Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Vertigo merupakan keluhan yang umum dijumpai pada praktek klinik dimana

pasien menggambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng, tak stabil (giddiness,

unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness). Berbeda dengan vertigo, dizziness atau

pusing merupakan suatu keluhan yang umum terjadi akibat perasaan disorientasi,

biasanya dipengaruhi oleh persepsi posisi terhadap lingkungan. Dizziness sendiri

mempunyai empat subtipe, yaitu vertigo, disekuilibrium tanpa vertigo, presinkop,

dan pusing psikofisiologis. Secara keseluruhan, insiden pusing, vertigo dan

ketidakstabilan (imbalance) mencapai 5-10% dan meningkat menjadi 40% pada

usia lebih 40 tahun. Dari keempat subtipe dizziness, vertigo terjadi pada sekitar

32% kasus, dan sampai dengan 56,4% pada populasi orang tua. Sementara itu,

angka kejadian vertigo pada anak-anak tidak diketahui, tetapi dari studi yang lebih

baru pada populasi anak sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar 15% anak paling

tidak pernah merasakan sekali serangan pusing dalam periode satu tahun. Sebagian

besar (hampir 50%) diketahui sebagai “paroxysmal vertigo” yang disertai dengan

gejala-gejala migren (pucat, mual, fonofobia, dan fotofobia).1

Secara etiologis, vertigo disebabkan oleh adanya abnormalitas organ - organ

vestibuler, visual, ataupun sistem propioseptif. Secara umum vertigo dibagi

menjadi dua kategori berdasarkan yaitu vertigo vestibular dan non vestibular.

Vertigo non vestibular mencakup vertigo karena gangguan pada visual dan sistem
2

proprioseptif. Sementara vertigo vestibular dibagi menjadi dua yaitu vertigo sentral

dan perifer.2

Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons, medulla, maupun

serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20% - 25% dari seluruh kasus

vertigo, tetapi gejala gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat terjadi pada

50% kasus vertigo. Sementara vertigo perifer kelainan atau gangguan ini

dapat terjadi pada end-organ (utrikulus maupun kanalis semisirkularis) maupun

saraf perifer.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer

Gambar 1. Anatomi Sistem Keseimbangan Perifer

Alat vestibuler terletak di telinga dalam (labirin), terlindung oleh tulang yang

paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga dalam,

tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin terdiri atas

labirin tulang dan labirin membrane. Labirin membrane terletak dalam labirin

tulang dan bentuknya hampir menurut bentuk labirin tulang. Antara labirin

membrane dan labirin tulang terdapat perilimf, sedang endolimf terdapat didalam

labirin membrane. Berat jenis endolimf lebih tinggi daripada cairan perilimf. Ujung
4

saraf vestibuler berada dalam labirin membran yang terapung dalam perilimf, yang

berada pada labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari tiga kanalis semisirkularis,

yaitu horizontal (lateral), anterior (superior), posterior (inferior). Selain ke tiga

kanalis ini terdapat pula utrikulus dan sakulus.2

Labirin juga dapat dibagi kedalam dua bagian yang saling berhubungan, yaitu:

1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam

pendengaran.

2. Labirin posterior, yang mengandung tiga kanalis semisirkularis, sakulus dan

utrikulus. Berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus dan

sakulus sel sensoriknya berada di makula, sedangkan di kanalis sel

sensoriknya berada di krista ampulanya)2

Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan disekitarnya

tergantung kepada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visial dan

proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di

SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu. 2

Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis

semisirkularis dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis

sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap

percepatan sudut, sedangkan sel-sel pada organ otolit peka terhadap gerak linier,

khususnya percepatan inier dan terhadap perubahan posisi kepala relatif terhadap

gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan percepatan linier ini

disebabkan oleh geometridari kanalis dan organ otolit serta ciri-ciri fisik dari

struktur-struktur yang menutupi sel rambut.1


5

Sel rambut

Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut

pada organ otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural yang

dijelaskan oleh posisi dari stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu gerakan

menyebabkan stereosilia membengkok kearah kinosilium, maka sel-sel rambut

akan tereksitasi. Jika gerakan dalam arah yang berlawanan sehingga stereosilia

menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan terinhibisi. 3

Kanalis semisirkularis

Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada

rotasi sel-sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak lurus

satu dengan yang lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga terletak

hampir satu bidang yang sama dengan kanalis telinga satunya. Pada waktu rotasi,

salah satu dari pasangan kanalis akan tereksitasi sementara yang satunya akan

terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus normal dan terdapat percepatan

dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan, maka serabut-serabut

aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi, sementara serabut-serabut

yang kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang vertikal misalnya rotasi kedepan,

maka kanalis anterior kiri dan kanan kedua sisi akan tereksitasi, sementara kanalis

posterior akan terinhibisi. 2

Organ otolit

Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang hampir

horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal. Berbeda dengan

sel rambut kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut pada organ otolit tidak
6

semuanya sama. Pada makula utrikulus, kinosilium terletak di bagian samping sel

rambut yang terdekat dengan daerah sentral yaitu striola. Maka pada saat kepala

miring atau mengalami percepatan linier, sebagian serabut aferen akan tereksitasi

sementara yang lainnya terinhibisi. Dengan adanya polarisasi yang berbeda dari

tiap makula, maka SSP mendapat informasi tentang gerak linier dalam tiga dimensi,

walaupun sesungguhnya hanya ada dua makula. 1,2

Hubungan-hubungan langsung antara inti vestibularis dengan motoneuron

ekstraokularis merupakan suatu jaras penting yang mengendalikan gerakan mata

dan refleks vestibulo-okularis (RVO). RVO adalah gerakan mata yang mempunyai

suatu komponen lambat berlawanan arah dengan putaran kepala dan suatu

komponen cepat yang searah dengan putaran kepala. Komponen lambat

mengkompensasi gerakan kepal dan berfungsi menstabilkan suatu bayangan pada

retina. Komponen cepat berfungsi untuk kembali mengarahkan tatapan ke bagian

lain dari lapangan pandang. Perubahan arah gerakan mata selama rangsangan

vestibularis merupakan suatu contoh dari nistagmus normal.1

2.2 Vertigo

2.2.1 Definisi

Vertigo adalah rasa pusing berputar, oleng atau tak stabil yang disebabkan

karena adanya gangguan pada organ keseimbangan di telinga. Gejala-gejala vertigo

meliputi: pusing, rasa terayun, mual, keringat dingin, muntah, sempoyongan

sewaktu berdiri atau berjalan, nistagmus. Gejala tersebut dapat diperhebat dengan

berubahnya posisi kepala.4


7

2.2.2 Epidemiologi

Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu dengan

prevalensi sebesar 7%. Beberapa studi telah mencoba untuk menyelidiki

epidemiologi dizziness, yang meliputi vertigo dan non vestibular dizziness .

Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan yang paling sering diutarakan oleh

pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi umum. Dari keempat jenis

dizziness vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar 54%. Pada sebuah

studi mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan pada wanita disbanding pria

(2:1), sekitar 88% pasien mengalami episode rekuren.11

2.2.3 Etiologi

Beberapa hal yang dapat menyebabkan vertigo perifer yaitu :5

a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) : menyebabkan serangan

pusing transien (berlangsung beberapa detik) yang rekuren. Vertigo terjadi

karena perubahan posisi kepala yang menyebabkan kristal kalsium karbonat

dari otolit yang lepas ke dalam kanalis semisirkularis akibat gerakan kepala

atau perubahan posisi. Serangan biasanya menetap selama berminggu-

minggu sebelum akhirnya sembuh sendiri.

b. Infeksi: Neuritis vestibular akut atau labirinitis.

c. Ototoksik

d. Vaskuler: oklusi dari arteri vestibular yang merupakan cabang dari arteri

auditori internal dari arteri cerebelar inferior anterior.

e. Struktural: Fistula perilimfatik baik spontan maupun akibat trauma.


8

f. Metabolik: Meniere sindrom

g. Tumor: Neuroma akustik

2.2.4 Patofisiologi

Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis

semisirkularis tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain.

Pada pangkal setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar yakni

ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, yakni alat untuk mendeteksi gerakan

cairan dalam kanalis semisirkularis akibat gerakan kepala. Sebagai contoh, bila

seseorang menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka cairan dalam kanalis

semisirkularis kanan akan tertinggal sehingga kupula akan mengalami defleksi ke

arah ampula. Defleksi ini diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak

sehingga timbul sensasi kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris

dalam kanalis semisirkularis akan mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi

kupula ke arah sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini

menimbulkan sinyal yang tidak sesuai dengan arah gerakan kepala, sehingga timbul

sensasi berupa vertigo.4

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh

yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan

apayang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada beberapa teori yang berusaha

menerangkan kejadian tersebut :7

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)


9

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan

menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya

terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.

2. Teori konflik sensorik.

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal

dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan

proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang

berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan

kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa

nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan

vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari sensasi

kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih

menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

3. Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini

otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga

jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola

gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika

pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang -ulang akan terjadi

mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbulgejala.

4. Teori otonomik
10

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha

adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis

terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

5. Teori Sinap

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan

neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada

proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan

stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor),

peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf

simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa

meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat

meneangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat

di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang

menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat

dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

2.2.5 Klsifikasi

Vertigo dapat berasal dari kelainan di sentral ( batang otak dan

serebelum) atau dibagian perifer (labirin dan nervus vestibularis). Vertigo

Perifer adalah nyeri hebat, episodik, memberat oleh gerakan kepala dan sering

disertai nausea, vomitus, diaforesis dan nistagmus.

a. Sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang otak atau cerebellum

b. Perifer disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus

cranialis vestibulocochlear (N. VIII).


11

c. Medical vertigo dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah, gula

darah yang rendah, atau gangguan metabolic karena pengobatan atau

infeksi sistemik

PerbedaanVertigo Perifer dan Vertigo Sentral :


12

Tabel 1. Perbedaan Vertigo Sentral dan Perifer

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis vertigo perifer dapat ditegakkan dengan :

1. Anamnesis

Pasien biasanya mengeluh pusing berputar dengan onset akut kurang dari 10-

20 detik akibat perubahan posisi kepala. Kebanyakan pasien menyadari saat bangun

tidur, ketika berubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Pasien merasakan pusing

berputar yang lama kelamaan berkurang dan hilang. Terdapat jeda waktu antara
13

perubahan posisi kepala dengan timbulnya perasaan pusing berputar. Pada

umumnya perasaan pusing berputar timbul sangat kuat pada awalnya dan

menghilang setelah 30 detik sedangkan serangan berulang sifatnya menjadi lebih

ringan. Gejala ini dirasakan berhari-hari hingga berbulan-bulan.8

Pada banyak kasus, BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di kemudian

hari. Bersamaan dengan perasaan pusing berputar, pasien dapat mengalami mual

dan muntah. Sensasi ini dapat timbul lagi bila kepala dikembalikan ke posisi

semula, namun arah nistagmus yang timbul adalah sebaliknya.10

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik umum diarahkan pada kemungkinan adanya penyebab

sistemik. Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada fungsi

vestibuler/ serebeler. Pada vertigo, baik sentral maupun perifer, dilakukan

pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi. Pemeriksaan keseimbangan seperti

Romberg test, Stepping gait dan Tandem gait. Untuk pemeriksaan koordinasi

dilakukan finger to finger test, finger to nose, pronasi-supinasi test dan heel to toe

test.9

1. Tes Keseimbangan

Pemeriksaan klinis, baik yang dilakukan unit gawat darurat maupun di ruang

pemeriksaan lainnya, mungkin akan memberikan banyak informasi tentang keluhan

vertigo. Beberapa pemeriksaan klinis yang mudah dilakukan untuk melihat dan

menilai gangguan keseimbangan diantaranya adalah: Tes Romberg. Pada tes ini,

penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit yang satu

berada di depan jari-jari kaki yang lain (tandem). Orang yang normal mampu berdiri
14

dalam sikap Romberg ini selama 30 detik atau lebih. Berdiri dengan satu kaki

dengan mata terbuka dankemudian dengan mata tertutup merupakan skrining yang

sensitif untuk kelainan keseimbangan. Bila pasien mampu berdiri dengan satu kaki

dalam keadaan mata tertutup, dianggap normal.2

Gambar 2. Romberg Test

2. Tandem Gait

P e n d e r i t a b e r j a l a n d e n g a n t u m i t k a k i k i r i k a n a n diletakkan

pada ujung jari kaki kanan kiri ganti bergantin. Pada kelainan vestibuler,

perjalanannya akan menyimpang dan pada kelainan serebeler penderitaakan

cenderung jatuh.2

3. Tes Melangkah Di Tempat (Stepping Test)

Penderita harus berjalan di tempat dengan mata tertutup sebanyak 50 langkah

dengan kecepatan seperti berjalan biasa dan tidak diperbolehkan beranjak dari

tempat semula. Tes ini dapat mendeteksi ada tidaknya gangguan sistem vestibuler.
15

Bila penderita beranjak lebih dari 1 meter dari tempat semula atau badannya

berputar lebih dari 30 derajat dari keadaan semula, dapat diperkirakan penderita

mengalami gangguan sistem vestibuler.2

Gambar 3. Stepping Test

3. Tes Salah Tunjuk (Past-Pointing)

Penderita diperintahkan untuk merentangkan lengannya dan telunjuk penderita

diperintahkan menyentuh telunjuk pemeriksa. Selanjutnya, penderita diminta untuk

menutup mata, mengangkat lengannya tinggi tinggi (vertikal) dan kemudian

kembali pada posisi semula. Pada gangguan vestibuler, akan didapatkan salah

tunjuk.2

4. Manuver Nylen-Barany atau Hallpike

Merupakan pemeriksaan klinis standar untuk pasien BPPV. Dix-Hallpike

manuever secara garis besar terdiri dari dua gerakan yaitu Dix-Hallpike manuever

kanan pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan dan Dix- Hallpike

manuever kiri pada bidang posterior kiri. Cara melakukannya sebagai berikut :2

1. Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan,


16

dan
vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa

detik. 


2. Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika

posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 300-400, penderita diminta

tetap membuka 
mata untuk melihat nistagmus yang muncul.

3. Kepala diputar menengok ke kanan 450 (kalau kanalis semisirkularis

posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith

untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis semisirkularis

posterior. 


4. Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita

direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa. 


5. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut

dipertahankan selama 10-15 detik. 


6. Komponen cepat nistagmus harusnya “up-bet‟ (ke arah dahi) dan

ipsilateral.


7. Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang

berlawanan 
dan penderita mengeluhkan kamar berputar kearah

berlawanan. 


8. Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 450

dan 
seterusnya.


Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke


belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus.
17

Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat,

40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya

kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit,

biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus.3

Dix dan Hallpike mendeskripsikan tanda dan gejala BPPV sebagai berikut :4

1) Terdapat posisi kepala yang mencetuskan serangan

2) Nistagmus yang khas

3) Adanya masa laten

4) Lamanya serangan terbatas

5) Arah nistagmus berubah bila posisi kepala dikembalikan ke posisi awal

6) Adanya fenomena kelelahan/fatique nistagmus bila stimulus diulang

Dix-hallpike manuver lebih sering digunakan karena pada manuver tersebut

posisi kepala sangat sempurna untuk canalith repositioning treatment. Pada pasien

