Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH BIOMOLEKUL

“Mutasi mtDNA pada Penderita Schizophrene”

MAGFIRA FEBRIANTY LACINDUNG


011724653007

PROGRAM STUDI PROGRAM MAGISTER


ILMU KESEHATAN REPRODUKSI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.. ........................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN.. .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang... ................................................................... 1
1.2 Permasalahan ......................................................................... 2
1.3 Tujuan.. .................................................................................. 3
BAB II. PEMBAHASAN.. ...................................................................... 4
SKIZOFRENIA... ....................................................................... 4
FAKTOR PENYEBAB SKIOZFRENIA ................................... 5
MITOKONDRIA ....................................................................... 5
MUTASI mtDNA......................... .............................................. 6
DISFUNGSI MITOKONDRIA PADA
SKIZOFRENIA.................................................... ...................... 7
STUDI KASUS MUTASI mtDNA
SKIZOFRENIA............................................................ .............. 9
BAB III. KESIMPULAN.. ....................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang Masalah


Penderita gangguan jiwa di seluruh dunia diperkirakan sekitar 450 juta jiwa. Penderita
gangguan jiwa rata–rata mengalami gangguan mental emosional ringan, seperti cemas dan
depresi. Hal tersebut biasanya dialami oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mencapai
19 juta jiwa (11,6 %). Penderita gangguan jiwa dengan gangguan mental berat, seperti:
psikotis, skizofrenia, dan depresi berat berjumlah sekitar 1 juta jiwa (0,46 %) (Riskesdas–
Depkes, 2007).
Gangguan jiwa dapat membuat individu tidak mampu berfungsi secara optimal dalam
kehidupan sehari–harinya. Gangguan jiwa menurut Stuart dan Sundeen (1998) adalah
keyakinan individu terhadap faktor penyebabnya, yang meliputi: faktor biologis (disfungsi
anatomi dan fisiologi), pembelajaran (perilaku maladaptif yang dipelajari), kognitif (defisit
pengetahuan atau kesadaran), psikodinamika (konflik intrapsikis dan defisit perkembangan),
dan lingkungan (respon terhadap stressor dan penolakan lingkungan). Depkes RI (2003)
mengartikan gangguan jiwa sebagai gangguan pikiran, perasaan, dan atau tingkah laku
sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari–hari.
Salah satu jenis gangguan jiwa pada pasien psikiatri adalah skizofrenia. Skizofrenia
merupakan suatu penyakit dimana adanya gangguan otak yang kronis dan parah sehingga
dapat mempengaruhi individu sepanjang hidupnya dan kemudian menyebabkan timbulnya
pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Perilaku–perilaku
pada pasien skizofrenia yang sering muncul dapat mempengaruhi fungsi dalam kehidupan
sehari–hari penderita (National Institute of Mental Health, 2009).
Penderita skizofrenia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Buchanan dan
Carpenter (2000) menunjukkan jaringan otaknya relatif lebih sedikit, yang diperlihatkan oleh
suatu kegagalan perkembangan atau kehilangan jaringan otak, yaitu terjadinya pembesaran
ventrikel otak dan atrofi otak. Volume otak terjadi penurunan dan fungsi otak abnormal pada
area temporal dan frontal yang berkorelasi dengan tidak adanya kemauan atau motivasi dalam
melakukan aktivitas sehari-hari.
Skizofrenia erat kaitannya dengan gangguan pada otak, dimana organel yang
berpengaruh besar terhadap gangguan ini adalah mitokondria. Jumlah mitokondria dalam
setiap sel berbeda tergantung pada sel dan fungsinya. Mitokondria mempunyai beberapa DNA
tersendiri yang dikenal juga dengan DNA mitokondria (mtDNA) dan dapat membuat
sejumlah proteinnya. Berbeda dengan DNA inti, mtDNA tidak mengalami perubahan pada
tiap generasi sehingga perubahan terjadi pada laju yang sangat lambat.
Kecacatan pada mtDNA bertanggung jawab terhadap perkembangan beberapa penyakit
pada mitokondria dengan manifestasi klinik yang sangat heterogen. Kebanyakan berhubungan
dengan penyakit di otak dan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu penyakit sporadis
yang terutama disebabkan penyusunan ulang di mtDNA serta penyakit karena point mutasi
yang diturunkan secara maternal (Martorell et al, 2006).
Penelitian terhadap mtDNA semakin berkembang karena beberapa kelebihan yang
dimilikinya diantaranya : jumlah kopi sel yang banyak sehingga terdapat ratusan bahkan
ribuan mtDNA dalam tiap sel manusia dan pola pewarisan yang bersifat maternal. DNA
mitokondria hanya diturunkan dari garis keturunan ibu dan antara saudara kandung yang
dihubungkan dengan garis keturunan ibu tanpa mengalami rekombinasi dengan mtDNA ayah.
Berdasarkan kelebihan ini maka mtDNA juga dapat dijadikan sebagai referensi dengan
menggunakan sampel dari garis keturunan ibu yang bersangkutan dalam menelusuri penyakit
genetik seperti skizofrenia.
Dengan demikian, pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai mutasi DNA
mitokondria pada penderita skizofrenia melalui kajian terhadap beberapa publikasi yang
didukung secara teoritis agar dapat memahami lebih detail mengenai keterkaitan antara mutasi
mtDNA dengan penyakit skizofrenia.

