Anda di halaman 1dari 19

KESEHATAN MENTAL DI MASA PANDEMI COVID-19

(Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Isu-isu Strategis


Bidang Promosi Kesehatan dan Perilaku Kelas A)

Dosen Pengampu:
Erwin Nur Rif’ah, Ph.D

Disusun Oleh:
Kelompok 4

Abdus Salam 172110101034


Elen Nofita 172110101098
Safira Khoiratun Nissa’ 172110101117
Dea Agnar Pradita 172110101118
Niken Ayu Pramesthi 172110101131
Clarissa Ayu Candra K. 172110101167
Rizqa Ardhita Rosalina 172110101186

PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU


PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2020
1. LATAR BELAKANG
Kesehatan jiwa bisa dikatakan sebagai suatu kondisi sehat baik emosional,
psikologis, dan juga sosial yang ditunjukkan dalam hubungan interpersonal yang
memuaskan antara individu dengan individu lainnya, memiliki koping yang efektif,
konsep diri positif dan emosi yang stabil (Videbeck, S.L., 2010). Kesehatan jiwa
seseorang dipengaruhi oleh keseimbangan dan ketidakseimbangan antar sistem.
Sistem tersebut berfungsi sebagai salah satu kesatuan yang holistik dan bukan
semata-mata merupakan penjumlahan elemen-elemenya. Sehingga kesehatan jiwa
merupakan kondisi seseorang yang merasa sehat dan bahagia, mampu menerima
orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri
dan orang lain (Mangindaan, 2010). Gangguan jiwa adalah keadaan adanya
gangguan pada fungsi kejiwaan, fungsi kejiwaan meliputi proses berpikir, emosi,
kemauan dan perilaku psikotomotor, termasuk bicara. Seseorang mengalami
gangguan jiwa apabila ditemukan adanya gangguan pada fungsi mental yang
meliputi: emosi, pikiran, perilaku, perasaan, motivasi, kemauan, keinginan, daya
tilik diri dan persepsi sehingga mengganggu dalam proses hidup di masyarakat
(Nasir, 2011).
Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa pada pasal 8, salah satu upaya promotif dan preventif dalam
penanganan kasus gangguan jiwa adalah keterlibatan keluarga. Upaya promotif
dilingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan pola komunikasi
dalam keluarga yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat.
Sedangkan untuk upaya preventif menurut pasal 13 dilaksanakan dalam bentuk
pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa,
komunikasi, informasi dan edukasi dalam keluarga dan kegiatan lain sesuai dengan
perkembangan masyarakat (Undang – Undang Republik Indonesia No 18 Tahun
2014, 2014).
Upaya kesehatan jiwa tentunya tidak terlepas dari peran perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan berkolaborasi bersama
keluarga dalam merawat pasien. Keluarga merupakan lingkungan terdekat yang
mempengaruhi kesembuhan pasien, terutama dukungan keluarga selama di rumah
sangat dibutuhkan agar pasien termotivasi untuk sembuh dan tidak kambuh lagi.
Peran perawat juga sangat dibutuhkan untuk melakukan pendidikan kesehatan
kepada keluarga agar keluarga mampu menjadi pendukung yang efektif bagi pasien
skizofrenia baik dirumah sakit maupun dirumah (Keliat, 2011). Keluarga sebagai
orang terdekat yang mendampingi pasien dan support sistem sangat berperan agar
pasien tetap dalam kondisi stabil setelah perawatan, sehingga keluarga perlu
mengetahui dan memehami tentang cara perawatan pasien dirumah. Oleh karena
itu, sebagai satu indikator keluarga sehat adalah keluarga harus mampu merawat
pasien gangguan jiwa. Salah satu pendidikan kesehatan keluarga dalam masalah
gangguan jiwa adalah pemberian informasi dasar, yang disebut dengan
psikoedukasi keluarga (Videbeck, S.L, 2008).

