Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA :


HALUSINASI, WAHAM, PERILAKU KEKERASAN, HARGA DIRI RENDAH,
ISOLASI SOSIAL, DEFISIT PERAWATAN DIRI DAN RESIKO BUNUH DIRI DI
RUANG GELATIK RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT

DISUSUN OLEH :
AI NOVA HARTATI AK115116

YAYASAN ADHI GUNA KENCANA


STIKES BHAKTI KENCANA BANDUNG
TAHUN 2017-2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kesehatan Jiwa menurut UU No.18 Tahun 2014 adalah kondisi dimana seorang individu
dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kesehatan jiwa adalah kondisi
seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan dalam
pengendalian diri, serta terbebas dari stress yang serius (Direja, 2011).
Kesehatan jiwa adalah kemampuan individu dalam kelompok dan lingkungannya untuk
berinteraksi dengan orang lain sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan, perkembangan
yang optimal, dengan menggunakan kemampuan mentalnya (kognisi, afeksi, dan relasi)
memiliki prestasi individu serta kelompoknya konsisten dengan hukum yang berlaku (Yosep
2011).
Dalam hal ini kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan
social yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang
epektif, kondisi diri yang positif, serta kestabilan emosional (Direja 2011). Kesehatan jiwa
ini mulai berkembang pesat karena menggunakan metode pelayanan public health
service,dalam hal ini peran perawat pembantu menjadi peran aktif dalam tim kesehatan
untuk mengobati ( Faarida, 2010).
Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara
khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di
dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku,
biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi
juga dengan masyarakat (Maramis, 2010).
World Health Organization menyatakan paling tidak ada salah satu dari empat orang di
dunia mengalami masalah mental. Di Indonesia sendiri pada tahun 2014 jumlah gangguan
jiwa berat terdapat 1 juta pasien dan gangguan jiwa ringan terdapat 19 juta pasien (Riskedas,
2013). Di Jawa Barat sendiri tercatat sekitar 4.800 jiwa yang mengalami gangguan jiwa
(Rikesdas 2018).
Salah satu gangguan jiwa yang banyak diderita oleh masyarakat adalah skizofrenia.
Skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses
pikir dan disharmonis antara proses pikir, afek, dan psikomotor disertai distorsi
kenyataan.Penyebab skizofrenia antara lain dari faktor keturunan, cacat fisik, tumbuh
kembang pada masa remaja, biokimia tubuh dan stress dalam hal ini gejala yang nyata
seperti halusinasi, waham, perilaku kekerasan, hdr, isos, defisit perawatan diri dan resiko
bunuh diri. (Direja, 2011).
Keperawatan jiwa menurut Suliswati, adalah pelayanan keperawatan profesional
berdasarkan pada ilmu perilaku pada manusia dibutuhkan sepanjang siklus kehidupan,
ketika terdapat respons psikososial yang maladptif yang disebabkan oleh gaangguan bio,
psiko, sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa (komunikasi
terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa), dalam arti suatu proses
interpersonal secara komperhensif pada fungsi yang terintegrasi (Abdul Nasir 2011).
Keperawatan jiwa merupakan suatu proses dengan tujuan untuk meningkatkan dan
memelihara perilaku-perilaku yang mendukung terwujudnya suatu kesatuan yang harmonis
(Direja, 2011). Dalam peran perawat ini adalah merupakan tingkah laku yang diharapkan
oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kependudukan dalam system, dimana
dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi
keperawatan yang bersifat konstan, seperti peran perawat sebagai pemberian asuhan
keperawatna, peran sebagai advokat, peran sebagai edukator, peran sebagai koodinator,
peran sebagai kolaborator, peran sebagai konsultan, dan peran sebagai pembaharu (Hidayat,
2007).
Berdasarkan studi kasus di ruang Rajawali Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat
penderita gangguan jiwa skizofrenia pada bulan Agustus-Oktober 2019 ada ... orang.
Berdasarkan data dan permasalahan diatas dengan melihat akibat yang lebih dalam dari
meningkatnya angka kejadian penderia skizofrenia. Maka dengan ini penulis tertarik untuk
membahas teori dan asuhan keperawatan secara teori tentang skizofrenia, halusinasi,
waham, perilaku kekerasan, hdr, isos, defisit perawatan diri dan resiko bunuh diri.

1.2 RUMUSAN
1. Bagaimana Konsep Teori Dari Halusinasi?
2. Bagaimana Konsep Teori Dari Waham?
3. Bagaimana Konsep Teori Dari Perilaku Kekerasan?
4. Bagaimana Konsep Teori Dari Harga Diri Rendah?
5. Bagaimana Konsep Teori Dari Isolasi Sosial?
6. Bagaimana Konsep Teori Dari Defisit Perawatan Diri?
7. Bagaimana Konsep Teori Dari Resiko Bunuh Diri?
8. Bagaimana Konsep Teori Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Jiwa?

1.3 TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Konsep Teori Dari Halusinasi?
2. Untuk Mengetahui Konsep Teori Dari Waham?
3. Untuk Mengetahui Konsep Teori Dari Perilaku Kekerasan?
4. Untuk Mengetahui Konsep Teori Dari Harga Diri Rendah?
5. Untuk Mengetahui Konsep Teori Dari Isolasi Sosial?
6. Untuk Mengetahui Konsep Teori Dari Defisit Perawatan Diri?
7. Untuk Mengetahui Konsep Teori Dari Resiko Bunuh Diri?
8. Untuk Mengetahui Konsep Teori Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Jiwa?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Skizofrenia


