Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA

DI PUSKESMAS GAMPING II

Di Susun oleh :

Nama : IDAH MAISYAROH

NPM : 202201052

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN (S-1)

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI YOGYAKARTA

2023
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA

DI PUSKESMAS GAMPING II

A. Definisi
Skizofrenia berasal dari kata “skizo” dan “frenia”.Skizo yang artinya
retak atau perpecahan, sedangkan frenia adalah jiwa. Skizofrenia
menurut Videbeck (2008) adalah suatu penyakit yang memengaruhi otak
dan menyebabkan timbulnya pikiran,persepsi, emosi, gerakan dan
perilaku yang aneh dan terganggu. Herman (2008), mendifinisikan
skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang mempengarruhi persepsi
klien, cara berfikir, bahasa,emosi, dan perilaku sosial.
B. Etiologi
Videbeck (2008) menyatakan bahwa skizofrenia dapat disebabkan oleh 2
faktor, yaitu:
a. Faktor Predisposisi
1. Faktor Biologis
Faktor genetik adalah faktor utama pencetus dari skizofrenia.Anak
yang memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia tetapi
diadopsi pada saat lahir oleh keluarga tanpa riwayat skizofrenia
masih memiliki resiko genetik dari orang tua biologis mereka. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian bahwa anak yang memiliki satu orang
tua penderita skizofrenia memiliki resiko 15%; angka ini meningkat
sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita skizofrenia
(Videbeck, 2008).
a. Faktor neuroanatomi
Penelitian menunjukkan bahwa individu penderita skizofrenia
memiliki jaringan otak yang relatif lebih sedikit; hal ini dapat
memperlihatkan suatu kegagalan perembangan atau kehilangan
jaringan selanjutnya.Computerized Tomography (CT Scan)
menunjukkan pembesaran ventrikel otak dan atrofi korteks otak.
Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan
bahwa ada penurunan oksigen dan metabolisme glukosa pada
struktur korteks frontal otak.Riset secara konsisten menunjukkan
penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal pada area
temporal dan frontal individu penderita skizofrenia (Videbeck,
2008).
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem
limbik dan ganglia basalis. Otak pada penderita skizofrenia
terlihat sedikit berbeda dengan orang normal, ventrikel terlihat
melebar, penurunan massa abu-abu dan beberapa area terjadi
peningkatan maupun penurunan aktivitas metabolik.
Pemeriksaan mikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit
perubahan dalam distribusi sel otak yang timbul pada massa
prenatal karena tidak ditemukannya sel glia, biasa timbul pada
trauma otak setelah lahir (Prabowo, 2014).
b. Neurokimia
Penelitian neurokimia secara konsisten memperlihatkan adanya
perubahan sistem neurotransmitters otak pada individu penderita
skizofrenia. Pada orang normal, sistem switch pada otak bekerja
dengan normal.Sinyal-sinyal persepsi yang datang dikirim kembali
dengan sempurna tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan
perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan tindakan sesuai
kebutuhan saat itu.Pada otak penderita skizofrenia, sinyal-sinyal
yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil
mencapai sambungan sel yang dituju (Yosep, 2016).
2. Faktor Psikologis
Skizofrenia terjadi karena kegagalan dalam menyelesaikan
perkembangan awal psikososial sebagai contoh seorang anak yang
tidak mampu membentuk hubungan saling percaya yang dapat
mengakibatkan konflik intrapsikis seumur hidup.Skizofrenia yang
parah terlihat pada ketidakmampuan mengatasi masalah yang
ada.Gangguan identitas, ketidakmampuan untuk mengatasi masalah
pencitraan, ketidakmampuan untuk mengontrol diri sendiri juga
merupakan kunci dari teori ini (Stuart, 2013).
3. Faktor Sosiokultural dan Lingkungan
Faktor sosiokultural dan lingkungan menunjukkan bahwa jumlah
individu dari sosial ekonomi kelas rendah mengalami gejala
skizofrenia lebih besar dibandingkan dengan individu dari sosial
ekonomi yang lebih tinggi.Kejadian ini berhubungan dengan
kemiskinan, akomodasi perumahan padat, nutrisi tidak memadahi,
tidak ada perawatan prenatal, sumber daya untuk menghadapi stress
dan perasaan putus asa.
C. Patofisiologi
Patofisiologi skizofrenia disebabkan adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter di otak, terutama norepinefrin, serotonin, dan
dopamine. Namun, proses patofisiologi skizofrenia masih belum
diketahui secara pasti (Kaplan dan Sadock, 2014). Secara umum
penelitian telah mendapatkan bahwa skizofrenia dikaitkan dengan
penurunan volume otak, terutama bagian temporal (termasuk
mediotemporal), bagian frontal, termasuk substansia alba dan grisea.
Dari sejumlah penelitian ini, daerah otak yang secara konsisten
menunjukkan kelainan yaitu daerah hipokampus dan parahipokampus
(Abrams, DJ., Rojas, DC., Arciniegas, 2018).
D. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala skizofrenia adalah sebagai berikut:
1. Gejala Positif
a. Waham Keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan kenyataan,
dipertahankan dan disampaikan berulang ulang (waham kejar,
waham curiga, waham kebesaran).
b. Halusinasi Gangguan penerimaan pancaindera tanpa ada
stimulus eksternal (halusinasi pendengaran, penglihatan,
pengecapan, penciuman, dan perabaan).
2. Gejala Negatif
a. Sikap masa bodoh.
b. Pembicaraan terhenti tiba-tiba.
c. Menarik diri dari pergaulan social (isolasi sosial).