2. KONSEP SEHAT DAN SAKIT


WHO (2015) menyatakan bahwa "Health is a state of complete physical,
mental and social well-being and not merely the absence of diseases or infirmity".
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehat
juga merupakan keadaan dari kondisi fisik yang baik, mental yang baik, dan juga
kesejahteraan sosial, tidak hanya merupakan ketiadaan dari penyakit atau
kelemahan (Triyono, 2017).
Definsi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang dapat
meningkatkan konsep sehat yang positif
a. Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh
b. Memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan
eksternal
c. Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup
Definisi kesehatan menurut Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 adalah
“keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial untuk
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi”
(Undang-Undang nomor 36 tahun 2009, 2009). Kesehatan fisik terwujud apabila
seseorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang
secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak
mengalami gangguan.
Disisi lain, sakit adalah berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh
karena menderita sesuatu (demam, sakit perut, dan lain-lain). Sakit juga merupakan
gangguan dalam fungsi normal individu sebagai totalitas, termasuk keadaan
organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya. Sakit juga dapat
disebabkan oleh beberapa hal, baik itu yang berasal dari gaya hidup yang kurang
sehat, lingkungan yang tidak bersih, ataupun karena menurunnya metabolisme
tubuh (Triyono, 2017).

3. DEFINISI KESEHATAN JIWA


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa menyebutkan bahwa kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana
seseorang dapat berkembang baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial
sehingga dapat menyadari kemampuan dirinya sendiri untuk mengatasi tekanan,
bekerja secara produktif dan memberikan kontribusi untuk orang-orang
disekitarnya (Undang-Undang Republik Indonesia, 2014). Kesehatan jiwa atau
kesehatan mental sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Karena hidup
yang sehat dan sejahtera tidak selalu berbicara tentang kesehatan fisik seseorang,
namun kondisi jiwa seseorang juga dapat mempengaruhi derajat kesehatan
seseorang.
Seseorang yang sehat mentalnya menurut (Fakhriyani, 2019) akan memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Terhindar dari gangguan jiwa
Kondisi mental yang sehat adalah mental yang terhindar dari segala macam
gangguan dan penyakit mental serta mampu mengatasi masalah yang muncul
didalam hidupnya dengan menghadapi masalah tersebut.
b. Mampu menyesuaikan diri
Seseorang dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang baik jika ia
mampu menghadapi segala kesulitan yang dialaminya secara wajar, tidak
merugikan diri sendiri, serta tidak merugikan orang lain.
c. Mampu memanfaatkan potensi secara maksimal
Potensi yang dimilikinya dapat dimanfaatkan dengan cara aktif dalam
berbagai kegiatan yang positif dan memiliki manfaat juga bagi perkembangan
dirinya.
d. Mampu mencapai kebahagiaan pribadi dan orang lain
Perilaku positif yang dilakukannya dapat berdampak positif pula bagi dirinya
maupun orang-orang disekitarnya.
Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional,
dan spiritual
a. Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran
b. Emosional saat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan
emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya
c. Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa
syukur, pujian, kepercayaan, dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam
fana ini
d. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan
orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku,
agama, atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya,
serta saling toleran dan menghargai
e. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang produktif yang
memiliki kegiatan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong
hidupnya sendiri dan keluarganya secara finansial.

4. PREVALENSI GANGGUAN KESEHATAN MENTAL


Perempuan lebih rentan mengalami depresi daripada laki-laki. Hal ini
mungkin disebabkan karena beban pikiran perempuan cenderung banyak dari pada
laki-laki misalnya saja jika perempuan masih bekerja diluar rumah maka saat
pulang ke rumah perempuan masih mengurus rumah, suami, serta anaknya. Lain
halnya dengan remaja, tingkat kelabilan perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Perempuan mengalami depresi paling banyak diusia 60-64 tahun yakni sekitar 8%,
hal ini dikarenakan pada usia tersebut banyak sekali beban pikiran yang harus
dilakukan oleh perempuan diusia tersebut. Sedangkan pada laki-laki rata-rata
mengalami depresi paling banyak yakni sekitar usia 60an-79.