2.1.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi atau
terpecah dan phrenia yang berarti pikiran. Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang
mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan,
dan perilaku yang aneh dan terganggu.(Nuraenah, 2012).
Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi
fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, mempengaruhi emosional
dan tingkah laku (Depkes RI, 2015).
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam
pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak
salaing berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru afek yang datar
atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas motorik yang bizzare (perilaku
aneh), pasien skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk
ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi. Orang-orang yang
menderita skozofrenia umunya mengalami beberapa episode akut simtom–simtom,
diantara setiap episode mereka sering mengalami simtom–simtom yang tidak terlalu
parah namun tetap sangat menggagu keberfungsian mereka. Komorbiditas dengan
penyalahguanaan zat merupakan masalah utama bagi para pasien skizofrenia, terjadi
pada sekitar 50 persennya. (Davison 2010).
Skizofrenia paranoid adalah salah satu jenis skizofrenia dimana pasien memiliki
waham (keyakinan palsu) bahwa ada seseorang atau sekelompok individu berupaya
menyerang mereka atau anggota keluarga mereka (Nordqvist, 2010).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia
merupakan penyakit otak yang persisten dan juga serius yang bisa mengakibatkan
perilaku psikotik, kesulitan dalam memproses informasi yang masuk, kesulitan dalam
hubungan interpersonal, kesulitan dalam memecahkan suatu masalah.
2.1.2 Jenis-Jenis
Maramis (2009) membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis adalah sebagai
berikut:
a. Skizofrenia paranoid
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah mulai 30 tahun.Permulaanya mungkin
subakut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering
dapat digolongkan schizoid. Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak
congkak dan kurang percaya pada orang lain.
b. Skizofrenia hebefrenik
Permulaanya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja
atau antara 15 – 25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses berpikir,
gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan
psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering
terdapat pada skizofrenia heberfrenik, waham dan halusinasinya banyak sekali.
c. Skizofrenia katatonik
Timbulnya pertama kali antara usia 15 sampai 30 tahun, dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau
stupor katatonik.
Gejala yang penting adalah gejala psikomotor seperti:
a) Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup, muka tanpa mimik, seperti
topeng, stupor penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang sangat
lama, beberapa hari, bahkan kadang-kadang beberapa bulan.
b) Bila diganti posisinya penderita menentang.
c) Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di dalam mulut dan
meleleh keluar, air seni dan feses ditahan.
d) Terdapat grimas dan katalepsi.
d. Skizofrenia simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas.Gejala utama pada jenis simplex
adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir
biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali ditemukan.
e. Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu
episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang kea rah gejala negative
yang lebih menonjol. Gejala negative terdiri dari kelambatan psikomotor,
penurunan aktivitas, penumpukan afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan
pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan
fungsi sosial.
2.1.3 Etiologi
Etiologi adalah semua faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan suatu
gangguan atau penyakit. Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang
penyebabnya multipel yang saling berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat
disebut :
1. Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur.
Angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara kandung 7- 15%, anak
dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang
tua menderita skizofrenia 40-60%, kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-
68% (Maramis, 2009). Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui
genetik yang resesif (Lumbantobing, 2007).
2. Gangguan anatomic
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu : Lobus temporal,
sistem limbik dan reticular activating system. Ventrikel penderita skf lebih besar
daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau 9 berkurangnya
neuron dilobus temporal. Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme
glukosa di lobus frontal. Pada pemeriksaan post mortem didapatkan banyak
reseptor D2 diganglia basal dan sistem limbik, yang dapat mengakibatkan
meningkatnya aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007).
3. Biokimiawi
Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan dopamine,
kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skf (Lumbantobing, 2007).
2.1.4 Manifestasi Klinis
simtom- simtom utama skizofrenia dalam tiga kategori. Simtom positif, simtom
negatif, dan simtom disorganisasi. (Davison, 2010).
1. Simtom positif.
Mencakup hal–hal yag berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan waham,
simtom–simtom ini, sebagian terbesarnya, menjadi ciri episode akut skizofrenia.
a. Delusi (waham), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan semacam
itu merupakan simtom–simtom positif yang umum pada skizofrenia.
b. Halusinasi, para pasien skizofrenia seringkali menuturkan bahwa dunia tampak
berbeda dalam satu atau lain cara atau bahkan tidak nyata bagi mereka. Dan
distorsi persepsi yang paling dramatis adalah halusinasi yaitu diamana
pengalaman indrawi tanpa adanya stimulasi dari lingkuangan.
2. Simtom negatif.
Simtom–simtom negatif skizofrenia mencakup berbagai devisit behavioral,
seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar dan asosiolitas. Simtom–simtom ini
ini cenderung bertahan melampaui suatu episode akut dan memiliki afek parah
terhadap kehidupan para pasien skizofrenia.
3. Simtom disorganisasi.
Simtom–simtom disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan perilaku
aneh (bizarre). Disorganisasi pembicaraan juga dikenal sebagai gangguan berfikir
formal, disorganisasi pembicaraan merujuk pada masalah dalam mengorganisasi
berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat memahaminya.
Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk, pasien dapat meledak dalam
kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak dapat dimengerti, memakai pakaian
yang tidak biasa, bertingkah seperti anak–anak, atau dengan gaya yang konyol,
menyimpan makanan, mengumpulkan sampah atau melakukan perilaku seksual
yang tidak pantas.
2.1.5 Penatalaksanaan
1. Penanganan Biologis
a. Terapi Kejut dan Psychosurgery
Diawal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan memberika insulin
dalam dosis tinggi diperkenalkan oleh Sakel (1938), yang mengklaim bahwa ¾
dari para pasien skizofrenia yang ditanganinya menunjukkan perbaikan
signifikan. Berbagai temuan terkemudian oleh para peneliti lain kurang
mendukung hal tersebut, dan terapi koma-insulin –yang beresiko serius
terhadap kesehatan, termasuk koma yang tidak dapat disadarkan dan kematian–
secara bertahap ditinggalkan. Pada tahun 1935, Moniz, seorang psikiater
memperkealkan lobotomy prefrontalis, suatu proses pembedahan yang
membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan pusat
otak bagian bawah.

b. Terapi Somatik (Medikamentosa)


Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik.
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir
yang terjadi pada Skizofrenia. terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk
mengobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat
ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril
(Clozapine).
2. Penanganan psikologis
a. Terapi Psikodinamika
Tetapi personal membantu pasien beradaptasi secara lebih efektif terhadap
stres dan membantu mereka membangun keterampilan sosial, seperti
mempelajari bagaimana menghadapi kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal
menjelaskan bahwa terapi personal mungkin mengurangi rata-rata kambuh dan
meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien skizofrenia yang
tinggal dengan keluarga
b. Terapi Perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan
sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah
didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang
diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan
demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara
lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat
diturunkan.
c. Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan
dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali
seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun
intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang
dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas
mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan
aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal
dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang
keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien
mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah
penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam
menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan angka relaps
adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 %
dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga.
d. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana,
masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin
terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau
suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial,
meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien
skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam
cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia
e. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam
pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu
dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam
psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan
terapetik yang dialami pasien sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi
oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan
pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di
dalam pengobatan pasien non-psikotik.
3. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dasar. Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan
adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat.
Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumahsakit harus
direncanakan.
2.2 Konsep Halusinasi
2.2.1 Definisi
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra
tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi
melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi palsu. (Prabowo, 2014 : 129)
Halusinasi adaah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsnagan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai
contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara.
(Kusumawati & Hartono, 2012:102)
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien mengalamai
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya
tidak ada. (Damaiyanti, 2012: 53)
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa halusinasi adalah gangguan
persepsi sensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui panca indera tanpa ada
stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi, dimana klien mengalami persepsi
yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya
stimulus eksternal yang terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang
nyata ada oleh klien.
2.2.2 Rentang Respon
Respon adaptif Respon Maladaptif

