Anda di halaman 1dari 17

ANATOMI DAN FISIOLOGI FUNGSI KOORDINASI

Fungsi koordinasi melibatkan beberapa sistem organ, yaitu:

1. Serebellum

Serebelum adalah organ sentral untuk kontrol motorik halus. Struktur ini
memproses informasi dari berbagai jaras sensorik (terutama vestibular dan
proprioseptif), bersama impuls motorik, dan memodulasi aktivitas area nuklear
motorik di otak dan medulla spinalis. Secara anatomis, serebelum tersusun dari dua
hemisfer dan vermis yang terletak diantaranya. Serebelum terhubung dengan
batang otak melalui tiga pedunkulus serebeli.1

Serebelum terletak di fossa posterior. Permukaan superiornya diselubungi oleh


tentorium serebeli, yaitu suatu lipatan ganda dura mater yang menyerupai tenda
yang memisahkan serebelum dari serebrum.Permukaan serebelum, tidak seperti
serebrum, menunjukkan banyak lekukan kecil yang berjalan horizontal (folia), yang
satu sama lain dipisahkan oleh fisura. Bagiansentral serebelum yang sempit yang
menghubungkan kedua hemisfer masing-masing sisi disebut vemis.1

Gambaran serebelum dari bawah menunjukkan bagian teratas ventrikel


keempat yang terletak dianatara pedunkuli serebelares. Ventrikel keempat
berhubungan dengan rongga subarakhnoid melalui sebuah apertura mediana
(foramen Magendie) dan dua apertura lateralis (foramen Luschka). Disebelah
kaudal pedunkulus serebri inferior dan medius, terdapat suatu struktur pada masing-
masing sisi yang disebut flokulus; kedua flokulus dihubungkan menyebrangi garis
tengah melalui bagian vermis yang disebut nodulus. Bersama-sama, struktur ini
membentuk lobus flokulonodularis.1

Korteks serebeli tersusun atas tiga lapisan yaitu:


 Lapisan molekuler (stratum molekulare). Lapisan ini terutama terdiri dari
prosesus selular, yang mayoritas merupakan akson sel granuler- serabut
pararel, dan dendrit sel purkinje.1
 Lapisan sel Purkinje (statum ganglionare). Lapisan tipis ini hanya
mengandung badan sel Purkinje yang besar, tersusun berdampingan dalam
barisan-barisan.1
 Lapisan sel granular (stratum granulosum). Lapisan ini hampir seluruhnya
terdiri dari badan sel granular kecil yang tersusun padat, yang berjumlah
lebih dari 95% dari seluruh neuron serebelum.1

Serebelum merupakan suatu pusat koordinasi yang mempertahankan


keseimbangan dan mengontrol tonus otot melalui sirkuit regulasi umpan-balik yang
kompleks, dan memastikan eksekusi semua proses motorik terarah yang tepat dan
terkoordinasi dengan baik secara sementara. Koordinasi gerakan serebelar terjadi
secara tidak disadari.Tiga komponen utama serebelum berdasarkan filogenik dan
fungsional,yaitu:1

o Vestibuloserebelum

Arkhiserebelum (secara filogenik merupakan bagian serebelum tertua)


berhubungan erat dengan aparatus vestibularis. Struktur ini menerima sebagian
besar imput aferennya dari nuklei vestibulares dibatang otak dengan demikian
disebut juga vestibuloserebelum.1
Fungsi. Vestibuloserebelum menerima impuls dari aparatus vestibularis yang
membawa informasi mengenai posisi dan gerakan kepala. Output aferennya
memengaruhi fungsi motorik mata dan tubuh sedemikian rupa sehingga
ekuilibrium dapat dipertahankan pada semua posisi dan pada semua gerakan.1
Hubungan sinaptik. Lengkung refleks berikut ini berpartisipasi dalam
mempertahankan ekuilibrium (keseimbangan). Dari organ vestibular, impuls
berjalan baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui nuklei vestibulares)
ke korteks vestibuloserebelaris, dan menuju nuklei fastigii. Korteks
vestibulosselebelaris menghantarkan impuls kembali ke nuklei vestibulares serta ke
formasio retikularis; dari tempat ini, traktus vestibulospinalis dan traktus
retikulospinalis serta fasikulus longitudinalis medialis memasuki batang otak dan
medula spinalis untuk mengontrol fungsi motorik spinal dan okulomotor. Lengkung
refleks ini memastikan stabilisasi postur, gaya berjalan, dan posisi mata dan
memungkinkan fiksasi tatapan.1
Lesi Vestibuloserebelum. Gangguan fungsional lobus flokulonodularis atau
nukleus fastigii menyebabkan pasien kurang dapat menempatkan dirinya pada
lapangan gravitasi bumi, atau tidak dapat memfiksasi tatapannya pada objek yang
diam saat kepalanya bergerak.1
 Disekuilibrium. Pasien mengalami kesulitan berdiri tegak (astasia) dan
berjalan (abasia), dan gaya berjalan pasien lebar-lebar dan tidak stabil,
menyerupai gaya berjalan orang yang sedang mabuk (ataksia trunkal).
Heel-to-toe walking tidak dapat dilakukan. Ketidakseimbangan bukan
disebabkan oleh defisiensi impuls proprioseptif mencapai kesadaran, tetapi
akibat koordinasi respons otot-otot terhadap gravitasi yang salah.1

o Spinoserebelum

Paleoserebelum menerima sebagian besar input aferennya dari medulla spinalis


dan, dengan demikian disebut juga spinoserebelum. Spinoserebelum sebagian besar
terdiri dari vermis dan zona paravermian.1
Fungsi. Spinoserebelum mengontrol tonus otot dan mengoordinasi kerja
kelompok-kelompok otot antagonistik yang berpartisipasi pada postur dan gaya
berjalan. Output aferennya memengaruhi aktivitas otot-otot anti gravitasi dan
mengontrol kekuatan gaya yang diinduksi oleh gerakan (misalnya, inersia dan gaya
sentrifugal).1
Hubungan. Korteks spinoserebelum menerima input aferennya dari medulla
spinalis melalui traktus spinoserebelaris posterior, traktus spinoserebelaris anterior,
dan traktus kuneoserebelaris (dari nukleus kuneatus asesorius). Korteks zona
paravermis terutama berproyeksi ke nukleus globosus dan nukleus
emboliformis,sedangkan korteks vermian terutama berproyeksi ke nukleus fastigii.
Output eferen nuklei ini kemudian melanjutkan melalui pedunkulus serebelaris
superior ke nukleus ruber dan formasio retikularis,tempat impuls yang telah
dimodulasi dihantarkan melalui traktus rubrospinalis,traktus rubroretikularis,dan
traktus retikulospinalis ke neuron motorik spinal masing-masing setengah bagian
tubuh dipersyarafi oleh korteks serebeli ipsilateral,tetapi tidak ada susunan
somatotropik yang tepat.Beberapa output eferen nukleus emboliformis berjalan
melalui talamus ke korteks motorik-terutama bagian yang mengontrol otot-otot
proksimal ekstremitas (yang menyelubungi panggul dan bahu) serta tubuh. Dengan
cara ini, spinoserebelum juga memengaruhi gerakan volunter yang terarah pada
kelompok otot-otot ini.1
Lesi spinoserebelum.Manifestasi utama lesi zona vermis serebeli dan paravermis
serebeli adalah sebagai berikut.
 Lesi lobus anterior dan bagian superior vermis di dan didekat garis tengah
menimbulkan ataksia cara berdiri (stance) dan gaya berjalan (gait). Ataksia
gait (abasia) yang ditimbulkan oleh lesi tersebut lebih berat dibandingkan
ataksia stance (astasia). Pasien yang menderita gangguan ini menunjukkan
cara berjalan yang lebar dan tidak stabil yang berdeviasi ke sisi lesi, dan
terdapat kecendrungan untuk jatuh kesisi tersebut. Ataksi stance terlhat
dengan tes romberg: ketika pasien berdiri dengan mata tertutup, dorongan
ringan pada sternum menyebabkan pasien berayun kebelakang dan
kedepan dengan frekuensi 2-3 Hz. Jika lesi hanya terbatas pada bagian
superior vermis, uji telunjuk-hidung dan tes tumit lutut tulang kering masih
dapat dilakukan secara akurat.1
 Lesi bagian inferior vermis menyebebkan ataksia stance (astasia) yang
lebih berat dibandingkan ataksia gait. Pasien mengalami kesulitan untuk
duduk atau berdiri dengan stabil, dan, pada tes romberg, bergoyang secara
perlahan ke belakang dan kedepan, tanpa kecendrungan ke arah tertentu.1