Gambar 1. Prevalensi Depresi Berdasarkan Umur Dan Jenis Kelamin Di Dunia


Prevalensi gangguan mental berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun
2018, data menunjukkan bagaimana perkembangan dan fluktuasi angka kejadian
dalam rentang waktu 2007-2018. Pada tahun 2007 ke 2013 data menampilkan
adanya penurunan, sedangkan ditahun 2018 terjadinya peningkatan gangguan
emosional pada usia kurang dari sama dengan 15 tahun.

Gambar 2. Prevalensi Gangguan Mental Pada Penduduk Umur 15 tahun Keatas menurut
Provinsi 2007-2018
Dari data diatas pun provinsi Sulawesi Tengah paling banyak terdapat
gangguan mental emosional pada umur 15 tahun yakni sebanyak 19,8, sedangkan
jambi paling rendah yakni sebanyak 3,6. Sedangkan pada tahun 2007 Provinsi Jawa
Barat paling banyak yakni sekitar 20, sedangkan provinsi paling sedikit terdapat
gangguan mental emosional yakni Aceh kurang dari 5. Pada provinsi Jawa Timur
juga mengalami naik turun seperti halnya provinsi lainnya, yakni turun pada tahun
2013 dan mengalami kenaikan pada tahun 2018 meskipun kenaikannya tidak terlalu
spesifik. Dari data ini dapat dikatakan remaja mudah sekali mengalami gangguan
mental terutama pada emosional, karena hal ini emosional pada remaja masih labil
dan juga mental diusia 15 tahun tersebut masih dapat berubah-ubah. Hal ini lah
yang membuat data diatas mengalami naik turun dari tahun 2007-2018.

Gambar 3. Proporsi Rumah Tangga yang Memiliki ART Gangguan Jiwa


Skizorfenia/Psikosis yang Dipasung Menurut Tempat Tinggal 2013-2018

Data diatas menunjukkan bahwa pasung masih diberlakukan di Indonesia


baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Pada data diatas kategori pernah
dipasung mengalami penurunan dari tahun 2013 ke tahun 2018 meskipun tidak
secara signifikan. Dari data itu dapat dilihat bahwa daerah pedesaan lebih banyak
dari pada perkotaan, hal ini mungkin karena masih banyak stigma masyarakat desa
yang menganggap bahwa pasung merupakan cara yang terbaik bagi orang yang
mengalami gangguan mental, selain itu mungkin karena beban ekonomi atau biaya
untuk dilakukan perawatan sehingga masih banyak melakukannya dengan cara
dipasung. Sedangkan pada data dipasung 3 bulan terakhir daerah perkotaan dan
pedesaan memiliki angka yang sama yakni 31,1% hal ini membuktikan bahwa
sampai pada tahun 2018 baik pedesaan dan perkotaan masih melakukan pasung
dalam 3 bulan terakhir.

5. REGULASI KESEHATAN JIWA


Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Upaya kesehatan
jiwa dilaksanakan berasaskan keadilan, perikemanusiaan, manfaat, transparansi,
akuntabilitas, komprehensif, perlindungan, dan nondiskriminasi. Asas
perikemanusiaan dalam hal ini, bahwa penyelenggara upaya kesehatan jiwa kepada
ODGJ dilaksanakan secara manusiawi dan lain sebagainya. Berikut merupakan
peraturan-peraturan pemerintah Indonesia yang mengatur tentang kesehatan jiwa
maupun mental:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa (KEMENKUMHAM, 2020)
1) Upaya kesehatan jiwa bertujuan untuk menjamin setiap orang dapat
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan,
dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa serta
memberikan perlindungan dan pelayanan kesehatan jiwa bagi orang
dengan masalah kejiwaan (ODMK) dan orang dengan gangguan jiwa
(ODGJ) berdasarkan hak asasi manusia.
2) Saat ini UU No. 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa menjadi pedoman dalam
penyelenggaraan kesehatan jiwa yang komprehensif.
b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2015
Tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan
Penegakan Hukum
1) Pemeriksaan Kesehatan Jiwa adalah serangkaian kegiatan dari pelayanan
kesehatan jiwa yang dilakukan untuk menilai kondisi kesehatan jiwa
seseorang.
2) Pedoman pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan
hukum bertujuan untuk memberikan acuan bagi fasilitas pelayanan
kesehatan dan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan Pemeriksaan
Kesehatan Jiwa untuk kepentingan penegakan hukum.
c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2017
tentang Penanggulangan Pemasungan pada Orang Dengan Gangguan Jiwa
(Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, 2020)
1) Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa masih menjadi masalah
kesehatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia.
2) Pengaturan penanggulangan pemasungan pada ODGJ ditujukan untuk
menjamin pelayanan kesehatan, mencapai kualitas hidup yang sebaik-
baiknya dan menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan terhadap pemasungan dan tekanan akibat pemasungan
kesehatan bagi ODGJ berdasarkan hak asasi manusia.
3) Memberikan acuan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta
pemangku kepentingan lainnya untuk menghapuskan pemasungan pada
ODGJ.

6. PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MASALAH


KESEHATAN MENTAL
a. Skala Dunia
Aksi Kesehatan Mental 2013-2020 oleh WHO memiliki visi bahwa kesehatan
mental diseluruh dunia dihargai, dipropagandakan dan dilindungi, adanya upaya
preventif pada gangguan jiwa, pasian ODGJ mendapat Hak Asasi Manusia,
mendapat pelayanan kesehatan dan sosial pada waktu yang tepat untuk mendorong
pemulihan kesehatan jiwa, dan bersosialisai dengan masyarakat ataupun tempat
kerja tanpa adanya stigmatisasi dan diskriminasi (World Health Organization,
2013). Secara global, rencana aksi kesehatan mental ini bertujuan untuk
mempropagandakan atau mempromosikan, mencegah gangguan kesehatan mental,
mengadakan pelayanan kesehatan, mendorong pemulihan pasien, menyuarakan
Hak Asasi Manusia dan mengurangi angka kematian, kesakitan, dan kecacatan pada
penderita dengan gangguan mental (Ayuningtyas & Rayhani, 2018).
Action Plan yang disusun ini bersifat komprehensif berdasarkan keyakinan
bahwa kesehatan mental merupakan komponen penting untuk mencapai
"Kesehatan Bagi Semua." Pendekatan yang digunakan adalah "a life-course
approach" (pendekatan berdasarkan tahap kehidupan) dengan tujuan untuk
mencapai equity melalui Universal Health Coverage dengan penekanan pada
pentingnya upaya pencegahan.
Ada 4 sasaran utama dalam Action Plan ini yaitu: (1) kepemimpinan dan tata
kelola yang lebih efektif dalam kesehatan mental; (2) pelayanan kesehatan mental
yang komprehensif dan terintegrasi dengan pelayanan sosial dalam masyarakat; (3)
implementasi strategi promosi dan pencegahan; dan (4) memperkuat sistem
informasi, bukti dan penelitian. (WHO, 2013)
b. Skala Nasional
Masalah kesehatan jiwa menimbulkan beban yang cyukup besar. Di
Indonesia saat ini gangguan jiwa menduduki nomor 2 terbesar penyebab beban
disabilitas akibat penyakit berdasarkan YLD (years lived with disability). Di
samping itu masalah kesehatan jiwa tersebut dapat menimbulkan dampak sosial
antara lain meningkatnya angka kekerasan baik di rumah tangga maupun di
masyarakat umum, bunuh diri, penyalahgunaan napza (narkotika psikotropika dan
zat adiktif lainnya), masalah dalam perkawinan dan pekerjaan, masalah di
pendidikan, dan semua dampak tersebut akan mengurangi produktivitas. Hal ini
perlu diantisipasi, mengingat WHO mengestimasikan depresi akan menjadi
peringkat ke-2 penyebab beban akibat penyakit di dunia (global) setelah jantung
pada tahun 2020, dan menjadi peringkat pertama pada tahun 2030.
Namun demikian kesenjangan pengobatan (treatment gap) antara masyarakat
yang membutuhkan layanan dan yang mendapatkan layanan kesehatan jiwa di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia sangat besar yaitu lebih dari 90%.
Hal ini berarti bahwa hanya kurang dari 10% pasien gangguan jiwa mendapatkan
pengobatan. Kesenjangan pengobatan tersebut antara lain disebabkan adanya
