Anda di halaman 1dari 13

MINI PROJECT PROGRAM INTERNSHIP

DOKTER INDONESIA
ANGKATAN I PERIODE FEBRUARI 2022 – FEBRUARI 2023

GAMBARAN PENYAKIT PENYERTA PASIEN GANGGUAN JIWA


DI WILAYAH KERJA UPT PUSKESMAS TEMON I

Disusun untuk memenuhi salah satu


syarat Program Internship Dokter
Indonesia

Disusun oleh:
dr. Wilda Fadhilah
SIP: 503/1.459/III/2022

Telah disetujui dan disahkan oleh:

Pendamping Dokter Internship


Kepala UPTD Puskesmas Temon I

dr. Fitri Nurkhamidah


NIP.

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata
keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Hal ini berarti seseorang
dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu baik
tubuh, psikis, maupun sosial. Apabila fisiknya sehat, maka mental (jiwa) dan sosialpun
sehat, demikian pula sebaliknya, jika mentalnya terganggu atau sakit, maka fisik dan
sosialnyapun akan sakit. Kesehatan harus dilihat secara menyeluruh sehingga kesehatan
jiwa merupakan bagian dari kesehatan yang tidak dapat dipisahkan (Stuart & Laraia,
2005).

Manusia saat ini banyak yang mengalami gangguan, gangguan fisik ataupun mental
yang akan mempengaruhi sosial dan budaya sehari-hari seorang manusia. Gangguan fisik
ataupun mental dapat terjadi kepada siapa saja, yang dimana kondisi mental yang
mengalami gangguan dapat mempengaruhi kesehatan fisik, sehingga tidak menutup
kemungkinan seorang yang mengalami gangguan jiwa juga akan mempunyai penyakit
penyerta yang lain.

Data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) tahun 2017, jumlah
penderita gangguan jiwa sebanyak 450 juta jiwa, dan menempati nomer 1 penyebab
kecacatan pada seorang individu (Kemenkes, 2018). Data World Health Organization
(2016) menunjukkan terdapat sekitar 35 juta orang menderita depresi, 60 juta orang
terkena bipolar, 21 terkena skizofrenia, serta 47,5 juta mengalami demensia.
Penambahan kasus gangguan jiwa di Indonesia disebabkan beberapa faktor seperti faktor
biologis, psikologis, dan sosial (WHO, 2016; 2017). Menurut data statistik direktorat
kesehatan jiwa, ODGJ terbesar terdiagnosa medis skizofrenia yaitu 70% dan menempati
90% ODGJ di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia (Depkes RI, 2003).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2007), menunjukkan bahwa prevalensi


gangguan jiwa secara nasional mencapai 5,6%dari jumlah penduduk, dengan kata lain
menunjukkan bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat empat sampai lima orang
menderita gangguan jiwa. Berdasarkan dari data tersebut bahwa data pertahun di

2
Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu meningkat, dengan peningkatan
tersebut akan menyebabkan seseorang dengan gangguan jiwa dapat mengalami penyakit
penyerta antara lain hipertensi, diabetes mellitus, febris dan lainlain. Penyakit penyerta
ini juga dapat mempengaruhi psikis dan fisik seseorang.

Pada pasien dengan gangguan jiwa banyak sekali faktor pencetus yang menimbulkan
penyakit penyerta antara lain gaya hidup, pola makan dan obat-obat kejiwaan yang
dikonsumsi mereka. Beberapa obat kejiwaan dapat meningkatkan kadar gula dalam darah
sehingga pasien gangguan jiwa dapat mengalami peningkatan kadar gula dalam darah
yang akan menyebabkan diabetes mellitus.

Dari permasalahan tersebut, upaya yang perlu dilakukan adalah peningkatan


pembinaan program kesehatan jiwa di sarana kesehatan, evaluasi pengobatan pada pasien
dengan gangguan jiwa serta monitoring penyakit penyerta yang mungkin dapat
memengaruhi kualitas hidup pasien.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum

Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan jiwa untuk mengatasi kesehatan pada


penderita gangguan jiwa sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik orang dengan gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas


Temon I

b. Mengetahui penyakit penyerta orang dengan gangguan jiwa di wilayah kerja


Puskesmas Temon I

C.Manfaat

1. Manfaat bagi Penulis

Menambah informasi dan wawasan penulis mengenai prevalensi pasien dengan


gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas Temon I

2. Manfaat bagi Masyarakat

3
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kesehatan jiwa

b. Mendapatkan pelayanan kesehatan yang holistik dan komprehensif terkait


kesehatan jiwa.

