Anda di halaman 1dari 32

Referat

Gangguan Neurokognisi Pada Pasien Skizofrenia

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh :

Zahra Firdausi Rachman


NIM: 150611035

Preseptor :

dr. Afrina Zulaikha, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITASMALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan

kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Referat ini dengan judul

"Gangguan Neurokognisi pada Pasien Skizofrenia". Penyusunan tugas ini

merupakan pemenuhan syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik

senior di SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia.

Seiring rasa syukur atas terselesaikannya tugas ini, dengan rasa hormat dan

rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:

1. Pembimbing, dr. Afrina Zulaikha, Sp. KJ atas arahan dan bimbingan nya

dalam penyusunan refarat ini.

2. Teman- teman kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa

Rumah Sakit umum daerah Cut Meutia, yang telah membantu dalam bentuk

motivasi dan dukungan semangat.

Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa

dalam penyusunan Referat ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat

mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan

tugas ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Aceh Utara, Februari 2021

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang kronis, parah, dan melemahkan

Dimana gangguan jiwa tersebut menyebabkan hendaya berat, tidak mampu

mengenali realitas sehingga tidak mampu menjalankan kehidupan sehari-hari

seperti orang normal, dengan perjalanan kronis ditandai dengan kekambuhan yang

terjadi secara berulang (Shaun M. Eack, 2015). Skizofrenia adalah penyakit yang

menyerang kurang lebih 1% dari populasi dan dimulai dari usia kurang dari 25

tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas sosial. Di

Amerika Serikat, prevalensi skizofrenia seumur hidup sekitar 1% yang berarti lebih

dari 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama masa hidupnya.

Berdasarkan studi Epidimiologic Catchment Area (ECA) melaporkan prevalensi

seumur hidup sebesar 0,6- 1,9% (Sadock et al., 2015).

Kronisitas dari gangguan skizofrenia merupakan salah satu faktor yang

menjadi pertimbangan dari penatalaksanaan. Skizofrenia telah dipandang

selama bertahun-tahun sebagai suatu penyakit yang kronis dengan atau bahkan

tidak ada harapan untuk sembuh. Sekitar 98% dari pasien dengan Skizofrenia

menunjukkan kemampuan kognisi yang lebih jelek pada pemeriksaan kognitif

daripada tingkat pendidikan yang diterimanya (Shaun M. Eack, 2015). Gangguan

tersebut cukup mempengaruhi fungsi pasien dalam pekerjaan, fungsi sosial

pasien, dan manajemen dari penyakitnya sendiri (Soares, 2013). Defisit kognitif

pada pasien skizofrenia ditemukan terkait dengan domain neurokognisi dan kognisi

3
sosial. Fungsi neurokognitif yang paling menonjol adalah di bidang perhatian,

memori verbal, dan fungsi eksekutif (Peyroux & Franck, 2014).

Defisit kognitif menjadi salah satu aspek sentral dan melemahkan dari

Skizofrenia. Hampir seluruh fungsi kognitif terkena dampak seperti memori,

atensi, kemampuan, motorik, fungsi eksekutif, dan intelegensia (Soares, 2013).

Aspek kognitif sangat berperan dalam menentukan luaran fungsi penderita

dibandingkan gejala skizofrenia (Deckler et al., 2018). Penanganan skizofrenia saat

ini masih menitikberatkan pada pengendalian gejala dan cenderung

mengesampingkan aspek kognitif. Jika dibandingkan gejala psikotik, defisit

kognitif dapat lebih memprediksi kemampuan fungsi sosial pada penderita

skizofrenia (Rini & Rochman Hadjam, 2016).

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini yaitu untuk mengetahui patogenesis

dan gambaran penurunan fungsi kognisi pada penderita skizofrenia, sehingga dapat

dilakukan pengobatan komprehensif dan memperbaiki luaran terutama dari segi

kognisi pada penderita skizofrenia.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia

Gangguan jiwa pertama kali diperkenalkan oleh Emil Kraepelin (1856-

1926) dan Eugen Bleuler (1857- 1939). Sebelumnya, Bennedic Morel (1809- 1873)

seorang psikiater Prancis menggunakan istilah dementia praecox, menggambarkan

pasien dengan penyakit yang dimulai pada masa remaja yang mengalami

kemunduran intelegensi sebelum waktunya disertai gejala klinis berupa waham dan

halusinasi. Eugene Bleuler (1911) memperkenalkan istilah Skizofrenia yang

berasal dari kata schizos (pecah-belah) dan phren (jiwa) menggantikan istilah

demensia prekoks dalam literatur (Sadock et al., 2015).

Skizofrenia merupakan sindroma klinis dengan gambaran psikopatologi

yang bervariasi. Psikopatologi ini meliputi aspek kognisi, emosi, persepsi, dan

perilaku lainnya, bervariasi antara pasien, dari waktu ke waktu, berlangsung lama

dan berdampak terhadap kesejahteraan serta kemampuan untuk berfungsi dalam

masyarakat (Alessandro, 2018). Skizofrenia adalah sebuah gangguan mental yang

kronis dan memberikan kecacatan yang memiliki ciri khas terkait penurunan

kognitif, fungsi sehari-hari, dan penyesuaian (Soares, 2013). Hal ini mempengaruhi

baik dari sisi personal dan sosial dari penyakit ini adalah munculnya deteriorasi,

dan prognosis yang terus memburuk terkait kondisi yang tidak tertangani dengan

baik (Deckler et al., 2018).

5
2.1.1 Definisi
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab

dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang bergantung pada

interaksi pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Sadock et al., 2015).

Skizofrenia umumnya ditandai oleh gejala positif, seperti halusinasi dan

waham. Sedangkan gejala negatif seperti hilangnya motivasi dan kemiskinan

pembicaraan, defisit kognitif, seperti masalah dalam perhatian, memori dan

pemecahan masalah, serta kesulitan psikososial seperti kurangnya hubungan sosial,

tidak bekerja, tingginya penyalahgunaan zat, peningkatan risiko tidak memiliki

tempat tinggal, dan menegangnya hubungan dalam keluarga (Sadock et al., 2015).

2.1.2 Epidemiologi

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 7

dari 1000 orang populasi dewasa adalah pasien Skizofrenia. Skizofrenia terjadi di

seluruh dunia dengan angka kejadian 15,2 per 100.000 penduduk dan risiko

morbiditas seumur sebesar 7,2 per 1000 penduduk (Rini & Rochman Hadjam,

2016).

Riset Kesehatan dasar pada tahun 2013 menemukan fakta bahwa 1,7 per mil

atau 1- 2 orang dari 1000 orang mengalami gangguan jiwa berat, termasuk

skizofrenia. Gangguan jiwa berat terbanyak terjadi di Aceh dan Yogyakarta yaitu

sebesar 2,7 per mil. Prevalensi seumur hidup skizofrenia rata–rata mencapai 0,3 –

0,7 % meskipun angka tersebut bervariasi berdasarkan etnis, negara dan geografis

(Riskesdas, 2013).