BPPV, Dix-Hallpike manuver akan mencetuskan vertigo dan nistagmus.2


18

Gambar 4. Dix-Hallpike Manuever

5. Tes Kalori

Tes kalori baru boleh dilakukan setelah dipastikan tidak ada perforasi membran

timpani maupun serumen. Cara melakukan tes ini adalah dengan memasukkan air

bersuhu 30° C sebanyak 1 mL. Tes ini berguna untuk mengevaluasi nistagmus,

keluhan pusing, dan gangguan fiksasi bola mata. Pemeriksaan lain dapat juga

dilakukan, dan selain pemeriksaan fungsi vestibuler, perlu dikerjakan pula

pemeriksaan penunjang lain jika diperlukan. Beberapa pemeriksaan penunjang

dalam hal ini di antaranya adalah pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, tes

toleransi glukosa, elektrolit darah, kalsium, fosfor, magnesium) dan pemeriksaan

fungsi tiroid. Pemeriksaan penunjang dengan CT-scan, MRI, atau angiografi

dilakukan untuk menilai struktur organ dan ada tidaknya gangguan aliran darah,

misalnya pada vertigo sentral. Pemeriksaan fisis standar untuk BPPV adalah Dix-

Hallpike dengan cara: Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa,

sehingga ketika posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 300 – 400, penderita

diminta tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul.3

Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke

belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada

pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat, ± 40

detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya

kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit,

biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus.1


19

6. Tes Supine Roll

Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan hasil tes Dix-

Hallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test untuk memeriksa ada

tidaknya BPPV kanal lateral. BPPV kanal lateral atau disebut juga BPPV kanal

horisontal adalah BPPV terbanyak kedua. Pasien yang memiliki riwayat yang

sesuai dengan BPPV, yakni adanya vertigo yang diakibatkan perubahan posisi

kepala, tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis BPPV kanal posterior harus

diperiksa ada tidaknya BPPV kanal lateral.2

Gambar 5. Supine roll test

Dokter harus menginformasikan pada pasien bahwa manuver ini bersifat

provokatif dan dapat menyebabkan pasien mengalami pusing yang berat selama

beberapa saat. Tes ini dilakukan dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi

atau berbaring terlentang dengan kepala pada posisi netral diikuti dengan rotasi

kepala 90 derajat dengan cepat ke satu sisi dan dokter mengamati mata pasien untuk

memeriksa ada tidaknya nistagmus. Setelah nistagmus mereda (atau jika tidak ada

nistagmus), kepala kembali menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Setelah


20

nistagmus lain mereda, kepala kemudian diputar/ dimiringkan 90 derajat ke sisi

yang berlawanan, dan mata pasien diamati lagi untuk memeriksa ada tidaknya

nistagmus.3

2.2.7 Penatalaksanaan

1. Non-Farmakologi


Benign Paroxysmal Positional Vertigo dikatakan adalah suatu penyakit yang

ringan dan dapat sembuh secara spontan dalam beberapa bulan. Namun telah

banyak penelitian yang membuktikan dengan pemberian terapi dengan manuver

reposisi partikel/ Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat secara efektif

menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi

risiko jatuh pada pasien. Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi

mulai dari 70%-100%. Beberapa efek samping dari melakukan manuver seperti

mual, muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi karena adanya

debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit

misalnya saat berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah melakukan

manuver, hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk minimal 10 menit untuk

menghindari risiko jatuh. Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk

mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus.6

Ada lima manuver yang dapat dilakukan :

a. Manuver Epley 


Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.

Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 450, lalu pasien
21

berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala

ditolehkan 900 ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral

dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu

pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara perlahan.3

Gambar 6. Manuver Epley

b. Manuver Semont


Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan posterior.

Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala dimiringkan

450 ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi berbaring dan

dipertahankan 
selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo dapat diobservasi.

Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa kembali

ke posisi duduk lagi.3


22

Gambar 7. Manuver Semont

c. Manuver Lempert

Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal lateral. Pasien

berguling 3600, yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien menolehkan kepala

900 ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh ke posisi lateral

dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral

dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 900 dan tubuh kembali ke posisi lateral

dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan dipertahankan

selama 15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon terhadap

gravitasi.2
23

Gambar 8. Manuver Lempert

d. Forced Prolonged Position 


Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral. Tujuannya adalah untuk

mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus pada sisi telinga yang sakit

dan dipertahankan selama 12 jam.3

e. Brandt-Daroff exercise


Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat

dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang tetap

simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat membantu

pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi kebiasaan.3


24

Gambar 9. Brandt-Daroff exercise

2. Farmakologi


Secara umum, penatalaksanaan medika- mentosa mempunyai tujuan utama: (i)

mengeliminasi keluhan vertigo, (ii) memperbaiki proses-proses kompensasi

vestibuler, dan (iii) mengurangi gejala-gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif.

Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di

antaranya adalah : 2

a. Antikolinergik

Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan

vertigo, yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan homatropin. Kedua

preparat tersebut dapat juga dikombinasikan dalam satu sediaan antivertigo.

Antikolinergik berperan sebagai supresan vestibuler melalui reseptor muskarinik.

Pemberian antikolinergik per oral memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan

gejala efek samping yang timbul terutama berupa gejala-gejala penghambatan

reseptor muskarinik sentral, seperti gangguan memori dan kebingungan (terutama

pada populasi lanjut usia), ataupun gejala-gejala penghambatan muskarinik perifer,

seperti gangguan visual, mulut kering, konstipasi, dan gangguan berkemih.2


25

b. Antihistamin

Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan

antivertigo yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan termasuk di

antaranya adalah difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan pro-

metazin. Mekanisme antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak banyak

diketahui, tetapi diperkirakan juga mempunyai efek ter- hadap reseptor histamin

sentral. Antihistamin mungkin juga mempunyai potensi dalam

mencegahdanmemperbaiki“motionsickness”. Efek sedasi merupakan efek samping

utama dari pemberian penghambat histamin-1. Obat ini biasanya diberikan per oral,

dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4 jam (misalnya, sikl- izin) sampai 12 jam

(misalnya, meklozin).1

c. Histaminergik

Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo

di beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri merupakan

prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek

vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah

dan sistem vestibuler. Pada pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik,

dengan kadar puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif

jarang, termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual.1

d. Antidopaminergik

Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual

pada pasien dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar antidopaminergik

merupakan neuroleptik. Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak diketahui


26

dengan pasti, tetapi diperkirakan bahwa antikolinergik dan antihistaminik (H1)

berpengaruh pada sistem vestibuler perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi

mulai dari 4 sampai 12 jam. Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai

antiemetik, seperti domperidon dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis

dopamin ini terutama adalah hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan

yang berhubungan dengan gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif,

parkinsonisme, distonia akut, dan sebagainya.1

e. Benzodiazepin

Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan di

tempat khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vesti- buler

diperkirakan terjadi melalui mekanisme sentral. Namun, seperti halnya obat-obat

sedatif, akan memengaruhi kompensasi ves- tibuler. Efek farmakologis utama dari

benzo- diazepin adalah sedasi, hipnosis, penurunan kecemasan, relaksasi otot,

amnesia antero- grad, serta antikonvulsan. Beberapa obat go- longan ini yang sering

digunakan adalah lora- zepam, diazepam, dan klonazepam.3

f. Antagonis kalsium

Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium di dalam

sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jum- lah ion kalsium intrasel.

Penghambat kanal kalsium ini berfungsi sebagai supresan ves- tibuler. Flunarizin

dan sinarizin merupakan penghambat kanal kalsium yang diindikasi- kan untuk

penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini juga digunakan sebagai obat migren. Selain

sebagai penghambat kanal kalsium, ternyata unarizin dan sinarizin mempunyai efek

sedatif, antidopaminergik, serta antihis- tamin-1. Flunarizin dan sinarizin


27

dikonsumsi per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang panjang, dengan

kadar mantap tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar obat dalam darah masih dapat

terdeteksi dalam waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan. Efek samping

jangka pendek dari penggunaan obat ini teru- tama adalah efek sedasi dan

peningkatan be- rat badan. Efek jangka panjang yang pernah dilaporkan ialah

depresi dan gejala parkinso-nisme, tetapi efek samping ini lebih banyak terjadi pada

populasi lanjut usia.3

g. Simpatomimetik

Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus digunakan secara

hati-hati karena adanya efek adiksi.3

h. Asetilleusin

Obat ini banyak digunakan di Prancis. Meka- nisme kerja obat ini sebagai

antivertigo tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bekerja sebagai

prekrusor neuromediator yang memengaruhi aktivasi vestibuler aferen, serta

diperkirakan mempunyai efek sebagai “antikalsium” pada neurotransmisi.

Beberapa efek samping penggunaan asetilleusin ini di antaranya adalah gastritis

(terutama pada do- sis tinggi) dan nyeri di tempat injeksi.2

i. Lain-lain

Beberapa preparat ataupun bahan yang diperkirakan mempunyai efek

antivertigo di antaranya adalah ginkgo biloba, piribedil (ago- nis dopaminergik),

dan ondansetron.2

KESIMPULAN
28

1.1 Kesimpulan

Vertigo adalah rasa pusing berputar, oleng atau tak stabil yang disebabkan

karena adanya gangguan pada organ keseimbangan di telinga. Gejala-gejala vertigo

meliputi: pusing, rasa terayun, mual, keringat dingin, muntah, sempoyongan

sewaktu berdiri atau berjalan, nistagmus. Gejala tersebut dapat diperhebat dengan

berubahnya posisi kepala.

Secara etiologis, vertigo disebabkan oleh adanya abnormalitas organ-organ

vestibuler, visual, ataupun sistem propioseptif. Secara umum vertigo dibagi

menjadi dua kategori berdasarkan yaitu vertigo vestibular dan non vestibular.

Vertigo non vestibular mencakup vertigo karena gangguan pada visual dan sistem

proprioseptif.

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis vertigo baik perifer maupun

sentral adalah pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi. Pemeriksaan

keseimbangan seperti Romberg Test, Stepping Gait dan Tandem Gait. Untuk

pemeriksaan koordinasi dilakukan Finger to finger test, Finger to nose, Pronasi-

supinasi Test dan Heel to Toe Test.

Penatalaksanaan BPPV meliputi non- farmakologis, farmakologis, dan operasi.

Penatalaksanaan BPPV yang sering digunakan adalah non-farmakologis yaitu

terapi manuver reposisi partikel (PRM) dapat secara efektif menghilangkan vertigo

pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien.

Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan partikel ke

posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus.


29

DAFTAR PUSTAKA

1.Wahyudi, Kupiya Timbul.Tinjauan Pustaka: Vertigo. CDK-198/ vol. 39 no. 10,

th. 2012

2. Lumbantobing, S.M. 2007. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.

Balai Penerbit FKUI: Jakarta. hal 66-78

3. Purnamasari, Putu Prida. 2013. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal

Positional Vertigo (BPPV). http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article

/viewFile/5625/4269 diakses pada 27 Agustus 2016

4. Edward, Yan. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Position Vertigo

(BPPV). http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/31/26

diakses pada 27 Agustus 2016

5. Dewanta, George, Suwono, J Wita dkk. 2010. Panduan Praktis Diagnosis dan

Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC Standar Pelayanan Medik.

PERDOSSI

6. Randy, Swartz, Paxton,Longwel. 2013. Treatment of Vertigo Volume 7 No.6.

America : American Family Physician.

7. Guyton & Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta : EGC

8. Mardjono, Mahar, Sidharta, Priguna. 2013. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta :

Dian Rakyat
30

9. Lumbantobing,S.M. 2014. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.

Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia.

10 _Li JC & Epley J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview diakses tanggal

10 Agusrus 2015

11. Lempert T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of Vertigo, migraine, and

vestibular migraine in Journal Neurology 2009:25:333-8

Anda mungkin juga menyukai