3. Manfaat bagi Puskesmas

a. Mengetahui karakteristik pasien gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas


Temon I

b. Mengetahui penyakit penyerta yang dimiliki oleh pasien jiwa Puskesmas Temon I

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesehatan Jiwa
Definisi

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sehat adalah keadaan bugar
dan nyaman seluruh tubuh dan bagian lainnya. Komponen tubuh manusia bukan hanya
fisik, tetapi juga psikologis, lingkungan sosial, dan spiritual. Yusuf, dkk (2015)
mendefinisikan orang yang sehat jiwa merupakan individu yang memiliki kemampuan
untuk menyesuaikan diri pada lingkungannya, dan berinteraksi dengan baik, tepat, dan
Bahagia.

Menurut UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Kesehatan Jiwa


adalah sehat secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga dapat menyadari
kemampuannya sendiri dalam mengatasi tekanan, produktif dan dapat memberikan
kontribusi untuk komunitasnya. Pengertian kesehatan jiwa tersebut menekankan kondisi
sehat dari aspek emosional, psikologis dan sosial yang ditunjukkan dengan hubungan
interpersonal, perilaku dan koping efektif, konsep diri postif, dan emosi stabil (Zaini,
2019). Tidak berkembang baiknya mekanisme koping individu dapat menyebabkan
terjadinya gangguan jiwa.

Terdapat dua istilah yang berhubungan dengan seseorang yang memiliki masalah
jiwa yaitu Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan
Jiwa (ODGJ). Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) merupakan seseorang yang
mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau
kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Sedangkan Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan
dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia (DJBUK, 2014).

Banyak metode yang dapat dilakukan untuk menangani pasien gangguan jiwa
yaitu dengan terapi psikofarmakologis ataupun aspek psikologis. Upaya penanganan
5
gangguan jiwa melibatkan banyak aspek, mulai dari keluarga, petugas kesehatan dan
juga dukungan masyarakat. Peran keluarga dalam penanganan pasien gangguan jiwa
sangatlah penting karena dapat membantu individu dalam belajar mengembangkan nilai,
keyakinan, sikap, serta perilaku sehingga indivdu dapat kembali berperan dalam
masyarakat.

B. Skizofrenia
Definisi
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna “shizein” yang artinya
terbagi atau terpecah dan “phren” yang berarti jiwa. Pada skizofrenia terjadi pecahnya
atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum, gejala
skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan
gangguan dalam hubungan interpersonal (Bennasir et al, 2010).
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental
dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas.
Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering
terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan
observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium (Owen,
2016).
Berdasarkan PPDGJ III atau DSM-IV, skizofrenia adalah suatu deskripsi
sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak
selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh internal, fisik, dan sosial budaya. Pada
umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran
dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted),
kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Owen,
2016).
Etiologi
Skizofrenia merupakan salah satu diagnose medis dari gangguan jiwa yang paling
banyak ditemukan, dan merupakan gangguan jiwa berat. Pada dasarnya penyebab
terjadinya skizofrenia merupakan multifactorial dimana terdapat interaksi antara
psikososial, neurokimia, serta faktor biologi. Etiologi munculnya skizofrenia dianggap
sebagai proses yang cukup kompleks. Namun, hingga saat ini penyebab skizofrenia
6
belum dapat diketahui secara pasti (Sarni, 2018).Faktor biologis disebabkan oleh
gangguan umpan balik di otak sehingga mengakibatkan gangguan proses informasi.
Faktor psikologis diantaranya toleransi terhadap frustasi yang rendah, koping individu
yang tifak efektif, impulsi dan membayangkan secara nyata, tubuh kehidupan, yang
menjadikan pasien berperilaku maladaptive rendah diri, perilaku kekerasan serta
kesalahan mempresepsikan stimulus. Faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain
factor sosial ekonomi, nutrisi tak memadai, tidak adanya sumber daya untuk menangani
stress dan merasa putus asa untuk mengubah gaya hidup (Sarni, 2018).
Faktor Genetik terhitung menjadi liabilitas mayor untuk penyakit skizofrenia.
Kemampuan menurun (Heretabilitas) skizofrenia secara genetik berkisar 60-80%.
Gambaran Klinis
Pasien skizofrenia biasanya menunjukkan gelala positif, negatif dan terdisorganisasi
(Lambert & Naber, 2012):
Gejala positif merujuk pada gejala yang muncul pada proses mental abnormal
(Hales, et al., 2011) yang dapat berupa tambahan gejala atau penyimpangan dari fungsi-
fungsi normal (Lieberman, et al., 2012). Gejala positif terdiri dari fenomena yang tidak
muncul pada individu sehat (Santosh, et al., 2013) antara lain yang paling penting,
halusinasi (persepsi yang salah dari berbagai indra) dan delusi/waham (kepercayaan
yang diyakini dengan pasti, memenuhi pikiran pasien, yang tidak sesuai sosiokultural)
(Lambert & Naber, 2012).
Gejala negatif merujuk pada hilang atau berkurangnya fungsi mental normal
(Hales, et al., 2011). Gejala negatif juga dapat diartikan sebagai hilang atau
berkurangnya beberapa fungsi yang ada pada individu sehat (Santosh, et al., 2013) antara
lain penurunan ketertarikan sosial atau personal, anhedonia, penumpulan atau
ketidaksesuaian emosi, dan penurunan aktivitas. Orang dengan skizofrenia sering
memperlihatkan gejala negatif jauh sebelum gejala positif muncul (Lambert & Naber,
2012). Gejala terdisorganisasi yang terdiri dari pikiran, bicara dan perilaku yang kacau
(Lambert & Naber, 2012).