Menurut Direja (2011) tanda dan gejala pasien skizofrenia dengan isolasi
sosial adalah sebagai berikut:

1. Kurang spontan.
2. Acuh terhadap lingkungan.
3. Ekspresi wajah kurang berseri.
4. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
5. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
6. Mengisolasi diri.
7. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
8. Asupan makanan dan minuman terganggu.
9. Retensi urin dan feses.
10. Aktifitas menurun.
11. Kurang energi (tenaga).
12. Rendah diri.
13. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin
(khususnya pada posisi tidur).
14. Menurunnya kinerja atau aktivitas social sehari –hari.
E. Komplikasi
Skizofrenia yang tidak tertangani dapat memicu komplikasi serius,
seperti:
a. Percobaan bunuh diri
b. Depresi
c. Obsessive-compulsive disorder (OCD)
d. Perilaku melukai diri sendiri
e. Kecanduan alcohol
f. Penyalahgunaan NAPZA
g. Perilaku agresif atau gaduh gelisah

Penderita skizofrenia juga dapat memiliki masalah dalam hubungan


dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, penderita
skizofrenia juga rentan dipandang negatif oleh orang-orang di
sekitarnya.

Di samping itu, gejala yang dialami penderita juga dapat membuat


dirinya sulit bekerja sehingga bisa berdampak buruk pada kondisi
keuangannya.

F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendiagnosis skizofrenia, dokter akan menjalankan beberapa
tahap pemeriksaan, yaitu tanya jawab, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
kejiwaan, dan pemeriksaan penunjang.
Pada sesi tanya jawab, dokter akan mencari tahu terkait beberapa hal
berikut:
a. Riwayat kesehatan fisik dan mental pada pasien dan keluarganya
b. Riwayat saat pasien masih berada dalam kandungan dan masa
kecilnya
c. Riwayat kejadian traumatis yang dialami penderita
d. Riwayat pengobatan dan penyalahgunaan zat tertentu

Berdasarkan DSM–5 (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders, 5th Edition), seseorang dapat dikatakan menderita skizofrenia
apabila memiliki sejumlah kriteria berikut ini:

1. Pasien mengalami minimal dua dari sejumlah gejala berikut:


a. Delusi atau waham
b. Halusinasi
c. Bicara kacau
d. Perilaku kacau
e. Gejala negative

Setidaknya, satu dari dua gejala minimal yang harus ada adalah
delusi, halusinasi, atau kekacauan dalam berbicara.

2. Gejala sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, sekolah, pekerjaan,


atau kehidupan sosial pasien.
3. Gejala di atas harus dialami pasien setidaknya selama 6 bulan.
4. Gejala di atas bukan disebabkan oleh gangguan mental lain, seperti
gangguan bipolar atau penyalahgunaan NAPZA.