o Serebroserebelum

Neoserebelum merupakan bagian terbesar serebelum. Perkembangan


filogenetiknya terjadi bersamaan ekspansi serebrum dan saat transmisi menuju cara
berdiri yang tegak dan gaya berjalan yang benar.1
Hubungan. Serebroserebelum menerima sebagian besar input neuralnya secara
tidak langsung dari bagian korteks serebri yang luas, terutama dari area broadmann
4 dan 6 (area motorik dan premotorik) melalui traktus kortikopontis tetapi
juga,sebagian kecil, dari oliva melalui traktus olivoserebelaris. serebelum
menerima peringatan lebih lanjut dari semua gerakan volunter yang direncanakan
yang dimulai di korteks serebri, sehingga serebelum dapat segera mengirimkan
impuls modulasi dan korektif kembali ke korteks motorik melalui
jarasdentatotalamokortikalis. Nukleus dentatus juga berproyeksi kebagian
parvoselularis nukleus ruber. Tidak seperti nukleus ruber lainnya, bagian ini tidak
mengirimkan serabutnya ke medula spinalis melalui traktus rubrospinalis. Namun,
serabut ini berproyeksi melalui traktus tegmentalis sentralis ke oliva inferior, yang
kemudian berproyeksi kembali ke serebroserebelum. Lengkung umpan balik neural
dentato-rubro-oliva-serebelaris ini memiliki peran yang penting dalam pengolahan
impuls neosereberal.1
Fungsi. Hubungan serebroserebelum yang kompleks memungkinkan struktur ini
untuk meregulasi semua gerakan terarah secara halus dan tepat. Melalui jaras
spinoserebelaris aferen yang menghantarkan dengan sangat cepat,
serebroserebelum secara terus-menerus menerima informasi terbaru mengenai
aktivitas motorik di perifer. Dengan demikian ia dapat memperbaiki setiap
kesalahan dalam perjalanan gerakan volunter untuk memastikan bahwa gerakan
tersebut dilakukan secara halus dan tepat. Pola pengeksekusi berbagai jenis gerakan
yang sangat banyak kemungkinan disimpan di serebelum, seperti pada komputer,
sepanjang hidup individu, sehingga dapat dipanggil kembali setiap saat. Dengan
demikian, begitu kita mencapai tahap perkembangan tertentu, kita dapat melakukan
gerakan sulit yang telah dipelajari secara cepat, relatif tidak memerlukan usaha, dan
sesuai kehendak dengan cara memanggil fungsi regulasi presisi di
serebelum.Fungsi serebelum berkisar dari koordinasi gerakan hingga pengolahan
stimulus sensorik dan informasi yang relevan terhadap memori.1
Lesi serebroserebelum. Lesi serebroserebelum tidak menimbulkan paralisis, tetapi
menimbulkan kerusakan berat pada eksekusi gerakan volunter. Manifestasi klinis
selalu ipsilateral terhadap lesi penyebabnya.1
 Dekomposisi gerakan volunter. Gerakan ekstremitas ataksik dan tidak
terkoordinasi, dengan dismetria, disinergia, disdiadokokinesis, dan tremor
saat melakukan gerakan volunter (intention tremor). Abnormalitas ini lebih
jelas pada ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas bawah, dan gerakan
kompleks terkena lebih berat dibandingkan gerakan
sederhana.Disdiadokokinesia adalah gangguan gerakan bergantian secara
cepat akibat kerusakan koordinasi ketepatan waktu beberapa kelompok otot
antagonistik: gerakan seperti pronasi dan supinasi tangan secara cepat
menjadi lambat, terputus-putus, dan tidak berirama.1
Klasifikasi vertigo berdasarkan kelainan yang mendasarinya

Gambar 1 : Klasifikasi vertigo berdasarkan kelainan yang mendasarinya


Gambar 2 : Perbedaan vertigo perifer dan vertigo central
1. BPPV

BPPV merupakan suatu kondisi terjadinya gangguan dari sistem perifer

vestibular,ketika pasien merasakan sensasi pusing berputar dan berpindah yang

berhubungan dengan nistagmus ketika posisi kepala berubah terhadap gaya

gravitasi dan disertai gejala mual,muntah dan keringat dingin.2 Serangan biasa

dipicu ketika pasien merubah posisi kepala ke sisi yang terkena kemudian berguling

ke sisi berlawanan ataupun duduk dengan cepat.3 Serangan dari BPPV biasanya

tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik,tetapi dapat berhubungan dengan

trauma kepala,posisi terlentang terlalu lama atau gangguan dari dalam telinga.4

BPPV sering digambarkan sebagai selflimiting karena gejala dapat mereda atau

dapat hilang dalam waktu enam bulan dari onset.5


Patofisiologi dari BPPV berhubungan dengan perpindahan dari otocnia

menuju kanalis semisirkularis (anterior,posterior atau lateral),yang mungkin tetap

mengambang di endolimfe dari kanalis semisirkularis (ductolithiasis atau

canalolithiasis) atau melekat pada cupula (cupulithiasis), yang merubah respon

kepala terhadap sudut kepala. Ketika ada perubahan posisi kepala dengan

gravitasi,puing-puing otolithic bergerak ke posisi baru dalam setengah lingkaran

kanal,yang mengarah ke rasa rotasi palsu,dimana BPPV biasanya paling sering

diakibatkanoleh kanalis semisirkular posterior sekitar 60-90% pada seluruh kasus.

Pada dasarnya terdapat dua subtipe dari BPPV yang dibedakan oleh kanalis

semisirkularis yang terlibat yaitu otocnia terpisah dan mengambang bebas dalam

canal (canalithiasis) atau yang melekat pada cupula (cupulolithiasis).6

Pada cupulolithiasis,selama kepala berada pada posisi yang dipengaruhi

oleh gaya gravitasi,maka vertigo akan terus menetap. BPPV didiagnosa

berdasarkan sejarah medis,pemeriksaan fisik,tes pendengaran dan pemeriksaan

laboratorium untuk menyingkirkan diagnosis lain. Serta tes vestibular lainnya

seperti tes Dix-Hallpike. Dalam tes Dix-Hallpike,kepala pasien diminta untuk

berbalik 45 derajat secara horizontal berhadapan dengan penguji dalam posisi

duduk,lalu pasien mulai dengan cepat berada dibawah dengan kepala menggantung

ditepi meja sekitar 30 derajat horizontal kebawah. Penguji diminta untuk

mengamati apakah pasien memiliki vertigo dan mengamati nystagmus kanalis

posterior kanan. Apabila terdapat hasil yang positif yakni berupa keterlibatan

nystagmus kanalis posterior kanan,maka akan ada getaran dan torsi kearah kanan.7
Untuk dapat menegakan diagnosis klinis BPPV,maka harus memenuhi empat

kriteria, yaitu

1. Vertigo berkaitan dengan karakteristik torsi campuran dan nystagmus vertikal

yang telah dilakukan uji dengan Tes Dix-Hallpike

2. Vertigo berkaitan dengan karakteristik torsi campuran dan nystagmus vertikal

yang telah dilakukan uji dengan Tes Dix-Hallpike

3. Terjadi (biasanya 1 sampai 2 detik) antara selesainya tes Dix-Hallpike dan

timbulnya vertigo dan nistagmus.

4. Bersifat paroksismal dari saat timbulnya vertigo dan nystagmus (yaitu, terjadi

peningkatan lalu penurunan selama periode 10 sampai 20 detik)

5. Terjadi pengurangan vertigo dan nystagmus apabila tes Dix-Hallpike diulang.13

Karakteristik dari nistagmus sendiri dibagi menjadi dua yaitu8 :

1. BPPV Posterior Saat pasien melakukan uji DixHallpike,ampullofageal bergerak

pada bagian kanalis semisirkularis posterior dan cupula bergeser sehingga terdapat

respon rangsang yang menimbulkan nystagmus dengan komponen vertikal terasa

berputar. Rasa berputar mulai terasa dari bagian atas mata menuju kearah

telinga,tergantung dari awal serangan nistagmus (biasanya beragam). Pada

sebagian kasus,pasien kesulitan untuk menilai darimana arah awal mula serangan

nistagmus,sehingga dapat menegakkan diagnosis dengan melihat bahwa pasien

mengarahkan tatapan lateral. Pada canalithiasis,komponen yang terasa berputar

sangat khas yakni terasa kearah telinga bagian atas.8


2. BPPV Anterior Ketika pasien melakukan uji DixHallpike, ampullofugal bergerak

dari otolith ke kanalis semisirkularis anterior. Sehingga menyebabkan ampullofugal

berpindah dari cupula. Pada pasien hal ini terdeskripsikan dari bagian atas mata

kearah telinga. Pada canalithiasis,dari kanalis semisirkularis anterior komponennya

akan terasa berputar dibagian lateralis kearah telinga bagian paling atas. Pasien

cenderung menatap tatapan kearah telinga bagian bawah.

2. Meniere’s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops

endolimfatik.

Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang dari vertigo yang

berlangsung dari menit sampai hari, disertai dengan tinnitus dan tuli sensorineural

yang progresif.

ifestasi Klinis Sifat yang khas pada penyakit Meniere adalah terdapatnya periode

aktif/serangan yang bervariasi lamanya yang diselingi dengan periode remisi yang

lebih panjang dan juga bervariasi lamanya. Pola serangan dan remisi pada individu

tidak dapat diramalkan, walaupun gejala berkurang setelah beberapa tahun. Pada

saat serangan biasanya terdapat trias Meniere yaitu vertigo, tinitus, dan gangguan

pendengaran. Biasanya terdapat adanya suatu periode rasa penuh atau tertekan pada

telinga yang dirasakan penderita selama berjam-jam, berharihari, atau berminggu-

minggu. Namun sensasi ini terlupakan karena adanya serangan vertigo yang hebat

yang timbul tiba-tiba disertai mual dan muntah. Terdapat adanya kurang

pendengaran yang hampir tidak dirasakan pada telinga yang bersangkutan karena

genuruh tinitus yang timbul bersamaan dengan vertigo. Episode awal biasanya
berlangsung selama 2-4 jam, setelah itu vertigo mereda, meskipun pusing

(dizziness) pada gerakan kepala menetap selama beberapa jam.

Pendengaran membaik dan titnitus berkurang, tetapi tidak menghilang

dengan redanya vertigo. Kemudian ada periode bebas vertigo. Selama periode ini

penderita mungkin hanya merasakan tinitus yang bergemuruh. Gejala-gejala ini

kemudian diselingi oleh episode vertigo spontan lain yang mirip dengan yang

pertama dengan derajat yang lebih ringan. Frekuensi serangan ini bervariasi, tetapi

biasanya timbul sebanyak satu atau dua kali dalam seminggu, atau

sekurangkurangnya satu kali dalam satu bulan. Pada kasus-kasus berat dapat timbul

serangan setiap hari.

3. Ototoksik

Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang terjadi

karena efek samping dari konsumsi obat-obatan seperti obat golongan

aminoglikosida, eritromicin, loop diuretics, ati inflamasi, ati malaria, anti tumor dan

obat tetes telinga.

Gejala klinis yaitu Tinnitus, gangguan pendengaran dan vertigo .

Tinnitus biasanya menyertai segala jenis tulisensorial oleh sebab apapun dan sering

mendahului serta lebih mengganggu dari pada tulinya sendiri. Tinnitus yang

berhubungan dengan ototoksitas cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4

kHz - 6KHz. Pada keadaan yang menetap, tinnitus lama kelamaan tidak begitu kuat

tetapi juga tidak pernah hilang

4. Labirinitis
Labirintis adalah infeksi pada telinga dalam (labirin). Keadaan ini dapat

ditemukan sebagai bagian dari suatu proses sistemik atau merupakan suatu proses

tunggal pada labirin saja. Labirinitis bakteri sering disebabkan oleh komplikasi

intra temporal dari radang telinga tengah. Penderita otitis media kronik yang

kemudian tiba-tiba vertigo, muntah dan hilangnya pendengaran harus waspada

terhadap timbulnya labirinitis supuratif.

Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin, disebut labirinitis

umum (general), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan

labirinitis yang terbatas (labirinitis sirkumskripta) menyebabkan terjadinya vertigo

saja atau tuli saraf saja.

Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfa.

Terdapat dua bentuk labirinitis, yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif.

Pada labirinitis serosa toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang,

sedangkan pada labirinitis supuratif, sel radang menginvasi labirin, sehingga

terjadi kerusakan yang ireversibel, seperti fibrosis dan osifikasi.

Pada kedua bentuk labirinitis itu operasi harus segera dilakukan untuk

menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang juga diperlukan

drainase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian

antibiotika yang adekuat terutama ditujukan kepada pengobatan otitis media kronik

dengan atau tanpa kolesteatoma.9

5. Neuritis vestibuler

Neuritis vestibuler merupakan penyakit yang ditandai dengan timbulnya

vertigo akut dengan nistagmus spontan yang disertai dengan gejala vegetatif.10
Penyebab utama dari neuritis vestibuler sampai saat ini masih menjadi perdebatan.

Agen virus, gangguan vaskuler dan reaksi imun dicurigai berperan dalam neuritis

vestibuler.11 Gejala klinis yang paling sering ditemukan pada neuritis vestibuler

yaitu vertigo akut dengan gejala vegetatif berupa mual dan muntah. Umumnya tidak

disertai dengan gangguan pendengaran atau gangguan neurologi lainnya.

Umumnya keluhan vertigo dirasakan sampai beberapa hari.

Diagnosis neuritis vestibuler dapat ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Beberapa gejala neuritis vestibuler

diantaranya yaitu: timbulnya vertigo mendadak yang mengakibatkan mual dan

muntah serta ketidakseimbangan tubuh dan nistagmus.12 Intensitas vertigo dapat

meningkat selama rentang waktu 1 jam. Umumnya gejala vertigo diperberat oleh

gerakan kepala namun vertigo dapat berkurang bila kepala dalam keadaan stabil

dan mata terpejam. Gejala pusing pada neuritis vestibuler biasanya terjadi dalam

kurun waktu beberapa hari sampai beberapa minggu dengan gejala oscillopsia atau

lingkungan sekeliling terasa berputar. Pasien mengeluh ketidakseimbangan saat

berusaha berdiri atau berjalan dan bergerak ke arah labirin yang terkena. Keluhan

vertigo akan berkurang dalam beberapa hari kemudian. Meskipun neuritis

vestibular dan labirintitis mungkin terkait erat dalam beberapa kasus, namun

neuronitis vestibular dibedakan dari labirintitis berdasarkan fungsi pendengaran

yang masih ada. Penanganan neuritis vestibuler mencakup terapi simtomatis dan

suportif selama periode akut yang ditimbulkan. Penderita dapat diberikan obat-

obatan seperti antivestibuler dan antiemetik untuk mengontrol vertigo, mual dan

muntah.3
6. Neuroma akustik

Neuroma akustik adalah tumor jinak dari nervus kranialis kedelapan yang

ditemukan di cerebellopontine angle dan di kanalis auditoris interna. Gejala yang

paling umum didapatkan adalah gangguan pendengaran unilateral dan tinitus.

Mayoritas pasien juga akan mengalami vertigo, meskipun gejalanya tidak terus-

menerus. Gejala lanjut yang dirasakan pasien seperti gejala nervus kranialis hanya

akan dirasakan bila ukuran tumor sudah bisa menekan saraf kranialis Dalam

diagnosis, selain anamnesis yang rinci dan pemeriksaan fisik, diperlukan

pemeriksaan audiologi lengkap dengan tes vestibular, untuk menilai saraf

trigeminal, dan melakukan MRI dengan kontras gadolinium (Pada pemeriksaan

pendengaran hasilnya akan abnormal oleh karena terdapat gangguan pada nervus

akustikus/kokleovestibularis (VIII). Tes Weber dan Rinne akan sangat membantu

untuk mengetahui apakah ada gangguan pendengaran yang asimetris (unilateral).

Penurunan atau tidak adanya refleks kornea ipsilateral dan paresthesia mungkin

terjadi sebagai manifestasi gangguan pada nervus V dan VII. Defisit nervus

kranialis lainnya jarang terjadi kecuali pada ukuran tumor yang besar. Pemeriksaan

Romberg, Hall-Pike, dan tes keseimbangan umum lainnya biasanya normal.13 Tes

kalori akan menunjukkan respon yang berkurang atau tidak ada di 96% pasien, akan

tetapi jika tumor sangat kecil, tes kalori mungkin normal. Pemeriksaan funduskopi

mungkin perlu diperiksa untuk mengetahui apakah terdapat edema papil. Plain X-

Rays dapat memberikan temuan positif pada tumor neuroma akustik, akan tetapi

tumor yang masih berada pada kanalis auditori interna tidak dapat terdeteksi. CT

scan mampu mendeteksi tumor berukuran 0,5 cm di dalam fossa posterior). Tes
diagnostik definitif (gold standar) untuk pasien dengan neuroma akustik adalah

adalah MRI dengan resolusi tinggi, thin slices, dengan kontras gadolinium pada

kanalis auditori interna

Pasien dievaluasi secara periodik untuk mengetahui perkembangan gejala,

dan diikuti dengan MRI untuk memantau tanda-tanda pertumbuhan radioterapi dan

microsurgery.14

Ekuilibrium
1. Tes romberg
2. Tes tes Heel-to-toe walking

Non Ekuilibrium
1. Nose Finger Nose Test
2. Tes diadokinesis
3. Ten intensi tremor
4. Figer to finger test
5. Tes disatria
6. Rebound test
Daftar Pustaka

1.Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS edisi 4. Jakarta: EGC;

2012.p.163-165.214-227.

2. Edward Y, Roza Y. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional

Vertigo (BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test. Jurnal Kesehatan

Andalas. 2014;3(1):77-82 3. Majeed MA,Haq AU,Shabbir SMA,Raza

3. Majeed MA,Haq AU,Shabbir SMA,Raza SN. Clinical Comparative Study of

Efficacy of Epley Manouvere and Semont Manouver in Benign Paroxysmal

Positional Vertigo. Pak Armed Forces Med J 2015;65(1):42-7

4. Baloh RW, Honrubia V, Jacobson K.Benign positional vertigo: clinical and

oculographicfeatures in 240 cases. The American Academy of

Neurology1987;37:371-8

5. O’Reilly RC, Elford B, Slater R: Effectiveness of the particle repositioning

maneuver in subtypes of benign paroxysmal positional vertigo. The Laryngoscope

2000; 110: 1385-8.

6. Silva SN, Karyna MOB, Raysa V, Lidiane M, Ricardo OG. Vertiginous

Symptoms and Objective Measures of Postural Balance in Elderly People with

Benign Paroxysmal Positional Vertigo Submitted to the Epley Maneuver.

International Arch Otorhinolaryngol 2016;20:61-68


7.Desangi DS,Chauhan AS, Trivedi MN. Role Of Modified Epley’s Maneuver And

Brandt-Daroff Exercises In Treatment Of Posterior Canal BPPV: A Comparative

Study. International Journal of Physiotherapy

8. Bargenius J, Qing Z, Maoli D. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Journal of

Otology. 2014;9(1):1-6

9. Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. Anatomy and physiology of hearing. Dalam:

Bailey BJ, Johnson JT, penyunting. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi

ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. h. 1883-903

10. Kassner SS, Schottler S, Bonaterra GA, Straeter JS, Hormann K, Kinscherf R,

dkk. Proinflammatory activation of peripheral blood mononuclear cells in patients

with vestibular neuritis. Audiol Neurotol. 2011;16:242-7.

11. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic otorhinolaryngology. Thieme. 2006. h. 282-

3.

12Halmagyl GM, Thurtell MJ, Curthoys IS. Vertigo: Clinical syndromes. Dalam:

Gleeson M, penyunting. Scott Brown’s Otorhinolaryngology Head and Neck

Surgery. Edisi ke-7. London: Edward Arnold Ltd; 2008. h. 3751-7.

13. Tuli, BS, Tuli, IP, Singh, A, et al 2013, ‘Surgical Anatomy of Ear’ dalam

Textbook of Ear, Nose and Throat 2nd ed. Lt Col BS Tuli, Jaypee Brothers Medical

Publisher, Darayaganj, hh. 3-18; 108-110.

14. Antonelly, PJ, O’Malley, MR 2011, Acoustic Neuromas, University of Florida

ENT Clinic, Florida.

Anda mungkin juga menyukai