7
TaTabel 2. Gejala-gejala utama pada skizofrenia
Positive Halusinasi Persepsi pengalaman sensori
yang nyata tanpa adanya
sumber eksternal - Paling
sering auditorik, namun dapat
muncul pada jenis sensori lain
- Sifat umum halusinasi
auditorik :
1) Sumber Eksternal
2) Komentar tentang tindakan
atau pikiran pasien
3) Dialog antara dua atau lebih
suara
Delusi Keyakinan salah yang
menetap
Negatif Afek Ekpresi emosi berkurang
(misal afek tumpul), apatis
atau tanpa motivasi
Sosial Penarikan - Kurangnya
keinginan kontak sosial
Kognitif Alogia/miskin bicara

Terdisorganisasi Bicara Gangguan cara berpikir formal


atau Formal Thought Disorder
(misal tangentiality atau arah
pembicaraan penderita yang
menyimpang jauh dari topik
pembicaraan)
Kebiasaan atau Gerakan atau serangkaian
Tingkah Laku tindakan yang tidak bertujuan

8
(Lieberman, et al., 2012)
Diagnosis Skizofrenia
PPDGJ-III
Instrumen alat bantu diagnostik skizofrenia di Indonesia adalah dengan menggunakan
PPDGJ-III, berikut kriteria diagnosis skizofrenia:
1.Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. Thought echo, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda ; atau thought insertion or withdrawal, yaitu isi pikiran yang asing
dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan thought broadcasting, yaitu isi pikirannya
tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
b. Delusion of control, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau delusion of influence yaitu waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatukekuatan tertentu dari luar; atau delusion of passivitiy, yaitu
waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang ”dirinya” dimana secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh / anggota gerak atau
ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus); delusional perception, yaitu
pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
c. Halusinasi auditorik antara lain (1) Suara halusinasi yang berkomentar secara
terus menerus terhadap perilaku pasien, atau (2) Mendiskusikan perihal pasien-pasien di
antara mereka sendiri (di antara berbagai suara yang berbicara), atau (3) Jenis suara
halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh;
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain);
2. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
9
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus;
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
d. Gejala- gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
3. Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial (Maslim, 2001).