Dokter juga akan melakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk


menyingkirkan kemungkinan gejala yang dialami pasien disebabkan
oleh penyakit lain. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

1. Tes darah lengkap


2. Pemeriksaan fungsi hati, tiroid, dan ginjal
3. Tes kadar elektrolit, gula darah, vitamin B12, vitamin D, asam folat,
dan kalsium
4. Pemeriksaan kehamilan, jika pasien adalah wanita usia subur
5. Uji sampel urine untuk mendeteksi penyalahgunaan NAPZA
6. MRI atau CT scan otak, untuk mendeteksi gangguan otak seperti
hematoma subdural, vaskulitis, abses, atau tumor otak, yang
mungkin bisa mendasari timbulnya skizofrenia
G. Penatalaksanaan
Menurut Maramis, (2018) penatalaksanaan pada klien skizofrenia pada
pasien risiko perilaku kekerasan bisa dikendalikan dengan cara medis
dan non medis.
1. Terapi Medis
a. Psikofarma
Psikofarma adalah terapi dengan menggunakan obat-obatan
dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gangguan
kejiwaan. Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai
efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen,
perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping : sedasi,
otonomik, ekstrapiramidal). Pada terapi medis yang bisa diberikan
seperti obat antipsikotik yaitu Chlorpoazine (CPZ), Risperidon (RSP)
Haloperidol (HLP), Clozapin dan Trifluoerazine (TFP) (Estika, 2021).
2. Non Medis
a. Psikoterapi
Psikoterapi diberikan dalam terapi modalitas dengan tujuan untuk
mengubah perilaku pasien dan perilaku yang mal-adaptif menjadi
perilaku yang adaptif. Terapi modalitas keperawatan jiwa
dilakukan untuk memperbaiki dan mempertahankan sikap pasien
agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan lingkungan
masyarakat sekitar dengan harapan pasien dapat terus bekerja
dan tetap berhubungan dengan keluarga, teman, dan sistem
pendukung yang ada ketika menjalani terapi. Selain psikoterapi,
terapi non medis lain yang bisa di berikan yaitu terapi generalis
yang bertujuan untuk mengenalkan masalah perilaku kekerasan
dan mengajarkan pengendalian amarah dengan terapi yang dapat
diberikan seperti nafas dalam, memukul bantal, minum obat
secara teratur, berkomunikasi secara verbal dengan baik, spiritual
dan terapi aktivitas kelompok (Estika, 2021).
H. Pengkajian Fokus Keperawatan
Menurut Muhith, 2015, “pengkajian merupakan tahap awal dalam
proses keperawatan untuk mengumpulkan data dari beberapa sumber
untun mengisentifikasi dan megevaluasi keadaan pasien”.
1. Identitas Klien
2. Alasan Masuk
“Biasanya alasan utama klien masuk ke rumah sakit yaitu pasien
sering mengungkapkan kalimat yang bernada ancaman, kata-kata
kasar, ungkapan ingin memukul serta memecahkan perabotan
rumah tangga. Pada saat berbicara wajah pasien terlihat memerah
dan tegang, pandangan mata tajam, mengatupkan rahang dengan
kuat, mengepalkan tangan”.
3. Faktor Predisposisi
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan sebelumnya pernah
dirawat dan diobati di rumah sakit . “Pengobatan yang dilakukan
sebelumnya masih meninggalkan gejala sisa sehingga pasien kurang
dapat beradaptasi dengan lingkungannya”. Biasanya gejala sisa
timbul merupakan akibat trauma yang dialami klien berupa
penganiayaan fisik dalam keluarga ataupun lingkungan, pernah
menyaksikan tindakan krminal dan pernah melakukan tindakan
kekerasan.
4. Pemeriksaan Fisik
Di dapatkan tanda-tanda vital, tekanan darah meningkat, nadi cepat,
pernafasan akan cepat ketika klien marah, mata merah dan melotot,
tatapan mata tajam, suara keras dan tinggi, nada bicara seperti
mengancam dan berbicara kotor, rahang mengatup, tangan mengepal
dan tubuh kaku.
5. Psiokososial
a. Genogram
Menggambarkan tentang garis keturunan keluarga klien, apakah
ada yang pernah menderita gangguan jiwa.
b. Konsep Diri
1) Citra tubuh
Persepsi klien terhadap tubuhnya, seperti bagian tubuh
yang tidak disukai.
2) Identitas diri
“Kaji status dan posisi klien sebelum klien dirawat,
kepuasan klien terhadap status dan posisinya, kepuasan
pasien sebagai laki-laki atau perempuan, keunikan yang
dimiliki sesuai dengan jenis kelamin dan posisinnya”.

3) Peran diri
Meliputi tugas atau peran klien dalam keluarga/ pekerjaan/
kelompok/ masyarakat. Biasanya klien dengan perilaku
kekerasan kurang dapat melakukan peran dan tugasnya
dengan baik sebagai anggota keluarga dalam masyarakat.
4) Ideal diri
“Berisi harapan klien terhadap kedaan tubuh yang ideal,
posisi, tugas, peran dalam keluarga, pekerjaan atau sekolah,
harapan klien terhadap lingkungan sekitar serta harapan
pasien terhadap penyakitnya”. Biasanya klien dengan
perilaku kekerasan ingin diperlakukan dengan baik oleh
keluarga ataupun masyarakat.
5) Harga diri
Mengkaji tentang “hubungan klien dengan orang lain sesuai
dengan kondisi, dampak pada klien berubungan dengan
orang lain, fungsi peran tidak sesuai harapan, penilaian
klien terhadap pandangan atau penghargaan orang lain”.
Biasanya klien dengan perilaku kekerasan memiliki
hubungan yang kurang baik dengan orang lain sehingga
klien merasa dikucilkan di lingkungan sekitarnya.
6. Hubungan social
Adanya hambatan dalam behubungan dengan orang lain, minat
berinteraksi dengan orang lain karena klien sering marah-marah.
7. Spiritual
a. Nilai dan Keyakinan
Klien meyakini agama yang dianutnya dan melakukan ibadah
sesuai dengan keyakinannya.
b. Kegiatan ibadah
Klien jarang meakukan ibadah.
8. Status mental
a. Penampilan
“Terkadang klien berpenampilan kurang rapi, rambut acak-
acakan, mulut dan gigi kotor, badan pasien bau”.
b. Pembicaraan
“Klien berbicara cepat dengan rasa marah, nada tinggi, dan
berteriak (menggebu- gebu)”.
c. Aktivitas Motorik
“Biasanya klien terlihat gelisah, berjalan mondar-mandir dengan
tangan yang mengepal dan graham yang mengatup, mata yang
merah dan melotot”.
d. Alam Perasaan
Keadaan klien tampak merasakan sedih, putus asa, gembira yang
berlebihan dengan penyebab marah yang tidak diketahui.
e. Afek
Klien “mengalami perubahan roman muka jika diberikan stimulus
yang menyenangkan dan biasanya klien mudah labil dengan
emosi yang cepat berubah”. klien juga akan bereaksi bila ada
stimulus emosi yang kuat.
f. Interaksi selama wawancara
Respon klien “memperlihatkan perilaku yang tidak kooperatif,
bermusuhan, serta mudah tersinggung, kontak mata yang tajam
serta pandangan yang melotot”.
g. Persepsi
Terkadang klien mendengar, melihat, meraba, mengecap sesuatu
yang tidak nyata dengan waktu yang tidak diketahui dan tidak
nyata.
h. Proses atau arus piker
Klien dengan perilaku kekerasan biasanya “berbicara dengan
blocking yaitu pembicaraan yang terhenti tiba-tiba dikarenakan
emosi yang meningkat tanpa gangguan eksternal kemudian
dilanjutkan kembali”.
i. Isi Pikir
Klien dengan perilaku kekerasan biasanya memiliki phobia atau
ketakutan patologis atau tidak logis terhadap objek atau situasi
tertentu.
j. Tingkat Kesadaran
Klien dengan perilaku kekerasan terkadang “tingkat kesadarannya
yaitu stupor dengan gangguan motorik seperti kekakuan, gerakan
yang diulang-ulang.
k. Memori
Klien dengan perilaku kekerasan biasanya memiliki memori yang
konfabulasi yaitu pembicaraan yang tidak sesuai dengan
kenyataan.
l. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Klien dengan perilaku kekerasan tidak mampu berkonsentrasi,
pasien selalu meminta agar pernyataan diulang/tidak dapat
menjelaskan kembali pembicaraan.
m. Kemampuan penilaian
Klien memiliki kemampuan penilaian yang baik.
n. Daya tilik diri
Klien menyadari bahwa ia berada dalam masa pengobatan untuk
mengendalikan emosinya yang labil.
9. Kebutuhan Persiapan Pulang
a. Makan
Klien makan 3x sehari dengan porsi (daging, lauk pauk, nasi,
sayur, buah).
b. BAB/BAK
Klien mampu menggunakan toilet yang disediakan
untuk BAB/BAK dan membersihkannya kembali.
c. Mandi
Klien mampu mandi dengan baik dan benar.
d. Berpakaian
Klien mampu berpakaian, memilih pakaian dan frekwensi ganti
pakaian.
e. Istirahat dan tidur
Klien dapat melakukan istirahat dan tidur tanpa ada kesulitan.
f. Penggunaan obat