Pikiran logis Pikiran kadang menyimpang kelainan pikiran


1. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma social budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon
adaptif :
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli
d. Perilaku social adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran
e. Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan
2. Respon psikosossial Meliputi :
a. Proses pikir terganggu adalah proses piker yang menimbulkan gangguan
b. Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indra
c. Emosi berlebih atau berkurang
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain.
3. Respon maladapttif
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma social budaya dan lingkungan, ada pun respon
maladaptive antara lain :
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun
tidak diyakin ioleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan social.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisi rmerupakan sesuatu yang tidak teratur
e. Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang
negative mengancam.(Damaiyanti,2012: 54)
2.2.3 Penyebab
Menurut Pambayun (2015), faktor-faktor yang menyebabkan klien gangguan jiwa
mengalami halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu.
Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor penentu gangguan
ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar identik
memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya
mengalami skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%.
Seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang
15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia
maka peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya dopamin,
serotonin, dan glutamat.
c. Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotonin.
d. Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat menjadi faktor
predisposisi skizofrenia.
e. Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia
antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi,
dingin, dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan
anaknya.
2. Faktor Presipitasi
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Kondisi kesehatan meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur, ketidakseimbangan
irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat sistem syaraf pusat, kurangnya
latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
4) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di rumah
tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup, pola aktivitas
sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang lain, isolasi social,
kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, kurang ketrampilan dalam bekerja,
stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
5) Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus asa,
tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa punya kekuatan
berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia
mupun kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku agresif,
ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.
2.2.4 Jenis Halusinasi
Menurut Yusalia (2015), jenis halusinasi antara lain :
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang,
biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan
kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan
seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum.Biasanya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus
yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau
orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
6. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
7. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

2.2.5 Fase-Fase halusinasi


1. Fase comforting (ansietas sebagai halusinasi menyenangkan)
Klien mengalami ansietas sedang dan halusinasi yang menyenangkan. klien
mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah, takut dan
mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan, untuk meredakan
ansietas. Individu mengalami bahwa pikiran dan pengalaman sensori berada dalam
kendali kesadaran.
Perilaku klien: Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat,
diam dan asyik sendiri, respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
2. Fase Condemning (ansietas berat halusinasi memberatkan)
Pengalaman sensori yang menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali
dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang di
persiapkan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan
menarik diri dari orang lain psikotik ringan.
Perilaku klien: Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas
seperti penigkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah. Rentang perhatian
menyempit, asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
3. Controling (ansietas berat pengalaman sensori menjadi berkuasa)
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada
halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik, klien mungkin mengalami
pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti psikotik.
Perilaku klien: Kemampuan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti
kesukaran berhubungan dengan orang lain. Rentang perhatian hanya beberapa detik
atau menit adanya tanda-tanda fisik. Ansietas berat: berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi peraturan.
4. Conquering panik (umumnya menjadi lebur dalam halusinasi)
Pengalaman sensori jadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi.
Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik
psikotik berat.
Perilaku klien: Perilaku tremor akibat panik, potensi kuat suicida/nomicide
aktifitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitasi,
menarik diri atau katatonia tidak mampu berespon terhadap perintah yang
kompleks, tidak mampu berespons lebih dari 1 orang.
2.2.6 Tanda dan Gejala
Perilaku paisen yang berkaitan dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
1. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri
2. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, dan respon verba lambat
3. Menarik diri dari orang lain,dan berusaha untuk menghindari diri dari orang ain
4. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak nyata
5. Terjadi peningkatan denyut ajntung, pernapasan dan tekanan darah
6. Perhatian dengan lingkunganyang kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.
7. Curiga, bermusuhan,merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya) dan takut
8. Sulit berhubungan dengan orang lain
9. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung,jengkel dan marah
10. Tidak mampu mengikuti perintah
11. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton. (Prabowo,
2014: 133-134)
2.2.7 Farmakoterapi
1. Farmakologi
2. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mall
secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang
pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizofrenia
yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang
listrik 4-5 joule/detik.
3. Psikoterapi dan rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena
berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan pasien kembali
kemasyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong pasien bergaul
dengan orang lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya pasien tidak
mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik,
dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti therapy
modalitas yang terdiridari :
4. Terapi aktivitas
5. Terapi lingkungan
Suasana rumah sakit dibuat seperti suasana d idalam keluarga( Home Like
Atmosphere).(Prabowo,2014: 134- 136)
2.2.8 Pohon Masalah
Resiko perilaku kekerasan

Perubahan sensori persepsi Halusinasi Core Problem

Isolasi sosial

Gangguan konsep diri :Harga diri rendah

2.3 Konsep Waham


2.3.1 Definisi
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus internal
dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa waham yaitu keyakinan
individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan realitas. Keyakinan
individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya,
serta tidak dapat diubah dengan alasan yang logis. Selain itu keyakinan tersebut
diucapkan berulang kali (Kusumawati, 2010).
Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Direja, 2011).
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus,
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006)
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Waham adalah
suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat/terus menerus namun
tidak sesuai dengan kenyataan, keyakinan yang salah yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
realita normal.
2.3.2 Respon Neurobiologis
Adapun rentang respon manusia terhadap stress yang menguraikan tentang respon
gangguan adaptif dan maladaptive dapat dijelaskan sebagai berikut :
Rentang Respon Neurobiologis

Pikiran Logis Distorsi Pikiran Respon maladaptive


- Persepsi akurat. - Ilusi - Gangguan proses
- Emosi konsisten - Reaksi emosi pikir/delusi/waham
dengan pengalaman. berlebihan atau - Halusinasi
- Perilaku sesuai kurang - Sulit berespon emosi
- Berhubungan sosial. - Prilaku aneh - Perilaku disorganisasi
- Menarik diri - Isolasi social

Dari rentang respon neurobilogis diatas dapat dijelaskan bila individu merespon
secara adaptif maka individu akan berfikir secara logis. Apabila individu berada pada
keadaan diantara adaptif dan maladaptive kadang – kadang pikiran menyimpang atau
perubahan isi pikir terganggu. Bila individu tidak mampu berfikir logis dan pikiran
individu mulai menyimpang maka ia akan berespon secara maladaptive dan ia akan
mengalami gangguan isi pikir : waham curiga.
Agar individu tidak berespon secara maladaptive maka setiap individu harus
mempunyai mekanisme pertahanan koping yang baik. Mekanisme koping dapat
dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan berorientasi
pada tindakan untuk memenuhi secara realistic tuntunan situasi stress.
a. Perilaku menyerang, digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan
pemenuhan kebutuhan.
b. Perilaku menarik diri, digunakan baik secara fisik maupun psikologik untuk
memindahkan seseorang dari sumber stress.
c. Perilaku kompromi, digunakan untuk mengubah cara seseorang
mengoperasikan, mengganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan
personel seseorang.
2. Mekanisme pertahanan ego, merupakan mekanisme yang dapat membantu
mengatasi cemas ringan dan sedang, jika berlangsung pada tingkat dasar dan
melibatkan penipuan diri dan disorientasi realitas, maka mekanisme ini dapat
merupakan respon maladaptive terhadap stress. (Anonymous, 2009).
2.3.3 Penyebab
1) Faktor predisposisi
a. Biologi
Waham dari bagian dari manifestasi psikologi dimana abnormalitas otak
yang menyebabkan respon neurologis yang maladaptif yang baru mulai
dipahami, ini termasuk hal-hal berikut :
1) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan otak yang
luas dan dalam perkermbangan skizofrenia. Lesi pada area frontal, temporal
dan limbik paling berhubungan dengan perilaku psikotik.
2) Beberapa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia. Hasil penelitian sangat
menunjukkan hal-hal berikut ini :
a) Dopamin neurotransmitter yang berlebihan
b) Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain
c) Masalah-masalah pada sistem respon dopamin
Penelitian pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang
diadopsi telah diupayakan untuk mengidentifikasikan penyebab genetik pada
skizofrenia.
Sudah ditemukan bahwa kembar identik yang dibesarkan secara terpisah
mempunyai angka kejadian yang tinggi pada skizofrenia dari pada pasangan
saudara kandung yang tidak identik penelitian genetik terakhir memfokuskan
pada pemotongan gen dalam keluarga dimana terdapat angka kejadian
skizofrenia yang tinggi.
b. Psikologi
Teori psikodinamika untuk terjadinya respon neurobiologik yang maladaptif
belum didukung oleh penelitian. Sayangnya teori psikologik terdahulu
menyalahkan keluarga sebagai penyebab gangguan ini sehingga menimbulkan
kurangnya rasa percaya (keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa profesional).
c. Sosial budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan
gangguan psikotik tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama
gangguan.Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham (Direja, 2011).
2) Faktor Presipitasi
a. Biologi
Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang maladaptif
termasuk:
1) Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi
2) Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
rangsangan.
b. Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Pemicu gejala
Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering menunjukkan
episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada respon
neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan. Lingkungan,
sikap dan perilaku individu (Direja, 2011).
2.3.4 Proses terjadinya waham
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya
untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan
ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat
tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang
dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dn diperhitungkan dalam
kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis
di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh
kembang ( life span history ).

2. Fase lack of self esteem


Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan
yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan
teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan
yang luas, seseorang tetap memasang self ideal  yang melebihi lingkungan tersebut.
Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi,
pengalaman, pengaruh, support system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut
belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal
ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga
perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu
yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang.
Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma
( Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya.
Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi
sosial ).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering
berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi ( rantai yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi.
Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk
mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya
keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar
serta ada konsekuensi sosial.
2.3.5 Jenis Waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi :
a) Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya,
“Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya tambang emas.”
b) Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
c) Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh,
“Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari.”
d) Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan
bahwa ia sakit kanker).
e) Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
f) Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan
ke dalam pikirannya.
g) Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
h) Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan
di luar dirinya.
2.3.6 Manifestasi Klinis
Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :
a. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat) Cara berfikir magis dan primitif,
perhatian, isi pikir, bentuk, dan pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme,
sirkumtansial).
b. Fungsi persepsi Depersonalisasi dan halusinasi.
c. Fungsi emosi Afek tumpul kurang respons emosional, afek datar, afek tidak
sesuai, reaksi berlebihan, ambivalen.
d. Fungsi motorik. Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotipik
gerakan yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas,
katatonia.
e. Fungsi sosial kesepian. Isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri rendah.
2.3.7 Penatalaksanaan
Menurut Harnawati (2008) penanganan pasien dengan gangguan jiwa waham antara
lain :
1. Psikofarmalogi
a. Litium Karbonat
b. Haloperidol
2. Penarikan Diri High Potensial
Selama seseorang mengalami waham. Dia cenderung menarik diri dari pergaulan
dengan orang lain dan cenderung asyik dengan dunianya sendiri (khayalan dan
pikirannya sendiri). Oleh karena itu, salah satu penatalaksanaan pasien waham
adalah penarikan diri high potensial. Hal ini berarti penatalaksanaannya ditekankan
pada gejala dari waham itu sendiri, yaitu gejala penarikan diri yang berkaitan
dengan kecanduan morfin biasanya dialami sesaat sebelum waktu yang dijadwalkan
berikutnya, penarikan diri dari lingkungan sosial.

3. ECT Tipe Katatonik


Electro Convulsive Terapi (ECT) adalah sebuah prosedur dimana arus listrik
melewati otak untuk memicu kejang singkat. Hal ini tampaknya menyebabkan
perubahan dalam kimiawi otak yang dapat mengurangi gejala penyakit mental
tertentu, seperti skizofrenia katatonik. ECT bisa menjadi pilihan jika gejala yang
parah atau jika obat-obatan tidak membantu meredakan katatonik episode.
4. Psikoterapi
Walaupun obat-obatan penting untuk mengatasi pasien waham, namun
psikoterapi juga penting. Psikoterapi mungkin tidak sesuai untuk semua orang,
terutama jika gejala terlalu berat untuk terlibat dalam proses terapi yang
memerlukan komunikasi dua arah. Yang termasuk dalam psikoterapi adalah terapi
perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi supportif.
2.3.8 Pohon Masalah
Effect : resiko tinggi perilaku kekerasan

core problem : gangguan isi pikir : waham

causa : isolasi sosial

Harga diri rendah kronis

2.4 Konsep Perilaku Kekerasan


2.4.1 Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain,
disertai amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Farida & Yudi, 2011).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain dan
lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari, 2015)
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah tidak memiliki tujuan
khusus, tapi lebih merujuk pada suatu perangkat perasaan – perasaan tertentu yang
biasanya disebut dengan perasaan marah (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku
kekerasan dapat di lakukan secara verbal, di arahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang
berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan (Dermawan dan
Rusdi, 2013).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan
adalah suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak sesuai dimana seseorang
melakukan tindakan-tindakan yang dapat membayangkan/mencederai diri sendiri,
orang lain bahkan merusak lingkungan.
2.4.2 Rentang Respon Marah
Respon kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif maladaptif,
seperti rentang respon kemarahan di bawah ini (Yosep, 2007).
Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk / PK


1. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan
tanpa menyakiti orang lain, akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan
menimbulkan masalah.
2. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena yang tidak
realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalam keadaan ini tidak
ditemukan alternatif lain. Selanjutnya individu merasa tidak mampu
mengungkapkan perasaan dan terlihat pasif.
3. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien tampak
pemalu, pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang mampu.
4. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk
bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontol, perilaku yang tampak dapat
berupa : muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.
5. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol diri.
Individu dapat merusak diri sendiri orang lain dan lingkungan.
2.4.3 Penyebab
Menurut Direja (2011) faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan pada
pasien gangguan jiwa antara lain
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor psikologis
1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi perilaku kekerasan.
2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang
tidak menyenangkan.
3) Rasa frustasi.
4) Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau lingkungan.
5) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan
dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
6) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologik dipengaruhi oleh contoh peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut Bandura
bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Faktor ini dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan
penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat
mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat
diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaiannya masalah perilaku kekerasan merupakan
faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus elektris ringan
pada hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif,
dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus
frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indra
penciuman dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil
berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada di sekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut
a) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respon agresif.
b) Pengaruh biokimia bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi
dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan
norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan
serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki
oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana)
d) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal)
trauma otak, apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa
injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor pencetus
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
a. Klien
Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh
dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b. Interaksi
Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, merasa terancam
baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari
lingkungan.
c. Lingkungan
Panas, padat, dan bising.
Menurut Fitria (2009), hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
penganiayaan antara lain sebagai berikut.
a. Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
b. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
c. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya
dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.
d. Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat dan
alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa
frustasi.
e. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
2.4.4 Manifestasi Klinis
Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku kekerasanterdiri
dari :
1. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras,
kasar, ketus.

3. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan
kreativitas terhambat.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
8. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual
2.4.5 Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai dosis
efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan
psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya
trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer
bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal
145).
b. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main
catur dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan
itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi
dirinya. Terapi ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas
terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga
agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan,
membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota
keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber
yang ada pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi
masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer),
menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan
perilaku maladaptif ke perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat
kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo,
2014: hal 145).
d. Terapi somatik
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang
diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku
yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindakan yang
ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo,
2014: hal 146).
e. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan
arus listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali
terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko
Prabowo, 2014: hal 146).

2.5 Konsep Harga Diri Rendah


2.5.1 Definisi
Harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Perasaan tidak berharga, tidak berarti
dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri (Fajariyah, 2012).
Harga diri seseorang di peroleh dari diri sendiri dan orang lain. Gangguan harga
diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang, perilaku orang lain yang
mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Tingkat harga diri seseorang
berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi
menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk
berubah serta cenderung merasa aman. Individu yang memiliki harga diri rendah
melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman. (Keliat,
2011).
Menurut (Herman, 2011), gangguan jiwa ialah terganggunya kondisi mental atau
psikologi seseorang yang dapat dipengaruhi dari faktor diri sendiri dan lingkungan.
Hal-hal yang dapat mempengangaruhi perilaku manusia ialah keturunan dan
konstitusi, umur, dan sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-
istiadat, kebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan,
kehilangan dan kematian orang yang di cintai, rasa permusuhan, hubungan antara
manusia.
Dapat disimpulkan harga diri rendah adalah kurangnya rasa percaya diri sendiri
yang dapat mengakibatkan pada perasaan negatif pada diri sendiri, kemampuan diri
dan orang lain. Yang mengakibatkan kurangnya komunikasi pada orang lain.
2.5.2 Rentang respon
ResponAdaptif ResponMaladaptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Keracunan Depersonalisasi


Diri Positif Rendah Identitas
(Iskandar, 2014:38)
1. Respon adaptif
Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapinya
Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negatif dari
dirinya. (Eko, 2014: 102)
2. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu krtika dia tidakmampu
lagi menyelesaikan masalah yang dihadapiHarga diri rendah adalah individu yang
cenderung untuk menilai dirinya yang negatif dan merasa lebih rendah dari orang
lain.
Kerancuan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak
memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu mempunyai
kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara
intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak dapat membina hubungan baik dengan
orang lain. (Eko, 2014:102)
2.5.3 Proses terjadinya masalah
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri rendah
situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena individu tidak
pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan
mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong
individu menjadi harga diri rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu
berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha
menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak
mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu terhadap
diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri
rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru
menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu
mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011).
2.5.4 Penyebab
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis menurut herman (2011)
adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri
yang tidak realistis. Faktor predisposisi citra tubuh adalah:
a. Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh
b. Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh akibat penyakit
c. Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh
d. Proses pengobatan seperti radiasi dan kemoterapi.
e. Penolakan
f. Kurang penghargaan, pola asuh overprotektif,otoriter, tidak konsisten, terlalu
dituruti, terlalu dituntut
g. Persaingan antar saudara
h. Kesalahan dan kegagalan berulang
i. Tidak mampu mencapai standar. Faktor predisposisi gangguan peran adalah :
j. Ketidak percayaan orang tuan
k. Tuntutan peran seks
l. Harapan peran kultural. Factor predisposisi gangguan identitas adalah Ketidak
percayaan Orang tua
m. Tekanan dari peer gruup
n. Perubahan struktur Sosial. (Eko Prabowo 2014:104)
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian anggota
tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta
menurunya produktivitas. Harga diri kronis ini dapat terjadi secara situasional
maupun kronik.
a. Trauma : Masalah spesifik dengan konsep diri adalah situasi yang mebuat
individu sulit menyesuaikan diri, khususnya trauma emosi seperti penganiayan
seksual dan phisikologis pada masa anak-anak atau merasa terancam atau
menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupannya.
b. Ketengangan peran : rasa frustasi saat indivisu merasa tidak mampu melakukan
peran yang bertentangan dengan hatinya atau tidak merasa sesuai dengan
melakukan perannya. Ketengangan peran ini sering dijumpai saat terjadi konflik
peran terjadi saat indivisu menghadapi dua harapan yang bertentangan dan tidak
dapat dipenuhi. Keraguan peran terjadi bila indivisu tidak mengetahui harapan
peran yang spesifik atau bngung tentang peran sesuai.
1). Trauma peran perkembangan Perubahan normatif yang berkaitan dengan
pertumbuhan
2). Transisi peran situasi Perubahan jumlah anggota keluarga baik bertambah
atau berkurang
3). Transisi sehat sakit Pergeseran kondisi pasien yang menyebabkan kehilangan
bagian tubuh.
c. Perilaku
1) Citra tubuh yaitu : menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu,
menolak bercermin, tidak mau mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh,
menolak usaha rehabilitasi, usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat, dan
menyangkal cacat tubuh.
2) Harga diri rendah di antaranya : mengkritik diri atau orang lain, produktivitas
menurun, gangguan berhubungan, keteganggan peran, pesimis menghadapi
hidup, keluhan fisik, penolakan kemampuan diri, pandangan hidup
bertentangan, destruktif kepada diri, menarik diri secara sosial,
penyalahgunaan zat, menarik diri dari realitas, khawatir, merasa diri paling
penting, distruktif pada orang lain, merasa tidak mampu, merasa bersalah,
mudah tersinggung/marah, perasaan negatif terhadap tubuh.
3) Keracunan identitas diantaranya : tidak ada kode moral, kepribadian yang
bertentangan, hubungan interpersonal yang ekploitatif, perasaa hampa,
perasaan mengembang tentang diri, kehancuran gender, tingkat ansietas
tinggi, tidak mampu empati pada orang lain, masalah estemasi.
4) Depersonalisasi meliputi efektif : kehidupan identitas, perasaan terpisah dari
diri, perasaan tidak realistis, rasa terisolasi yang kuat, kurang rasa
berkesinambungan, tidak mampu mencari kesenangan, perseptual : halusinasi
dengar dan lihat, bingung tentang seksualitas diri, sulit membedakan diri dari
orang lain, gangguan citra tubuh, dunia seperti mimpi. Kognitif, gangguan
daya ingat, gangguan penilaian, kepribadian ganda. (Eko, 2014:104-105)
2.5.5 Tanda dan gejala
Menurut Carpenito dalam keliat (2011), perilaku yang berhubungan dengan harga
diri rendah antara lain :
a. Mengkritiik diri sendiri
b. Persaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang peseimis
d. Penurunan produktivitas
e. Penolakan terhadap kemampuan diri.
Selaian data diatas, dapat juga mengamati penampilan seseorang dengan harga diri
rendah, terlihat darikurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi,
selera makan kurang, tidak berani menatap lawan bicara, lebbih banyak menunduk,
bicara lambat dengan suara nada lemah. (Iskandar, 2014: 40)
2.5.6 Penatalaksanaan
Terapi pada ganguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah dikembangkan sehingga
penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada
masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :
1. Psikofarmaka
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya diperoleh
dengan resep dokter, dapat dibagi dalam 2 golongan generasi pertama (typical) dan
generasi kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan generasi pertama misalnya
chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL Adalah obat penennang untuk klien
dengan gangguan Jiwa, dan Haloperidol obat untuk mengatasi berbagai masalah
kejiwaan, seperti meredakan gejala skizofrenia, sindrom Tourette, Obat yang
termasuk generasi kedua misalnya: Risperidone obat yang digunakan untuk
menangani skizofrenia dan gangguan psikosis lain,serta perilaku agresif dan
disruptif yang membahayakan pasien maupun orang lain. Antipsikotik ini bekerja
dengan menstabilkan senyawa alami otak yang mengendalikan pola pikir,
perasaan, dan perilaku, Olozapine adalah jenis obat antipsikotik yang digunakan
untuk gejala psikosis, psikosis adalah kumpulan gejala gangguan jiwa dimana
seseorang merasa terpisah dari kenyataan yang sebenarnya di tandai dengan
timbulnya delusi dan halusinasi, Clozapine diberikan kepada penderita skizofrenia
dan parkinson, Quentiapine adalah obat yang digunakan untuk mengobati konsidi
jiwa/suasana hati tertentu (seperti skizofrenia, gangguan bipolar, episode mania
tiba-tiba atau depresi terkait dengan ganggua bipolar).Quetiapne dikenal sebagai
obat anti-psikotik (tipe atipikal). Glanzapine adalah obat yang digunakan untuk
mengobati kondisi jiwa untuk suasana hati tertentu (seperti skizofrenia, gangguan
bipolar). Obat ini juga dapat digunakan untuk kombinasi ddengan obat lain untuk
pengobatan depresi, obat ini termasuk dalam kelas obat antipsikotik atipikal,
Zolatine untuk gangguan cemas sedangatau berat dan gangguan cemas yang
berhubungan erat dengan depresi, dan Aripiprazole untuk mengobati gejala kondisi
psikotik seperti Skizofrenia dan gangguan bipolar (Eko, 2014:107)
2. Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang
lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan
diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang
baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama.(Eko,
2014:107)
3. Terapi kejang listrik ( Electro Convulsive Therapy )
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial
dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang satu atau dua
temples. Therapy kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan
dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5
joule/detik. Tujuan ECT adalah untuk menginduksi suatu kejang kronik yang dapat
memberi efek terapi (therapeutik clonic seizure) setidaknya selama 15 detik.Kejang
yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan
mengalami rejatan. (Eko, 2014:108)
4. Terapi modalitas
Terapi modalitas atau perilaku merupakan rencana pengobatan untuk skizofrenia
yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan pasien. Kemampuan memenuhi
diri sendiri dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal. Terapi kelompok
bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana dan masalah dalam hubungan
kehidupan yang nyata.(Eko, 2014:108) Terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi
empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, therapy aktivitas
kelompok simulasi, terapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan terapi aktivittas
kelompok sosialisasi ( keliat dan Akemat, 2005 ). Dari empat jenis terapi aktivitas
kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada individu dengan ganguan
konsep diri harga diri rendah adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang
menggunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau
kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dapat
berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah.(Eko,
2014:108).

2.6 Konsep Isolasi Sosial


2.6.1 Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien
mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011).
Kerusakan interaksi sosial merupakan upaya menghindari suatu hubungan
komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan .klien mengalami
kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain yang di manifestasikan
dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman
(Direja 2011).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena
orang lain mengatakan sikap yang negative dan mengancam (Kusumawati dan
Hartono, 2011).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Isolasi sosial
adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dengan orang lain.
2.6.2 Penyebab
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart dan
Sundeen (2007), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab
gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin
mempengaruhi antara lain yaitu:
1. Faktor predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman
bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi,
kasih sayang, perhatian, dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan
memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya
diri dan dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun
lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam
masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek.

b. Faktor sosial budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan factor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota
tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
c. Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang jelas
mempengaruhi adalah otak . Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada
keluarga yang anggota keluarganya ada yang menderita skizofrenia.
Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial terdapat
kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat
volume otak serta perubahan struktur limbik.
2. Faktor presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal meliputi:
a. Sosial budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat di rumah sakit atau dipenjara.
b. Stresor psikologi
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. (Damaiyanti, 2012: 79)
2.6.3 Rentang respon
Respon adaptif Respon maladaptif

Menyendiri kesepian manipulasi


Otonomi menarik diri impulsif
Bekerja sama ketergantungan narcisme
Interdependen
Respon adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang masih
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya lingkungannya yang umum
berlaku dan lazim dilakukan oleh semua orang.. respon ini meliputi:
a. Solitude (menyendiri)
Adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya juga suatu cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah-langkah selanjutnya.
b. Otonomi
Adalah kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan dalam berhubungan sosial.
c. Mutualisme (bekerja sama)
Adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu mampu
untuk saling memberi dan menerima.
d. Interdependen (saling ketergantungan)
Adalah suatu hubungan saling tergantung antara individu dengan orang lain
dalam rangka membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya lingkungannya yang umum berlaku
dan tidak lazim dilakukan oleh semua orang. Respon ini meliputi:
a. Kesepian adalah kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasing dari
lingkungannya, merasa takut dan cemas.
b. Menarik diri adalah individu mengalami kesulitan dalam membina hubungan
dengan orang lain.
c. Ketergantungan (dependen) akan terjadi apabila individu gagal mengembangkan
rasa percaya diri akan kemampuannya. Pada gangguan hubungan sosial jenis ini
orang lain diperlakukan sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah
pengendalian orang lain, dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri
atau tujuan, bukan pada orang lain.
d. Manipulasi adalah individu memperlakuakan orang lain sebagai objek,
hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu
cenderung berorientasi pada diri sendiri.
e. Impulsif adalah individu tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu
belajar dari pengalaman dan tidak dapat diandalkan.
f. Narcisisme adalah individu mempunyai harga diri yang rapuh, selalu berusaha
untuk mendapatkan penghargaan dan pujian yang terus menerus, sikapnya
egosentris, pencemburu, dan marah jika orang lain tidak mendukungnya.
(Trimelia, 2011: 9)
2.6.4 Penatalaksanaan
Menurut dalami, dkk (2009) isolasi sosial termasuk dalam kelompok penyakit
skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan
adalah:
1. Terapi Psikofarmaka
a. Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan tilik diri
terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental: faham, halusinasi.
Gangguan perasaan  dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat
dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial
dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi
(hypotensi) antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama
jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson).
Gangguan endoktrin (amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik,
agranulosis. Biasanya untuk pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap
penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
b. Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental serta
dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping seperti gangguan
miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra
meninggi, gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
c. Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan idiopatik,
sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine. Memiliki
efek samping diantaranya mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual,
muntah, bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine.
Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut
sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2010).
2. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak dengan
menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri
dan kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung 25-30
detik dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak menyebabkan
terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak.
3. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam
proses terapeutik , upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman
dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima
pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya
secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien.
4. Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan harga diri seseorang. (Prabowo,
2014: 113)

2.7 Konsep Defisit Perawatan Diri


2.7.1 Definisi
Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien dengan
gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan
untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri terlihat dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri antaranya mandi, makan minum secara
mandiri, berhias secara mandiri, toileting (BAK/BAB) (Damaiyanti, 2012)
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam : kebersihan diri, makan,
berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecil sendiri
(toileting) (Keliat B. A, dkk, 2011).
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan iwa kronis sering mengalami ketidakpedulian
merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan
pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat (Yusuf, Rizky &
Hanik,2015:154)
Dapat disimpulkan bahwa Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan
jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk
melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri diantaranya mandi, makan dan minum
secara mandiri, berhias secara mandiri, dan toileting.
2.7.2 Etiologi
Menurut Depkes (2000: 20) penyebab kurang perawatan diri adalah :
a. Faktor prediposisi
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan
diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi
lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri.
Menurut Depkes (2000), Faktor–faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
1) Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
2) Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.

3) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik
dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus
ia harus menjaga kebersihan kakinya.
4) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya.
2.7.3 Tanda dan Gejala
Menurut Depkes (2000) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri
adalah:
a. Fisik
Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor, gigi kotor
disertai mulut bau, penampilantidak rapi.
b. Psikologis
Malas, tidak ada inisiatif, menarik diri, isolasi diri, merasa tak berdaya, rendah diri
dan merasa hina.
c. Sosial
Interaksi kurang, kegiatan kurang, tidakk mampu berperilaku sesuai norma, cara
makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat.
2.7.4 Jenis-jenis
Menurut Nanda (2012), jenis perawatan diri terdiri dari:
a. Defisit perawatan diri: mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi/beraktivitas
perawatan diri untuk diri sendiri.
b. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian
dan berhias untuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
d. Defisit perawatan diri : eliminasi/toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas eliminasi
sendiri.

2.7.5 Rentang respon


Adatif maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan diri Tidak melakukan


diri seimbang kadang tidak perawatan diri
pada saat stres
Pola perawatan diri seimbang: saat pasien mendapatkan stressor dan mampu ntuk
berperilaku adatif maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatan diri
1) Kadang melakukan perawatan diri kadang tidak: saat pasien mendapatan stressor
kadang-kadang pasien tidak menperhatikan perawatan dirinya
2) Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak perduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stresso (Ade, 2011)
2.7.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan manurut herman (Ade, 2011) adalah sebagai berikut
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung.
2.6.7 Pohon masalah
Effect Resiko perilaku kekerasan

Core Problem Defiist perawatan diri

Cause Harga diri rendah Kronis Koping

Individu Tidak Efektif

2.8 Konsep Resiko Bunuh Diri


2.8.1 Definisi
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Keliat 1991 : 4). Risiko bunuh diri dapat
diartikan sebagai resiko individu untuk menyakitidiri sendiri, mencederai diri, serta
mengancam jiwa. (Nanda, 2012)
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam
sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri
sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri
yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan
individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Fitria, Nita, 2009).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan
masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Menciderai diri
adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan.
Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan
masalah yang dihadapi
2.8.2 Rentang Respon
Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan
merupakan rentang adaptif- maladaptif.
Adaptif Maladaptif
Peningkatan Pengambilan resiko Perilaku Pencederaan
bunuh diri yang meningkatkan desdruktif diri diri

pertumbuhan langsung

1. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri


secarawajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahan diri.
2. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi y
ang seharusnyadapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah
semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan
padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap yang kurang
tepat terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
4. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diriakibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
2.8.3 Macam-Macam Bunuh Diri
Bunuh diri menjadi empat jenis yaitu : (Upe, 2010:99)
a. Diri egoistik, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa
kepentingan individu lebih tinggi dari pada kepentingan kesatuan sosialnya,
b. Bunuh diri altruistik, yaitu bunuh diri karena adanya perasaan integrasi antar sesama
individu yang satu dengan yang lainnya sehingga menciptakan masyarakat yang
memiliki integritas yang kuat, misalnya bunuh diri harakiri di jepang,
c. Bunuh diri anomi, yaitu tipe bunuh diri yang lebih terfokus pada keadaan moral
dimana individu yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam
hidupnya,
d. Bunuh diri fatalistik, tipe bunuh diri yang demikian tidak banyak dibahas oleh
durkheim. Pada tipe bunuh diri anomi terjadi dalam situasi di mana nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat melemah, sebaliknya bunuh diri fatalistik terjadi ketika
nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat dan terasa berlebihan.
2.8.4 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala menurut Fitria, Nita (2009):
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung(berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan).
8. Status emosional(harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah dan
mengasingkan diri).
9. Kesehatan mental(secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis
dan menyalahgunakan alkohol).
10. Kesehatan fisik(biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal0.
11. Pengangguran(tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier).
12. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
13. Status perkawinan(mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal.
16. Latar belakang keluarga.
17. Orientasi seksual.
18. Sumber-sumber personal.
19. Sumber-sumber sosial.
2.8.4 Tahap-tahap Resiko Bunuh Diri
1. Suicidal Ideation
Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkan klien
pada tahap ini tidak akan menungkapkan idenya apabila tidak di tekan.
2. Suicidal Intent
Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang konkrit
untuk melakukan bunuh diri
3. Suicidal Threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang dalam
bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
4. Suicidal Gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya, tetapi sudah oada
percobaan untuk melakukan bunuh diri.
5. Suicidal Attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien mempunyai indikasi individu yang ingin
mati dan tidak mau diselamatkan. Misalnya, minum ibat yang mematikan.
2.8.5 Penyebab
1. Predisposisi
A. Teori genetic
a. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis dan Hitler (2010)
merupakan sesuatu yang di turunkan dalam  keluarga kembar monozigot
memiliki reriko dalam melakukan bunuh diri stuard  (2011).
b. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf , peningkatan
dan penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan pada prilaku.
Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku bunuh diri adalah
dopamine, neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan gaba  (Stuard, 2011).
c. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya dengan bunuh diri
mengalami gangguan jiwa.
d. Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk bunuh diri adalah
gangguan modd , penyalah gunaan zat , skizofrenia , dan gangguan
kecemasan (Stuard, 2013).
B.   Faktor psikologi
1. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw kemarahan
terhaapp orang lain yang tidsk di trima dan di mannifestasikan atau di
tunjuksn pada diri sendiri  (Stuard dan videbeck, 2011).
2. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan resiko bunuh diri
adalah permusuhan, impulsive, depresi dan putus asa (Stuard, 2013 ).
3. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di cintai, rasa
keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga diri (Shadock, 2011).
C. Faktor sosial budaya
1. Beberapa faktor yang mengarah kepada bunuh diri adalah kemisknan dan
ketikmampuan memenuhi kebutuhan dasar, pernikahan yang hancur, keluarga
dengan orang tua tunggal ( Towsend , 2009 ).
2. Faktor budaya yang di dalamnya adalah faktor spiritual, nilai yang di anut
oleh keluarga, pandangan terhadap perilaku yang menyebabkan kematian
berdampak pada angka kejadian bunuh diri (Krch et al, 2008).
3. Kehilangan, kurangnya dukungan sosial dan peristiwa keidupan yang negatif
dan penyakit fisik kronis. Baru-baru ini perpisahan perceraian dan penurunan
dukungan sosial merupakan faktor penting berhubungan dengan resiko bunuh
diri.(Stuard, 2013).
2. Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
a. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
b. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
c. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
2.8.6 Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada klien resiko bunuh diri salah
satunya adalah dengan terapi farmakologi. Menurut (videbeck, 2008), obat- obat
yang biasanya digunakan pada klien resiko bunuh diri adalah SSRI (selective
serotonine reuptake inhibitor) (fluoksetin 20 mg/hari per oral), venlafaksin (75- 225
mg/hari per oral), nefazodon (300-600 mg/hari per oral), trazodon (200-300 mg/hari
per oral), dan bupropion (200-300 mg/hari per oral). Obat-obat tersebut sering
dipilih karena tidak berisiko letal akibat overdosis.
Mekanisme kerja obat tersebut akan bereaksi dengan sistem neurotransmiter
monoamin di otak khususnya norapenefrin dan serotonin. Kedua neurotransmiter ini
dilepas di seluruh otak dan membantu mengatur keinginan, kewaspadaan,
perhataian, mood, proses sensori, dan nafsu makan.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian pada klien dengan resiko bunuh diri selanjutnya
perawat dapat merumuskan diagnosa dan intervensi yang tepat bagi klien. Tujuan
dilakukannya intervensi pada klien dengan resiko bunuh diri adalah (Keliat, 2009)
1) Klien tetap aman dan selamat
2) Klien mendapat perlindungan diri dari lingkungannya
3) Klien mampu mengungkapkan perasaannya
4) Klien mampu meningkatkan harga dirinya
5) Klien mampu menggunakan cara penyelesaian yang baik

Anda mungkin juga menyukai