C. PENYAKIT PENYERTA

1. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya


semakin meningkat dari tahun ke tahun. World Health Organization (WHO)
memprediksi kenaikan jumlah pasien diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030, bahkan Indonesia menempati urutan keempat
di dunia sebagai jumlah penderita diabetes mellitus terbanyak setelah India, China, dan
Amerika (Pratiwi, 2007). Pengobatan diabetes memerlukan waktu yang lama (karena
diabetes merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup) dan sangat
kompleks (tidak hanya membutuhkan pengobatan tetapi juga perubahan gaya hidup)
sehingga seringkali pasien tidak patuh dan cenderung menjadi putus asa dengan program
terapi yang lama, kompleks dan tidak menghasilkan kesembuhan. Menurut laporan
WHO pada tahun 2013, kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap
penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50% dan di negara berkembang jumlah
tersebut bahkan lebih rendah. Tahun 2006 jumlah penderita diabetes Indonesia mencapai
14 juta orang, dari jumlah itu baru 50% penderita yang sadar mengidap dan sekitar 30%
10
diantaranya melakukan pengobatan secara teratur (Delamater, 2009; Pratiwi, 2007).
2. Hipertensi
Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi merupakan salah satu kondisi yang
biasanya mendahului penyakit jantung dan pembuluh darah. 45% kematian terkait penyakit
jantung dan pembuluh darah dan 51% kematian akibat stroke disebabkan oleh hipertensi.1
Pada tahap awal perjalanan hipertensi sering tidak mempunyai gejala walaupun sudah
didiagnosis hipertensi, banyak yang tidak segera mencari pengobatan. Pada tahap lanjut,
hipertensi akan berkembang menjadi penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal, dan
stroke.
Di Indonesia prevalensi hipertensi menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007 adalah 31,7%.6 Riskesdas tahun 2013 menyebutkan prevalensinya 25,8%.7 Di pulau
Jawa prevalensi hipertensi 41,9%, di wilayah perkotaan Indonesia 39,9%, sedangkan di
perdesaan 44,1%.8
Berdasarkan prevalensi hipertensi yang cukup tinggi pada penduduk Indonesia serta
beban biaya yang besar apabila telah berkembang menjadi komplikasi penyakit jantung dan
pembuluh darah, maka akan menarik untuk dilakukan analisis mengenai keterkaitan
hipertensi dengan stres psikologik atau gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Penentuan Fokus Masalah

Berdasarkan tingginya angka gangguan jiwa di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan


Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 yang menjadi provinsi ke-2 dengan ODGJ terbanyak,
sehingga dilaksanakan program TAK dalam Pengembangan Model Pelayanan Jiwa
Berorientasi Pemulihan. Pemulihan yang diharapkan agar penyitas jiwa dapat mengenali
kondisinya, mengendalikan dirinya, dan bangkit dari keterbatasannya.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada periode Bulan Juni tahun 2022 di wilayah Kecamatan
Temon I, dengan rincian sebagai berikut:

Tempat : Balai Desa Kalurahan Kedundang dan Temon Kulon


11
Waktu : 10 Juni 2022 dan 14 Juni 2022
C. Subjek Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang dengan gangguan jiwa di wilayah kerja
Puskesmas Temon I, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total sampling. Dalam teknik ini, jumlah
sampel sama dengan jumlah populasi (Sugiyono, 2015). Kriteria sebagai sampel dibagi
menjadi dua yaitu kriteria inklusi dan ekslusi.

a. Kriteria inklusi meliputi :


1) Pasien dengan gangguan jiwa yang berdomisili di Kecamatan Temon, wilayah
kerja Puskesmas Temon I
2) Pasien gangguan jiwa yang stabil

b. Kriteria ekslusi meliputi :


1) Pasien dengan gangguan jiwa yang sudah meninggal
2) Pasien dengan gangguan jiwa dengan Kartu Keluarga wilayah kerja Puskesmas
Temon I, berdomisili di luar Kecamatan Temon
3) Pasien yang dinyatakan oleh dokter sembuh dan tidak memerlukan perawatan atau
pengobatan.
4) Pasien gangguan jiwa yang tidak stabil

D. Variabel Penelitian

Variabel bebas : Anggota keluarga yang terdiagnosis gangguan jiwa


Variabel tertentu : Penyakit penyerta

E. Alat Bantu Administrasi Penelitian


1. Buku PMO KUTANUSERI (Buku Status Menuju Sehat Mandiri)
2. Kuesioner MARS yang sudah disesuaikan

F. Alur Penelitian 12
Perumusan masalah jiwa di wilayah kerja Puskesmas Temon I

Pembuatan kuesioner MARS dengan beberapa penambahan poin yang


disesuaikan

Pengambilan data primer saat kunjungan program TAK sesuai kriteria inklusi dan
eksklusi

Pengolahan dan analisis data

Penyusunan hasil akhir penelitian

Evaluasi

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung :


ALFABETA.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

13

Anda mungkin juga menyukai