Klien minum obat 3x sehari dengan obat oral. Reaksi obat pasien
dapat tenang dan tidur.
g. Pemeliharaan kesehatan
Klien biasanya melanjutkan obat untuk terapinya dengan
dukungan keluarga dan petugas kesehatan serta orang
disekitarnya.
h. Kegiatan di dalam rumah
Klien dapat melakukan aktivitas di dalam rumah seperti, mencuci
dan membersihkan ruamh.
i. Kegiatan di luar rumah
Klien dapat melakukan aktivitas diluar rumah secara mandiri
seperti menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum
jika ada kegiatan diluar rumah,
10. Mekanisme Koping
Data yang didapat melalui wawancara pada klien /keluarga,
bagaimana cara klien mengendalikan diri ketika menghadapi
masalah:
a. Koping Adaptif
1) Bicara dengan orang lain.
2) Mampu menyelesaikan masalah.
3) Teknik relaksasi.
4) Aktifitas konstrutif.
5) Olahraga, dll.
b. Koping Maladaptif
1) Minum alcohol.
2) Reaksi lambat/berlebihan.
3) Bekerja berlebihan.
4) Menghindar.
5) Mencederai diri.
11. Masalah Psikososial dan Lingkungan
Klien dengan perilaku kekerasan memiliki masalah dengan
psikososial dan lingkungannya, seperti klien yang tidak dapat
berinteraksi dengan keluarga atau masyarakat karena perilaku
pasien yang membuat orang sekitarnya merasa ketakutan.
12. Aspek Medik
Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang
tepat. Adapun dengan pengobatan dengan neuroleptika yang
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya Clorpromazine HCL yang
berguna untuk mengendalikan psikomotornya. “Bila tidak ada dapat
digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperasine estelasine,
bila tidak ada juga tidak maka dapat digunakan Transquilizer bukan
obat antipsikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian
keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas dan anti agitasi”.
I. Diagnosis Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Harga diri rendah
2. Isolasi social
3. Halusinasi
J. Rencana Intervensi Keperawatan
Sp1 : Menjelaskan keuntugan dan kerugian mempunyai teman
Sp2 : Melatih klien berkenalan dengan dua orang atau lebih
Sp3 : Melatih klien bercakap-cakap sambil melakukan kegiatan
harian
Sp4 : Melatih berbicara sosial : seperti meminta sesuatu dan
Sebagainya
K. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk melakukan spektrum penuh tritmen meliputi
psikoterapi,melibatkan klien sebagai mitra dalam hubungan yang kuat
dalam tritmen,kebutuhan klinisi primer untuk merawat klien,
psikoedukasi, keterlibtan keluarga, dan pembatasan penggunaan obat
(Stuart,2016).
Tindakan keperawatan klien isolasi sosial yaitu dengan cara membantu
klien mengidentifikasi penyebab, manfaat mempunyai teman,kerugian
tidak mempunyai teman, latihan berkenalan dengan orang lain secara
bertahap, Beberapa studi telah dilakukan untuk mengatasi masalah
isolasi sosial dengan memberikan berbagai intervensi keperawatan
(Fadly & Hargiana, 2018).
Evaluasi adalah penilaian keberhasilan tindakan keperawatan yang
sudah diberikan dan fokusnya adalah pada kualitas hubungan
teraupetik. Karena hubungan adalah pusat perawatan yang afektif, jenis
evaluasi harus dilakukan pada dua tingkat. Tingkat evaluasi pertama
berfokus pada perawat dan partisipasi perawat dalam hubungan.
Tingakt evaluasi kedua berfokus pada perilaku klien dan perubahan
perilaku yang harus difasilitasi oleh perawat (Stuart, 2016).
S : Respon subjek klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan
O : Respon objek klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan
A : Analisa terhadap data subjek untuk menyimpulkan apakah masalah
masih ada/tidak teratasi atau muncul masalah baru
P : Perencanaan tindak lanjut berdasarkan analisa respon klien
L. Referensi
http://repository.poltekkesdenpasar.ac.id/7260/3/BAB%20II
%20Tinjauan%20Pustaka.pdf
http://eprints.umpo.ac.id/6167/3/BAB%202%20pdf.pdf
https://eprints.umm.ac.id/94151/3/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai