Anda di halaman 1dari 3

Diagnosis

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :
• Nyeri tekan perut bagian bawah
• Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan mukopurulen, nyeri pada pergerakan
serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang bilateral
• Mungkin ditemukan adanya massa adnexa
Beberapa tanda tambahan adalah :
• Suhu oral lebih dari 38ºC
2. Pemeriksaan Laboratorium
• Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebih dari 100.000 pada 50%
kasus. Hitung leukosit mungkin normal, meningkat, atau menurun, dan tidak dapat digunakan
untuk menyingkirkan PID.
• Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu diagnose namun tetap
tidak spesifik.
• Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.
• Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan untuk mengkonfirmasi
PID.
• Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih.
3. Pemeriksaan Radiologi
• Transvaginal ultrasonografi : pemeriksaan ini memperlihatkan adnexa, uterus, termasuk
ovaroium. Pada pemeriksaan ini PID akut Nampak dengan adanya ketebalan dinding tuba
lebih dari 5 mm, adanya septa inkomplit dalam tuba, cairan mengisi tuba fallopi, dan tanda
cogwheel. Tuba fallopi normal biasanya tidak terlihat pada USG.
• CT digunakan untuk mendiagnosa banding PID. Penemuan CT pada PID adalah servisitis,
ooforitis, salpingitis, penebalan ligament uterosakral, dan adanya abses atau kumpulan cairan
pelvis. Penemuan CT scan tidak spesifik pada kasus PID dimana tidak bukati abses.
• MRI jarang mengindikasikan PID. Namun jika digunakan akan terlihat penebalan, tuba
yang berisi cairan dengan atau tanpa cairan pelvis bebas atau kompleks tubaovarian.
4. Prosedur Lain
Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID. Mengevaluasi cairan di
dalam abdomen dilakukan untuk menginterpretasi kerusakan. Pus menunjukkan adanya abses
tubaovarian, rupture apendiks, atau abses uterin. Darah ditemukan pada ruptur kehamilan
ektopik, kista korpus luteum, mestruasi retrograde, dll.
Criteria minimum pada laparoskopi untuk mendiagnosa PID adalah edema dinding tuba,
hyperemia permukaan tuba, dan adanya eksudat pada permukaan tuba dan fimbriae. Massa
pelvis akibat abses tubaovarian atau kehamilan ektopik dapat terlihat.
Endometrial biopsi dapat dilakukan untuk mendiagnosa endometritis secara histopatologis.
Penatalaksanaan
CDC memperbaharui panduan untuk diagnosis dan manajemen PID. Panduan CDC terbaru
membagi criteria diagnostic menjadi 3 grup :
1. Grup 1 : minimum kriteria dimana terapi empiris diindikasikan bila tidak ada etiologi
yang dapat dijelaskan. Kriterianya yaitu adanya nyeri tekan uterin atau adnexa dan nyeri saat
pergerakan serviks.
2. Grup 2 : kriteria tambahan mengembangkan spesifisitas diagnostic termasuk kriteria
berikut : suhu oral >38,3ºC, adanya secret mukopurulen dari servical atau vaginal,
peningkatan erythrocyte sedimentation rate, peningkatan c-reactif protein, adanya bukti
laboratorium infeksi servikalis oleh N. gonorhea atau C. trachomatis.
3. Grup 3 : kriteria spesifik untuk PID didasarkan pada prosedur yang tepat untuk beberapa
pasien yaitu konfirmasi laparoskopik, ultrasonografi transvaginal yang memperlihatkan
penebalan, tuba yang terisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas pada pelvis, atau kompleks
tuba-ovarian, dan endometrial biopsy yang memperlihatkan endometritis.
Kebanyakan pasien diterapi dengan rawatan jalan, namun terdapat indikasi untuk dilakukan
hospitalisasi yaitu :
• Diagnosis yang tidak jelas
• Abses pelvis pada ultrasonografi
• Kehamilan
• Gagal merespon dengan perawatan jalan
• Ketidakmampuan untuk bertoleransi terhadap regimen oral
• Sakit berat atau mual muntah
• Imunodefisiensi
• Gagal untuk membaik secara klinis setelah 72 jam terapi rawat jalan
Terapi dimulai dengan terapi antibiotik empiris spectrum luas. Jika terdapat AKDR, harus
segera dilepas setelah pemberian antibiotic empiris pertama. Terapi terbagi menjadi 2 yaitu
terapi untuk pasien rawat inap dan rawat jalan.
Terapi pasien rawatan inap
Regimen A : berikan cefoxitin 2 gram iv atau cefotetan 2 gr iv per 12 jam ditambah
doxisiklin 100 mg per oral atau iv per 12 jam. Lanjutkan regimen ini selama 24 jam setelah
pasien pasien membaik secara klinis, lalu mulai doxisiklin 100 mg per oral 2 kali sehari
selama 14 hari. Jika terdapat abses tubaovarian, gunakan metronoidazole atau klindamisin
untuk menutupi bakteri anaerob.
Regimen B : berikan clindamisin 900 mg iv per 8 jam tambah gentamisin 2 mg/kg BB dosis
awal iv diikuti dengan dosis lanjutan 1,5 mg/kg BB per 8 jam. Terapi iv dihentikan 24 jam
setelah pasien membaik secara klinis, dan terapi per oral 100 mg doxisiklin dilanjutkan
hingga 14 hari.
Terapi pasien rawatan jalan
Regimen A : berikan ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal tambah doxisiklin 100 mg oral 2
kali sehari selama 14 hari, dengan atau tanpa metronidazole 500 mg 2 kali sehari selama 14
hari.
Regimen B : berikan cefoxitin 2 gr im dosis tunggal dan proibenecid 1 gr per oral dosis
tunggal atau dosis tunggal cephalosporin generasi ketiga tambah dozisiklin 100 mg oral 2 kali
sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazole 500 mg oral 2 kali sehari selama 14
hari.
Pasien dengan terapi intravena dapat digantika dengan terapi per oral setelah 24 jam
perbaikan klinis. Dan dilanjutkan hingga total 14 hari. Penanganan juga termasuk
penanganan simptomatik seperti antiemetic, analgesia, antipiretik, dan terapi cairan.
Terapi Pembedahan
Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus dievaluasi ulang
bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan. Laparotomi digunakan untuk
kegawatdaruratan sepeti rupture abses, abses yang tidak respon terhadap pengobatan,
drainase laparoskopi. Penanganan dapat pula berupa salpingoooforektomi, histerektomi, dan
bilateral salpingooforektomi. Idealnya, pembedahan dilakukan bila infeksi dan inflamasi
telah membaik.

Anda mungkin juga menyukai