Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

POLI JIWA DAN NARKOBA


RSUD.JEND. AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MALAHAYATI

Skizofrenia (F20)

Oleh :
M.Darman Hadi Prayogo
22361081
Masa KKM: 9 Januari 2022 – 11 Februari 2023

Penguji :
dr. Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN NARKOBA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD. JENDRAL AHMAD YANI METRO
LAMPUNG
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul


“Skizofrenia”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada Oktober 2023

Oleh:
M.Darman Hadi Prayogo
2231081
Masa KKM: 9 Januari 2023 – 11 Februari 2023

Pembimbing :

dr. Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Sp.KJ

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
BAB II
2.1 Definisi.........................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi................................................................................................................2
2.3 Etiologi.........................................................................................................................3
2.5 Gejala Klinis................................................................................................................7
2.5 Klasifikasi Gangguan Kecemasan...............................................................................8
2.7 Pedoman Diagnosis......................................................................................................9
2.7 Penatalaksanaan.........................................................................................................11
BAB III
3.1 Kesimpulan................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum

diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronik atau “deteriorating”) yang

luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada primbangan pengaruh genetik, fisik,

dan sosial budaya.

Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik

dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) or tumpul

(blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual

biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang

kemudian.

Skizofrenia merupakan gangguan mental berat dan kronis yang menyerang

20 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2019).

Hasil Riset kesehatan dasar (2018) didapatkan bahwa prevalensi penderita

skizofrenia di Indonesia sebesar 1,8 per 1000 penduduk. Hasil survey awal yang

dilakukan di poliklinik rawat jalan RSJ Medan di temukan sebanyak 13.899

pasien yang rawat jalan dibawa oleh keluarganya untuk berobat(Pardede et al,

2020). Penderita skizofrenia yang sembuh dikembalikan kepada keluarga untuk

dirawat dirumah. Keluarga adalah orang yang dekat dengan pasien harus

bertanggung jawab dalam merawat pasien, namun dalam pelaksanaannyahal ini

menjadi beban bagi keluarga. Keadaan ini meningkatkan stres dalam keluarga

(Pardede et al, 2020).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai

area fungsi individu, termasuk berfikir, berkomunikasi, merasakan dan

menunjukkan emosi serta gangguan otak yang ditandai dengan pikiran kacau,

waham, halusinasi, dan perilaku aneh (Pardede et al, 2021).

Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi

pikiran, perasaan, dan perilaku individu. Skizofrenia adalah bagian dari gangguan

psikosis yang terutama ditandai dengan kehilangan pemahaman terhadap realitas dan

hilangnya daya tilik diri (insight) (Zuraida, 2018).

Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang memengaruhi

berbagai area fungsi individu, termasuk berpikir, berkomunikasi, menerima,

Menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi (Pardede et al,

2020).

Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidak

seimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak.

2.2 Epidemiologi

Gangguan in memiliki prevalensi seumur hidup sebesar 0,3-0,7 (Pitayanti et al,

2020). Sumber lain menyebutkan prevalensi skizofrenia sebesar 1% dan insiden (kasus

baru) skizofrenia sebesar 1,5 per 10.000 individu (Pardede, 2020). Riset Kesehatan

2
Dasar pada tahun 2013 menyebutkan prevalensi skizofrenia dan gangguan jiwa berat di

Indonesia yaitu 1,7%o (Pardede et al, 2020). Walaupun skizofenia tidak gangguan

mental lainnya, gangguan jiwa ini menyebabkan gangguan fungsi individu, seperti

akademik, pekerjaan, dan fungsi sehari-hari yang lain dalam taraf berat. Secara umum

skizofrenia mempunyai onset usia remaja hingga dewasa muda. Onset usia pada pria

berkisar antara usia 18-25 tahun sedangkan pada wanita pada usia 25-35 tahun. Onset

yang jarang dapat terjadi pada usia dini (early onset schizophrenia) dan pada usia lanjut

di atas 40 tahun (late onset schizophrenia). Early onset schizophrenia (EOS) didiagnosis

pada usia sebelum 18 tahun. Insiden EOS ini tercatat 3,17 per 100.000 person years.

Skizofrenia onset lambat lebih banyak terdiagnosis pada wanita daripada pria.

Skizofrenia lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita dengan perbandingan

1,4:1. Pasien dengan skizofrenia memiliki angka mortalitas dari semua penyebab

sebesar 2,6 kali lipat dibandingkan dengan populasi tanpa skizofrenia (Pardede et al,

2020)

2.3 Etiologi

Beberapa penelitian mengemukakan hubungan beberapa etiologi sehingga

menyebabkan perubahan neurobiologis pada skizofrenia. Hubungan itu antara lain

adalah infeksi prenatal (first hit) dimana dengan Zen "rentan" tertentu akan

menyebabkan inflamasi dan terjadi perubahan neurobiologis dan proses tersebut akan

berlaniut apabila pada masa dewasa seseorang terpapar faktor-faktor seperti trauma,

stressor sosial, dan aktivitas inflamasi (secondary hit) sehingga akan menginduksi

perubahan neurobiologis lebih lanjut oleh karena proses neuroimunologis seperti

penurunan neurogenesis, peningkatan sinyal glutaminergik penurunan aktivitas GABA,

3
penurunan myelinisasi, dan banyak aktivitas reseptor lainnya yang akan berujung pada

fase psikosis dari skizofrenia (Pardede et al., 2020).

Skizofrenia merupakan sebuah sindroma yang terdiri dari beragam penyebab

dan perjalanan penyakit. Interaksi antara genetik dan lingkungan sangat berperan dalam

munculnya skizofrenia (Pardede et al., 2020).

1. Genetik

Skizofrenia merupakan sebuah sindroma yang terdiri dari beragam

penyebab dan perjalanan penyakit. Interaksi antara genetik dan lingkungan

sangat berperan dalam munculnya skizofrenia (Pardede et al, 2020)

Dengan menggunakan pendekatan biopsikososial dapat dipahami bahwa

munculnya skizofrenia merupakan suatu proses yang kompleks. Sebagaimana

dijelaskan di atas, munculnya gejala klinis pada skizofrenia seperti gejala positif

dan negatif dikarenakan adanya gangguan pada fungi sistem neurotransmiter

tertentu, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa interaksi kompleks antara

genetik dan lingkungan berperan dalam munculnya proses tersebut.

2. Infeksi dan Inflamasi

Beragam kondisi yang mempengaruhi kesejahteraan janin dalam

kandungan dapat mempengaruhi munculnya skizofrenia di kemudian hari.

4
Faktor prenatal dan perinatal yang berhubungan dengan skizofrenia tampak pada

table.

Infeksi diperkirakan berperan pada munculnya respon imun dari ibu yang

disalurkan ke janin melalui plasenta sehingga mempengaruhi perkembangan

otak dalam kandungan. Transfer respon imun dari ibu ke janin menyebabkan

gangguan pada sawar darah otak dan masuknya antibodi yang memiliki reaksi

silang dengan protein sistem saraf pusat. Proses tersebut menyebabkan gangguan

pada perkembangan sistem saraf pusat janin. Infeksi pada awal masa kanak juga

menyebabkan terjadinya proses inflamasi yang mempengaruhi perkembangan

otak bayi dan kanak untuk menimbulkan kerentanan munculnya skizofrenia dan

gangguan jiwa lain dikemudian hari (Pardede et al., 2020)

Inflamasi diperkirakan juga berperan pada pasien skizofrenia. Pada

pasien skizofrenia ditemukan adanya peningkatan relatif kadar sitokin

proinflamasi. Sitokin proinflamasi diperkirakan berperan dalam perubahan pada

5
sawar darah otak yang menyebabkan gangguan struktural pada otak sehingga

memunculkan gejala gangguan jiwa termasuk skizofrenia. Salah satu bukti yang

mendukung bahwa proses inflamasi ini berperan dalam skizofrenia dapat tampak

pada efek tidak langsung antipsikosis yang memiliki efek antiinflamasi sehingga

memperbaiki kondisi klinisnnya (Pardede et al., 2020). Tingginya prevalensi

skizofrenia juga dihubungkan dengan penyakit autoimun.

3. Faktor Resiko Lain

Penggunaan kanabis, dilaporkan memiliki odds ratio (OR) antara 2,2 -

2,8 untuk menderita psikosis, tergantung dari faktor risiko lain seperti riwayat

keluarga, dan lain-lain. Pemberian infus delta-9-tetrahydrocannabinol

menimbulkan gejala psikosis pada pasien dengan atau tapa skizofrenia (Pardede

et al., 2020)

Imigrasi, imigran memiliki risiko relatif hingga 4 kali lipat untuk

menderita skizofrenia, hingga ke generasi kedua. Hal in terkait dengan

diskriminasi sosial dan kesenjangan ekonomi. Peningkatan risiko skizofrenia

juga dikaitkan dengan defisiensi vitamin D (Pardede et al., 2020)

4. Neurokimiawi

(a) Dopamin

6
Skizofrenia merupakan salah satu bagian dari gangguan psikosis.

Teori klasik atau hipotesis dopamin menyebutkan bahwa munculnya gejala

psikosis pada skizofsmnia diakibatkan oleh adanya gangguan aktivitas

neuron dopaminergik. Neuron dopaminergik mempunyai jaras (pathway)

Munculnya gejala positif pada skizofrenia diakibatkan oleh

hiperaktivitas neuron dopaminergik pada jaras mesolimbik, terutama pada

reseptor D2. Hipoaktivitas dopamin pada jaras mesokorteks menyebabkan

munculnya gejala negatif, afektif, dan kognitif. Hipoaktivitas dopamin

pada dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) juga menyebabkan gejala

negatif dan kognitif. Hipoaktivitas dopamin pada ventromedial prefrontal

cortex (VMPFC) menyebabkan gejala negatif dan afektif (Pardede et al.,

2020).

(b) Glutamat

Glutamat juga diperkirakan mempunyai hubungan dengan

munculnya skizofrenia. Diperkirakan hipofungsi reseptor

glutamat yaitu N-methyl-D aspartate (NMDA) berperan skizofrenia.

Terdapat hubungan antara pelepasan dopamin dengan aktivitas sistem

glutamat. Proyeksi glutamat kortiko- batang otak berkomunikasi dengan

jaras dopamin mesolimbik untuk regulasi pelepasan dopamin di nucleus

accumbens. Hipofungsi reseptor NDA pada interneuron GABA kortikal

menyebabkan teriadinva overaktivitas komunikasi antar jaras in sehingga

terjadi pelepasan berlebihan dopamin berlebihan pada jaras dopamin

mesolimbik (Pardede et al., 2020).

7
Ikatan glutamat dan reseptor NMDA pada interneuron GABAergik di

ventral hipokampus menstimulasi pelepasan GABA. GABA akan berikatan

dengan reseptor pada neuron glutamat piramidal yang berproyeksi pada

nucleus accumbens sehingga menghambat pelepasan glutamat. Kondisi

relatif tidak adanya glutamat pada nucleus accumbens menyebabkan

aktivasi normal proyeksi neuron GABAergik pada globus pallidus. Hal ini

selaniutnva akan menimbulkan aktivasi normal neuron GABAergik yang

berproyeksi pada ventral tegmental area (VTA). Selanjutnya akan teriadi

aktivasi normal dari iaras dopamin mesolimbik dari VTA ke nuclues

accumbens (Pardede et al., 2020).

Jika terjadi disfungsi pada reseptor NMDA di ventral hipokampus

maka proyeksi jaras glutamatergik pada nucleus accumbens akan

teraktivasi sehingga merangsang pelepasan glutamat dalam jumlah

berlebihan. Hal ini akan menvebabkan stimulasi berlebihan neuron

GABAergik yang berproyeksi ke globus pallidus, selanjutnya akan

menghambat pelepasan GABA dari globus pallidus ke VTA. Proses ini

akan menyebabkan disinhibisi jaras dopamin mesolimbik dan

menyebabkan pelepasan berlebihan dopamin di nuclues accumbens. Hal ini

diduga sebagai dasar munculnya gejala positif pada psikosis dan

skizofrenia (Pardede et al., 2020).

Sebagai salah satu fitur gejala pada skizofrenia, gejala negatif juga

dapat dijelaskan dengan menggunakan hipotesis glutamat. Sebagaimana

8
munculnya gejala positif, gejala negatif pada skizofrenia juga diakibatkan

oleh hipofungsi reseptor NMDA Pada kondisi normal, proyeksi glutamat

kortikal-batang otak berkomunikasi dengan jaras dopamin mesokorteks di

VTA melalui interneuron piramidall yang meregulasi pelepasan dopamin

di korteks prefrontal (Pardede et al., 2020).

Hipoaktif reseptor NDA di interneuron GABA kortikal menyebabkan

jaras kortikal-batang otak ke VTA menjadi overaktivasi sehingga terjadi

pelepasan glutamat berlebihan. Teriadi stimulasi berlebihan neuron

piramidal batang otak sehingga menghambat neuron dopamin mesokorteks.

Proses ini akan menurunkan pelepasan dopamin di korteks prefrontal yang

secara teori sebagai penyebab munculnya gejala negatif dan kognitif

(Pardede et al., 2020).

(c) Serotonin

Hipotesis serotonin menyatakan bahwa kadar serotonin berlebihan

menyebabkan gejala positif dan negatif skizofrenia. Jaras serotonergik dan

dopaminergik berinteraksi secara resiprokal pada jaras nigrostriatal. Studi

pencitraan hingga sat ini masih belum dapat menunjukkan bukti yang

konsisten tentang abnormalitas ikatan reseptor serotonin (5-HT) pada

individu dengan skizofrenia. Kadar 5-hydroxyindole acetic acid (5-HIAA)

sebagai metabolit utama 5-HT juga tidak konsisten pada pasien denga

skizofrenia. Belum ada bukti bahwa antagonis serotonin saja mampu

berfungsi sebagai antipsikosis. Sehingga hipotesis serotonin sebagai

9
penyebab skizofrenia masih disematkan pada interaksinya pada sistem

dopamin (Pardede et al., 2020).

(d) Gamma-amino-butyric acid (GABA)

GABA pada interneuron berperan dalam regulasi fungsi korteks

prefrontal melalui modulasi sel piramidal glutamatergik (Hashimoto et al.,

2003). Pasien skizofrenia memiliki neuron GABAergik yang relatif lebih

rendah daripada individu normal. Keadaan relatif rendahnya jumlah neuron

GABAergik menvebabkan rendahnya efek inhibisi neuron GABAergik dan

memicu hiperaktivitas neuron dopaminergik (Pardede et al., 2020).

(e) Sistem Kolinergik

Peran asetilkolin pada skizofrenia mash belum jelas. Asetilkolin

diperkirakan dapat berperan dalam patogenesis skizofrenia melalui reseptor

nikotinilm yang dapat mempengaruhi beragam sistem neurotransmiter.

Peningkatan aktivitas reseptor nikotinik dapat meningkatkan komunikasi

yang diperantarai reseptor glutamat pada neuron dopamin di VTA tikus

coba. Studi postmortem pada skizofrenia menunjukkan penurunan reseptor

muskarinik dan nikotinik pada caudate-putamen, hipokampus, dan

beberapa regio di korteks prefrontal. Reseptor tersebut berperan dalam

regulasi kognitif yang seringkali terganggu pada skizofrenia. Hingga sat ini

mash belum jelas peran sistem kolinergik sebagai proses primer munculnya

10
skizofrenia atau merupakan proses sekunder dalam perjalanan penyakit ini

(Pardede et al., 2020)

(f) Sistem Adrenergik

Norepinefrin kemungkinan mempunyai peran dalam patologi

skizofrenia. Gejala yang muncul ada skizofrenia seperti berkurangnya

kemampuan merasakan kesenangan (anhedonia) yang merupakan salah

satu gejala negatif diperkirakan berhubungan dengan degenerasi neuronal

selektif pada norepinephrine reward neural system (Pardede et al., 2020).

2.4 Patofisiologi

Di dalam terdapat miliyaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi

tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel yang lain.

Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitters yang

membawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke sambungan sel yang lain. Di

dalam otak yang terserang skizofrenia, terdapat kerusakan atau kesalahan pada system

komunikasi tersebut (Firdaus, 2021).

Bagi keluarga dengan penderita skizofrenia di dalamnya, akan mengerti

dengan jelas apa yang dialami penderita skizofrenia dengan membandingkan otak

dengan telepon. Pada orang normal, system switch pada otak bekerja dengan normal.

Sinyal sinyal persepsi yang datang kembali dikirim sempurna tanpa ada gangguan

sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan tindakan yang

sesuai saat itu. Pada otak klien skizofrenia, sinyal-sinyal yang dikirim mengalami

gangguan sehingga tidak berhasil mencapai sambungan yang dituju (Firdaus, 2021).

11
Skizofrenia terbentuk secara bertahap dimana keluarga maupun klien tidak

menyadari ada sesuatu yang terdapat di otaknya dalam kurun waktu yang lama.

Kerusakan yang perlahan lahan ini yang akhirnya menjadi skizofrenia yang

tersembunyi dan berbahaya. Gejala yang timbul secara perlahan lahan ini bisa saja

menjadi skizofrenia akut. Periode skizofrenia akut adalah gangguan yang singkat dan

kuat, yang meliputi halusinasi, penyesatan pikiran (delusi), dan kegagalan berpikir

(Firdaus, 2021).

Kadang kala skizofrenia menyerang tiba tiba. Perubahan perilaku yang sangat

dramatis terjadi dalam bebrapa hari atau minggu. Serangan yang mendadak selalu

memicu terjadinya periode akut secara cepat. Beberapa penderita penderita mengalami

selama seumur hidup, tapi banyak juga yang kembali hidup secra normal dalam

periode akut tersebut. Kebanykan didapati bahwa mereka dikucilkan, menderita

depresi yang hebat, dan tidak dapat berfungsi layaknya orang normal dalam

lingkunganya. Didalam bentuk khasus serangan dapoat meningkatkan menjadi apa

yang disebut skizofrenia kronis. Klien menjadi buas, kehilangan karakter sebagai

manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki motifasi sama sekali, depresi, dan

tidak memiliki kepekaan tentang perasaanya sendiri (Firdaus, 2021)

2.5 Gejala Klinis

Pasien skizofrenia biasanya akan merasakan gejala gejala seperti halusinasi,

distorsi isi pikir (waham), distorsi dalam proses pikir dan bahasa dan

distorsi perilaku dan pengontrolan diri, keterbatasan dalam ekspresi emosi,

keterbatasan dalam produktifitas berpikir (Yudhantara et al, 2018).

12
Hal yang sama dijelaskan oleh Kaplan & Sadock (2007)

penderita skizofrenia akan mengalami gangguan dalam kognitif, emosional,

persepsi serta  gangguan  dalam  tingkah laku  (Yudhantara et al, 2018).  Distorsi 

pikiran  negatif yang muncul pada klien  skizofrenia dapat memicu timbulnya tekanan

mental yang akan berakibat pada timbulnya kecemasan, depresi atau bahkan dorongan

untuk bunuh diri.

2.6 Klasifikasi

Menurut (Firdaus, 2021) klasifikasi dibagi sebagai berikut :

1. F20.0 Skizofrenia paranoid

Gejala yaitu mengalami waham primer, disertai adanya waham sekunder dan

halusinasi. Dengan mengikuti pemeriksaan rutin sehingga adanya gangguan proses

berfikir, gangguan afek emosi, dan kemauan.

2. F20.1 Skizofrenia hebefrenik

Permulaan yang mengakibatkan skizofernia hebefrenik yaitu terjadi perlahan-

lahanatau sub akut dan sering menimbuulkan hal ini pada masa remaja atau usia

15-25 tahun. Gejala ini yang sering ditumbulkan yaitu gejala gangguan proses

berfikir, gangguan psikomotor seperti menerima, neurologis atau perilakunya

seperti anak-anak.

3. F20.2 Skizofrenia katatonik

Pertama kali timbul pada usia 15-30 tahun dan biasanya akan menjadi akut serta

sering mengalami stress emosional, sehingga mengakibatkan seseorang menjadi

gelisah katatonik atau stupor katatonik.

4. F20.3 Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated)

13
Pada penderita skizofrenia tak terinci ini mengakibatkan kerusakan otak gangguan

fungsi kognitif, aktif, Bahasa, gangguan memandang terhadap realitas, dan

mempunyai perubahan perilaku, seperti perilaku agisitas dan agresif atau di sebut

dengan perilaku Kesehatan (Wahyudi, 2020).

5. F20.4 Depresi pasca-skizofrenia

Gejala depresi pada skizofrenia berhubungan dengan gangguan yang signifika

terutama dikarenakan kehilangan, kesedihan, dan keputusasaan. Ada peningkatan

risiko kekambuhan psikotik ketika gejala-gejala ini bertahan dalam fase kronis

skizofrenia (Panjaitan, 2018)

6. F20.5 Skizofrenia residual

Keadaan skizofernia dengan gejala primernya, tetapi tidak jelas adanya gejala-

gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofernia.

7. F20.6 Skizofrenia simpleks

Skizofernia simplek menyerang pada usia pubertas, gejala yang ditimbulkan yaitu

mengalami perubahan emosi dan kemenduran kemauan atau gangguan proses

berfikir.

8. F20.8 Skizofrenia lainnya

9. F20.9 Skizofrenia YTT

2.7 Pedoman Diagnosis

Kriteria diagnosis menurut PPDGJ III, yaitu:

 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :

14
1. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam

kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun

kualitasnya berbeda ; atau

- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam

pikirannya (insertion) atau isi pikirannya di ambil keluar oleh sesuatu dari luar

dirinya (withdrawal); dan

- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau

umum mengetahuinya;

2. - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar; atau

- “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

terhadap sesuatu kekuatan dari luar;

(tentang “dirinya” = secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau

ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);

- “delusional perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna

sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

3. Halusinasi auditorik :

- Suara halusinasi yang berkomentas secara terus menerus terhadap perilaku pasien,

atau

- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara

yang berbicara), atau

15
- Jenis suara helusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh

4. Waham-waham menetap jenis lainya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak

wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik

tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu

mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain).

 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :

5. Halusinasi yang menetap dari panca-indra apa saja, apabila disertai baik oleh waham

yang mengambang maupun yang setengah berbantuk tanpa kandungan afektif yang

jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau

apabila terjadi berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;

6. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang

berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;

7. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu

(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;

8. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons

emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan

diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa

semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu

satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);

 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal

16
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak

berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan

penarikan diri secara sosial.

2.8 Penatalaksanaan

Terapi yang biasa dilakukan pada penderita penyakit Skizofrenia

adalah Antipsikotik. Antipsikotik dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu

Antipsikotik Tipikal (antagonis reseptor dopamine), contoh obat seperti

Haloperidol, Klorpromazin, Perphenazine, Trifluoperazine, Fluphenazine,

Thioridazine, serta Pimozide. dan Antipsikotik Atipikal (antagonis serotonin

dopamine) contoh obat seperti Clozapine, Olanzapin, Risperidone, Aripiprazole,

Zotepine, Quetiapine, dan Sulpiride (Maylani et al, 2018).

Penderita skizofrenia memperoleh antipsikotik haloperidol 1x1,5 mg dan

antimuskarinik Trihexyphenidyl HCl 2x2 mg untuk dikonsumsi selama satu bulan

dan disarankan kembali ke Rumah Sakit Jiwa di bulan berikutnya untuk

mendapatkan obat rutin (Indah et al, 2019).

Berdasarkan jurnal penelitian berjudul Psychotropic Prescriptions for The

Treatment of Schizophrenia in an Outpatient Clinic diperoleh hasil bahwa pemberian

haloperidol (antipsikotik generasi pertama) memiliki efikasi yang baik dalam

menatalaksana pasien skizofrenia dengan efek samping yang tidak berbeda secara

signifikan dengan golongan antipsikotik generasi kedua (Indah et al, 2019).

Selain secara medikamentosa, pasien juga mendapatkan intervensi non-

medikamentosa berupa: 1) Edukasi tentang penyakit Skizofrenia, faktor-faktor yang


17
mempengaruhi timbulnya penyakit tersebut, dan stres terhadap penyakit tersebut, 2)

Edukasi kepada pasien mengenai cara mencegah timbulnya gejala, lama pengobatan,

jadwal meminum obat, efek samping obat dan bahaya putus obat, 3) Mengedukasi

anggota keluarga yang lain bagaimana cara manajemen stress dengan menggunakan

media poster, 4) Menunjuk adik kandung pasien sebagai PMO pasien sekaligus

mengedukasi mengenai pentingnya dukungan keluarga dalam proses pengobatan

pasien (Indah et al, 2019).

Efek samping merupakan masalah umum, terutama yang melibatkan pergerakan.

Gejala parkinsonisme memerlukan obat antimuskarinik (seperti procyclidine atau

orphenadrine) pada sepertiga Klien atau lebih. Sedasi atau sensasi perasaan yang datar

atau tertekan juga menyebabkan distress. Rasa lelah, baik secara psikologis maupun

yang mengenai tungkai (akathisia), sulit dipahami tetapi berespon terhadap penyekat

B. Benzodiazepine sangat berguna untuk mengobati masalah-masalah yang sering

ditemukan seperti rangsangan atau ansietas yang berlebihan atau sulit tidur (Maylani

et al, 2018)

2.9 Prognosis

Prognosis skizofrenia dapat dilihat berdasarkan faktor berikut, yaitu: usia onset

penyakit, sifat munculnya onset, ada atau tidaknya faktor prepitasi, riwayat sosial,

riwayat seksual, riwayat pekerjaan, bentuk gejala yang dialami penderita, status

pernikahan, riwayat keluarga, ada tidaknya gangguan neurologis atau trauma, riwayat

remisi dan relaps, serta sistem pendukung yang didapatkan oleh penderita (Widyarti et

al, 2020)

18
Orang dengan skizofrenia hanya sekitar 10% hingga 20% memiliki prognosis

yang baik. Lebih dari 50% pasien memiliki prognosis yang buruk, rawat inap

berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood, dan upaya bunuh diri (Landra

et al, 2022)

Salah satu yang memperburuk prognosis skizofrenia adalah masalah gangguan

kognitif, sebanyak 98% pasien skizofrenia mengalami gangguan kognitif sehingga

mempengaruhi kualitas hidupnya, karena terjadi defisit atensi, memori dan reasoning,

maupun penurunan performa kerja, skill, sampai menghambat fase recovery. Alat

untuk menilai kemampuan kognitif yang sudah terukur validasinya adalah The

Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS), dimana SCoRS merupakan alat ukur

berbasis wawancara yang terdiri dari 20 item penilaian dan membutuhkan waktu

hanya 15 menit untuk melengkapinya dan telah diuji memiliki validitas yang baik

(Hafizah et al, 2022)

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

4Skozofrenia adalah salah satu


gangguan mental yang
disebut psikosis, pasien
5psikotik tidak dapat
mengenali atau tidak
memiliki kontak dengan
realitas yang
6ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran emosi,
bizzare, dan mengalami
7waham dan halusinasi.
Simtom klinis utama

20
21

skizofrenia digolongkan
dalam tiga
8kategori : positif, negative
dan disorganisasi, dan
beberapa simtom yang tidak
9cukup sesuai untuk
digolongkan kedalam
ketiga kategori tersebut.
Setiadi
10 menggolongkan etiologi
skizofrenia ke dalam dua
pendekatan, yaitu
11 somatogenesis dan
psikogenesis.

21
22

12 Penanganan bagi
penderita skizofrenia
beragam baik
menggunakan obat-
13 obatan, maupun
psikososial, tidak ada
pendekatan penanganan
tunggal yang
14 memenuhi semua
kebutuhan orang yang
menderita skizofrenia,
konseptual terapi.
15 Perawatan kontemporer
cenderung menyeluruh,
menggabungkan antara
22
23

16 pendekatan
psikofarmakologis dan
psikososial
17 Skozofrenia adalah salah
satu gangguan mental yang
disebut psikosis, pasien
18 psikotik tidak dapat
mengenali atau tidak
memiliki kontak dengan
realitas yang
19 ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran emosi,
bizzare, dan mengalami
20 waham dan halusinasi.
Simtom klinis utama
23
24

skizofrenia digolongkan
dalam tiga
21 kategori : positif, negative
dan disorganisasi, dan
beberapa simtom yang tidak
22 cukup sesuai untuk
digolongkan kedalam
ketiga kategori tersebut.
Setiadi
23 menggolongkan etiologi
skizofrenia ke dalam dua
pendekatan, yaitu
24 somatogenesis dan
psikogenesis.

24
25

25 Penanganan bagi
penderita skizofrenia
beragam baik
menggunakan obat-
26 obatan, maupun
psikososial, tidak ada
pendekatan penanganan
tunggal yang
27 memenuhi semua
kebutuhan orang yang
menderita skizofrenia,
konseptual terapi.
28 Perawatan kontemporer
cenderung menyeluruh,
menggabungkan antara
25
26

29 pendekatan
psikofarmakologis dan
psikososial
30 Skozofrenia adalah salah
satu gangguan mental yang
disebut psikosis, pasien
31 psikotik tidak dapat
mengenali atau tidak
memiliki kontak dengan
realitas yang
32 ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran emosi,
bizzare, dan mengalami
33 waham dan halusinasi.
Simtom klinis utama
26
27

skizofrenia digolongkan
dalam tiga
34 kategori : positif, negative
dan disorganisasi, dan
beberapa simtom yang tidak
35 cukup sesuai untuk
digolongkan kedalam
ketiga kategori tersebut.
Setiadi
36 menggolongkan etiologi
skizofrenia ke dalam dua
pendekatan, yaitu
37 somatogenesis dan
psikogenesis.

27
28

38 Penanganan bagi
penderita skizofrenia
beragam baik
menggunakan obat-
39 obatan, maupun
psikososial, tidak ada
pendekatan penanganan
tunggal yang
40 memenuhi semua
kebutuhan orang yang
menderita skizofrenia,
konseptual terapi.
41 Perawatan kontemporer
cenderung menyeluruh,
menggabungkan antara
28
29

42 pendekatan
psikofarmakologis dan
psikososial
Skozofrenia adalah salah satu gangguan mental yang disebut psikosis, pasien psikotik

tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas yang ditandai dengan

gangguan utama dalam pikiran emosi, bizzare, dan mengalami waham dan halusinasi.

Simtom klinis utama skizofrenia digolongkan dalam tiga kategori: positif, negative dan

disorganisasi, dan beberapa simtom yang tidak cukup sesuai untuk digolongkan kedalam

ketiga kategori tersebut.

Penanganan bagi penderita skizofrenia beragam baik menggunakan obat-obatan,

maupun psikososial, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua

kebutuhan orang yang menderita skizofrenia, konseptual terapi. Perawatan kontemporer

cenderung menyeluruh, menggabungkan antara pendekatan psikofarmakologis dan

psikososial.

29
DAFTAR PUSTAKA

Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III). 2004.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI. P. 88.

Pardede, J. A., Harjuliska, H., & Ramadia, A. (2021). Self-Efficacy dan Peran Keluarga

Berhubungan dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmu

Keperawatan Jiwa, 4(1), 57-66.

Zuraida, Z. (2018). Konsep Diri Penderita Skizofrenia Setelah Rehabilitasi. Jurnal Psikologi

Kognisi, 1(2), 110-124.

Pardede, J. A., Siringo-ringo, L. M., Hulu, T. J., & Miranda, A. (2021). Edukasi Kepatuhan

Minum Obat Untuk Mencegah Kekambuhan Orang Dengan Skizofrenia. Jurnal

Abdimas Mutiara, 2(2), 1-5.

Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Hulu, E. P. (2020). Efektivitas Behaviour Therapy Terhadap

Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.

Muhammad Ildrem Provsu Medan. Jurnal Mutiara Ners, 3(1), 8-14.

Pitayanti, A., & Hartono, A. (2020). Sosialisasi Penyakit Skizofrenia Dalam Rangka

Mengurangi Stigma Negatif Warga di Desa Tambakmas Kebonsari-Madiun. Journal of

Community Engagement in Health, 3(2), 300-303.

Yudhantara, D. S., & Istiqomah, R. (2018). Sinopsis skizofrenia. Universitas Brawijaya Press.

Firdaus, M. F. A. (2021). STUDI LITERATUR ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN

DENGAN KEKAMBUHAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA (Doctoral dissertation,

Universitas Muhammadiyah Malang).


Maylani, R. Y., Fadraersada, J., & Ramadhan, A. M. (2018, December). Studi pemberian

antipsikotik terhadap beberapa jenis skizofrenia di RSJD Atma Husada Mahakam

Samarinda. In Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences (Vol. 8, pp.

267-275).

Wahyudi, S. H. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Keperawatan Perilaku

Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Tak Terinci (F 20. 3) (Doctoral dissertation,

UNIVERSITAS AIRLANGGA).

Panjaitan, A. P., & Septa, T. (2018). Diagnosis Dini Depresi Pasca Skizofrenia. JIMKI:

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia, 6(2), 4-12.

Widyarti, E. P., Limantara, S., & Khatimah, H. (2020). Gambaran faktor prognosis pada

pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa sambang lihum. Homeostasis, 2(3), 509-518.

Hafizah, I., Ambarwati, W. N., & Kusuma, W. (2022). TERAPI ADJUVAN N-

ASETILSISTEIN DALAM MEMPERBAIKI NILAI SCORS PASIEN

SKIZOFRENIA. Jurnal Kesehatan, 13(2).

Landra, I. K. G., & Anggelina, K. D. I. (2022). SKIZOFRENIA PARANOID. Ganesha

Medicine, 2(1), 66-71.

Indah Sari, D., Mayasari, D., & Graharti, R. (2019). Skizofrenia Paranoid pada Laki-laki Usia

45 Tahun dengan Penatalaksanaan Holistik Kedokteran Keluarga: Laporan

Kasus. MEDULA, medicalprofession journal of lampung university, 8(2), 7-13.

31

Anda mungkin juga menyukai