hambatan dalam akses layanan kesehatan jiwa.
Kondisi yang terjadi saat ini adalah terdapatnya beban yang sangat besar di
RSJ/RS rujukan utama (layanan tersier) di Indonesia, meskipun sebagian dari kasus
tersebut sebenarnya dapat ditangani di pelayanan kesehatan primer. Layanan
kesehatan jiwa yang terintegrasi di puskesmas merupakan amanah dari Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang tercantum di dalam
pasal 34. Undang-Undang ini merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan
tugas negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi (to respect, to protect
and to fulfill) hak masyarakat, di bidang kesehatan jiwa.
Integrasi kesehatan jiwa ini juga merupakan rekomendasi dari World Health
Organization (WHO) dan World Organization of Family Doctors (WONCA), serta
kebijakan regional ASEAN yang telah disepakati bersama oleh tiap Negara
anggota. Hal ini juga merupakan kebijakan nasional yang tercantum dalam Peta
Strategis, Rencana Aksi Kesehatan Jiwa tahun 2015-2019, lampiran RPJMN 2015-
2019, dan Standar Pelayanan Minimal di Provinsi dan Kabupaten/Kota Bidang
Kesehatan tahun 2015-2019.
Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa di puskesmas berdasarkan Peta
Strategis adalah puskesmas yang memiliki tenaga kesehatan terlatih kesehatan jiwa,
melaksanakan upaya promotif kesehatan jiwa dan preventif terkait kesehatan jiwa,
serta melaksanakan deteksi dini, penegakan diagnosis, penatalaksanaan awal dan
pengelolaan rujukan balik kasus gangguan jiwa. Layanan tersebut dilakukan
dengan memperhatikan komorbiditas fisik dan jiwa. (KEMENKES, 2019).
Layanan kesehatan primer terutama puskesmas sebagai ujung tombak
layanan kesehatan di masyarakat memiliki peran yang sangat penting. Puskesmas
diharapkan berperan dalam penyediaan layanan kesehatan jiwa yang terpadu
dengan layanan kesehatan umum. Penyediaan layanan kesehatan jiwa dasar di
puskesmas harus tetap dijalankan untuk memenuhi hak dan kebutuhan masyarakat.
Terbatasnya sumber daya kesehatan terlatih jiwa merupakan salah satu
masalah yang perlu diatasi. Untuk itu perlu peningkatan kapasitas tenaga kesehatan
di layanan primer (puskesmas) di samping supervisi dari tenaga profesional
kesehatan jiwa. Peningkatan kapasitas tersebut berupa Pelatihan bagi Nakes tentang
Penatalaksanaan Kasus Gangguan Jiwa di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP).
Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Gangguan Jiwa bagi Nakes di
Puskesmas ini bertujuan:
1) Menjamin hak pelayanan ODGJ bagi seluruh masyarakat Indonesia dan
mencakup kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
2) Terlaksananya perluasan informasi tentang penyakit ODGJ, faktor risiko
ODGJ dan upaya pengendaliannya.
3) Terwujudnya penanggulangan ODGJ sesuai standar mutu nasional dan
keselamatan pasien.

