Anda di halaman 1dari 12

PRESENTASI KASUS

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF TIPE DEPRESIF (F.25.1)

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa RS PKU Muhammadiyah Gamping

Disusun oleh
Wilda Fadhilah
20194010072

Diajukan Kepada
dr. H. Wildan, Sp.KJ

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2020
BAB I

KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. POP
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 30 tahun
Agama : Islam
Alamat : Sleman
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Cemas berlebihan
2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien mulai mengeluh cemas berlebihan lagi, tegang, frustasi, mudah emosi,
mudah lelah dan sulit tidur. Kalau naik motor dalam pikirannya rasanya ingin
nabrakin motornya ke motor orang lain. Pasien juga mengeluh menstruasinya
tidak teratur beberapa bulan terakhir. Pasien sudah mencoba kombinasi ke
psikolog juga, namun tidak ada perubahan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien merupakan pasien rutin dengan dr. Wildan, SpKJ
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga yang mengalami keluhan serupa tidak diketahui.
5. Riwayat Sosial dan Gaya Hidup
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang sudah menikah dan
memiliki anak yang sedang belajar di rumah. Pasien merasa kesulitan untuk
membimbing anak-anaknya belajar di rumah sehingga sering marah-marah
terus.
C. Pemeriksaan Status Mental
1. Kesadaran : Compos mentis, tidak berubah
2. Orientasi : Orang : baik
Tempat : baik
Waktu : baik
Situasi : baik
3. Sikap dan tingkah laku : Normoaktif
4. Roman Muka : Sedikit mimik
5. Afek : Anxious
6. Arus pikir : Cukup lancar, koheren
7. Isi Pikir : Tidak ada waham
8. Bentuk Pikir : Cukup realistik
9. Gangguan memori : Tidak ada
10. Gangguan Intelegensi : Tidak ada
11. Perhatian : Mudah ditarik dan mudah dicantum
12. Hubungan Jiwa : Mudah

D. Diagnosis
Gangguan Skizoafektif Tipe Depresi (F25.1)

E. Diagnosis banding

F.25.2 Gangguan Skizoafektif Tipe Campuran

F.31.5 Gangguan Afektif Bipolar Episode Kini Depresif Berat dengan Gejala
Psikotik
F.32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik

F. Penatalaksanaan
R/ Fluoxetine 20 mg tab No. XXX
S 1 dd tab 1 pagi
R/ Risperidone 2 mg No. XXX
S 2 dd tab ½ - 0 – ½
R/ Trihexypenidil 2 mg No. XXX
S 2 dd tab ½ - 0 – ½
R/ Amitriptylyn 12,5 mg
Diazepam 3 mg
Mfla pulv dtd da in caps No. XXX
S 1 dd tab 1 malam jika tidak bias tidur
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gangguan skizoafektif adalah penyakit dengan gejala psikotik yang
persisten, seperti halusinasi atau delusi, terjadi bersama-sama dengan masalah
suasana (mood disorder) seperti depresi, manik, atau episode campuran.
Gangguan skizoafektif diperkirakan terjadi lebih sering daripada gangguan
bipolar. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala
definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif bersama-sama menonjol pada
saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari sesudah yang lain, dalam episode
yang sama.
Sebagian diantara pasien gangguan skizoafektif mengalami episode
skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif atau campuran keduanya.
Suatu gangguan psikotik dengan gejala-gejala skizofrenia dan manik yang sama-
sama menonjol dalam satu episode penyakit yang sama. Gejala-gejala afektif di
antaranya yaitu elasi dan ide-ide kebesaran, tetapi kadangkadang kegelisahan atau
iritabilitas disertai oleh perilaku agresif serta ideide kejaran. Terdapat peningkatan
enersi, aktivitas yang berlebihan, konsentrasi yang terganggu, dan hilangnya
hambatan norma sosial.
Waham kebesaran, waham kejaran mungkin ada. Gejala skizofrenia juga
harus ada, antara lain merasa pikirannya disiarkan atau diganggu, ada kekuatan-
kekuatan yang sedang berusaha mengendalikannya, mendengar suara-suara yang
beraneka beragam atau menyatakan ide-ide yang bizarre. Onset biasanya akut,
perilaku sangat terganggu, namun penyembuhan secara sempurna dalam beberapa
minggu.
B. Etiologi
1. Belum jelas. Seperti juga Skizofrenia, Skizoafektif kemungkinan akibat suatu
gangguan perkembangan neuronal
2. Faktor genetik: Terdapat peningkatan prevalensi gangguan afektif pada
keluarga dengan Skizoafektif dibanding dengan Skizofrenia dan peningkatan
prevalensi Skizofrenia pada keluarga dengan skizoafektif dibanding dengan
kelompok gangguan afektif.

C. Faktor Risiko
• Skizoafektif depresi lebih sering pada orang tua
• Tipe bipolar lebih sering pada dewasa muda
• Prevalensi perempuan lebih tinggi, terutama wanita menikah
• Awitan perempuan lebih lanjut
• Apabila terjadi pada laki-laki maka akan bersamaan dengan perilaku
antisosial dan afek yang tumpul

D. Pedoman Diagnostik
1. Kriteria diagnosis menurut DSM-IV-TR
- Periode penyakit tidak terputus berupa, pada suatu waktu depresif mayor,
episode manik, atau episode campuran yang terjadi bersamaan dengan kriteria
skizofrenia seperti Waham; Halusinasi, perilaku aneh atau simptom negatif.
Periode depresif mayor harus mencakup kriteria skizofrenia dengan mood
terdepresi
- Selama periode penyakit yang sama terdapat waham dan halusinasi selama
sekurang-kurangnya 2 minggu tanpa gejala mood yang menonjol
- Gejala yang memenuhi kriteria episode mood, timbul dalam jumlah bermakna
pada durasi total periode aktif dan residual penyakit
- Gangguan tidak disebabkan efek fisiologis penggunaan zat psikoaktif
Tentukan tipe:
Bipolar apabila gejala mencakup episode manik dan campuran atau campuran
manik dan depresif mayor
Type depresif apabila hanya mencakup depresi mayor

2. Kriteria menurut PPDGJ III


- Diagnosis dibuat jika gejala skizofrenia dan afektif sama-sama menonjol
dalam satu waktu
- Apabila gejala tidak muncul dalam satu waktu maka tidak bisa menegakkan
diagnosis
- Apabila pasien mengalami depresi setelah mengalami gejala psikotik maka
masukkan dalam diagnosis depresi pasca skizofrenia (F.20.4). Beberapa
pasien akan mengalami gangguan skizoafektif manik dan depresi atau
campuran.

Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ III, untuk mendiagnosa skizofrenia harus ada
sedikitnya satu gejala berikut ini yang jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih
bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

1. Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang bergema dan berulang dalam
kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda.

2. Thought insertion or withdrawal = isi pikiran asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal).

3. Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya.

4. Delution of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu


kekuatan tertentu dari luar. Delution of influence = waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar.

5. Delution of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah


terhadap kekuatan dari luar.

6. Delution of perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna


sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

Gejala-gejala lainnya adalah halusinasi auditorik: suara halusinasi yang


berkomentar secara terus-menerus tentang perilaku pasien. Mendiskusikan perihal
pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara). Jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh. Waham menetap
jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu
yang mustahil. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada
secara jelas: halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-
minggu atau berbulan-bulan terus menerus. Arus pikiran yang terputus (break)
atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.

Gejala utama depresi (pada derajat ringan, sedang, dan berat):


- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

Gejala lainnya:
a) Konsentrasi dan perhatiannya berkurang;
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
d) Pandangan masa depat yang suram dan pesimistis;
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
f) Tidur terganggu;
g) Nafsu makan berkurang.
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

E. Gejala Klinis

Gejala psikotik: waham (bizarre, pikiran yang disiarkan, pikiran yang


dikendalikan dari luar, ada kekuatan dari luar yang mengendalikan tindakannya),
halusinasi (mendengar suara-suara yang tidak ada objeknya).
Gejala afektif :

Afek depresif :
Afek manik: energi yang berlebihan, waham kebesaran, waham kejar, agresif,
iritabel.
Afek campuran

F. Diagnosa Banding
Gangguan skizoafektif akibat zat (amfetamin, fensiklidin, atau steroid eksogen)
G. Tatalaksana
1. Farmakoterapi
Pemberian mood stabilizer untuk gangguan bipolar dan skizoafektif.
Karbamazepin efektif untuk gangguan skizoafektif tipe depresif. Dalam praktek
penggunaannya secara luas dan dikombinasi dengan agen psikotik. Pada episode
manik, terapi menggunakan mood stabilizer agresif sampai kadar dalam darah
adekuat. Pada masa pemeliharaan pemberiaan dosis dapat dikurangi sampai
dosis minimal efektif. Pantau fungsi hepar dan ginjal juga fungsi hematologis
untuk mengetahui efek samping obat. Pada mania yang sulit disembuhkan dapat
diterapkan ECT.
Pada periode depresif mayor, membutuhkan antidepresan. Tujuan
pengobatan bukan mengubah depresif menjadi manik dengan cepat. Pengobatan
dengan antidepresan harus memperhatikan kegagalan obat sebelumnya. SSRI
digunakan sebagi lini pertama. Pada keadaan mood depresif, pemakaian ECT
dapat dipertimbangkan. Penggunaan antipsikotik bermanfaat, terkadang lithium
lebih bermanfaat.
2. Pengobatan psikososial
Terapi psikososial berupa terapi keluarga, latihan keterampilan dan
rehabilitasi kognitif. Pasien dan keluarga harus menerima penjelasan bahwa
spektrumpenyakit sangat luas jadi sulit menentukan prognosis penyakit.
Keluarga disiapkan dalam menghadapi perubahan sifat dan kebutuhan pasien.
Pemberian regimen obat mungkin lebih rumit, jadi perlupendidikan
farmakologis untuk keluarga.

H. Prognosis

Prognosis sulit ditentukan karena perjalanan yang tidak pasti. Adanya gejala
skizofrenik memperlihatkan hasil yang lebih buruk. Setelah satu tahun, apabila
gejala dominannya afektif, prognosis lebih baik Semakin lama gangguan, akan
lebih mengarah ke prognosis buruk, yaitu skizofrenia. Prognosa lebih buruk dari
gangguan Afektif tapi lebih baik dari gangguan Skizofrenia

9
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan kriteria diagnostik PPDGJ III-DSM 5 pasien dalam kasus ini


memenuhi pedoman diagnositik untuk diagnosis F.25.1 Gangguan Skizoafektif tipe
Depresi. Onset terjadinya penyakit sudah lebih dari dua minggu, disertai adanya gejala
skizofrenia yaitu perilaku aneh seperti ingin menabrakkan diri ketika naik motor dan
adanya gejala negatif berkurangnya ekspresi dari wajah maupun suara. Gejala ini iisertai
dengan gejala mayor dan minor pada depresi yaitu afek depresif, mudah lelah, perilaku
membahayakan diri sendiri serta sulit tidur. Adanya perubahan mood pada pasien yaitu
mudah marah, tegang dan cemas.
Pengobatan yang diberikan sesuai untuk mengurangi gejala yang diderita pasien,
diberikan dengan harapan adanya perbaikan kondisi pasien pada kunjungan kontrol
selanjutnya. Pada episode depresif, diberikan antidepressant lini pertama yaitu golongan
SSRI, pada pasien diberikan fluoxetine 20 mg 1x1. Obat ini bekerja dengan
meningkatkan aktivitas serotonin dalam otak. Serotonin sendiri merupakan zat yang
dapat menimbulkan perasaan nyaman dan senang. Dengan meningkatnya aktivitas
serotonin, maka gangguan pada keadaan emosional, tidur, nafsu makan, energi, dan
ketertarikan dengan aktivitas sosial dapat teratasi.
Selanjutnya diberikan antipsikosis generasi kedua yaitu risperidone 2 mg 2x1/2.
Risperidone merupakan obat antipsikosis generasi kedua yang digunakan dalam
penatalaksanaan skizofrenia, gangguan bipolar mania, iritabilitas yang berhubungan
dengan gangguan autisme, gangguan tingkah laku, serta demensia pada penyakit
Alzheimer. Risperidone adalah derivat benzisoxazole yang memiliki afinitas tinggi
terhadap reseptor dopamin D2 dan serotonin 5 HT2. Efek terapi obat risperidone adalah
dengan memblokade dopamin pada reseptor postsinaps neuron di otak sehingga efektif
untuk gejala positif, serta berafinitas dengan reseptor serotonin 5 HT2 sehingga efektif
juga untuk gejala negatif.

Diberikan Trihexyphenidil 2 mg 2x1/2. Trihexyphenidil diberikan untuk


mengatasi gejala penyakit Parkinson dan gejala ekstrapiramidal akibat penggunaan obat
tertentu, termasuk antipsikotik. Gejala ekstrapiramidal meliputi kaku tubuh, gerakan
yang tidak normal dan tidak terkendali, serta tremor. Thrihexyphenidyl merupakan

10
golongan obat antimuskarinik yang bekerja dengan cara menghambat zat alami
asetilkolin. Dengan begitu, obat ini dapat membantu mengurangi kekakuan otot dan
mengontrol fungsi otot.

Amitriptillin diberikan sebagai antidepressan yang diracik bersama Diazepam


untuk mengurangi keluhan pasien, bekerja pada benzodiazepine reseptor sehingga akan
menghambat GABA-ergic neuron dan hiperaktivitas tersebut diatas mereda. Diminum
jika pasien tidak bisa tidur.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Obat Anti-Psikosis. Editor : Rusdi Muslim. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik


(Psychitropic Medication). Edisi 3 . Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-
Unika Atma Jaya. (PT.Nuh Jaya). 2007
2. Sadock BJ and Virginia Alcott Sadock. 2004. Kaplan&Sadock, Buku Ajar
Psikiatri Klinis. Edisi 2. Alih Bahasa Profitasari dan Tiara Mahatmi Nisa.
Jakarta ; Penerbit Buku Kedokteran Indonesia EGC.
3. Maslim Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III. Jakarta.
4. Crismon, M.L., and Buckley, P.F., 2003, Schizophrenia, Editor: DiPiro, J.T.,
Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.,
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Sixth Edition, McGraw
Hill, New York.
5. Tomb DA, 2006. Buku Saku Psikiatri. Edisi keenam. EGC: Jakarta

12

Anda mungkin juga menyukai