ed Diener dan Martin Sehgman (2002) menentukan untuk
melihat kebahagiaan 10% dari sampel siswa sekolah untuk melihat apa saja
faktor yang berbeda dari mereka ketika sedang tidak bahagia. Mereka
menghabiskan paling banyak waktu untuk bersosialisasi, setelah diberi
penilaian paling tinggi dari hubungan positif dari keduanya, yakni dari
penilaian mereka sendiri dan teman mereka.

- Kontak Sosial

Seseorang mungkin kuat selagi seseorang tersebut lebih suka untuk


menjadi dengan yang lain ketika mereka bahagia atau ketika mereka sedih.
Satu studi menyebutkan, seseorang yang situasinya lebih banyak sendiri
atau dengan yang lebih banyak dengan orang lain (lihat Middlebrook, 1980)
dan akan mencari kecondongan tersendiri, apakah seseorang akan
menemukan nya untuk menjadi dengan yang lain ketika mereka sangat
bahagia.

- A sense of Meaning and Purpose

Memiliki a sense of meaning and purpose dalam hidup juga adalah hal
yang penting sebagai predictor paling tinggi dari subjectivewell-being. Dalam
subjectivewell-being, variabel ini akan lebih sering mengukur religiositas
(lihat Myers, 1992, 2000). Misalnya, studi tentang penelitian ketika
seseorang yang aktif menggunakan pengejaran varietas akhir yang penuh
18

arti bagi mereka, well-being akan meningkat (Oishi, Diener, Suh& Lucas,
1999).

- Resolution of Inner Conflicts or Low Neuroticism

Fakta paling tinggi subjective well-being adalah asosiasi dengan beberapa


yang melemahkan psikologikal konfliks adalah jelas. Ini juga mengizinkan
bagi seseorang tentang faktor yang mungkin mengoperasikan beberapa
prang yang masih berusaha untuk menjangkau tujuan mereka dan itu
memungkinkan untuk menaikkan kebahagiaan diri mereka. Satu perhatian,
bagaimanapun adalah pencarian yang mungkin dapat dipakai hanya untuk
kultur individualis atau beberapa orang memiliki nilai autonomi dan
individualism (Suh. 1999).

C. Factors that increase subjectivewell-being


Dalam point ini, ada bukti dari hubungan positif antara subjektif
kesejahteraan dan faktor perseorangan yang terjadi. Mereka semua penting dari
semua kebaikan. Selanjutnya bukti ini dapat memperlihatkan bagaimana
beberapa penyiasat dari dalam diri mereka sendiri yang benar benar dapat
menjadi penyebab seseorang bahagia dan lebih puas dengan hidup mereka.
Khususnya kebenaran keterbukaan, hubungan yang positif, perasaan dari
sebuah pemahaman dan penyimpulan. Dan rendahnya neurotik ( Argyle, 1999,
Diener& Lucas, 1999).

- Apakah perasaan emosi itu intens atau berfrekuensi ?

Penelitian terhadap subjek kesejahteraan juga membantu untuk


mengklasifikasikan penilaian terkecil, pokok tentang emosi positif dan
kebahagiaan. Penelitian juga mencari tentang intesifitas atau emosi positif
dan negatif yang paling benar (Diener, Larsen, Levine&Emmons 1985).
Dengan kata lain, seseorang yang cenderung untuk merasakan
kebahagiaan akan sangat intens untuk dapat juga mencenderungkan
perasaan negatif yang sangat intens. Secara jelasnya, orang yang lebih
muda cenderung merasakan perasaan emosi lebih dari intens dari pada
orang yang lebih tua, tapi orang yang lebih tua sering kali melaporkan akan
menjadi lebih puas dengan kehidupan mereka (lihat Argyle). Gender
19

mungkin menjadi sebuah faktor, seperti, wanita yang melaporkan perasaan


emosinya lebih intensif dibanding pria.

- Kognisi : Adalah Gelas “Setengah Penuh atau Setengah Kosong” ?

Teori kognitif dari kesejahteraan subjektif mengatakan bahwa penyebab


dari tingginya kesejahteraan seseorang adalah penyebab bahagianya
seseorang memproses informasi tentang diri mereka sendiri, lainnya dan
lingkungan mereka. Ini tidak sepenuhnya sebagai keperluan dari keadaan
dimana kehidupan kita, dan penyebab seseorang bahagia atau tidak
bahagia. Agaknya lebih baik jika kita mengintrepretasikan beberapa kejadian
dari hidup kita yang benar benar menjadi penyebab kita untuk merasakan
lebih positif atau lebih optimis.

Anda mungkin juga menyukai