7. GAMBARAN KESEHATAN MENTAL DI MASA PANDEMI COVID-


19
Pada penghujung tahun 2019, dunia dikejutkan dengan munculnya COVID-
19 yang dalam waktu singkat mampu menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Munculnya COVID-19 menyebabkan situasi dan kondisi di dunia berubah.
Pandemi COVID-19 mennghambat kehidupan masyarakat pada umumnya, karena
masyarakat harus beradaptasi dengan kebiasaan baru yang dilakukan untuk
mencegah penularan COVID-19. Akibat adanya pandemi COVID-19, banyak
terdapat masalah-masalah yang menyertai salah satunya mengenai tingginya angka
orang yang menderita gangguan kesehatan mental. Isolasi sosial, kekhawatiran
keuangan, dan ketakutan sakit karena COVID-19 telah membuat orang menjadi
depresi dan kecemasan berlebihan selama masa pandemi. Dalam lingkup dunia,
pada Bulan Mei 2020 United Nation menyatakan bahwa terdapat 264 juta jiwa
mengalami depresi. Tidak hanya itu, bahkan Morbidity and Mortality Weekly
Report di Negara Amerika Serikat menunjukkan bahwa gejala depresi dan
kecemasan meningkat dari tahun 2019. Dimana gajala depresi meningkat 4 kali
lipat lebih tinggi dan gejala kecemasan meningkat 3 kali lebih tinggi.
Di Indonesia sendiri, PDSJKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia) melakukan survei mengenai kesehatan mental melalui pemeriksaan
yang dilakukan secara daring kepada 1552 responden yang mengalami 3 masalah
psikologi, yaitu cemas, depresi, dan trauma. Dari 1552 responden tersebut 76,1%
responden perempuan dari umur 14 hingga 71 tahun, dan berasal dari Pulau Jawa
dan DKI Jakarta. Dari hasil survei yang dilakukan sebanyak 63% responden
mengalami kecemasan dan 66% responden mengalami depresi. Tidak hanya
berhenti disitu, pemeriksaan lanjutan dilakukan kepada 2.364 responden di 34
provinsi di Indonesia dan menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan survei
yang pertama dilakukan. Sebanyak 68% mengalami kecemasan, 67% mengalami
depresi, dan 77% mengalami trauma. Hal tersebut menggambarkan bahwa
kesehatan mental baik di dunia maupun di Indonesia dirasakan secara nyata oleh
masyarakat pada masa pandemi COVID-19 ini. Menurut Sulis (2020), terdapat
beberapa faktor risiko kesehatan mental akibat pandemi COVID-19:
a. Jarak dan Isolasi Sosial
Ketakutan akan COVID-19 menciptakan tekanan emosional yang serius.
Rasa keterasingan akibat adanya perintah jaga jarak telah mengganggu
kehidupan banyak orang dan mempengaruhi kondisi kesehatan mental
mereka, seperti depresi dan bunuh diri.
b. Dampak Ekonomi
Pandemi COVID-19 telah memicu krisis ekonomi global yang kemungkinan
akan meningkatkan risiko bunuh diri terkait dengan pengangguran dan
tekanan ekonomi.
c. Stres dan Trauma pada Tenaga Kesehatan
Penyedia layanan kesehatan berada pada risiko kesehatan mental yang makin
tinggi selama pandemi COVID-19. Sumber stres mencakup stres yang
ekstrim, takut akan penyakit, perasaan tidak berdaya, dan trauma karena
menyaksikan pasien COVID-19 meninggal sendirian. Sumber stres ini
memicu risiko bunuh diri tenaga kesehatan
d. Stigma dan Diskriminasi
Stigma COVID-19 dapat memicu kasus bunuh diri di seluruh dunia. Di
Indonesia, stigma dan diskriminasi dialami secara nyata, terutama oleh tenaga
kesehatan. Bentuk stigma yang dialami antara lain berupa orang-orang sekitar
menghindar dan menutup pintu saat melihat perawat, diusir dari tempat
tinggal, dilarang naik kendaraan umum, keluarga dikucilkan, dilarang
menikahi mereka, dan ancaman diceraikan oleh suami atau istri.

8. CRITICAL APPRAISAL
a. Ringkasan Isi artikel
Secara garis besar, latar belakang hingga kesimpulan yang dijelaskan pada
jurnal ini dapat dinilai spesifik. Adanya kesesuaian pembahasan antara
variabel kesehatan mental & kesejahteraan berupa sosiodemografi dan
dampak kesehatan mental, gejala COVID-19 dan dampak kesehatan mental,
Aktivitas karantina di rumah dan dampak kesehatan mental, stresor sosial
terkait COVID-19 dan dampak kesehatan mental hingga konsekuensi
psikologis selama wabah COVID-19.

b. Subtansi
1) Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi serta menilai dampak dari
COVID-19 terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan siswa di
Bangladesh selama masa karantina di rumah.
2) Kerangka Berpikir Ilmiah
Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional dengan sampel
mahasiswa di perguruan tinggi yang sedang menjalani karantina di rumah
dan telah tinggal di Bangladesh saat wabah COVID-19 dimulai. Survei
penelitian dilaksanakan sejak 9 April hingga 23 April 2020 dengan
menggunakan kuesioner online DASS-21 dan IES.
3) Ketajaman Hipotesis
Hipotesis yang dipaparkan dalam penelitian ini secara umum telah dapat
membantu tercapainya tujuan dari penelitian yang dilakukan, yakni
mengeksplorasi serta menilai dampak terjadinya COVID-19 terhadap
kesehatan mental dan kesejahteraan siswa. Dimana proses penelitian
dilakukan dengan menentukan adanya dampak COVID-19 terhadap
kesehatan mental yang diukur menggunakan skor DASS-21 (tentang stres,
kecemasan, dan depresi) dan skor IES pada responden penelitian.

c. Struktur
Judul : The impact of COVID-19 pandemic on mental health & wellbeing
among home-quarantined Bangladeshi students: A cross-sectional pilot study
Penulis : Abid Hasan Khana , Mst. Sadia Sultanaa , Sahadat Hossaina, M.
Tasdik Hasanb, Helal Uddin Ahmedc , Md. Tajuddin Sikdera
Terbit : 07 Agustus 2020
Susunan struktur penulisan pada jurnal ini suda tersusun secara rapi, jelas,
dan runtut. Penulis juga mencantumkan abstrak yang dapat digunakan untuk
mengetahui secara garis besar persoalan yang dibahas. Penulis juga
mencantumkan nama instansi terkait, tetapi tidak mencantumkan gelar atau
tidak ada keterangan apakah peneliti berupa mahasiswa, dosen, atau sarjana.

d. Metode Penelitian
1) Desain penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu menggunakan
studi cross sectional
2) Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini yaitu mahasiswa perguruan tinggi atau
universitas. Kriteria kelayakan untuk menelitian meliputi: dikarantina di
rumah, mampu berbicara bahasa Bengali dan telah tinggal di Bangladesh
selama wabah. Sedangkan sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 505
responden yang telah memenuhi kriteria penelitian.
3) Prosedur penelitian
Survei ini diselesaikan dari 9 April hingga 23 April 2020. Pengumpulan
data dilakukan dengan metode Convenience Sampling melalui media
sosial dengan kuesioner online. Tautan survei disebarluaskan di berbagai
platform yang tersedia di media sosial (misalnya Facebook).
4) Variabel penelitian
a) Sosial-demografi: meliputi umur, jenis kelamin, agama, tingkat
pendidikan, status perkawinan dan jumlah anggota keluarga.
b) Gejala fisik yang dilaporkan sendiri
c) Kegiatan karantina di rumah dan stres sosial terkait COVID-19 yang
dianggap sebagai ketidaknyamanan psikologis
d) Tingkat stres, kecemasan dan depresi
5) Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif untuk mengetahui
karakteristik responden. Sedangkan regresi linier bivariat dilakukan untuk
memprediksi hubungan tindakan psikologis (skor subskala DASS dan skor
IES) dengan faktor risiko potensial.

e. Kesimpulan dan Generalisasi


Secara umum, kesimpulan terkait masalah kesehatan mental di masa pandemi
COVID-19 saat ini disajikan berdasarkan fenomena-fenomena yang ada,
baik dari segi kesehatan maupun segi sosial. Hal ini dapat dikatakan sebagai
fakta pendukung yang memperkuat inti pembahasan jurnal. Selain adanya
fakta pendukung, kesimpulan dalam jurnal ini dilengkapi dengan alternatif
penyelesaian dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dijelaskan
beserta kelebihan-kekurangannya. Penjelasan secara rinci pada awal kalimat
dapat dikatakan sebagai strategi penulis dalam menggiring pembaca untuk
menemukan cut of point dalam jurnal ini.

f. Pustaka
Artikel tersebut menggunakan 43 kepustakaan. Dimana 43 kepustakaan
tersebut merupakan kepustakaan dalam bentuk artikel yang sudah
terpublikasi dalam jurnal yang terakreditasi, buku, dan juga data dalam suatu
website. Kepustakaan yang diambil sudah sesuai kaidah yaitu kepustakaan
terbaru dimana artikel dalam jangka waktu 5 tahun ke belakang, buku 10
tahun ke belakang kecuali memang tidak terdapat cetakan baru, dan data
terbaru. Namun demikian, masih ditemukan 5 artikel yang tahunnya
terlampau lama yaitu pada tahun 1979 dimana artikel tersebut memuat
kepustakaan tentang psikosomatis, tahun 2003 dan 2007 tentang SARS, tahun
2014 dan 2011 tentang stres.

g. Kesimpulan mutu artikel


Kelebihan dari artikel ini adalah peneliti mampu membedah bagaimana
Wabah COVID-19 sangat berdampak pada psikologis masyarakat. Bentuk
luaran artikel ini dapat menjadi bahan rekomendasi kepada pihak berwenang
untuk memberikan perhatian khusus pada topik ini dan mampu mengatasi
situasi ini secara mental. Selain itu, artikel ini mampu memberikan
kesimpulan bahwa persepsi tentang wabah juga dapat memainkan peran besar
dalam dampak psikologis. Hanya saja kekurangan dari artikel ini masih
terdapat referensi dalam bentuk buku maupun artikel yang tidak sesuai
dengan ketentuan batas tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas, D., & Rayhani, M. (2018). Analisis Situasi Kesehatan Mental Pada
Masyarakat Di Indonesia Dan Strategi Penanggulangannya Analysis of
Mental Health Situation on Community in Indonesia and the Intervention
Strategies. Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(1), 1–10.

Fakhriyani, D. V. (2019). Kesehatan Mental. Pamekasan: Duta Media Publishing.

Geneva, W. H. O. (1993). The ICD-10 classification of mental and behavioural


disorders: diagnostic criteria for research. International Classification.

Keliat, B. A. (2011). Keperawatan kesehatan jiwa komunitas: CMHN (Basic


Course). Jakarta: EGC.

KEMENKUMHAM. (2020, November). Kemenkumham. Retrieved November


2020, from http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/2014/uu18-
2014bt.pdf

KEMENKES. (2019). Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Gangguan


Jiwa bagi Nakes di Puskesmas Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan.
Kalimantan: KEMENKES.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Sehat Jiwa. Retrieved


November 8, 2020, from https://promkes.kemkes.go.id/content/?p=7385

Koesno, D. A. S. 2020. Studi: Penderita Gangguan Mental Meningkat Selama


Pandemi COVID-19. [Serial Online]. https://tirto.id/studi-penderita-
gangguan-mental-meningkat-selama-pandemi-covid-19-f1uj. [Diakses
pada tanggal 08 November 2020].

Mangindaan, L. (2010). Gangguan Kepribadian, dalam Buku Ajar Psikiatri.


Jakarta: FKUI.

Nasir, A. &. (2011). Dasar-dasar keperawatan jiwa: pengantar dan teori. Jakarta:
Salemba Medika.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. (2020). PERSI. Retrieved November
2020, from https://persi.or.id/images/regulasi/permenkes/pmk542017.pdf

Triyono, S. D. (2017). KONSEP SEHAT DAN SAKIT PADA INDIVIDU


DENGAN UROLITHIASIS. Jurnal Psikologi Udayana 2017, Vol.4, No.2,
263- 276, 263-276.

Undang – Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2014. (2014). Undang –


Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
pada pasal 8.

Undang-Undang nomor 36 tahun 2009. (2009). Undang-Undang nomor 36 tahun


2009 tentang kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.

Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: Egc.

Videbeck, S.L. (2010). Psychiatric-mental health nursing. Lippincott Williams &


Wilkins.

WHO. (2013). Mental health action plan 2013-2020. WHO.

Winurini, Sulis. 2020. Permasalahan Kesehatan Mental Akhibat Pandemi COVID-


19. Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis. XII (15):13-18.

Anda mungkin juga menyukai