I. 2 Rumusan masalah
Bagaimana peran mutasi Mtdna dapat menyebabkan skizofrenia ?

I. 3 Tujuan
- Mengetahui tentang skizofrenia dan faktor-faktor yang menyebabkan skizofrenia.
- Mengetahui tentang mitokondria, mutasi DNA mitokondria (mtDNA), serta disfungsi
mitokondria pada skizofrenia.
- Mengetahui bagaimana proses mutasi DNA mitokondria (mtDNA) pada penderita
skizofrenia.
BAB II
PEMBAHASAN

Skizofrenia adalah penyakit gangguan otak kronis dengan prognosis yang buruk,
dengan remisi total hanya dialami oleh sekitar 20% penderitanya, sedangkan sisanya akan
mengalami berbagai tingkat kesulitan dan kemunduran secara klinis dan sosial (Sadock,
2007). Beban akibat skizofrenia tidak hanya ditanggung oleh individu penderita melainkan
juga keluarga dan masyarakat secara umum (Knapp, 2004).
Perilaku–perilaku pada pasien skizofrenia meliputi gejala positif (halusinasi, delusi,
gangguan pikiran, gangguan perilaku), dan gejala negatif (afek datar, defisit perawatan diri,
menarik diri (Verge et al, 2011). National Institute of Mental Health (2009) menambahkan
tentang perilaku–perilaku yang terjadi pada pasien skizofrenia dengan gejala kognitif, yaitu
kurangnya kemampuan memahami dan menggunakan informasi dan sulit fokus. Sedangkan
Stuart dan Laraia (2005) menjelaskan bahwa pasien skizofrenia dapat berperilaku seperti
kurangnya motivasi, isolasi sosial, perilaku makan, tidur yang buruk, sulit menyelesaikan
tugas, kurang perhatian, penampilan tidak rapi/bersih, bicara sendiri, sering bertengkar, dan
tidak teratur minum obat.

Faktor-Faktor Penyebab Skizofrenia


- Gen dan Lingkungan
Persentase skizofrenia lebih banyak terjadi pada seseorang yang memiliki lingkup
keluarga tingkat pertama, seperti orangtua, saudara laki-laki, atau saudara perempuan
yang mengalami skizofrenia. Sedangkan orang yang memiliki lingkup keluarga tingkat
kedua seperti kakek, nenek, bibi, paman, atau sepupu dengan skizofrenia juga lebih
rentan mengalami skizofrenia dibandingkan populasi umum. Namun, resiko tertinggi
terjadi pada kembar identik dari seseorang dengan skizofrenia, dimana orang tersebut
memiliki 40-65% kesempatan untuk mengalami gangguan ini (National Institute of
Mental Health, 2009). Gen-gen yang diduga terlibat skizofrenia, secara umum bekerja
sepanjang periode perkembangan, pada beberapa bagian otak yang berbeda (Rapoport,
Addington, dan Frangou 2005).
Meskipun pengaruh genetik ini sangat kuat, namun banyak penderita skizofrenia
tidak memiliki keluarga dengan riwayat skizofrenia, atau banyak orang yang memiliki
satu atau lebih anggota keluarga penderita skizofrenia tetapi tidak mengalami gangguan
tersebut. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan adanya interaksi antara gen dan aspek
lingkungan individu yang dapat memicu berkembangnya skizofrenia. Berbagai faktor
lingkungan tersebut yaitu seperti paparan virus atau malnutrisi sebelum lahir,
permasalahan selama kelahiran (misalnya prematur, berat badan yang rendah, dan
hipoksia sebelum kelahiran), usia orangtua, penggunaan ganja, tinggal di daerah urban,
dan berbagai faktor psikososial lainnya (National Institute of Mental Health, 2009; Verge
et al, 2011).
- Perbedaan struktur dan senyawa kimia pada otak
Ketidakseimbangan dalam kompleks, serta reaksi kimia yang saling berkaitan
dalam otak dimana melibatkan neurotransmiter dopamin dan glutamat, serta senyawa
lainnya juga dapat berperan dalam skizofrenia. Neurotransmiter merupakan zat yang
digunakan oleh sel-sel otak untuk berkomunikasi dengan satu sama lain.
Struktur otak penderita skizofrenia juga berbeda dengan orang sehat, dimana hal ini
dapat ditunjukkan pada rongga yang terletak dibagian tengah otak yang berisi cairan
(ventrikel) pada penderita skizofrenia ukurannya lebih besar dibanding ukuran normal.
Selain itu, gray matter pada otak penderita skizofrenia cenderung lebih sedikit, serta
beberapa bagian di otak memiliki aktivitas yang lebih sedikit atau lebih banyak. Faktor
penyebab lainnya juga dapat berupa perubahan kecil dalam lokasi atau struktur dari sel-
sel otak yang terbentuk sebelum kelahiran. Masalah selama perkembangan otak pada saat
sebelum kelahiran dapat menyebabkan gangguan pada koneksi (National Institute of
Mental Health, 2009).
- Polimorfisme genetik
Polimorfisme genetik dalam mtDNA yang mengkode protein mitokondria juga dapat
menjadi faktor penyebab skizofrenia. Asosiasi variasi dalam pengkodean gen mitokondria
pada komponen ETC (electron transport chain), sebagai contoh varian sekuens tertentu
(m.12027T>C, m.12026A>G) yang berada dalam NADH dehydrogenase subunit 4
(ND4) gen mitokondria kompleks 1 dengan skizofrenia. Tiga varian homoplasmic non
identik dalam subunit 6 dari ATP synthase (MT-ATP6) gen pada populasi Jepang dapat
memberikan kerentanan skizofrenia (Rajasekaran et al, 2015).
Mitokondria
Skizofrenia telah lama dianggap sebagai gangguan dalam perkembangan saraf.
Mitokondria yang juga berperan penting dalam perkembangan otak, ternyata dapat
memengaruhi kerentanan kerusakan otak (Rajasekaran et al, 2015). Mitokondria merupakan
salah satu organel dalam sitoplasma yang terikat pada membran ganda, dimana mempunyai
peranan sangat vital dalam sel, hal ini tidak terlepas dari fungsi utamanya sebagai penghasil
energi bagi sel yang berguna untuk perkembangan dan fungsi normal dari suatu organisme.
Mitokondria menghasilkan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) yang bersumber dari
makanan (karbohidrat, protein, dan lemak). Pathway metabolik ini disebut dengan oxidative
phosphorylation system (OXPHOS), dimana terjadi pada membran mitokondria bagian dalam
dan di mediasi oleh rantai respirasi yang dikenal dengan electron transport chain (ETC) yang
membutuhkan oksigen dan kofaktor protein terkait. Rantai respirasi mitokondria terdiri dari
beberapa enzim yang berhubungan dengan 5 kompleks multisubunit. Kompleks I sampai IV
mengurangi substrat dengan mentransfer elektron dan memompa proton keluar dari membran
dalam mitokondria, sehingga menciptakan gradien elektrokimia yang digunakan oleh
kompleks V (ATP synthase) untuk memfosforilasi ADP. Proses tersebut dapat dilihat secara
skematik pada gambar berikut (Verge et al, 2011).

Gambar 1. Rantai respirasi mitokondria. Representasi skematik rantai respirasi menunjukkan subunit mtDNA-encoded
(lingkaran menunjukkan gen mtDNA dan ditandai sesuai dengan gambar 2). Reduced cofactor, NADH dan FADH2
diproduksi dari metabolisme perantara dari karbohidrat, protein, dan lemak. Kofaktor ini mendonasikan elektron pada
kompleks I (NADH-ubiquinone oxidoreductase) dan kompleks II (succinate-ubiquinone oxidoreductase) dimana ditransfer ke elektron
(e-) transfer carrier coenzym Q dan sitokrom c. Pada akhir transpor elektron, kompleks IV mendonasikan sebuah elektron untuk
oksigen, dimana menghasilkan pembentukan air. Proton dipompa dari matriks ke ruang antarmembran melalui kompleks I, III, dan IV.
Gradien proton menghasilkan potensi elektrokimia mitokondria, yang digunakan oleh kompleks V untuk menyintesis ATP dari ADP.
Karakteristik unik dari mitokondria yaitu memiliki sistem genetik sendiri yang terdapat
pada matriks mitokondria dan berbeda dari genom inti. DNA mitokondria (mtDNA) manusia
adalah molekul doubel helix yang berbentuk sirkuler, tidak mengalami rekombinasi dan
merupakan haploid. Satu mitokondria rata-rata memiliki 5-10 cincin DNA yang membawa
16.569 pasang basa yang terdiri dari 12S dan 16S gen rRNA, 13 protein subunit kompleks
enzim rantai respirasi yang sangat penting dari 83 polipeptida OXPHOS, 22 gen tRNA, dan
D-loop seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 2. mtDNA manusia. MT-RNR1 dan RNR2 merupakan gen ribosomal RNA 12S dan 16S. 13 gen polipeptida ditandai seperti
pada gambar 1 : MT-ND1, ND2, ND3, ND4, ND4L, ND5, dan ND6 merupakan gen pengkode untuk subunit NADH dehydrogenase
(complex I); MT-CYB merupakan gen pengkode sitokrom b oxidoreductase (complex III); MT-CO1, CO2, dan CO3 merupakan gen
pengkode subunit sitokrom c oksidasi (complex IV); dan MT-ATP6 dan ATP8 merupakan gen pengkode subunit ATP synthase. Gen
transfer RNA ditandai dengan warna abu-abu. OH dan OL merupakan sumber replikasi strand berat dan ringan; PH dan PL
merupakan promotor transkripsi strand berat dan ringan. Gen terletak didalam atau diluar tergantung dari dimana mereka
dikode, baik di strand ringan atau strand berat, masing-masing

DNA mitokondria memiliki sifat unik yang berbeda dengan DNA inti, yaitu hanya
diturunkan melalui ibu tanpa mengalami rekombinasi dari DNA mitokondria ayah. Pada
genom mitokondria terdapat suatu bagian yang tidak mengkode protein apapun dan belum
diketahui fungsinya, yaitu daerah D-loop. Daerah D-loop merupakan daerah non-coding DNA
dan merupakan titik awal dimulainya replikasi dan transkripsi. Daerah D-loop juga
merupakan daerah yang mempunyai tingkat polimorfisme yang tinggi, sehingga dapat
digunakan untuk menelusuri identitas seseorang atau etnis tertentu.

