PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan igo yang
berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari “dizziness” yang secara definitif
merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau sensasi tubuh yang
berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan berputar.
Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring, tetapi gejala
seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini merupakan gejala kunci yang menandakan
adanya gangguan sistem vestibuler dan kadang merupakan gejala kelainan labirin.
Namun, tidak jarang vertigo merupakan gejala dari gangguan sistemik lain (misalnya,
obat, hipotensi, penyakit endokrin, dan sebagainya).1, 2
Meniere Disease, disebut juga hidrops endolimfatik, adalah gangguan telinga
dalam dimana terjadi distensi dari sistem endolimfatik yang menyebabkan vertigo,
sensorineural hearing loss, tinitus dan perasaan penuh dan menekan pada telinga (aural
fullness).3
Definisi vertigo posisional adalah sensasi berputar yang disebabkan oleh
perubahan posisi kepala. Sedangkan BPPV didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi
di telinga dalam dengan gejala vertigo posisional yang terjadi secara berulang-ulang
dengan tipikal nistagmus paroksimal. Benign dan paroksimal biasa digunakan sebagai
karakteristik dari vertigo posisional. Benign pada BPPV secara historikal merupakan
bentuk dari vertigo posisional yang seharusnya tidak menyebabkan gangguan susunan
saraf pusat yang serius dan secara umum memiliki prognosis yang baik, sedangkan
paroksimal yang dimaksud adalah onset vertigo yang terjadi secara tiba-tiba dan
berlangsung cepat biasanya tidak lebih dari satu menit. Benign Paroxysmal Positional
Vertigo (BPPV) adalah gangguan vestibuler yang paling sering ditemui, dengan gejala
rasa pusing berputar diikuti mual muntah dan keringat dingin, yang dipicu oleh perubahan
posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf
pusat.1, 2
Labirinitis adalah infeksi pada telinga dalam (labirin). Keadaan ini dapat
ditemukan sebagai bagian dari suatu proses sistemik atau merupakan suatu proses
tunggal pada labirin saja. Labirinitis bakteri sering disebabkan oleh komplikasi intra
temporal dari radang telinga tengah. Penderita otitis media kronik yang kemudian tiba-
2
tiba vertigo, muntah dan hilangnya pendengaran harus waspada terhadap timbulnya
labirinitis supuratif.4
B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer
Fungsi utama sistem vestibular adalah untuk memberi informasi kepada otak
mengenai posisi kepala dan percepatan. Labirin menjalankan fungsi tersebut melalui dua
organella yaitu kanalis semisirkularis dan otolith. Kanalis semisirkularis terdiri dari
kanalis semisirkularis horizontal, anterior, dan posterior sedang otolith terdiri dari
utrikulus dan sakulus. Kanalis semisirkularis berfungsi untuk mendeteksi pergerakan
angular kepala, sedang otolith mendeteksi pergerakan linear atau efek gravitasi. Labirin
dapat dibagi kedalam dua bagian yang saling berhubungan, yaitu:
1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam pendengaran.
2. Labirin posterior, yang mengandung tiga kanalis semisirkularis, sakulus dan
utrikulus. Berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus dan sakulus sel
sensoriknya berada di makula, sedangkan di kanalis sel sensoriknya berada di
krista ampulanya)
Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan disekitarnya
tergantung kepada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visual dan
3
proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP,
sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu.
Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis
semisirkularis dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis sel. Sel-
sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap percepatan
sudut, sedangkan sel-sel pada organ otolit peka terhadap gerak linier, khususnya
percepatan inier dan terhadap perubahan posisi kepala relatif terhadap gravitasi.
Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan percepatan linier ini disebabkan oleh
geometridari kanalis dan organ otolit serta ciri-ciri fisik dari struktur-struktur yang
menutupi sel rambut.
a. Sel rambut
Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut
pada organ otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural yang
dijelaskan oleh posisi dari stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu
gerakan menyebabkan stereosilia membengkok kearah kinosilium, maka sel-sel
rambut akan tereksitasi. Jika gerakan dalam arah yang berlawanan sehingga
stereosilia menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan terinhibisi.
b. Kanalis semisirkularis
Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada
rotasi sel-sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak
lurus satu dengan yang lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga
terletak hampir satu bidang yang sama dengan kanalis telinga satunya. Pada
waktu rotasi, salah satu dari pasangan kanalis akan tereksitasi sementara yang
satunya akan terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus normal dan
terdapat percepatan dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan,
maka serabut-serabut aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi,
sementara serabut-serabut yang kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang
vertikal misalnya rotasi kedepan, maka kanalis anterior kiri dan kanan kedua sisi
akan tereksitasi, sementara kanalis posterior akan terinhibisi.
c. Organ otolit
Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang
hampir horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal.
Berbeda dengan sel rambut kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut
pada organ otolit tidak semuanya sama. Pada makula utrikulus, kinosilium
4
terletak di bagian samping sel rambut yang terdekat dengan daerah sentral yaitu
striola. Maka pada saat kepala miring atau mengalami percepatan linier,
sebagian serabut aferen akan tereksitasi sementara yang lainnya terinhibisi.
Dengan adanya polarisasi yang berbeda dari tiap makula, maka SSP mendapat
informasi tentang gerak linier dalam tiga dimensi, walaupun sesungguhnya
hanya ada dua makula.
Hubungan-hubungan langsung antara inti vestibularis dengan motoneuron
ekstraokularis merupakan suatu jaras penting yang mengendalikan gerakan mata
dan refleks vestibulo-okularis (RVO). RVO adalah gerakan mata yang
mempunyai suatu komponen lambat berlawanan arah dengan putaran kepala dan
suatu komponen cepat yang searah dengan putaran kepala. Komponen lambat
mengkompensasi gerakan kepal dan berfungsi menstabilkan suatu bayangan
pada retina. Komponen cepat berfungsi untuk kembali mengarahkan tatapan ke
bagian lain dari lapangan pandang. Perubahan arah gerakan mata selama
rangsangan vestibularis merupakan suatu contoh dari nistagmus normal.5-7
C. Epidemiologi
Meniere disease menyerang terutama kelompok umur 35-60 tahun dengan
predominan pada pria dibandingkan wanita. Umumnya penyakit bersifat unilateral
dengan adanya kemungkinan gangguan yang sama pada telinga lain setelah beberapa
tahun.8
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) adalah tipe paling umum dari
vertigo. Secara keseluruhan dari populasi umum insiden dari BPPV adalah 60 /
100.000 orang per tahun, namun angka kejadian tersebut meningkat menjadi 120 /
100.000 per tahun pada individu di atas usia 50 tahun. Kebanyakan kasus berkembang
dari disfungsi semicircular canal perifer.9
Benign paroxysmal positional vertigo bisa terjadi pada setiap golongan dari
anak-anak hinggalah ke usia lanjut. Lebih dari 90 % kasus diklasifikasikan sebagai
idiopatik dengan rasio antara perempuan dengan laki-laki adalah 2:1. BPPV juga
sering terjadi pada kasus pasien dengan tirah baring yang lama akibat dari penyakit
lainnya atau pasca operasi.10
D. Etiologi
Vertigo terdapat 2 tipe, yaitu tipe sentral dan perifer. Pada vertigo tipe sentral,
etiologi umumnya adalah gangguan vaskuler, sedangkan pada vertigo tipe perifer,
5
etiologinya idiopatik. Biasanya vertigo jenis perifer berhubungan dengan manifestasi
patologis di telinga. Berbagai penyakit atau kelainan dapat menyebabkan vertigo.
Berikut ini dikemukakan penyebab yang sering dijumpai:7
E. Klasifikasi
1. Vertigo Perifer
Vertigo perifer biasanya berhubungan dengan gangguan fungsi organ
vestibular seperti kanal semisirkularis, utrikulus, dan sakulus. Salah satu pola
terpenting dalam presentasi gangguan vestibular perifer ini adalah durasi dari
6
vertigo. Berdasarkan parameter ini, dapat diklasifikasikan gangguan vestibular
perifer.
a. Vertigo berdurasi menit sampai jam
Ideopathic endolymphatic hydrops (Ménière’s disease)
Secondary endolymphatic hydrops:
o Otic syphilis
o Delayed endolymphatic hydroops
o Cogan’s disease
o Recurrent vestibulopathy
b. Vertigo berdurasi detik (Benign paroxysmal positional vertigo)
c. Vertigo berdurasi hari (Vestibular neuritis)
d. Vertigo dengan durasi bervariasi
Fistula telinga dalam
Trauma telinga dalam
o Trauma nonpenetrasi
o Trauma penetrasi
o Barotrauma
Familial vestibulopathy
2. Vertigo Sentral
Vertigo sentral biasanya berhubungan dengan gangguan fungsi dari nervus
VIII bagian vestibular atau gangguan pada nuklei vestibular di batang otak.
Beberapa penyebab dari vertigo sentral adalah iskemia dan infark pada batang
otak, penyakit demielinisasi seperti multiple sclerosis, tumor pada cerebellopontine
angle, neuropati kranial, dan gangguan heredofamilial seperti degenerasi
spinocerebellar.
Sebagian besar tumor pada cerebellopontine angle terjadi karena adanya
Schwannoma, tumor ini muncul di nervus VIII bagian vestibular di dalam kanal
auditori internal. Gejala penyakit ini adalah hilangnya pendengaran secara
progresif dan tinitus. Sedangkan neuropati kranial biasa terjadi pada penyakit fokal
atau sistemik seperti pada vaskulitis.
3. Vertigo Sistemik
Vertigo sistemik merupakan vertigo sekunder yang dapat berupa vertigo
perifer atau vertigo sentral atau bahkan keduanya. Berbagai hal yang dapat
7
menyebabkan vertigo sistemik adalah obat seperti antikonvulsan, hipnotik,
antihipertensi, alkohol, analgesik; hipotensi postural yang biasanya merupakan
efek samping dari agen antihipertensi, diuretik, dan dopaminergik; presinkop;
penyakit infeksi seperti sifilis, meningitis virus dan bakteri, dan infeksi sistemik;
penyakit endokrin seperti diabetes dan hipotiroidisme; vaskulitis pada penyakit
kolagen vaskular dan vaskulitis yang diinduksi oleh obat; dan kondisi sistemik lain
seperti gangguan hematologi dan toksin sistemik.7
F. Manifestasi Klinis
Meniere’s Disease
Sifat yang khas pada penyakit Meniere adalah terdapatnya periode aktif/serangan
yang bervariasi lamanya yang diselingi dengan periode remisi yang lebih panjang dan
juga bervariasi lamanya. Pola serangan dan remisi pada individu tidak dapat
diramalkan, walaupun gejala berkurang setelah beberapa tahun. Pada saat serangan
biasanya terdapat trias Meniere yaitu vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran.
Biasanya terdapat adanya suatu periode rasa penuh atau tertekan pada telinga yang
dirasakan penderita selama berjam-jam, berhari-hari, atau berminggu-minggu. Namun
sensasi ini terlupakan karena adanya serangan vertigo yang hebat yang timbul tiba-
tiba disertai mual dan muntah. Terdapat adanya kurang pendengaran yang hampir
tidak dirasakan pada telinga yang bersangkutan karena gemuruh tinitus yang timbul
bersamaan dengan vertigo. Episode awal biasanya berlangsung selama 2-4 jam,
setelah itu vertigo mereda, meskipun pusing pada gerakan kepala menetap selama
beberapa jam. Pendengaran membaik dan titnitus berkurang, tetapi tidak menghilang
dengan redanya vertigo.
Kemudian ada periode bebas vertigo. Selama periode ini penderita mungkin hanya
merasakan tinitus yang bergemuruh. Gejala-gejala ini kemudian diselingi oleh episode
vertigo spontan lain yang mirip dengan yang pertama dengan derajat yang lebih
ringan. Frekuensi serangan ini bervariasi, tetapi biasanya timbul sebanyak satu atau
dua kali dalam seminggu, atau sekurang-kurangnya satu kali dalam satu bulan. Pada
kasus-kasus berat dapat timbul serangan setiap hari. Biasanya setelah periode tersebut,
yang dapat berlangsung beberapa minggu, terjadi remisi spontan atau akibat
pengobatan, yang pada waktu itu gejala hilang sama sekali, kecuali gangguan pada
pendengaran pada telinga yang bersangkutan. Namun fase remisi tersebut ternyata
8
tidak permanen, dapat terjadi pengulangan fase akut seperti sebelumnya yang timbul
dalam beberapa bulan.12
BPPV
BPPV terjadi secara tiba-tiba. Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut
kurang dari 10-20 detik akibat perubahan posisi kepala. Kebanyakan pasien
menyadari saat bangun tidur, ketika berubah posisi dari berbaring menjadi duduk.
Pasien merasakan pusing berputar yang lama kelamaan berkurang dan hilang.
Terdapat jeda waktu antara perubahan posisi kepala dengan timbulnya perasaan
pusing berputar. Pada umumnya perasaan pusing berputar timbul sangat kuat pada
awalnya dan menghilang setelah 30 detik sedangkan serangan berulang sifatnya
menjadi lebih ringan. Gejala ini dirasakan berhari-hari hingga berbulan-bulan.9-10, 13-14
Labirinitis
Gejala yang timbul pada labirinitis lokalisata merupakan hasil dari gangguan
fungsi vestibular dan gangguan koklea yaitu terjadinya vertigo dan kurang
pendengaran derajat ringan hingga menengah secara tiba-tiba. Pada sebagian besar
kasus, gejala ini dapat membaik sendiri sejalan dengan waktu dan kerusakan yang
terjadi juga bersifat reversible. Pada labirinitis difusa (supuratif), gejala yang timbul
sama seperti gejala pada labirinitis lokalisata tetapi perjalanan penyakit pada
labirinitis difusa berlangsung lebih cepat dan hebat, didapati gangguan vestibular,
vertigo yang hebat, mual dan muntah dengan disertai nistagmus. Gangguan
pendengaran menetap, tipe sensorineural. Pada pemeriksaan telinga tampak perforasi
membrana timpani.
Pada labirinitis viral, penderita didahului oleh infeksi virus seperti virus
influenza, virus mumps, timbul vertigo, nistagmus kemudian setelah 3-5 hari keluhan
ini berkurang dan penderita normal kembali. Pada labirinitis viral biasanya telinga
yang dikenai unilateral.11, 15
G. Patofisiologi
Meniere’s Disease
Patologi utama dari Meniere disease adalah distensi dari sistem endolimfatik
karena peningkatan volume endolimfe. Beberapa teori:16
9
1. Gangguan absorpsi oleh kantung endolimfatik karena iskemia. Distensi dari
labirin membranosa menyebabkan rupture membran Reissner yang
menyebabkan pencampuran dari perilimfe dengan endolimfe yang
menyebabkan vertigo
2. Gangguan vasomotor. Etiologi ini adalah terdapat aktivitas berlebih simpatis
yang menyebabkan spasme arteri auditori interna dan cabangnya yang
mengganggu fungsi dari koklea atau neuroepitelium sensori vestibular yang
menyebabkan penurunan pendengaran dan vertigo.
3. Anoxia stria vaskularis yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dengan
transudari dari cairan dan peningkatan produksi endolimfe
4. Alergi. Telinga dalam mengambil peran “shock organ” dan memproduksi
endolimfe berlebih. Lebih dari 50% dengan Meniere disease mempunyai alergi
inhalan atau makanan
5. Retensi sodium dan air
6. Hipotiroidisme
7. Autoimun
8. Infeksi bakteri
9. Viral
BPPV
Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis
semisirkularis tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain.
Pada pangkal setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar yakni
ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, yakni alat untuk mendeteksi gerakan
cairan dalam kanalis semisirkularis akibat gerakan kepala. Sebagai contoh, bila
seseorang menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka cairan dalam kanalis
semisirkularis kanan akan tertinggal sehingga kupula akan mengalami defleksi ke
arah ampula. Defleksi ini diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak
sehingga timbul sensasi kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam
kanalis semisirkularis akan mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi kupula ke
arah sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan
sinyal yang tidak sesuai dengan arah gerakan kepala, sehingga timbul sensasi berupa
vertigo.
10
Terdapat 2 teori yang menjelaskan patofisiologi BPPV, yakni teori
kupulolitiasis dan kanalolitiasis.
1. Teori Kupulolitiasis
Kupulolitiasis adalah adanya partikel yang melekat pada kupula krista
ampularis. Schuknecht menemukan partikel basofilik yang melekat pada kupula
melalui pemeriksaan fotomikrografi. Dengan adanya partikel ini maka kanalis
semisirkularis menjadi lebih sensitif terhadap gravitasi. Teori ini dapat dianalogikan
sebagai adanya suatu benda berat yang melekat pada puncak sebuah tiang. Karena
berat benda tersebut, maka posisi tiang menjadi sulit untuk tetap dipertahankan pada
posisi netral. Tiang tersebut akan lebih mengarah ke sisi benda yang melekat. Oleh
karena itu kupula sulit untuk kembali ke posisi netral. Akibatnya timbul nistagmus
dan pening (dizziness).
2. Teori Kanalitiasis
Teori ini dikemukakan olleh Epley pada tahun 1980. Menurutnya gejala BPPV
disebabkan oleh adanya partikel yang bebas bergerak (canalith) di dalam kanalis
semisirkularis. Misalnya terdapat kanalit pada kanalis semisirkularis posterior. Bila
kepala dalam posisi duduk tegak, maka kanalit terletak pada posisi terendah dalam
kanalis semisirkularis posterior. Ketika kepala direbahkan hingga posisi supinasi,
terjadi perubahan posisi sejauh 90°. Setelah beberapa saat, gravitasi menarik kanalit
hingga posisi terendah. Hal ini menyebabkan endolimfa dalam kanalis semisirkularis
menjauhi ampula sehingga terjadi defleksi kupula. Defleksi kupula ini
menyebabkan terjadinya nistagmus. Bila posisi kepala dikembalikan ke awal, maka
terjadi gerakan sebaliknya dan timbul pula nistagmus pada arah yang berlawanan.
Teori ini lebih menjelaskan adanya masa laten antara perubahan posisi kepala
dengan timbulnya nistagmus. Parnes dan McClure pada tahun 1991 memperkuat
teori ini dengan menemukan adanya partikel bebas dalam kanalis semisirkularis
poster. Saat melakukan operasi kanalis tersebut.
Bila terjadi trauma pada bagian kepala, misalnya, setelah benturan keras,
otokonia yang terdapat pda utikulus dan sakulus terlepas. Otokonia yang terlepas ini
kemudian memasuki kanalis semisirkularis sebagai kanalit. Adanya kanalit didalam
kanalis semisirkularis ini akan memnyebabkan timbulnya keluhan vertigo pada
BPPV. Hal inilah yang mendasari BPPV pasca trauma kepala.10, 13
11
Gambar. Patofisiologi BPPV
Labirinitis
Labirinitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Labirinitis terjadi sebagai
perluasan infeksi dari rongga telinga tengah melalui fistula tulang labirin oleh
kolesteatom atau melalui foramen rotundum dan foramen ovale tapi dapat juga timbul
sebagai perluasan infeksi dari meningitis bakteri melalui cairan yang menghubungkan
ruang subaraknoid dengan ruang perilimf di koklea, melalui akuaduktus koklearis
atau melalui daerah kribrosa pada dasar modiolus koklea.11
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Melalui anamnesis penyebab dari vertigo dapat dikenal pasti. Penyebab
vertigo dapat dibedakan dengan:10, 13
Dizziness
Fisiologik Patologik
1. Mabuk gerakan
2. Mabuk angkasa
3. Vertigo ketinggian Non-vestibular
Perifer Sentral
a. Labirin 1. Infark brainstem
1. BPPV 2. Tumor otak
12
2. Meniere’s 3. Radang otak
3. Ototoksik 4. Insufisiensi Arteri vetebro basilar
4. Labirintitis 5. Epilepsi
b. Saraf vestibuler 6. MS
1. Neuritis
2. Neuroma acustikus
2. Pemeriksaan Fisik
Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan sistemik,
otologik atau neurologik – vestibuler atau serebeler; dapat berupa pemeriksaan
fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi
serebelum.
Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan
penyebab; apakah akibat kelainan sentral – yang berkaitan dengan kelainan
susunan saraf pusat – korteks serebri, serebelum, batang otak, atau berkaitan
dengan sistem vestibuler/otologik
Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus menentukan bentuk
vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi
kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai. Pemeriksaan fisik diarahkan
ke kemungkinan penyebab sistemik; tekanan darah diukur dalam posisi berbaring,
duduk dan berdiri; bising karotis, irama (denyut jantung) dan pulsasi nadi perifer
juga perlu diperiksa.17
13
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada:
1. Fungsi vestibuler/serebeler
a. Uji Romberg: Tes romberg digunakan untuk menilai propioseptif yang
menggambarkan sehat tidaknya fungsi kolumna dorsalis pada medula
spinalis. Pada pasien ataxia (kehilangan koordinasi motorik) tes romberg
digunakan untuk menentukan penyebabnya, apakah murni karena defisit
sensorik/propioseptif, ataukah ada gangguan pada serebelum. Pasien
ataxia dengan gangguan serebelum murni akan menghasilkan tes romberg
negatif. Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula
dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi
demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak
dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau
suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan
penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi,
pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan
serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka
maupun pada mata tertutup.
14
satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan
menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang
melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan
bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya
naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
15
Uji Dix Hallpike
Secara cepat gerakkan pasien ke belakang (dari posisi duduk ke posisi terlentang).
Kepala harus menggantung ke bawah dari meja periksa kemudian cepat cepat
kepala disuruh menengok ke kiri atau ke kanan (pertahankan 10-15 detik).
Perhatikan adanya nistagmus; lakukan uji ini ke kanan dan kiri kemudian
kembali ke posisi duduk dan perhatikan kembali nistagmus (10-15 detik).1
Fungsi Pendengaran
16
a. Tes garpu tala yaitu dengan Rinne dan Weber. Pada pemeriksaan
Rinne perlu dicari tahu apakah gangguan pendengaran yang
dirasakan pasien karena konduktif atau sensorik. Pada pemeriksaan
bisa didapatkaan adanya penurunan lama pendengaran pada
konduksi udara dan konduksi tulang. Setelah pasien mengatakan
suara hilang, pemeriksa perlu mengecek dengan mendekatkan garpu
tala ke telinga pemeriksa untuk melihat apakah masih terjadi getaran
pada garpu tala. Pada MD, gangguan pendengaran yang terjadi
bersifat sensorik. Pada pemeriksaan Weber, perlu diperhatikan
apakah adanya suara yang lebih lemah pada salah satu sisi telinga.
Pada gangguan pendengaran sensorik, pasien akan mengeluh suara
lebih kecil pada telinga yang terganggu sehingga suara akan
terdengar lebih keras pada telinga yang normal. Pemeriksaan ini
memiliki kelemahan dimana pada pasien dengan gangguan
pendengaran yang ringan atau pasien dengan gangguan pendengaran
bilateral hasilnya sulit dinilai.
b. Audiometri. Pada MD, pemeriksan audiometri dapat memberikan
gangguan pendengaran pada frekuensi rendah. Pada masa awal
penyakit, audiometri masih memberikan gambaran normal, pada
kelanjutannya dapat dilihat adanya gangguan pada frekuensi rendah
yang fluktuatif. Pada fase lanjut gambaran audiometri akan menjadi
permanen.18
4. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan pemeriksaan lain sesuai
indikasi.
o Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
o Neurofisiologi:Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG),
Brainstem Auditory Evoked Pontential (BAEP).
o Pencitraan: CT Scan, Arteriografi, Magnetic Resonance Imaging (MRI).18
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan vertigo bergantung pada lama keluhan dan ketidaknyamanan
akibat gejala yang timbul serta patologi yang mendasarinya. Pada vertigo, beberapa
tindakan spesifik dapat dianjurkan untuk mengurangi keluhan vertigo. Pada penyakit
17
Meniere, misalnya, pengurangan asupan garam dan penggunaan diuretik disarankan
untuk mengurangi tekanan endolimfatik. Untuk BPPV (benign paroxysmal positional
vertigo), dapat dicoba dengan “bedside maneuver” yang disebut dengan “Epley
particle repositioning maneuver”.19
Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga pengobatan suppresant vestibular
yang digunakan adalah golongan benzodiazepine (diazepam, clonazepam) dan
antihistamine (meclizine, difenhidramin). Selebihnya terapi dapat diberikan secara
simptomatik.20
Selain itu dapat dicoba metode-metode dibawah ini sebagai upaya desensitisasi
reseptor semisirkularis:
a. Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.
Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 450, lalu
pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu
kepala ditolehkan 900 ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi
lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien
mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara
perlahan.
18
Gambar. Manuver Epley
a. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan
posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala
dimiringkan 450 ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi
berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo
dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang
berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk lagi.
19
ini juga dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat
menjadi kebiasaan.21
20
b. Intermittent low pressure pulse therapy. Telah diteliti sebelumnya bahwa
pemberian tekanan positif pada cairan dalam telinga tengah dapat meredakan
gejala penyakit Meniere's seperti vertigo, tinnitus, rasa penuh ditelinga, juga
perbaikan pada pendengaran. Tekanan positif secara intermittent positive
disalurkan melalui alat bernama Meniett device dan sudah diakui FDA.16
21
BAB III
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. AA
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Telaga Harapan
Pendidikan : SMA
Status Pernikahan : Belum Menikah
Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
Tanggal Masuk RS : 7 Januari 2020
B. Anamnesis
Keluhan Utama: Mual dan muntah
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mual dan muntah semenjak 1 hari SMRS, muntah
berisi makanan dan air, tidak ada darah (-). Muntah sebanyak >5kali. Muntah
didahului dengan rasa pusing berputar yang timbul tiba-tiba dan diperparah dengan
perubahan posisi. Pusing berputar dirasakan hilang timbul dengan frekuensi 3-5 kali
dalam sehari dan sekali serangan rata-rata kurang dari 1 menit dengan serangan
terlama mencapai kurang lebih 2 menit. Pasien merasa nyaman atau pusing
berkurang bila pasien tiduran dengan memejamkan mata.
Pasien juga mengeluhkan telinga kanan berdenging cukup keras dan
pendengarannya sedikit berkurang sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit
(SMRS). Telinga kanan juga terasa penuh terus-menerus tetapi tidak nyeri. Sebelum
keluhan tersebut muncul, telinga pasien sempat kemasukan air saat sedang bermain
pistol air dengan adiknya. Setelah itu pasien mengeluarkan air dan tidak merasakan
ada keluhan hingga 2 hari kemudian keluhan muntah dan pusing berputar muncul.
Mengorek telinga (-). Keluhan demam, batuk, nyeri perut, nyeri kepala, nyeri leher,
pandangan kabur, dan trauma kepala disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.
22
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat penyakit maag (+). Pasien tidak memiliki riwayat
gangguan pendengaran dan tidak memiliki riwayat nyeri kepala menahun. Riwayat
flu-pilek dalam 1 bulan terakhir (-). Riwayat trauma, cedera kepala, kejang
disangkal. Riwayat penyakit lain seperti anemia, jantung, paru, hipertensi, hipotensi
di sangkal. Riwayat pengobatan anti kejang, obat ototoksik, obat tidur juga
disangkal. Riwayat alergi disangkal.
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit DM, jantung, dan hipertensi disangkal.
4. Riwayat Personal Sosial
Riwayat merokok, alcohol, obat-obatan terlarang disangkal.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Kuantitatif : E4M6V5
Kualitatif : Compos Mentis
3. Tanda Vital
a. Suhu : 36.9°C
b. Nadi : 72 kali per menit. Reguler.
c. Pernapasan : 20 kali per menit
d. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
e. Sp02 : 99%
4. Status Generalis
a. Kepala
1) Bentuk : Mesocephal
2) Mata : Palpebra tidak edema, konjungtiva palpebra dan konjungtiva
bulbi tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ditemukan eksoftalmus,
anemis, reflek cahaya positif pada kedua mata dan pupil bulat isokor.
Nistagmus (+).
3) Telinga:
Aurikula sinistra:
a. Aurikula : bentuk normal, tidak tampak kelainan.
b. Pre Aurikula : nyeri tekan tragus (-), tidak tampak kelainan
23
c. Retro aurikuler : nyeri tekan mastoid (-), tidak tampak kelainan
d. Liang telinga : kanal lapang, benda asing (-), serumen (-) ,
sekret (-)
e. Membran timpani : tidak dilakukan
Aurikula dextra:
a. Aurikula : bentuk normal, tidak tampak kelainan.
b. Pre Aurikula : nyeri tekan tragus (-), tidak tampak kelainan
c. Retro aurikuler : nyeri tekan mastoid (-), tidak tampak kelainan
d. Liang telinga : kanal lapang, benda asing (-), serumen (+),
sekret (-)
e. Membran timpani : tidak dilakukan
2) Mulut : bibir tidak sianosis, tidak tampak bibir kering, tidak terdapat
gusi berdarah, mukosa mulut kering, pembesaran tonsil tidak ada.
b. Leher
Trachea letak tengah, tidak ada peningkatan, tidak ada pembesaran KGB,
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
c. Thorax dan Pulmo
1) Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan dinding dada kanan dan kiri
simetris, tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada retraksi dinding dada.
2) Palpasi : vokal fremitus paru kanan sama dengan paru kiri, tidak ada
krepitasi, tidak terdapat nyeri tekan pada dada.
3) Perkusi : suara sonor pada seluruh lapang paru.
4) Auskultasi : suara dasar vesikuler pada paru-paru kanan dan kiri, tidak
ditemukan wheezing.
d. Cor
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
2) Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
3) Perkusi : batas jantung normal
4) Auskultasi : Bunyi jantung I > II murni , irama regular, murmur (-), gallop
(-).
e. Abdomen
1) Inspeksi : Datar, tidak tampak distensi, tidak ada jejas
2) Auskultasi : Bising usus normal
3) Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), tidak teraba massa
24
4) Perkusi : Tympani pada keempat kuadran abdomen
f. Ekstremitas : akral hangat, tidak ditemukan edema, tidak ditemukan tanda
sianosis.
5. Pemeriksaan Neurologis
a. Nervus Cranialis
1. N.I ( Olfaktorius)
Daya penghidu : Normosmia Normosmia
2. N II (Opticus)
Ketajaman penglihatan : Baik Baik
Pengenalan warna : Tidak dilakukan
Lapang pandang : Baik Baik
Funduscopy : Tidak dilakukan
3. N III, IV, VI (Oculamotorius, Trochlearis, Abducens)
Ptosis : (-) (-)
Strabismus : (-) (-)
Gerakan bola mata:
Lateral : (+) (+)
Medial : (+) (+)
Atas : (+) (+)
Bawah : (+) (+)
Pupil
Ukuran pupil : Ǿ3 mm Ǿ3mm
Bentuk pupil : bulat bulat
Isokor/anisokor: isokor
Rf cahaya langsung : (+) (+)
Rf cahaya tdk langsung: (+) (+)
4. N V (Trigeminus)
Menggigit : (+)
Membuka mulut : Simetris
Sensibilitas Atas : (+) (+)
Tengah : (+) (+)
Bawah : (+) (+)
25
5. N VII (Facialis)
Mengerutkan dahi : simetris kanan dan kiri
Mengerutkan alis : simetris kanan dan kiri
Menutup mata : simetris kanan dan kiri
Meringis : simetris kanan dan kiri
Menggembungkan pipi : simetris kanan dan kiri
6. N. VIII ( Vestibulocochlear )
Tes pendengaran rinne, weber, schwabach: tidak dilakukan
Dix-Hallpike: tidak dilakukan
Mendengarkan suara gesekan jari tangan : (+) (+)
Lebih jelas terdengar pada telinga kiri
7. N. IX ( Glossopharyngeus )
Arcus pharyng : simetris
Posisi uvula : Di tengah
8. N.X ( Vagus )
Denyut nadi : teraba,reguler
Arcus faring : simetris
Bersuara : normal
Menelan : tidak ada gangguan
9. N. XI ( Accesorius )
Memalingkan kepala : normal
Sikap bahu : simetris
Mengangkat bahu : dapat dilakukan
10. N.XII ( Hipoglossus )
Menjulurkan lidah : simetris
Atrofi lidah : tidak ada
Artikulasi : jelas
Tremor lidah : tidak ada
b. Motorik
Kekuatan : 5 5
5 5
26
c. Reflek Fisiologis
Refleks Biseps : (++) normal (++) normal
Refleks Triseps : (++) normal (++) normal
Refleks Patella : (++) normal (++) normal
Refleks Achilles : (++) normal (++) normal
d. Refleks Patologis : kanan kiri
Hoffmann Tromner : (-) (-)
Babinzki : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schaefer : (-) (-)
Rosolimo : (-) (-)
Mendel Bechterew : (-) (-)
e. Fungsi vestibuler/ serebelar
Uji Romberg :+
Tandem Gait : tidak dilakukan
Past-pointing Test : tidak dilakukan
D. Pemerikasaan Penunjang
Darah Rutin
27
E. Diagnosis Kerja
Vertigo Perifer ec. Meniere’s disease
F. Diagnosis Banding
BPPV
Labirinitis
G. Penatalaksanaan
IVFD Ringer Laktat 500cc/8jam
Inj. Ondancentron 3x4mg
Inj. Omeprazole 2x40mg
Betahistin 3 x 12mg
Flunarizine 2x5mg
Sucralfat syr 4x1cth
H. Follow Up
Tanggal Subjective Objective (O) Assessment Plan (P)
(S) (A)
28
-Ekstremitas : Akral -mecobalamin 2x1
hangat, edema -/-
-Sucralfat syr
4x1cth
29
-Pulmo : ves +/+, rh -/-, -cefixime 2x200mg
wh -/-
-mecobalamin 2x1
-Abdomen : Datar,
supel, BU (+), NTE (-),
tympani -Sucralfat syr
4x1cth
-Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/-
30
BAB IV
ANALISA KASUS
• Pasien datang dengan keluhan mual dan • Meniere disease menyerang terutama
muntah semenjak 1 hari SMRS. Muntah predominan pada pria dibandingkan
didahului dengan rasa pusing berputar wanita. Umumnya penyakit bersifat
yang timbul tiba-tiba dan diperparah unilateral.
dengan perubahan posisi. Pusing • Pada saat serangan biasanya terdapat
berputar dirasakan hilang timbul dengan trias Meniere yaitu vertigo, tinitus, dan
frekuensi 3-5 kali dalam sehari dan gangguan pendengaran. Biasanya
sekali serangan rata-rata kurang dari 1 terdapat adanya suatu periode rasa penuh
menit dengan serangan terlama atau tertekan pada telinga yang
mencapai kurang lebih 2 menit. dirasakan penderita selama berjam-jam,
• Pasien juga mengeluhkan telinga kanan berhari-hari, atau berminggu-minggu.
berdenging cukup keras dan Namun sensasi ini sering terlupakan
pendengarannya sedikit berkurang sejak karena adanya serangan vertigo yang
2 hari sebelum masuk Rumah Sakit hebat yang timbul tiba-tiba disertai mual
(SMRS). Telinga kanan juga terasa dan muntah.
penuh tetapi tidak nyeri. Keluhan • Berikut ini dikemukakan penyebab yang
demam, batuk, nyeri perut, nyeri kepala, sering dijumpai:
nyeri leher, pandangan kabur, dan Vertigo jenis perifer :
trauma kepala disangkal. BAB dan BAK 1. Vertigo posisional benigna
dalam batas normal. 2. Penyakit Meniere
• Riwayat pengobatan anti kejang, obat 3. Labirinitis
ototoksik, obat tidur juga disangkal. 4. Trauma
Riwayat alergi disangkal. Riwayat 5. Obat-obatan
penyakit DM, jantung, dan hipertensi Vertigo jenis sentral :
disangkal. 1. Stroke batang otak, atau TIA
vertebrobasiler
2. Trauma
3. Infark di batang otak/serebelum
• Pada pemeriksaan fisik romberg test (+). • Pada pasien ataxia (kehilangan
31
koordinasi motorik) tes romberg
• Pemeriksaan gesekan jari: + di kedua digunakan untuk menentukan
telinga, akan tetapi ada penurunan penyebabnya, apakah murni karena
pendengaran pada telinga kanan. defisit sensorik/propioseptif, ataukah ada
• Pemeriksaan tes garpu tala dan otoskopi gangguan pada serebelum. Pasien ataxia
tidak dilakukan karena keterbatasan alat, dengan gangguan serebelum murni akan
• Motorik dalam batas normal. menghasilkan tes romberg negatif.
• Tidak ditemukan trauma, penurunan • Pada MD diperlukan pemeriksaan fungsi
kesadaran, kejang, ataupun kelemahan pendengaran seperti tes garpu tala dan
anggota gerak. audiometri. Pada tes garpu tala
menunjukkan adanya sensorineural
Saran: pemeriksaan tes garpu tala dan
hearing loss (+).
otoskopi.
• Pada labirinitis sering ditemukan adanya
perforasi membran timpani.
• Sistem motoric dalam batas normal
sehingga melemahkan ke arah vertigo
sentral.
• Tidak ditemukan gejala yang biasanya
menyertai vertigo sentral seperti trauma,
penurunan kesadaran, kejang, ataupun
kelemahan anggota gerak.
32
• Pada MD, pemeriksaan audiometri dapat
memberikan hasil adanya gangguan
pendengaran pada frekuensi rendah.
DAFTAR PUSTAKA
33
1. Reinhard Rohkamm MD. Color Atlas of Neurology. Rüdigerstrasse 14, 70469 Stuttgart,
Germany: Georg Thieme Verlag; 2004. 58-9 p.
2. Mazzoni PP, Toni Shih; Rowland, Lewis P. Merritt's Neurology Handbook, 2nd Edition:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. 34,5 p.
3. Dhingra P. Disease of ear, nose and throat. 4th ed. New Delhi: Elsevier; 2012.
4. Gulya AJ. Infections of the Labyrinth. In : Bailey BJ, ed. Head and Neck Surgery-
Otolaryngology, Second edition, Lippincott-Raven Publishers, Hamilton, Ontario, 1998 :
2137-8
5. Frank H. Netter MD. Atlas of Human Anatomy. 5th edition ed. United State Of America:
Saunders; 2011. 95 p.
6. Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. 7th Edition ed: Yolanda Cossio;
2010. 224-6 p.
7. Gerard J. Tortora BD. Principles of Anatomy & Physiology. 13th Edition ed. United
States of America: John Wiley & Sons, Inc.; 2012. 659-70 p.
8. Da Cruz M. Meniere Disease a stepwise approach. Medicine Today. 2014; 15(3): 18-26.
9. Larry E. Davis MD, Molly K. King, M.D., Jessica L. Schultz, M.D. Fundamentals of
Neurologic Disease. 386 Park Avenue South, New York, New York 10016: Demos
Medical Publishing, Inc; 2005. 212-7 p.
10. Thomas Brandt MD, Michael Strupp. Vertigo and Dizziness Common Complaints.
United States of America: Springer-Verlag London Berlin Heidelberg; 2004. 41-53 p.
11. Buchman CA, Levine JD, Balkany TJ. Infections of the Ear. In : Lee KJ, ed. Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. Eight edition. McGraw-Hill Companies, Inc.,
USA, 2003 : 495-7
12. Bashiruddin, J. dan Entjep H., , 2010. Penyakit Meniere. Dalam: Soepardi, E.A., et al., ed.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI,102-103.
13. Li J. Benign paroxysmal positioning vertigo.; Diakses dari :
http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview#a0104.
14. Walter G. Bradley DM, F.R.C.P et all. Neurology in Clinical Practice Principles of
Diagnosis and Management. Fourth Edition ed: Elsevier Inc; 2004
15. Gross ND, McMenomey SO. Aural Complications of Otitis Media. In : Glasscock –
Gulya, ed. Glasscock – Shambaugh Surgery of the Ear. Fifth edition. WB Saunders
Company, Hamilton, 2003 : 437-8
16. Heyning PH, Falck CFJ, Boudewyn A, et al. Meniere disease. B-ENT. 2007; 3(6): 11-20
17. Wyatt RJ. American Lecture of Meniere Disease. Ear Institute of Chicago.
18. Escamez JA, Carrey J, Chung WH, et al. Diagnostic Criteria for Meniere Disease. Journal
of Vestibular Research. 2015; 25: 1-7
19. Chain, TC.2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness
and Vertigo. Illnois: wolter kluwerlippincot William and wilkins)
20. Bhattacharyya N BFR, Orvidas L. Clinical practice guideline: Benign paroxysmal
positional vertigo. American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery
Foundation. 2008;139:47-81.
21. Bittar et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Diagnosis and Treatment.
International Tinnitus Journal 2011;16(2):135-45.
22. Leveque et al. Surgical Therapy in Intrctable Benign Paroxysmal Positional Vertigo.
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2007;136:693-8.
34