Insidensi Skizofrenia pada pria maupun wanita setara. Awitan terjadi lebih

dini pada pria dibandingkan pada wanita. Rata-rata usia puncak onset pada pria

6
adalah 8- 25 tahun dan 25- 35 tahun pada wanita. Wanita memiliki dua puncak

distribusi usia dengan puncak kedua terjadi pada usia paruh baya yaitu sebesar 3-

10% terjadi pada usia lebih dari 40 tahun (Sadock et al., 2015).

Semakin awal umur terkena penyakit ini, diprediksikan prognosis menjadi

semakin buruk. Skizofrenia biasanya dimulai di usia dewasa awal, antara usia 15

dan 25 tahun. Pria cenderung menderita Skizofrenia sedikit lebih awal daripada

perempuan, usia puncak onset pada pria 15-25 tahun, sedangkan wanita 25-35 tahun

(Sadock et al., 2015).

2.2 Kerusakan Neurokognisi Pada pasien Skizofrenia

Penurunan fungsi kognitif berkaitan dengan gangguan dalam banyak area

di otak, termasuk diantaranya basal ganglia, korteks frontal, pendengaran dan

korteks parietal, kortek orbital dan sistem limbik, termasuk hippocampus. Studi

neuroimaging postmortem mengungkapkan penurunan materi abu-abu dan materi

putih serta terjadi peningkatan volume ventrikel di dalam otak baik pada

pasien skizofrenia dengan onset akut ataupun kronis (Sadock et al., 2015).

Studi autopsi dan studi pencitraan otak memperlihatkan abnormalitas struktur

dan morfologi otak pada pasien skizofrenia, antara lain berupa berat otak rata-rata

lebih kecil 6% dari pada otak normal dan ukuran anterior-posterior 4% lebih

pendek, pembesaran ventrikel otak, gangguan metabolisme di frontal dan temporal

dan kelainan susunan seluler struktur saraf di kortek dan subkortek yang terjadi

pada saat perkembangan. Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis perkembangan

saraf yang menyatakan bahwa perubahan patologis gangguan ini terjadi pada awal

7
kehidupan, akibat pengaruh genetik dan dimodifikasi oleh faktor maturasi dan

lingkungan (Sadock, et al., 2015).

2.2.1 Gangguan Neurobiologi pada pasien Skizofrenia

1. Sistem Dopaminergik

Data dari studi pasien dengan skizofrenia telah menunjukkan

peningkatan kadar dopamin di area kortikal, dengan kenaikan yang terlihat pada

reseptor D2 prasinaptik dan striatum. Pada kortek prefrontal, transmisi

dopaminergik terutama dimediasi oleh reseptor D1 sehingga memberikan peran

substansial bahwa korteks prefrontal berperan pada fungsi kognisi. Diduga

bahwa disfungsi reseptor D1 dapat memediasi timbulnya beberapa hendaya

kognitif dan gejala-gejala negatif pada pasien skizofrenia (Soares, 2013). .

Pada pasien dengan skizofrenia terjadi peningkatan aktivitas dopamin yang

terlalu banyak. Teori itu berkembang dari dua pengamatan. Pertama, kemanjuran

dan potensi sebagian besar obat antipsikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin)

berkorelasi dengan kemampuannya untuk bertindak sebagai antagonis dari reseptor

dopamin tipe 2 (D2). Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas

dopaminergik, terutama kokain dan amfetamin, bersifat psikotomimetik. Pada teori

dasar ini tidak menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan oleh

terlalu banyak pelepasan dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin,

hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin, atau kombinasi dari

mekanisme ini. Pelepasan dopamin yang berlebihan pada pasien skizofrenia telah

dikaitkan dengan keparahan gejala psikotik positif (Shaun M. Eack, 2015).

8
Studi posisi emisi tomografi dari reseptor dopamin menjelaskan adanya

peningkatan reseptor D2 di inti kaudatus pada pasien dengan skizofrenia

(Alessandro Rossi, 2018). Terdapat laporan tentang peningkatan konsentrasi

dopamin di amigdala, penurunan kepadatan transporter dopamin, dan peningkatan

jumlah reseptor dopamin tipe 4 di korteks entorhinal. Jalur dopamin yang terlibat

tidak rinci disebutkan dalam teori ini, walaupun jalur mesokortikal dan mesolimbik

paling sering disebut dikarenakan neuron dopaminergik di jalur tersebut menjulur

dari badan sel di mesensefalon ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan

korteks serebri (Alessandro Rossi, 2018).

Peran signifikan dopamin dalam patofisiologi skizofrenia sejalan dengan

studi yang mengukur konsentrasi plasma metabolit utama dopamin, asam

hemovanilat. Sejumlah studi pendahuluan kontrol menyebutkan konsentrasi asam

hemovanilat plasma dapat menggambarkan konsentrasi asam hemovanilat di sistem

saraf pusat. Studi tersebut melaporkan adanya korelasi positif antara korelasi asam

hemovanilat prapengobatan yang tinggi dan dua faktor : keparahan gejala psikotik

dan respon pengobatan (Sadock et al., 2015).

Obat- obatan antipsikotik yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor

D2 mengurangi gejala positif penyakit namun tidak berpengaruh pada perbaikan

gangguan kognitif. Pemberian obat antipsikotika dapat mengurangi gejala psikotik

pada sebagian besar penderita skizofrenia namun tidak banyak membantu

pemulihan fungsi sosial (Fett et al., 2011). Hal ini terlihat dalam penelitian Clinical

Antipsychotic Trials of Intervention Effectiveness (CATIE), yang tidak menemukan

perbedaan yang signifikan dalam peningkatan kognitif dalam salah satu dari

9
kelompok perlakuan (yang menerima antipsikotik generasi pertama dan mereka

yang menerima 1 dari 4 antipsikotik generasi kedua) setelah 2 bulan pengobatan

(Sadock et al., 2015). Dopamin telah terbukti target yang layak untuk memperbaiki

gejala positif. Namun, hanya menarget dopamin tidak cukup kuat untuk

mengurangi kerusakan kognitif pada skizofrenia (Brown et al., 2014).

2. Sistem Glutamatergic

Bukti-bukti menunjukkan bahwa kelainan pada transmisi glutamat juga

berkontribusi pada patogenesis skizofrenia, khususnya kognitif dan defisit

pengolahan sensorik. Teori ini didasarkan pada kenyataan bahwa glutamatergic N-

metil-d-aspartat (NMDA) antagonis, seperti phencyclidine (PCP) dan ketamin,

dapat menginduksi psikosis dan menurunkan fungsi kognitif. Glutamat dilibatkan

karena ingesti akut fensiklidin, suatu antagonis glutamat, yang dapat menyerupai

skizofrenia (Alessandro Rossi, 2018).

Penelitian menunjukkan bahwa sistem NMDA memainkan peran kunci

dalam neuroplastisitas, sinkronisasi saraf, dan konektivitas sinaptik. Efek utama

dari NMDA adalah modulasi GABAnergic ke interneuron yang dianggap terkait

pada fungsi kognitif. Disfungsi dari NMDA dapat secara signifikan mengganggu

sinkronisasi jaringan interneuron pada skizofrenia, yang kemudian dapat

menyebabkan gangguan neuroplastisitas (Alessandro Rossi, 2018).

3. Sistem Asetilkolin

Dalam sistem saraf pusat, neurotransmisi acetylcholinergic secara integral

terlibat dalam aspek pembentukan memori, afek, perilaku dan motivasi. Kesemua

aspek kognitif tersebut terganggu pada skizofrenia. Fungsi-fungsi kognitif dan

10
perilaku tersebut dimodulasi oleh reseptor Achetilcholine α7. Oleh karena itu,

berubahnya neurotransmisi asetilkolin dapat berkontribusi untuk gejala kognitif dan

perilaku pada skizofrenia (Alessandro Rossi, 2018).

4. Aktivitas Serotonin

Banyak penelitian terkait skizofrenia dilakukan, terutama terkait obat

antagonis serotonin dopamin (SDA) contohnya klozapin, risperidon, dan sertindol.

Hipotesis saat ini menunjukkan adanya kelebihan serotonin sebagai penyebab

gejala positif dan negatif pada pasien skizofrenia. Aktivitas antagonis serotonin

yang kuat dari clozapine dan obat generasi kedua antipsikotik lainnya ditambah

dengan efektivitas clozapine untuk mengurangi gejala positif pada pasien kronis

telah berkontribusi pada validitas proposisi ini. Klozapin memiliki afinitas tertinggi

untuk reseptor histamin, dan kuetiapin berikatan erat dengan reseptor adrenergik-

α. Secara spesifik, antagonisme pada reseptor 5 Ht 2 serotonin ditekankan sebagai

sesuatu yang penting dalam mengurangi gejala psikotik dan meredakan timbulnya

gangguan terkait antagonisme- D2 (Sadock et al., 2015).

5. Aktivitas Norepinefrin

Sejumlah penelitian melaporkan bahwa pemberian obat antipsikotik jangka

panjang dapat menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus seruleus dan

bahwa aktivitas terapeutik melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-α dan

adrenergik-𝛼2 . Walaupun aktivitas dopaminergik dan noradrenergik masih belum

jelas, terdapat peningkatan data yang menyatakan bahwa sistem noradrenergik

memodulasi sistem dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem

11
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang sering

(Sadock et al., 2015).

6. Sistem Asam γ- Aminobutirat (GABA)

Neurotransmitter asam amino inhibitorik, Asam γ- Aminobutirat dianggap

terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia sejalan dengan hipotesis

bahwa sejumlah pasien skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABAnergik di

hipokampus. Hilangnya neuron GABAnergik inhibitorik secara teoritis dapat

mengakibatkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik (Sadock et

al., 2015).

Terdapat 3 jalur utama yang terkait penurunan kognitif pada skizofrenia,

yaitu jalur dopaminergik, glutamatergic, dan sistem kolinergik. Ketiga jalur

ini juga terkait dengan patofisiologi dari Skizofrenia. Kelainan pada jalur

ini mengakibatkan gangguan kognitif pada Skizofrenia (Sadock et al., 2015).

2.2.2 Gangguan neuropatologi pada pasien Skizofrenia

Pada akhir abad ke-20, para peneliti membuat suatu langkah signifikan

dalam menjelaskan dasar neuropatologi potensial skizofrenia. Terutama di sistem

limbik dan gangglia basalis, termasuk abnormalitas neuropatologi/ neurokimiawi

di korteks serebri, talamus, dan batang otak. Berkurangnya volume otak dilaporkan

secara luas pada otak skizofrenik terjadi akibat berkurangnya kepadatan akson,

dendrit, dan sinaps, yang memerantarai fungsi asosiatif otak (Sadock et al., 2015).

1. Sistem Limbik

Secara spesifik, gejala positif dari Skizofrenia dihipotesiskan oleh karena

adanya malfungsi pada sirkuit mesolimbik, sementara gejala negatif karena adanya

12
malfungsi di area mesokortek dan juga melibatkan area mesolimbik khususnya

yang melibatkan nucleus acumbens yang diperkirakan menjadi bagian dari sirkuit

reward dari otak, sehingga jika ada masalah dengan reward dan motivasi pada

Skizofrenia maka kelainannya diduga berasal dari area ini. Nucleus acumbens juga

akan teraktivasi karena penggunaan zat yang tampak pada pasien Skizofrenia.

Gejala positif bisa menumpuk dengan gejala negatif yang ditandai dengan mulai

adanya keinginan untuk merokok, penyalahgunaan obat dan alkohol, mungkin di

hubungkan pada area otak ini (Sadock et al., 2015).

Terdapat banyak studi sampel otak skizofrenik postmortem yang terkontrol

menunjukkan adanya pengurangan ukuran regio yang meliputi amigdala,

hipokampus, dan gyrus parahipokampus. Temuan neuropatologi ini sejalan dengan

pengamatan yang diambil dari studi pencitraan resonansi magnetik (MRI) pasien

skizofrenia. Dilaporkan adanya disorganisasi neuron di dalam hipokampus pasien

skizofrenik (Sadock et al., 2015).

2. Ganglia Basalis

Ganglia basalis telah menjadi pusat perhatian setidaknya untuk dua alasan.

Pertama, banyak pasien skizofrenia menunjukkan gerakan aneh, bahkan saat tidak

ada gangguan pergerakan terinduksi obat (contohnya diskinesia tarda). Gerakan

aneh tersebut dapat mencakup cara berjalan yang ganjil, seringai wajah, dan

streotipi. Dikarenakan ganglia basalis terlibat dalam pergerakan adanya penyakit

pada gangglia basalis dikaitkan dalam patofisiologi skizofrenia. Kedua, dari semua

gangguan neurologi yang mungkin memiliki psikosis sebagai gejala, gangguan

pergerakan yang melibatkan gangglia basalis seperti penyakit huntington adalah

13
salah satu yang paling sering dikaitkan dengan psikosis pada pasien yang terkena

(Sadock et al., 2015).

Studi neuropatologi tentang ganglia basalis menghasilkan laporan yang

beragam dan inkonklusif mengenai hilangnya sel/ reduksi volume globus palidus

dan substansia nigra. Sebaliknya, banyak studi yang menunjukkan jumlah reseptor

D2 dinukleus kaudatus, putamen, dan nukleus akumbens (Sadock et al., 2015).

2.2.3 Gangguan neuroendokrin pada pasien Skizofrenia

Banyak laporan yang menjabarkan adanya perbedaan neuroendokrin antara

kelompok pasien skizofrenia dengan kelompok subjek kontrol. Sebagai contoh uji

supresi deksametason dilaporkan abnormal pada berbagai subkelompok pasien

skizofrenia. Sejumlah data menyebutkan adanya penurunan konsentrasi hormon

FSH-LH berhubungan dengan usia saat awitan dan lamanya sakit. Dua

abnormalitas tambahan yang dilaporkan berhubungan dengan timbulnya gejala

negatif. Menumpulnya pelepasan prolaktin dan hormon pertumbuhan (GH) pada

stimulasi hormon pelepas gonadotropin (GnRH) atau hormon pelepas tirotropin

(TRH) serta menumpulnya pelepasan hormon pertumbuhan (GH) pada stimulasi

apomorfin (Sadock et al., 2015).

2.3 Tanda Gangguan Neurokognisi Pada pasien Skizofrenia

Fungsi kognitif pada Skizofrenia sangat penting untuk ditegakkan karena

sangat berhubungan dengan fungsi nyata di dunia, lebih kuat dibandingkan gejala

negative. Defisit fungsi kognitif yang muncul pada pasien Skizofrenia

menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau beberapa domain yang telah

disebutkan sebelumnya (Sadock et al., 2015). Pasien Skizofrenia sering mengalami

14
masalah-masalah pada aspek kognisi mereka yaitu: kemampuan memusatkan

perhatian, kemampuan untuk mengingat dan mengingat kembali (recall) informasi,

kemampuan untuk memproses informasi dan merespon informasi dengan cepat,

kemampuan berpikir kritis, merencanakan, mengorganisir dan mengatasi masalah

serta kemampuan untuk memulai pembicaraan (Fett et al., 2011).

Tanda dari kerusakan kognitif dapat muncul beberapa tahun sebelum

episode pertama psikotik akut. Tanda- tanda ini belum termasuk bukti penurunan

kinerja akademis saat usia dini, yang menjadi lebih jelas selama sekolah menengah

dan lanjut. Pada masa remaja, tingkat IQ premorbid pada mereka yang kemudian

berkembang menjadi skizofrenia, terjadi penurunan kurang lebih 8 poin di bawah

normal (Peyroux & Franck, 2014). Gangguan fungsi kognitif atau disfungsi kognitif

sering terjadi pada Skizofrenia. Angka kejadian gangguan ini cukup tinggi berkisar

antara 50-80 persen, tergantung pada keparahan penyakit (Alessandro Rossi, 2018).

Disfungsi kognitif adalah gejala primer pada Skizofrenia dan beberapa

gangguan afektif. Hal ini mengakibatkan masalah kognitif tetap ada bahkan saat

gejala-gejala lain terkontrol (Alessandro Rossi, 2018). Penelitian menyebutkan

terdapat bagian dari otak yang berfungsi mengolah keterampilan kognitif, dan

seringkali tidak berfungsi secara normal pada Skizofrenia (Peyroux & Franck,

2014). Gangguan fungsi memori episodik menyebabkan disfungsi pada struktur

hippocampal dan lobus temporal medial, dimana area ini merupakan asal dari

perubahan kognitif pada pasien Skizofrenia. Hal ini mengindikasikan bahwa

gangguan jiwa berat memengaruhi bagaimana otak bekerja yang selanjutnya

menyebabkan masalah pada fungsi kognitif seseorang (Muth et al., 2015).

15
Penurunan fungsi yang parah pada uji fungsi kognitif adalah tanda yang

amat jelas yang sangat penting untuk suatu defisit fungsi kognitif pada pasien

Skizofrenia. Sekitar 98 % pasien Skizofrenia menghasilkan hasil uji kognitif yang

rendah. Hampir semua pasien Skizofrenia berfungsi lebih rendah dari yang

diharapkan pada saat mereka telah stabil tanpa gejala, dimana domain yang paling

dipengaruhi adalah domain sosial (Deckler et al., 2018).

Penurunan fungsi kognitif pada pasien skizofrenia terjadi saat mulai

timbulnya penyakit, dan tetap stabil atau menetap pada sisa perjalanan penyakit

(Alessandro Rossi, 2018). Hasil penelitian menunjukkan jika dibandingkan antara

pasien Skizofrenia yang telah mengalami riwayat sakit lama, maka pasien yang

pertama kali sakit, secara bermakna memiliki fungsi kognitif yang lebih baik. Pada

penelitian lain menyebutkan pada pasien yang baru pertama sakit, fungsi kognitif

cenderung tetap dan mengalami perubahan setelah beberapa tahun kemudian (Bora

et al., 2018).

2.3.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Fungsi kognitif

Fungsi kognitif seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa

diantaranya yaitu latar belakang pendidikan, tingkat intelegensi, gejala klinis,

perjalanan penyakit, adanya penyakit atau kelainan mental yang mengganggu

fungsi normalnya, bahkan jenis antipsikotik yang digunakan selama perawatan

(Sadock et al., 2015). Faktor tersebut dapat memengaruhi hasil tes fungsi kognitif

yang dilakukan oleh pasien Skizofrenia, dimana pada tes mengenai kemampuan

abstrak pasien lah yang paling dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Shaun M.

Eack, 2015).

16
Semakin lama perjalanan penyakit Skizofrenia semakin besar pengaruhya

terhadap penurunan fungsi kognitif (Alessandro Rossi, 2018). Begitu juga gejala

negatif berhubungan secara signifikan memengaruhi keparahan penurunan fungsi

kognitif. Hasil penelitian menyebutkan gejala positif juga berpengaruh terhadap

fungsi kognitif terutama memori dan perhatian. Jenis kelamin yaitu pada laki laki

ditemukan hubungan signifikan pada fungsi bahasa dan memori (Deckler et al.,

2018).

Faktor neurobiologi merupakan salah satu faktor yang juga memengaruhi

fungsi kognitif. Pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya terhadap hubungan

antara gangguan pada ingatan jangka pendek (working memory), gangguan

integritas neuronal di area prefrontal, perubahan struktur di area prefrontal,

cingulata dan korteks parietal inferior dan penurunan aliran darah ke otak terutama

terjadi di area di hipocampus pada pasien Skizofrenia menjadi bukti adanya

kerusakan pada sirkuit neuron yang kemudian mengganggu kemampuan ingatan

jangka pendek yang normal pada seseorang. Hipofungsi yang terjadi di jalur

mesokortek (salah satu dari jalur dopamin di otak) pada pasien Skizofrenia

diketahui sebagai penyebab utama terjadinya defisit fungsi kognitif dan munculnya

gejala negatif (Sadock et al., 2015).

2.3.2 Penilaian Gangguan Fungsi Kognisi

Gangguan fungsi kognitif pada pasien Skizofrenia dapat ringan hingga

berat. Perburukan pada fungsi kognitif merupakan hal yang sangat memengaruhi

17
signifikan tidaknya disabilitas pasien Skizofrenia dalam hal pekerjaan, fungsi sosial

atau ekonomi (Fernández-Modamio et al., 2020).

Profil defisit kognitif pada pasien Skizofrenia melibatkan dari beberapa

aspek penting dari kognitif manusia antara lain: perhatian, daya ingat, kemampuan

membuat alasan (reasoning) dan kecepatan memproses informasi. Berbagai usaha

sedang dilakukan dalam rangka mengidentifikasi aspek spesifik dari neurokognitif

yang berkaitan erat dengan etiologi, neurobiologi dan patofisiologi dari penyakit

tersebut. Pengukuran-pengukuran neuropsikologis yang standar menunjukkan

sensitivitas yang besar terhadap fungsi-fungsi yang relevan terkait perburukan

fungsi kognitif. Adapun indikator suatu fungsi kognitif adalah (Harvey & Penn,

2010):

1. Vigilance and Attention

Mengacu pada kemampuan seseorang memusatkan perhatian setiap saat.

Perburukan dapat mengakibatkan kesulitan mengikuti pembicaraan dan

ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi penting aktivitas sederhana seperti

membaca atau menonton televisi. Pada pasien skizofenia, kesulitan tadi berdampak

pada fungsi sosial, fungsi komunikasi dan hal-hal keterampilan lain (Mohn et al.,

2012).

2. Verbal Learning and Memory

Adapun kemampuan yang terlibat dalam fungsi memori termasuk

mempelajari informasi baru, mempertahankan informasi yang baru dipelajari setiap

waktu dan mengenali hal-hal yang telah diketahui sebelumnya. Secara umum

pasien menunjukkan defisit yang besar dalam hal mempelajari daripada mengingat.

18
Pengukuran untuk proses belajar melibatkan bagaimana mempelajari sejumlah kata

atau bagian dari suatu tulisan. Penelitian menyebutkan terdapat hubungan yang

jelas antara perburukan daya ingat verbal dan defisit fungsi sosial pada pasien

Skizofrenia (Mohn et al., 2012).

3. Visual Learning and Memory

Visual learning tidak semudah verbal learning untuk diekspresikan, dan

defisit visual learning tidak separah yang terjadi pada verbal learning. Beberapa

penelitian menyebutkan visual memory berkaitan dengan status pekerjaan, masa

jabatan, keberhasilan rehabilitasi psikososial, fungsi sosial, tingkat kualitas hidup,

dan berkaitan paling kuat dengan kapasitas fungsional, sementara penelitian lain

mengatakan tidak ada hubungan signifikan (Harvey & Penn, 2010).

4. Reasoning and Problem Solving

Kedua domain ini merupakan bagian fungsi eksekutif seseorang. Kehidupan

masyarakat termasuk kehidupan dunia kerja selalu mengalami perubahan dimana

kesusksesan seseorang dalam menghadapi perubahan ini adalah dengan

kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Pasien Skizofrenia yang

mengalami perburukan dalam fungsi eksekutifnya mengalami kesulitan beradaptasi

terhadap perubahan-perubahan yang cepat di sekitar mereka (Mohn et al., 2012).

5. Speed of Processing

Banyak uji neurokognitif mengharuskan seseorang melalui uji memproses

informasi cepat dan hal ini berkaitan dengan gangguan dalam kecepatan memproses

informasi. Contoh tugas standar seperti mengkoding dimana tugas ini menunjukkan

defisit yang paling parah pada pasien Skizofrenia. Perburukan dalam memproses

19
informasi ini relatif menunjukkan korelasi dengan berbagai bentuk penting

Skizofrenia seperti aktivitas sehari-hari, masa jabatan dan kemandirian.

Kemunduran dalam memproses informasi dengan cepat dapat memperburuk

kemampuan mempertahankan fokus pada tugas-tugas atau pekerjaan. Hal tersebut

sering dialami oleh pasien Skizofrenia (Mohn et al., 2012).

6. Working Memory

Working memory merupakan komponen inti dari perburukan kognitif pada

Skizofrenia dan ini berkaitan dengan fungsi sosial seperti status pekerjaan dan masa

jabatan. Defisit pada pada domain ini memiliki hubungan kuat dengan perburukan

aspek lainnya di kemudian hari. Secara neuroanatomi peran sirkuit neural yaitu

bagian kortek prefrontal memediasi aspek fungsi working memory dan sirkuit ini

mengalami penurunan fungsi pada Skizofrenia (Mohn et al., 2012).

7. Social Cognition

Kognisi sosial adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memanipulasi,

dan beradaptasi agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Teori

tentang keterampilan berpikir dan persepsi sosial dan emosi telah menjadi fokus

umum pada fungsi kognisi sosial dalam Skizofrenia. Teori berpikirnya adalah

kemampuan untuk menduga maksud orang lain dan atau untuk mewakili status

kejiwaan seseorang. Kognisi sosial berhubungan dengan perburukan sosial dalam

Skizofrenia, bahkan setelah mengkontrol penampilan dalam tugas-tugas

neurokognitif (Silberstein & Harvey, 2019).

2.3.3 Alat Ukur Fungsi Kognisi

20
Pemeriksaan neurokognitif sering menilai lebih dari satu domain dari fungsi

sehari-hari seseorang. Menurut para ahli yang tergabung dalam subkomite

neurokognitif Measurement and Treatment Research to Improve Cognition in

Schizophrenia (MATRICS) bahwa domain penting dalam defisit fungsi kognitif

adalah working memory, attention/vigilance,verbal learning and memory, visual

learning and memory, reasoning and problem solving, speed of processing, and

social cognition. Selanjutnya hasil dari pengukuran yang dilakukan oleh para ahli

dalam MATRICS telah diakui oleh Psychiatry Division of the Food and Drug

Administration sebagai penelitian yang tercatat terkait fungsi kognitif (Mohn et al.,

2012).

Beberapa alat ukur dikembangkan dalam rangka mengukur fungsi kognitif.

MATRICS sebagai suatu subkomite neurokognitif telah menyusun suatu

MATRICS Consensus Cognitive Battery (MCCB), suatu instrumen untuk menilai

efek terapi terhadap disfungsi kognitif pada pasien Skizofrenia. Alat ini

menunjukkan reliabilitas yang kuat serta korelasi yang signifikan dengan

pengukuran tentang kapasitas fungsi sehari-hari pada pasien Skizofrenia. Fungsi

pekerjaan atau pendidikan diprediksi dari performa working memory dan gejala

negatif, kemandirian diprediksi melalui skor verbal memory, dan fungsi sosial

diprediksi melalui kognisi sosial, perhatian dan gejala negatif (Fernández-Modamio

et al., 2020).

Beberapa alat ukur atau alat skrining untuk menilai fungsi kognitif pada

pasien Skizofrenia antara lain The Brief Assessment of Cognition in Schizophrenia

(BACS) yang menilai aspek-aspek kognisi yang paling mengakibatkan gangguan

21
dan yang paling berhubungan dengan luaran pasien Skizofrenia. BACS memiliki

reliabilitas yang tinggi (Bralet et al., 2008). Alat ukur lain seperti Screen for

Cognitive Impairment (SCIP) juga menunjukkan validitas yang kuat sebagai alat

skrining adanya defisit fungsi kognitif pada pasien Skizofrenia dan bipolar,

sementara suatu pengkodean simbol digit merupakan suatu alat ukur yang

sederhana yang sangat reliabel dan mudah dilakukan (Fernández-Modamio et al.,

2020).

Narrative of Emotions Task (NET) dari Buck adalah alat untuk mengukur

fungsi kognitif sosial. NET adalah suatu wawancara semistruktur dimana subjek

diminta untuk mendefinisikan emosinya, untuk menggambarkan situasi yang

mereka rasakan dan menjelaskan mengapa sitausi tersebut membangkitkan

emosinya (Markiewicz & Dobrowolska, 2020).

Montreal Cognitive Assessment (MoCA) disusun oleh Nasreddine pada

tahun 1996 dan telah divalidasi tahun 2005. MoCA merupakan alat skrining fungsi

kognitif yang cepat dikerjakan untuk gangguan fungsi kognitif ringan. MoCA

mengukur domain perhatian, dan konsentrasi, fungsi eksekutif, daya ingat, bahasa,

proses berpikir konseptual, kalkulasi dan orientasi. MoCA direkomendasikan

sebagai alat ukur defisit kognitif berkaitan dengan Skizofrenia dengan keuntungan

cepat dan mudah dalam pengerjaannya (O’Driscoll & Shaikh, 2017).

Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan alat skrining yang

efektif untuk menilai fungsi kognitif pada gangguan mental dan mengkhusus

ditujukan untuk usia lanjut. Alat skrining lain yaitu Cognitive Assessment Interview

(CAI) adalah alat skrining berbasis wawancara semi struktur untuk menilai fungsi

22
kognitif. CAI memiliki tingkat konsistensi yang tinggi, korelasi yang tinggi per

item, reliabilitas test-retest yang sangat baik (Fernández-Modamio et al., 2020).

Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS) oleh Richard Keefe adalah

salah satu alat ukur berbasis wawancara untuk menilai fungsi kognitif pada pasien

Skizofrenia. SCoRS terdiri dari 20 item penilaian dan membutuhkan waktu hanya

15 menit untuk melengkapinya. SCoRS memiliki reliabilitas yang baik dan terbukti

memiliki validitas yang baik serta berhubungan dengan fungsi sosial terutama pada

pasien Skizofrenia yang secara klinis telah stabil (Silberstein & Harvey, 2019).

2.4 Intervensi terkait Gangguan Neurokognisi Pada pasien Skizofrenia

Penjelasan tentang adanya kerusakan fungsi kognitif mengharuskan kita

mengambil suatu tindakan. Penurunan fungsi yang terjadi dapat bermakna 2 hal,

merupakan akibat terhambatnya proses maturasi dari perkembangan kemampuan

kognitif, atau merupakan sebuah perubahan “neuroprogressive” sebagai akibat

perjalanan penyakit dimana kemampuan tersebut sebenarnya sudah mengalami

maturasi pada usia pra-remaja. Sehingga, strategi remediasi kognitif merupakan

salah satu intervensi yang saat ini penting untuk dilakukan sebagai sebuah

intervensi dini pada pasien skizofrenia (Fett et al., 2011).

Cognitive Enhancement Therapy (CET) saat ini menjadi salah satu

pendekatan yang cukup baik pada terapi remediasi kognitif pada pasien dengan

skziofrenia. CET menunjukkan perkembangan yang signifikan pada neurokognitif

dan fungsi sosial-kognitif terutama pada pasien onset dini skizofrenia, disaat studi

farmakologi dari penggunaan antipsikotik pada onset dini skizofrenia tidak

23
menunjukkan perkembangan yang terlalu baik terhadap kognitif sosial dan

nonsosial (Peyroux & Franck, 2014).

2.4.1 Cognitive Enhancement Therapy (CET)

Cognitive Enhancement Therapy pertama kali dikembangkan dan diuji pada

awal hingga pertengahan 1990an sebagai pendekatan terintegrasi dari perbaikan ke-

mampuan neurokognitif dan sosial kognitif. Konsep CET sendiri dikembangkan

dari Integrated Psychological Therapy (IPT) yang digunakan pada pasien

skizofrenia dan terapi kognitif pada pasien cedera kepala (S M Eack et al., 2011).

Titik berat pelatihan ini begeser dari bentuk verbatim (pemrosesan informasi

kognitif secara kongkrit yang ditandai dengan lebih dini dan tidak terlalu rumit)

menjadi lebih ke arah inti atau pokok dan abstraksi spontan dari tema-tema yang

berhubungan. Sehingga pasien distimulasi untuk berpikir sebagai seorang dewasa,

bukan lagi seorang remaja atau usia prapubertas (Peyroux & Franck, 2014).

Empat tujuan utama dari CET yaitu memfasilitasi kembalinya fungsi

sosiokognitif, mengembangkan pola perilaku yang sesuai dengan konteks sosial,

meningkatkan kesadaran terhadap respon seseorang dan efeknya terhadap orang

lain, meningkatkan kemampuan pasien untuk melakukan komunikasi dengan orang

lain, mengembangkan pemahaman pasien terhadap sakit yang diderita (skizofrenia)

dengan menyediakan program edukasi dimana didalamnya pasien memahami

adanya penurunan kemampuan kognitif sosial dan nonsosial, dan memberikan

sebuah pengalaman yang ditujukan untuk mempengaruhi kemampuan kognitif

nonsosial (Shaun M. Eack, 2015).

24
Saat ini sangat banyak terapi-terapi remediasi kognitif yang digunakan pada

pasien skizofrenia kurang lebih sekitar 4 dekade terakhir. Mulai dari Integrated

Psychological Therapy (IPT) pada tahun 1970 yang menjadi dasar pengembangan

CET, Cognitive Enhancement Therapy pada tahun 1992, Integrated Neurocognitive

Therapy (INT), termasuk Cognitive Remediation (CR) (Roux et al., 2018). Namun,

CET memiliki kekhususan dibandingkan terapi remediasi kognitif yang lain. CET

mengembangkan bahwa remediasi kognitif akan maksimal memberikan hasil bila

tidak hanya kognitif umum saja yang diperbaiki, namun juga tentang kognitif sosial.

Dengan kombinasi tersebut, pemulihan atau recovery pasien bisa lebih baik dan

target pengembalian fungsi keseharian pasien bisa tercapai dengan baik

(Alessandro Rossi, 2018).

Cognitive Enhancement Therapy (CET) dikatakan mengkombinasikan

selain kognitif sosial dan non sosial, CET juga mengkombinasikan cara terapi yang

dilakukan. CET mengkombinasikan antara remediasi kognitif berbasis kognitif

umum dengan program komputer atau pelatihan standar yang bersifat mendidik

dengan sebuah interaksi sosial baik secara individu ataupun kelompok. Adanya

interaksi sosial pada CET bertujuan agar pasien mendapatkan sebuah pengalaman

yang bisa digunakan dalam kehidupan (Stratigis et al., 2019). Selain itu, interaksi

sosial akan memberikan stresor untuk pasien dimana dengan begitu, pasien dapat

mencoba beradaptasi menghadapinya (Deckler et al., 2018).

Cognitive Enhancement Therapy memiliki 2 komponen dasar kognitif yang

diperbaiki, kognitif sosial dan non sosial. Kognitif nonsosial yang dimaksud adalah

kemampuan neurokognitif pasien. Secara umum gambaran pelaksanaannya

25
dilakukan setiap minggu sekali dengan durasi 2 kali 1-1,5 jam dalam sekali sesi.

Dalam pelaksanaannya tetap digunakan psikoterapi supportif, obat antipsikotik,

ketentuan layanan dasar seperti, hak untuk makan, menggunakan pakaian yang

layak, dan selter (Stratigis et al., 2019).

Metode yang digunakan pada CET adalah melakukan pendekatan terhadap

disabilitas pada skizofrenia melalui gejala yang ditunjukkan yang berkaitan dengan

domain kognitif yang mengalami kerusakan. Pada umumnya, gejala yang muncul

pada pasien skizofrenia terkait kerusakan kognitif yang mendasari. Metode yang

dilakukan CET kemudian memberikan perbaikan pada gangguan fungsi tersebut

dengan melakukan latihan. Diharapkan nantinya pengalaman selama latihan yang

dilakukan memberikan efek terhadap perbaikan fungsi kognitif (Stratigis et al.,

2019).

Proses terapi untuk meningkatkan kemampuan kognitif sosial dimulai dari

sebuah kelompok kecil dengan memulai latihan bersosialisasi dimana secara alami

membantu pasien untuk mahir dalam mengambil sebuah kesimpulan terkait

permasalahan sosial yang sedang dibicarakan dengan menggunakan kemampuan

kognitif nonsosial yang telah dilatih sebelumnya (kemampuan atensi, memori, dan

penyelesaian masalah) (Brown et al., 2014).

Kemampuan kognitif nonsosial yang menjadi target untuk dikembangkan

adalah atensi, memori, dan penyelesaian masalah (Deckler et al., 2018). Beberapa

literatur mengatakan bahwa fungsi kognitif ini merupakan dasar dari keahlian untuk

berinteraksi sosial dengan orang lain. Latihan ini dilakukan kurang lebih 2,5 jam

dalam 1 minggu selama 6 bulan kedepan. Metode ini diadaptasi dari Program

26
Rehabilitasi Benyishay untuk pasien dengan cidera kepala. CET yang dilakukan

yaitu selama 6 jam dalam satu sesi, 4 hari dalam seminggu dan selama 20 minggu.

CET pada skizofrenia hanya dilakukan selama 1,5 jam setiap sesi untuk mencegah

kelelahan yang terjadi pada pasien dikarenakan pasien skizofrenia lebih sensitif

terhadap stresor (Stratigis et al., 2019).

Proses terapi kognitif nonsosial dilakukan dengan sebuah format terstruktur

selama 1,5 jam setiap pekan dan dilakukan selama kurang lebih 56 pekan.

Kemudian latihan akan ditambahkan selama 6 pekan dengan mengurangi secara

bertahap petunjuk atau pendampingan dari terapis (Stratigis et al., 2019).

Pasien skizofrenia yang masuk kategori pasien baru dengan durasi sakit

kurang lebih 2 tahun adalah termasuk pasien yang utama untuk mendapatkan CET.

Beberapa studi mengatakan bahwa CET sangat efektif sebagai sebuah intervensi

dini pasien-pasien dengan skizofrenia. Intervensi dini yang dilakukan bertujuan

agar pemulihan pasien bisa lebih cepat dan lebih baik untuk kembali ke fungsi

kehidupan sehari-hari. Namun, pada pasien skizofrenia dengan durasi sakit lebih

dari 2 tahun pun, CET masih memberikan perbaikan yang signifikan. Sehingga,

CET dapat diberikan pada pasien dengan durasi sakit lama ataupun baru, meskipun

lebih baik digunakan sebagai sebuah intervensi dini pada gangguan kognitif pasien

skizofrenia (Keshavan et al., 2011).

27
BAB III

KESIMPULAN

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang kronis, parah, melemahkan, dan

disabilitas atau kecacatan. Sekitar 98% pasien dengan Skizofrenia tidak dapat

kembali remisi. Faktor yang menyebabkan disabilitas adalah penurunan fungsi

kognitif. Penurunan fungsi kognitif pada pasien skizofrenia disebabkan adanya

gangguan pada neurodevelopmental dan neurodegeneratif dari otak.

Penurunan fungsi kognitif berkaitan dengan gangguan dalam banyak area

di otak, termasuk diantaranya basal ganglia, korteks frontal, pendengaran dan

korteks parietal, kortek orbital dan sistem limbik, termasuk hippocampus.

Penurunan fungsi kognitif juga terkait dengan sistem Dopaminergic,

Glumatatergic, dan Asetilkolinergic.

Penurunan fungsi kognitif pada pasien skizofrenia terjadi saat mulai

timbulnya penyakit, dan tetap stabil atau menetap pada sisa perjalanan penyakit.

Profil defisit kognitif pada pasien skizofrenia melibatkan dari beberapa aspek

penting dari kognitif antara lain: perhatian, daya ingat, kemampuan membuat alasan

(reasoning) dan kecepatan memproses informasi

28
DAFTAR PUSTAKA

Alessandro Rossi. (2018). Cognitive dysfunctions in psychiatric disorders:


recognition and treatment. Journal of Psychopathology, 24(2), 73.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional 2013, 1–384. https://doi.org/1
Desember 2013

Bora, E., Yalincetin, B., Akdede, B. B., & Alptekin, K. (2018). Duration of
untreated psychosis and neurocognition in first-episode psychosis: A meta-
analysis. Schizophrenia Research, 193, 3–10.
https://doi.org/10.1016/j.schres.2017.06.021

Bralet, M. C., Navarre, M., Eskenazi, A. M., Lucas-Ross, M., & Falissard, B.
(2008). [Interest of a new instrument to assess cognition in schizophrenia: The
Brief Assessment of Cognition in Schizophrenia (BACS)]. L’Encephale,
34(6), 557–562. https://doi.org/10.1016/j.encep.2007.12.005

Brown, E. C., Tas, C., Can, H., Esen-Danaci, A., & Brüne, M. (2014). A closer look
at the relationship between the subdomains of social functioning, social
cognition and symptomatology in clinically stable patients with schizophrenia.
Comprehensive Psychiatry, 55(1), 25–32.
https://doi.org/10.1016/j.comppsych.2013.10.001

Deckler, E., Hodgins, G. E., Pinkham, A. E., Penn, D. L., & Harvey, P. D. (2018).
Social cognition and neurocognition in schizophrenia and healthy controls:
Intercorrelations of performance and effects of manipulations aimed at
increasing task difficulty. Frontiers in Psychiatry, 9(AUG), 1–10.
https://doi.org/10.3389/fpsyt.2018.00356

Eack, S M, Pogue-Geile, M. F., Greenwald, D. P., Hogarty, S. S., & Keshavan, M.


S. (2011). Mechanisms of functional improvement in a 2-year trial of cognitive
enhancement therapy for early schizophrenia. Psychological Medicine, 41(6),
1253–1261. https://doi.org/10.1017/S0033291710001765

29
Eack, Shaun M. (2015). Cognitive Enhancement Therapy. Social Cognition in
Schizophrenia, 9, 335–357.
https://doi.org/10.1093/med:psych/9780199777587.003.0014

Fernández-Modamio, M., Gil-Sanz, D., Arrieta-Rodríguez, M., Santacoloma-


Cabero, I., Bengochea-Seco, R., González-Fraile, E., & Muñiz, J. (2020).
Neurocognition functioning as a prerequisite to intact social cognition in
schizophrenia. Cognitive Neuropsychiatry, 25(1), 14–27.
https://doi.org/10.1080/13546805.2019.1680355

Fett, A.-K. J., Viechtbauer, W., Dominguez, M.-G., Penn, D. L., van Os, J., &
Krabbendam, L. (2011). The relationship between neurocognition and social
cognition with functional outcomes in schizophrenia: a meta-analysis.
Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 35(3), 573–588.
https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2010.07.001

Harvey, P. D., & Penn, D. (2010). Social cognition: the key factor predicting social
outcome in people with schizophrenia? Psychiatry (Edgmont (Pa. :
Township)), 7(2), 41–44.

Keshavan, M. S., Eack, S. M., Wojtalik, J. A., Prasad, K. M. R., Francis, A. N.,
Bhojraj, T. S., Greenwald, D. P., & Hogarty, S. S. (2011). A broad cortical
reserve accelerates response to cognitive enhancement therapy in early course
schizophrenia. Schizophrenia Research, 130(1–3), 123–129.
https://doi.org/10.1016/j.schres.2011.05.001

Markiewicz, R., & Dobrowolska, B. (2020). Cognitive and Social Rehabilitation in


Schizophrenia-From Neurophysiology to Neuromodulation. Pilot Study.
International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(11).
https://doi.org/10.3390/ijerph17114034

Mohn, C., Sundet, K., & Rund, B. R. (2012). The Norwegian standardization of the
MATRICS (Measurement and Treatment Research to Improve Cognition in
Schizophrenia) Consensus Cognitive Battery. Journal of Clinical and
Experimental Neuropsychology, 34(6), 667–677. https://doi.org/1

30
0.1080/13803395.2012.667792

Muth, V., Gyüre, T., & Váradi, E. (2015). [The cognitive paradigm in the
rehabilitation of schizophrenia - focusing on cognitive remediation].
Neuropsychopharmacologia Hungarica : a Magyar Pszichofarmakologiai
Egyesulet lapja = official journal of the Hungarian Association of
Psychopharmacology, 17(3), 129–140.

O’Driscoll, C., & Shaikh, M. (2017). Cross-Cultural Applicability of the Montreal


Cognitive Assessment (MoCA): A Systematic Review. Journal of
Alzheimer’s Disease : JAD, 58(3), 789–801. https://doi.org/10.3233/JAD-
161042

Peyroux, E., & Franck, N. (2014). RC2S: A cognitive remediation program to


improve social cognition in schizophrenia and related disorders. Frontiers in
Human Neuroscience, 8(JUNE), 1–11.
https://doi.org/10.3389/fnhum.2014.00400

Rini, W. S., & Rochman Hadjam, M. N. (2016). Efektivitas Remediasi Kognitif


terhadap Perbaikan Fungsi Kognitif pada Penderita Skizofrenia Rawat Inap di
Rumah Sakit Jiwa A di Yogyakarta. Gadjah Mada Journal of Professional
Psychology (GamaJPP), 2(2), 112. https://doi.org/10.22146/gamajpp.33363

Roux, P., Urbach, M., Fonteneau, S., Berna, F., Brunel, L., Capdevielle, D.,
Chereau, I., Dubreucq, J., Faget-Agius, C., Fond, G., Leignier, S., Perier, C.-
C., Richieri, R., Schneider, P., Schürhoff, F., Tronche, A.-M., Yazbek, H.,
Zinetti-Bertschy, A., Passerieux, C., & Brunet-Gouet, E. (2018). Psychiatric
disability as mediator of the neurocognition-functioning link in schizophrenia
spectrum disorders: SEM analysis using the Evaluation of Cognitive Processes
involved in Disability in Schizophrenia (ECPDS) scale. Schizophrenia
Research, 201, 196–203. https://doi.org/10.1016/j.schres.2018.06.021

Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. (2015). Kaplan & Sadock’s Psychiatry.

Silberstein, J., & Harvey, P. D. (2019). Cognition, social cognition, and Self-
assessment in schizophrenia: prediction of different elements of everyday

31
functional outcomes. CNS Spectrums, 24(1), 88–93.
https://doi.org/10.1017/S1092852918001414

Soares, A. P. (2013). The functional significance of social cognition in


schizophrenia: A review. Journal of Chemical Information and Modeling,
53(9), 1689–1699.

Stratigis, K. Y., Hoitomt, K. L., Hansen, N., & Michaels, N. A. (2019). The
effectiveness of cognitive enhancement therapy in a community-based
program. Journal of Prevention & Intervention in the Community, 1–10.
https://doi.org/10.1080/10852352.2019.1643582

32

Anda mungkin juga menyukai