Mutasi mtDNA
Mutasi pada mtDNA dapat terjadi secara spontan, diturunkan secara maternal, atau
diperoleh dari kecacatan inti yang diturunkan dalam gen yang menjaga mtDNA. Beberapa gen
pengkode inti terlibat dalam replikasi dan menyuplai dNTP untuk menjaga jumlah salinan
mtDNA. Mutasi pada gen ini yang menjadi penyebab disfungsi mitokondria (Verge et al,
2011).
Perkembangan dan akumulasi mutasi mtDNA jauh lebih cepat dibanding inti DNA
yang mungkin disebabkan karena kurangnya histon, generasi kontinu dari spesies oksigen
reaktif dan kurangnya mekanisme perbaikan yang efisien. Satu mitokondria rata-rata memiliki
5-10 molekul mtDNA, dan sebuah sel dapat mengandung ribuan mitokondria. Homoplasmi
ada ketika seluruh sel mengandung sekuens mtDNA yang identik dan heteroplasmi ketika
terdapat perbedaan jenis dari genom mtDNA (mutasi dan non-mutasi) yang terdapat dalam
sebuah sel atau jaringan (Martorell et al, 2006).
Sejumlah besar manifestasi psikiatri pada penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada
gen mitokondria menunjukkan peran genom mitokondria dalam keterlibatannya terhadap
resiko gangguan jiwa termasuk skizofrenia. Kecacatan pada genom mitokondria dapat
memainkan peran penting dalam skizofrenia, yang selanjutnya akan meningkatkan peran
mtDNA yang diturunkan secara maternal. Kerabat yang berbagi mtDNA dengan penderita
skizofrenia akan memiliki resiko yang lebih tinggi bagi dirinya untuk menyebabkan
skizofrenia, serta dalam satu keluarga, mutasi senyawa ditemukan bekerja sama bersegregasi
dengan skizofrenia. Sehingga mitokondria yang diturunkan secara maternal menjadi sorotan
penting pada skizofrenia (Rajasekaran et al, 2015).

Disfungsi Mitokondria pada Skizofrenia


Disfungsi mitokondria pada skizofrenia dapat dibuktikan melalui perubahan dalam
morfometri mitokondria, metabolisme energi di otak, dan aktivitas enzimatik dari rantai
respirator yang tidak konsisten merupakan gejala yang ditemukan pada penderita skizofrenia.
Berdasarkan morfometri, pembengkakan mitokondria terjadi dalam sel darah putih, meskipun
perubahan tersebut dapat dikaitkan dengan pengobatan. Dalam jaringan otak postmortem,
integritas struktural dari mitokondria dalam striata pada pasien skizofrenia tidak berbeda
dengan kontrol, namun, profil mitokondria terlihat mengandung lebih sedikit caudate dan
putamen, hal ini menunjukkan bahwa struktur ini mengalami penurunan kebutuhan energi
atau berkurangnya kapasitas untuk membangkitkan energi. Selain itu, pada pasien skizofrenia,
terjadi penurunan yang signifikan dalam kepadatan volume mitokondria, dimana teramati
pada sel oligodendrogial dari caudate nucleus dan korteks prefrontal (Verge et al, 2011).
Dalam substansi nigra pasien skizofrenia, presinaptik boutons spesifik untuk neuron
dopaminergik, menunjukkan hiperplasia dari mitokondria, diantara perubahan ultrastruktural
lainnya jika dibandingkan dengan kontrol. Beberapa ketidaknormalan struktur pada
mitokondria pasien skizofrenia tersebut dapat dikaitkan dengan pengobatan yang dapat
memengaruhi rantai respirasi mitokondria. Obat yang dapat memengaruhi hal tersebut seperti
antipsikotik chlorpromazine, fluphenazine, haloperidol, risperidone, quetiapine, dan
olanzapine, dimana beberapa obat tersebut dapat menghambat rantai respirasi mitokondria.
Demikian pula dengan asap tembakau yang banyak mengandung oksigen reaktif dan spesies
nitrogen yang terkait dengan banyak efek fisiologis yang mungkin berkontribusi terhadap
stress oksidatif dan kerusakan mitokondria (Verge et al, 2011).
Kerusakan oksidatif dapat menginduksi point mutasi dan bahkan delesi dalam jumlah
besar pada mtDNA seperti yang tertera pada gambar berikut. Kerusakan sekunder mutasi
mtDNA lebih lanjut akan mengganggu efektivitas dari fungsi mitokondria dalam
menghasilkan fenotip neurologis yang bervariasi, dimana hal tersebut merupakan karakteristik
dari skizofrenia (Rajasekaran et al, 2015). Namun, terlepas dari efek pengobatan dan asap
tembakau, disfungsi mitokondria yang terlibat dalam skizofrenia dapat dikaitkan dengan
fungsi abnormal dari inti, mitokondria, atau kedua jenis gen.

Gambar 3. Mekanisme disfungsi mitokondria yang mengarah pada perubahan neuroprogressive dan terapeutik dalam
skizofrenia
Beberapa penelitian menunjukkan adanya keterlibatan langsung antara stress
oksidatif/nitrosative pathway terhadap patofisiologi skizofrenia. Mekanisme kerusakan
akibat oksidatif pada skizofrenia ditentukan berdasarkan sumber reactive spesies (RS).
Beberapa sumber tersebut termasuk ETC mitokondria, metabolisme dopamin, faktor
genetik, dan terapi antipsikotik. Pemaparan RS dengan level yang tinggi dalam waktu
panjang dapat menyebabkan kerusakan mitokondria lebih lanjut, hal tersebut dapat memicu
kalsium untuk memediasi mitochondrial permeability transition (MPT). Terbukanya pori
MPT dapat menyebabkan pelepasan intra dan membran yang mengikat protein
mitokondria seperti sitokrom-C, pro-caspase, dan protein pro apoptosis yang menyebabkan
terjadinya cascade yang berkontribusi terhadap sitotoksisitas melalui nekrosis dan/atau
apoptosis (Rajasekaran et al, 2015).

Studi Kasus Mutasi mtDNA pada penderita Skizofrenia


Orang dengan skizofrenia cenderung memiliki tingkat mutasi genetik langka yang
relatif lebih tinggi. Perbedaan genetik ini melibatkan ratusan gen yang berbeda, dan
mungkin mengganggu perkembangan otak dengan cara yang beragam dan tidak kentara.
Dalam jurnal berjudul Mitochondrial genome variations and functional characterization
in Han Chinese families with schizophrenia menjabarkan mengenai mutasi mtDNA pada
penderita skizofrenia dengan ras Han Chinese, dimana studi tersebut dilakukan dengan
menganalisis mtDNA dengan varian sekuens yang lengkap pada probandus dari 11 famili
Han Chinese dengan pola yang diwariskan secara maternal dari penderita skizofrenia.
Metode filogenetik digunakan pada studi ini, dimana menunjukkan varian private
nonsynonymous pada setiap probandus, dan teridentifikasi 8 varian mtDNA yang langka,
dimana diperkirakan memiliki potensi yang merugikan yang akan memengaruhi fungsi dari
mitokondria. Beberapa varian tersebut yakni m.13988 TNA, m.14643CNA, m.8045 ANG,
m.1860 ANG dan m.14367GNA. Varian m.15395 ANG dan m.8536 ANG dikaitkan
dengan penurunan fungsi mitokondria secara signifikan, antara lain sebagai berikut :
- Lini sel lymphoblastoid dengan m.15395 ANG menunjukkan penurunan massa
mitokondria secara signifikan, salinan mtDNA, dan laju konsumsi oksigen sepasang
ATP synthase
- Sel HeLa dengan transient dengan m.8536 ANG overexpression menunjukkan
penurunan tingkat ATP secara konsisten
- Strain sel HeLa dengan ekspresi m.8536 ANG yang stabil menunjukkan peningkatan
kadar ROS dan secara signifikan menurunkan massa mitokondria, kadar ATP, dan laju
konsumsi oksigen.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dibuktikan bahwa mutasi mtDNA m.15395 ANG dan
m.8536 ANG mengarah pada risiko patogenesis skizofrenia dengan mempengaruhi fungsi
mitokondria.

Dalam jurnal yang berjudul Mitochondrial DNA 3243A>G Mutation and


Increased Expression of LARS2 Gene in the Brains of Patients with Bipolar Disorder
and Schizophrenia dijabarkan bahwa MELAS (mitochondrial myopathy, encephalopathy,
lactic acidosis, and stroke-like episode) dapat menyebabkan berbagai tanda neuropsikiatri
dan gejala seperti kebingungan akut atau kemunduran mental yang bersifat progresif
akibat ensefalopati. Neuropsikiatrik seperti MELAS biasanya dapat dibedakan dari
gangguan jiwa yang murni seperti skizofrenia.
Beberapa pasien dengan MELAS yang disebabkan oleh mutasi mtDNA 3243A>G
dilaporkan dapat berkembang menjadi skizofrenia. Akumulasi dari 3243A>G
menyebabkan peningkatan regulasi LARS2 (mitochondrial leucyl-tRNA synthetase) yang
terlihat pada otak dan liver postmortem penderita skizofrenia. Mutasi mtDNA yang terjadi
pada penderita skizofrenia dibuktikan melalui PNA-clamped PCR-RFLP (dapat
mendeteksi fragmen wildtype mtDNA 3243A) dengan batas deteksi mutasi yakni 0,1%.
Sampel dari liver juga diperiksa untuk melihat apakah mutasi secara khusus hanya
terlokalisasi didalam otak, dimana hal tersebut dilakukan melalui protokol yang sama
dengan sampel otak. Pada grafik berikut dapat dilihat terdapat mutasi pada otak dan liver
sekitar 0,6% seorang pasien dengan skizofrenia (simbol kotak), hal ini menunjukkan
bahwa pasien yang terdeteksi memiliki mutasi 3243 A>G yang lebih tinggi pada otak (5%
dibandingkan subjek dengan jumlah 3243 A>G yang lebih sedikit, 3%) ternyata juga
memiliki mutasi pada liver dalam jumlah yang tinggi. Kuantifikasi mutasi dalam liver
menunjukkan bahwa pasien membawa 3243G ke dalam otak sehingga menyebabkan
tingkat mutasi yang lebih tinggi (Munakata et al, 2005).
Gambar 4. Akumulasi 3243 A > G dalam otak dan liver. Simbol kotak putih menggambarkan pasien dengan skizofrenia dan simbol
lingkaran hitam menggambarkan pasien dengan bipolar

Selain penemuan tentang hubungan antara MELAS dan skizofrenia, terdapat


beberapa bukti terkait dengan peran disfungsi mitokondria terhadap skizofrenia. Hal ini
meliputi perubahan energi untuk metabolisme, perubahan ekspresi gen yang berhubungan
dengan mitokondria, perubahan aktivitas enzim mitokondria dalam otak postmortem,
ketidaknormalan ultrastruktural, dan lokalisasi DISC1 (gen patogen turunan skizofrenia
dalam mitokondria).
Beberapa penemuan sebelumnya juga mengungkapkan bahwa terdapat keterkaitan
antara mutasi 3243A>G dengan gangguan jiwa. Odawara (1998) melaporkan sebuah kasus
mutasi 3243A>G pada skizofrenia, dimana berasal dari ibu yang juga menderita
skizofrenia. Pada studi tersebut, diketahui bahwa sebanyak 300 pasien skizofrenia, 46
diantaranya memiliki riwayat keluarga skizofrenia dalam lingkup first-degree. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 13 probandus memiliki riwayat keluarga skizofrenia hanya pada ibu, 4
probandus hanya pada ayah, 20 hanya pada saudara kandung, 3 hanya pada keturunan, 2
pada ayah dan saudara kandung, 1 pada ibu dan saudara kandung, 1 pada ayah dan
keturunan, dan 1 pada ibu dan keturunan. Jika dijumlahkan, sebanyak 16 dari 46 pasien
memiliki ibu dengan skizofrenia, sementara 8 diantaranya memiliki ayah dengan
skizofrenia. Sehingga resiko mutasi mtDNA terhadap skizofrenia jauh lebih besar
diturunkan secara maternal oleh ibu.
LARS2 mRNA juga cenderung berada dalam jumlah yang tinggi di otak pasien
dengan skizofrenia. Sehingga diketahui pasien dengan skizofrenia memiliki mutasi
3243A>G pada otaknya, dimana hal tersebut bertanggung jawab dalam gejala
neuropsikiatri mereka.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa mutasi varian sekuens mtDNA yang langka
merupakan penyebab terjadinya skizofrenia, dimana mutasi tersebut dapat mengakibatkan
perbedaan genetik yang akan menyebabkan perbedaan sejumlah besar gen dan cenderung
merusak perkembangan otak dengan berbagai cara. Dalam jurnal berjudul Schizophrenia:
Maternal inheritance and heteroplasmy of mtDNA mutations dijabarkan bahwa pada
pasien skizofrenia terdapat beberapa variasi sekuens mtDNA yang langka dan tidak
terdaftar, perubahan nukleotida yang tidak terdaftar ditemukan dalam sampel darah dan
otak dari pasien skizofrenia dan limfosit kontrol. Empat variasi mtDNA yang tidak identik
yaitu 7775G>A, 8657C>G, 8881T>C, dan 9699A>G ditemukan pada pasien skizofrenia,
namun 7775G>A dan 9699A>G juga ditemukan pada pasien non-skizofrenia. Dengan
demikian, varian 8657C>G dan 8881T>C merupakan mtDNA yang dapat menyebabkan
skizofrenia.
Perubahan 9956A>G yang tidak terdaftar juga ditemukan pada sampel otak
skizofrenia sebagai variasi homoplasmic dan pada kontrol ditemukan sebagai perubahan
heteroplasmi. Enam variasi tersebut antara lain : 7196C>A (sampel ID: BR-S2), 7270T>C
(sample ID: BR-S2), 7673A>G (sample ID: BLS16), 8414C>T (sample ID: BL-C8),
8419T>C (sample ID: BL-C8), dan 9536C>T (sample ID: BL-S18). Pasien BL-S16
memiliki varian homoplasmic 8027G>A (Ala148Thr) dan heteroplasmic 7673>G
(Ike30Val) dari subunit MT-CO2. Hanya BL-S16
yang menunjukkan dua variasi mutasi missense
yang menjanjikan dalam subunit yang sama dari
mtDNA. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
varian tersebut dapat memengaruhi struktur atau
fungsi dari subunit atau kompleks dengan cara
yang sinergis. Seperti yang terlihat pada BL-S16
yang memiliki tiga keturunan, dimana dua
diantaranya adalah sel daughter dan son. BL-S16-
B dipengaruhi oleh skizofrenia, sedangkan
daughter (BL-S16-S) tidak dipengaruhi. BL-S16 dan keturunannya, BL-S16-S
menunjukkan frekuensi alel sekitar 50% berdasarkan puncak alel pada kromatogram
sekuens, sedangkan BL-S16-B menunjukkan sejumlah besar alel 7673G diantara ketiga
sampel, dengan frekuensi alel G sebesar 75%.

Alel merupakan gen yang memiliki lokus (posisi pada kromosom) yang sama, tetapi
memiliki sifat bervariasi yang disebabkan mutasi gen asli. Frekuensi alel dari perubahan
nukleotida diubah dari suatu mutasi yang langka menjadi sebuah perubahan polimorfik
dalam haplogroup mtDNA. Polimorfisme 8027G>A dalam haplogroup A dan L1c dapat
berhubungan dengan lebih dari satu haplogroup. Variasi tersebut terlihat pada skizofrenia
dalam haplogroup N9a2. Berdasarkan HaploGrep software, diketahui bahwa BL-S16
membawa mutasi 8027G>A, termasuk haplogroup D5a2a1a2.

Gambar 5. Lokasi mutasi gabungan dalam struktur 2D dari subunit Ala148Thr (8027G>A) yang diidentifikasi dari MT-CO2.
Ile30Val (7673A>G) merupakan varian heteroplasmi yang terdeteksi dalam kasus membawa substitusi 8027G>A

Substitusi 8027G>A merupakan variasi polimorfik dalam haplogroup A dan L1c tetapi
merupakan suatu mutasi dalam N9a2 dan D5a2a1a2, dimana varian langka dalam
haplogroup ini mungkin dapat memberi kerentanan terhadap skizofrenia ketika
polimorfisme dalam haplogroup A dan L1c tidak.
Varian homoplasmic 8027G>A dan heteroplasmic 7673A>G merupakan kombinasi
mutasi yang langka, meskipun kombinasi tersebut dalam haplogroup L1c4 dan L1c4b.
Kombinasi mutasi ini teramati pada skizofrenia yang cenderung menjadi ciri khas dari
gangguan ini, sejak haplogroup L1 adalah haplogroup minor dalam mtDNA ras Jepang
(Ichikawa et al, 2012).
Publikasi dengan judul New variants in the mitochondrial genomes of
schizophrenic patients mengungkapkan penemuan 50 varian pada perbandingan mtDNA
dari enam pasien skizofrenia dengan sekuens Cambridge (referensi). Hal tersebut
menunjukkan adanya satu varian pada setiap 331 pasang basa. Seluruh varian
didistribusikan sepanjang genom mitokondria dan tidak terakumulasi di daerah tertentu.
Dari 50 varian, enam sebelumnya belum pernah dilaporkan dan tiga dari mereka yang
terdapat mutasi missense juga hadir dalam mtDNA ibu skizofrenia mereka, sedangkan
pada 95 subjek kontrol tidak terdapat. Varian MTCO2 7750C>A (Ile55Met) dan MTATP6
8857G>A (Gly111Ser) masing-masing ditemukan pada salah satu ibu/anak pasangan
skizofrenia, hal ini dapat menjadi mutasi yang langka dengan frekuensi <1% pada populasi
umum.
Dengan adanya varian atau akumulasi beberapa varian dalam mtDNA dapat
berkontribusi untuk dasar genetik dari gejala spesifik skizofrenia. Hal tersebut dibuktikan
pada studi in vivo menggunakan mencit, dimana ditemukan polimorfisme dalam subunit
kompleks IV, maka dapat dijelaskan perbedaan perilaku diantara fungsi kognitif yang
ditunjukkan. Keterlibatan mtDNA terbukti memengaruhi fungsi kognitif dan gangguan
kognitif, dimana hal tersebut merupakan salah satu gejala klinis utama penderita
skizofrenia.

Gambar 6. Elektrofluorogram dari varian MTCOII 7705C>A, MTATP6 8857G>A, dan MTND4 12096T>A yang teridentifikasi
pada pasien skizofrenia

Profil elektrofluorogram tersebut menunjukkan sekuens nukleotida untuk varian


missens MTCOII 7750C>A, MTATP6 8857G>A, dan MTND4 12096T>A yang
teridentifikasi pada penderita skizofrenia. Varian missens tersebut diturunkan secara
maternal, dimana telah teridentifikasi dalam mtDNA dari ibu masing-masing. Dua varian
heteroplasmi seperti MTTT 15930 G>A merupakan varian yang sebelumnya dilaporkan
dapat memengaruhi tRNA dari threonine. Sedangkan varian satunya yakni MTND4 12096
T>A merupakan mutasi missense yang berada dalam subunit ND4 dari kompleks I.
Mutasi ialah salah satu peristiwa yang bisa saja terjadi akibat adanya sebuah
perubahan dalam urutan DNA. Sebuah mutasi missense terjadi ketika salah satu nukleotida
DNA berubah sehingga asam amino yang berbeda dimasukkan ke dalam protein. Terdapat
tiga varian missense yang teridentifikasi pada mtDNA penderita skizofrenia yakni
MTCOII 7750 C>A, MTATP6 8857 G>A, dan MTND4 12096 T>A. Analisis varian
heteroplasmi MTND4 12096 T>A menunjukkan fragmen undigested sesuai dengan adanya
varian pada pasien 1, 3, 4, 5, dan 6 serta ibunya masing-masing seperti yang terlihat pada
profil elektroforesis berikut. Sebelumnya varian ini telah teridentifikasi pada
elektrofluorogram dari pasien 4 dan 5. Peninjauan kembali elektrofluorogram mengungkap
dua puncak dalam posisi ini untuk pasien 1, 3, dan 6, meskipun dengan proporsi <50%.
Profil berikut juga menunjukkan dari 95 kontrol tidak ada yang menunjukkan band/pita
yang undigested, dimana hal tersebut mengindikasikan bahwa kontrol tidak mengalami
mutasi

Gambar 7. Silver-stained polyacrylamide gels dari varian 12096T>A yang dianalisis dengan PCR-RFLP pada pasien dan ibunya
masing-masing (garis 1-6M) dan pada enam orang kontrol (garis 7-12)

Mutasi MTCOII 7750C>A mengarah pada substitusi Ile55Met dalam subunit II


(COII) dari sitokrom c oksidase (kompleks IV). Meskipun hal tersebut merupakan
substitusi konservatif, sifat fisikokimia utama dari kedua asam amino adalah sama,
penjajaran sekuens ganda dari 92 sekuens mamalia COII mengindikasikan bahwa
methinonine tidak pernah ada, sebab hanya isoleucine atau threonine yang terdapat pada
posisi 55. Berdasarkan struktur sekunder, Ile55 yang dimiliki loop antara helix alpha 1 dan
helix alpha 2 dari COII terletak dalam area matriks mitokondria. Mutasi ini tidak
menggangu struktur maupun fungsi dari kompleks IV.
Mutasi MTATP6 8857G>A mengarah pada substitusi Gly111Ser dalam subunit 6
dari ATP synthase (kompleks V). Penjajaran sekuens ganda dari 96 eukariotik sekuens
ATP 6 menunjukkan bahwa substitusi semikonservatif dibolehkan dalam posisi 111. Selain
itu, serine ditemukan dalam posisi tersebut pada dua ekor primata (Pongo pygmaeus abelii
dan Pongo pygmaeus pygmaeus). Artinya, mutasi tersebut tidak mengganggu struktur
maupun aktivitas dari kompleks V.
Mutasi MTND4 12096T>A memicu substitusi non-konservatif Leu446His dalam
subunit ND4 dari NADH-ubiquinone oxidoreductase (kompleks I). Penjajaran sekuens
ganda dari sekuens 110 ND4 seluruh kingdom eukariotik menunjukkan sebuah residu
hidrofobik yang selalu menempati posisi 446, sehingga histidin yang merupakan asam
amino hidrofilik tidak dapat menempati posisi tersebut. Selain itu, dalam semua sekuens
mamalia yang sejajar, Leu446 dilindungi atau digantikan oleh isoleusin, yang merupakan
substitusi konservatif. Leu446 yang dimiliki oleh alfa heliks terdiri dari residu 432-447 dan
secara aktif berpartisipasi pada stabilisasi melalui interaksi dengan rantai lateral residu
hidrofobik lainnya. Sedangkan histidin merupakan asam amino yang bersifat polar, tidak
dapat membentuk kestabilan interaksi hidrofobik, maka diperkirakan struktur alfa heliks
akan terancam. Oleh karena itu, dengan memasukkan histidin pada posisi 446 dari ND4
pada pasien skizofrenia, maka dapat mendistorsi (memutarbalik) struktur subunit ND4.
Kemudian substitusi ini juga dapat memengaruhi aktivitas NADH-ubiquinone
oxidoreductase. Oleh karena aktivitas kompleks I pada pasien skizofrenia terkait dengan
gejala psikotik, maka dapat dikatakan bahwa mutasi MTND4 12096T>A turut
berpartisipasi terhadap hubungan ini.
BAB III
KESIMPULAN

Mitokondria merupakan organel sel yang terlibat dalam gangguan mental, dimana organel
ini menjadi mesin pembangkit dari sel yang terlibat dalam regulasi berbagai fungsi penting
seluler dan fisiologis, termasuk transkripsi, fungsi otak, inflamasi, dan fungsi imun. Mutasi
pada gen mitokondria menunjukkan peran genom mitokondria dalam keterlibatannya pada
resiko gangguan jiwa seperti skizofrenia. Skizofrenia cenderung memiliki varian mutasi
yang langka dalam jumlah tinggi, mutasi varian tersebut dapat mengakibatkan perbedaan
genetik yang akan menyebabkan perbedaan sejumlah besar gen dan cenderung merusak
perkembangan otak. Kecacatan pada genom mitokondria ini dapat menjadi pemicu
terjadinya skizofrenia, dimana penyakit ini merupakan gangguan otak kronis dan parah
sehingga menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang
aneh dan terganggu yang dapat mempengaruhi fungsi dalam kehidupan sehari–hari
penderita.
DAFTAR PUSTAKA

Buchanan and Carpenter, 2005. Concept of Schizophrenia in Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatri, 8th Edition, Lippincott William and Wilkins.
Knapp, Duane E. (2000). Brand Mindset. McGraw Hill Companies, Inc., United States of America
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA., 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis.
Tangerang (Indonesia) : Bina Rupa Aksara
Martorell, Reynaldo, et al, Characteristics And Determinants Of Child Nutritional Status In Nepal, (Am J
Clin Nutr, 1983) ;39:74-86

____ New variants in the mitochondrial genomes of schizophrenic patients. Eur J Hum
Genet. 2006 May;14(5):520-8.
Munakata, et al. Mitochondrial DNA 3243A>G mutation and increased expression of LARS2
gene in the brains of patients with bipolar disorder and schizophrenia. Biol
Psychiatry. 2005 Mar 1;57(5):525-32.

Rajasekaran, A., Kalaivani, M., and Ariharasivakumar, A., 2010, Haemostatic effect of fresh juice and
methanolic extract of Eupatorium leaves in rat model, International Journal of Biological &
medical Research, 1 (2): 85-87.
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan, Republik Indonesia.
Stuart dan Sundeen. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3 alih bahasa Achir Yani. S. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai