Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN PADA NY.

N (53 TAHUN) DENGAN


DIAGNOSA MEDIS SKIZOFRENIA DI PANTI REHABILITASI BUMI
KAHEMAN
SOREANG KABUPATEN BANDUNG

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas stase Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing : Shella Febrita Puteri Utomo, M. Kep

Disusun Oleh :
Pipit Septiawati
402021063
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
2021

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Skizofrenia
A. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah sindrom klinis dengan berbagai psikopatologi, biasanya
parah, berlangsung lama dan korban dapat diidentifikasi dengan penyimpangan dari
pikiran mereka, persepsi dan emosi. (Annisa, 2018)
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama
dalam pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu, dimana berbagai
pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru
afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas motorik yang
bizzare (perilaku aneh), pasien skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan,
sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi.
(Davidson, 2006 dalam Eni, 2018)
Dari kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah
sindrom klinis dengan berbagai psikopatologi yang ditandai dengan gangguan utama
dalam pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu dimana berbagai
pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru
afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas motorik yang
bizzare (perilaku aneh), berlangsung lama, sering kali masuk ke adalam kehidupan
fantasi yang pebnuh delusi dan halusinasi.
B. Faktor Presipitasi dan Predisposisi
Sindrom gejala yang kompleks pada skizofrenia memunculkan berbagai
faktor tentang etiologi gangguan skizofrenia :
1. Faktor predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon
neurobiologi seperti:

a. Faktor genetik
Sebagai besar penelitian mengindikasikan hubungan genetik dan pola
familial. Semakin dekat hubungan darah dengan individu yang
menderita skizofrenia, semakin tinggi risiko genetik terhadap skizofrenia.
Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak kembar
yang menunjukkan bahwa kembar identik (kembar monozigot) berisiko
mengalami gangguan skizofrenia sebesar 50%, sedangkan kembar
fraternal (kembar dizigot) berisiko hanya 15%. Hal ini mengindikasikan
bahwa skizofrenia sedikit diturunkan. Penelitian penting lain menunjukan
bahwa anak-anak yang memiliki satu orang tua biologis penderita
skizofrenia memiliki resiko 15%, angka ini meningkat sampai 35%
jika kedua orang tua biologis menderita skizofrenia (Videbeck, 2011).
b. Faktor struktur dan fungsi otak (neuroanatomi)
Hipotesis perkembangan saraf dalam perkembangan skizofrenia
didasarkan pada observasi skizofrenia pada bayi yang terpajan dengan
infeksi virus pada trimester kedua serta tanda neurologis ringan yang
ditemukan ketika mengevaluasi klien skizofrenia. Faktor perkembangan,
struktur saraf, biokimia, dan lingkungan mempengaruhi kemampuan
individu dalam memproses informasi. Masalah dalam memfokuskan
perhatian, mengkaji stimulus, dan menetapkan makna afek terhadap
pengalaman dapat menggangu kognisi dan menghambat kemampuan
berinteraksi secara afektif dengan lingkungan. Faktor hambatan dalam
memproses informasi terus terjadi karena ketidakmampuan memodulasi
stresor biologis (O’Brien, 2013).
c. Faktor neurotransmiter (neurokimia)
Penurunan aktivitas lobus frontal pada klien skizofrenia dianggap berkaitan
dengan penurunan aktivitas glutamatergik dan dengan gejala negatif serta
defisit kognitif. Peningkatan aktivitas dopamin mesolimbik
diperkirakan berkaitan dengan efek farmakologis obat antipsikotik
dalam memblok dopamin dan pengaruh obat tersebut pada berbagai
sistem neurotransmiter (Kaplan, 2010).

d. Faktor psikososial
Menurut teori psikoanalisis, kerusakan yang menentukan penyakit mental
adalah gangguan dalam organisasi ‘ego’. Gangguan ini terjadi sebagai
akibat distorsi dalam hubungan timbal balik antara bayi dan ibunya,
dimana si anak tidak dapat berkembang melampui fase oral dari
perkembangan jiwanya. Didapati juga bahwa penderita
skizofrenia tidak pernah dapat mencapai hubungan yang erat dengan
ibunya pada masa bayinya. Beberapa psikoanalisis beranggapan
bahwa gangguan pada fungsi ego seseorang dapat menyebabkan
perasaan bermusuhan. Distorsi hubungan ibu-bayi ini kemudian
mengakibatkan terbentuknya suatu kepribadian yang peka terhadap
stress. Teori psikoanalis beranggapan bahwa berbagai gejala
skizofrenia mempunyai arti simbolik untuk si penderita secara
individu (Simanjutak, 2008).

2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi disebut juga faktor pencetus respon neurobiologis
meliputi :
a. Lingkungan
Faktor lingkungan yang menjadikan pencetus terjadinya
skizofrenia lingkungan yang mempengaruhi atau menimbulkan
penyakit diantara lain: ekonomi, pendidikan, masalah rumah tangga,
kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup, pola
aktivitas sehari-hari, kesukaran berhubungan dengan orang lain,
isolasi sosial, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, stigmasiasi,
kemiskinan, kurangnya alat transportasi dan ketidakmampuan
mendapatkan pekerjaan (Simanjutak, 2008).
b. Sikap atau perilaku
Sikap atau perilaku juga menjadikan pencetus skizofrenia karena sikap
atau perilaku timbul terdapat merasa tidak mampu, tekanan psikologis,
putus asa, merasa gagal, kehilangan kendali diri (demoralisasi),
merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut, merasa
malang, dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan
sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidak adekuatan
pengobatan dan ketidak adekuatan penanganan gejala stresor seseorang
terpaksa mengadakan adaptasi (penyesuain diri) untuk menanggulangi
stresor (tekanan) yang timbul. Namun, tidak semua orang mampu
mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga
dampak dari stresor yang ada berdampaklah seseorang terkena
skizofrenia (Hawari, 2012).
Dari penyebab skizofrenia diatas dapat disimpulkan bahwa
skizofrenia sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab
skizofrenia secara pasti. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan
mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang menjadikan
manifestasi atau faktor pencetus ataup resipitasi faktor seperti
penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya bisa menyebabkan
skizofrenia (Maramis, 2009).
C. Etiologi Skizofrenia
National Health Service (NHS) (2012) dalam Novitayani (2017) menyatakan
bahwa skizofrenia dapat dialami oleh seseorang karena adanya multiple faktor
penyebab. Diantara faktor multiple itu dapat disebut :
Etiologi skizofrenia terdiri dari : faktor-faktor biologik, psikososial dan
genetik.
1. Faktor-faktor biologik
a. Neurokimiawi otak
1) Hipotesis dopamin
Formulasi paling sederhana dari hipotesis dopamin skizofrenia
menyatakan skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang
berlebihan. Teori dasar ini tidak mengelaborasi apakah hiperaktivitas
dopaminergik itu sehubungan dengan terlalu banyak pelepasan
dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, hipersensitivitas reseptor
dopamin terhadap dopamin atau kombinasi dari mekanisme-
mekanisme ini.
2) Hipotesis serotonin
Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai
penyebab gejala positif dan negatif pada skizofrenia.
3) Hipotesis gamma-aminobutiryc acid (GABA)
Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc
acid (GABA) dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan
pada penemuan bahwa beberapa pasien skizofrenia mempunyai
kehilangan neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus. GABA
memiliki efek regulatory pada aktivitas dopamin, dan kehilangan
neuron inhibitory GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas
neuron-neuron dopaminergik.
4) Hipotesis glutamat
Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu
mantagonis glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa
dengan skizofrenia.
5) Hipotesis degeneratif saraf (neurodegenerative hypothesis)
Sejumlah proses degeneratif saraf dihipotesiskan, berkisar dari
apoptosis abnormal yang diprogram secara genetik, degenerasi dari
neuron-neuron yang kritis, pemaparan prenatal terhadap anoksia,
toksintoksin, infeksi atau malnutrisi, proses kehilangan neuronal yang
dikenal sebagai excitotoxicity akibat aksi berlebihan dari
neurotransmiter glutamat. Jika neuron- neuron tereksitasi ketika
memperantarai gejala-gejala positif, kemudian mati akibat proses
toksik yang disebabkan neurotransmisi excitatory yang berlebihan, ini
membawa ke stadium residual burn out dan gejal-gejala negatif.
6) Hipotesis perkembangan saraf (neurodevelopmental hypothesis)
Banyak teori-teori tentang skizofrenia menyatakan gangguan ini
berasal dari abnormalitas dalam perkembangan otak. Sebagian
menyatakan bahwa problem didapatkan dari lingkungan otak janin.
Skizofrenia dapat berawal dengan proses degeneratif yang didapat
yang berpengaruh dengan perkembangan saraf. Sebagai contoh
skizofrenia meningkat pada orang-orang dengan riwayat semasa janin
mengalami komplikasi obstetrik saat dalam kehamilan ibu, berkisar
dari infeksi virus, kelaparan, proses autoimun dan masalah-masalah
lain yang menyebabkan gangguan pada otak di awal perkembangan
janin, dapat berkontribusi terhadap penyebab skizofrenia. Faktor-
faktor ini juga akhirnya dapat mengurangi faktor-faktor pertumbuhan
saraf dan merangsang proses-proses tetentu yang membunuh neuron-
neuron yang kritis, seperti sitokin, infeksi virus, hipoksia, trauma,
kelaparan atau stres.
7) Elektrofisiologi
Studi-studi elektrofisiologi menunjukkan bahwa banyak pasien
skizofrenia mempunyai rekaman elektrofisiologik abnormal,
peningkatan sensitivitas terhadap prosedur aktivasi (aktivitas spike
yang sering setelah kurangnya tidur, penurunan aktivitas alfa,
peningkatan aktivitas theta dan delta).
8) Psikoneuroimunologi
Sejumlah abnormalitas berkaitan dengan skizofrenia, mencakup
penurunan produksi T-cell interleukin-2, pengurangan jumlah dan
respons limfosit perifer, reaktivitas humoral dan seluler abnormal
terhadap neuron, adanya antibodi brain-directed (antibrain).
9) Psikoneuroendokrinologi
Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin pada
pasien skizofrenia dan kelompok kontrol. Contohnya: abnormalitas
dexamethason suppression test, penurunan luteinizing hormone dan
follicle-stimulating hormone.
b. Faktor psikososial
1) Teori psikoanalitik
Sigmund Freud menyatakan skizofrenia berasal dari
perkembangan yang terfiksasi. Fiksasi ini mengakibatkan defek pada
perkembangan ego dan defek-defek ini memberikan kontribusi
terhadap gejala-gejala skizofrenia.
2) Dinamika keluarga
Sejumlah pasien skizofrenia berasal dari keluarga-keluarga yang
disfungsi. Perilaku keluarga patologis dapat meningkatkan stres
emosional yang merupakan hal yang rentan pada pasien skizofrenia
untuk mengatasinya. Dinamika keluarga tersebut berupa double bind
communication, schisms and skewed family, pseudomutual dan
pseudohostile families, dan emosi yang diekspresikan secara tinggi.
c. Faktor genetik
Terdapat kontribusi genetik pada sebagian atau mungkin semua
bentuk skizofrenia, dan proporsi yang tinggi dari variasi dalam
kecenderungan skizofrenia sehubungan dengan efek genetik. Risiko
menderita skizofrenia sebesar 1% pada populasi umum jika tidak ada
keluarga yang terlibat. Bila salah satu orang tua menderita skizofrenia
maka insidens untuk menderita skizofrenia sebesar 12%. Insidens
skizofrenia pada kembar dizigotik jika salah satu menderita skizofrenia
sebesar 12%, pada kembar monozigotik sebesar 47%. Jika kedua orang tua
menderita skizofrenia insidensnya sebesar 40%.
D. Tipe Skizofrenia
Menurut Zahnia (2016), beberapa tipe skizofrenia yang
diidentifikasi berdasarkan variabel klinik menurut PPDGJ III antara lain
sebagai berikut:
1. Skizofrenia Paranoid

a. Memahami kriteria umum diagnosis skizofrenia.


b. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
1) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit
(whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).
2) Halusinasi pembauan atau pengecap rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tapi jarang
menonjol.

3) Waham dapat berubah hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan


(delusion of control), dipengaruhi (delusion ofinfluence), atau
“passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas.
c. Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala
katatonik relatif tidak ada.

2. Skizofrenia Hebefrenik

a. Memahami kriteria umum diagnosis skizofrenia.


b. Diangnosis hebefrenik untuk pertama kalinya hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)
c. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas pemalu dan senang
menyendiri, namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
d. Untuk diangosis hebefrenik umumnya yang meyakinkan umumnya
diperlukan pengamatan continue selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk
memastikan gambaran yang khas berikut ini memang bertahan:
1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan,
serta mennerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri
(solatary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa
perapasoensaan
2) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering
disertai cekikikan (giggling), atau perasaan puas diri (self- satisfied),
senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap tinggi hati
(lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme,
mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondriakal,
dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases)
3) Proses pikir mengalami disorganisasi, pembicaraan tak menentu
(rambling), inkoheren.
e. Gangguan afektif dan dorongan kehendak,serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri
khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of
purposed). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat
terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar
orang memahami jalan pikiran pasien.

3. Skizofrenia Katakonik

a. Memahami kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.


b. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya:
1) Stupor (amat berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau
aktivitas spontan) atau mutisme.
2) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli
eksternal).
3) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang wajar atau aneh);
4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan
kearah yang berlawanan).
5) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan dirinya).
6) Flexibilitascerea/”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak
dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
7) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat.
c. Pada pasien tidak komikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda
4. Skizofrenia tak terinci
Gejala tidak memenuhi kriteria skizofrenia paranoid, hebefrenik maupun katatonik.
5. Depresi pasca skizofrenia
Depresi setelah 1 tahun menderita skizofrenia, beberapa gejala skizofrenia masih
ada namun tidak lagi menonjol
6. Skizofrenia residual
Gejala negatif setelah 1 tahun menderita skizofrenia, dimana intensitas gejala nyata
waham dan hakusinasi telah sangat berkurang
7. Skizofrenia simpleks
Gejala negatif seperti pada residual namun tidak didahului diagnosis skizofrenia
sebelumnya (tanpa riwayat waham dan halusinasi yang jelas)
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia yang tak tergolongkan

E. Fase Skizofrenia
1. Fase Prodromal
a. Kemunduran dalam waktu lama (6 sampai 12 bulan) dalam tingkat fungsi
perawatan diri, sosial, waktu luang, pekerjaan, atau akademik.
b. Timbul gejala positif dan negatif.
c. Periode kebingungan pada klien dan keluarga.
2. Fase Aktif
a. Permulaan intervensi asuhan kesehatan, khususnya hospitalisasi.
b. Pengenalan pemberian obat dan modalitas terapeutik lainnya.
c. Perawatan difokuskan pada rehabilitasi psikiatrik saat klien belajar untuk
hidup denganpenyakit yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan
perilaku.
3. Fase Residual
a. Pengalaman sehari-hari dengan penanganan gejala.
b. Penguraian dan penguatan gejala.
c. Adaptasi.

F. Rentang respon Skizofrenia


G. Gejala Klinis Skizofrenia
Manifestasi klinis yang dapat dialami klien dapat dilihat pasda
tabel berikut ini. (Thrisna, 2020)
Gejala Positif Gejala Negatif
Delusi/ waham Alogia (kehilangan kemampuan
berpikir/ berbicara)
Halusinasi Perasaan/ emosi menjadi tumpul
Perilaku aneh, tidak terorganisir Avolition (kehilangan motivasi)
Bicara tidak teratur, topik melompat- Anhedonia/asosiality (kurangnya
lompat tidak saling berhubungan kemampuan untuk mearasakan
kesenangan, mengisolasi diri dari
kehidupan sosial)
Ilusi Tidak mampu berkonsentrasi

H. Patofisiologi
Patofisologi skizofrenia adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter di otak, terutama norepineprin, serotonin dan dopamin.
(Sadock, 2015). Namun, proses patofisiologi skizofrenia masih belum
diketahui secara pasti. Secara umum, beberapa penelitian menemukan
bahwa skizofrenia dikaitkan dengan penurunan volume otak, teuratam
bagian temporal (termasuk mediaotemporal), bagian frontal, termasuk
substansia alba dan grisea. Dari sejumlah penelitian ini, darah otak yang
secara konsisten menunjukkan kelainan adalah daerah hipokampus dara
hipokampus.
Pada penelitian neuroimaging penderita dengan skizofrenia,
ditemukan penurunan volume talamus dan deformitas thalamus,
abnormalitas pada nukleus vetrolateral.
I. Pathway

J. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan psikologi
a. Pemeriksaan psikiatrik
b. Pemeriksaan psikometri
2. Pemeriksaan lain juga diperlukan
Darah rutin, fungsi hepar, faal ginjal, enzim hepar, EKG, CT-Scan, EEG.
K. Pengobatan
1. Obat antispikotik memberi intervensi farmakologis untuk menangani gejala
skizoprenia akut dan kronik dengan meredakan agitasi psikomotor, agresi,
kegelisahan, dan insomnia.
2. Obat-obatan antispikotik dapat menurunkan halusinasi, waham, dan gangguan
pikiran setelah kadar terapeutik dalam darah tercapai.
3. Pengobatan menurunkan perilaku kacau dan dekstruktif (gejala positif) dna
memfasilitasi intervensi terapeutik lain yang mengatasi gangguan rasa diri dan
kurangnya hubungan dengan orang lain (gejala negatif). Obat-obatan
antispikotik yang tidak khas, klozapin (clorazile) dan risperidon (risperdal),
menawarkan beberapa perbaikan gejala positif maupun negatif. Oleh karena
itu, kombinasi psikoterapi dan terapi obat di rekomendasikan.
4. Monitor efek samping ekstrapiramidal pada klien karena pengobatan dengan
menggunakan antipsikotik dapat memblok reseptor dopamine pasca sinap di
otak. Blokade reseptor ini dapat menyebabkan pseudoparkinsonnisme dan efek
ekstrapiramidal lain, seperti diskinesia tardif. Untuk mengontrol efek samping
ini, banyak klien mendapatkan obat-obat anti parkinson.
Penanganan efek samping obat-obatan antipsikotik
Gejala spesifik Penatalaksanaan keperawatan
Efek antikolinergik
a. Mulut kering a. Minta klien untuk membawa
sebotol air dan minum
sesering mungkin,
mengunyah permen karet
bebas gula, menghisap
permen yang keras, atau
gunakan pengganti air liur
(seperti Xerolube)
b. Pandangan kabur a. Batasi klien untuk hanya
membaca buku yang
hurufnya besar-besar;
umumnya masalah teratasi
dengan waktu 2 minggu.
b. Kongesti hidung a. Efek ini biasanya teratasi
dalam 2 minggu, atau
gunakan dekongestan hidung.
b. Retensi urine atau tidak a. Pantau haluaran urine,
mampu memulai berkemih palpasi adanya distensi,
(urineri hentancy) pasang kateter jika perlu,
dapatkan sebuah intruksi
untuk menurunkan dosis obat
antipsikotik, dan tambahan
obat kolinergik seperti
betanicol (urecholine).
c. Konstipasi b. Tingkatkan asupan klien,
asupan serat, latihan, serta
dapatkan instruksi untuk
menggunakan pelunak fese
(laksatip).
d. Fotopobia c. Minta klien menggunakan
kacamata untuk menahan
sinar matahari.
e. Kekeringan mata d. Dorong klien untuk
mengedip atau meggunakan
air mata buatan.
f. Impotensi atau tidak mampu e. Kaji masalah, jelaskan
ejakulasi hubungan antara ansietas dan
fungsi seksual, yakinkan
klien bahwa gejala bisa puli
(refersibel) dan ringan, serta
konsulkan dengan dokter
untuk mengganti obat.
Gejala ekstrapiramidal
a. Pseudoparkinsonnisme; wajah a. Segera hubungin dokter,
seperti topeng; gaya berjalan yang mungkin mengganti
dengan menyeret kaki; tremor; obat, menurunkan dosis, atau
pergerakan pill-rolling meresepkan obat anti
(pergerakan jari tangan yang kolinergik, seperti
terlihat seperti tremor); postur benzoprine (cogenfin) atau
tubuh kaku dan bungkuk trihensifenidil (artane).
b. Reaksi distonia : spasme otot a. Temani klien dan jelaskan
pada berbagai otot yang dapat bahwa gejala ini akan
meliputi krisis okulogiri teratasi, dan dapatkan resep
(depiasi mata keatas untuk memberi obat anti
involunter), tortikolis (leher diskinetik, seperti
kaku yang menarik kepala difenhidramine (benadril)
kesatu sisi dan dagu kesisi atau obat anti kolinergik
berlawan), disfagia (kesulitan
menelan), spasme laring
b. Akatisia : kegelisahan motorik a. Segera hubungi dokter, yang
misalnya menggoyangkan mungkin mengganti obat,
badan atau menghentak- menurunkan dosisnya, atau
hentakkan kaki meresepkan obat
antikolinergik, seperti
benzoprine, trihensifenidil.
c. Diskinesia tardif (tardive b. Tidak ada penanganan untuk
diskinesia, TD) : sekumpulan TD. Klien menjalani
gerakan involunter yang terjadi scrinning untuk mengetahui
diakhir dimulai dari wajah, gejala TD paling sedikit
leher dan rahang (lidah setiap 3 bulan sebagai
terdorong, muka menyeringai, tindakan prefentif. Ajar
bibir mengecap-ngecap, tanda-tanda awal pada klien
mengunyah, dan mendengkur), dan seluruh keluarga. Putus
tetapi dapat berkembang ke obat mungkin tidak akan
anggota badan yang lain dan meredakan gejalanya.
seluruh tubuhnya.
Efek merugikan lain yang jarang terjadi
a. Sindrom neuroleptik maligna : a. Hentikan obat antispikotik,
ditandai dengan gejala dan dapatkan penanganan
ekstrapiramidal yang ekstrime, medis darurat untuk gejala-
hipertermia yang hebat, gejala seperti aritmia,
hipertensi, takikardia, dan dehidrasi, ketidak
inkontinensia seimbangan elektrolit,
spasme otot yang hebat, dan
hipertermia
b. Efek kardiak, seperti hipertensi a. Monitor tekanan darah dan
ortostatik dan takikardia frekuensi serta irama denyut
nadi, jelaskan pada klien
bagaimana cara menjuntaikan
kakiknya dan bangun
perlahan-lahan untuk
mencegah vertigo, segera
hubungi dokter yang dapat
menurunkan dosisnya
a. Sedasi b. Katakan kepada klien bahwa
sedasi akan berhenti, dorong
klien untuk berjalan
kesekeliling dan melakukan
aktivitas fisik, serta
konsultasikan pada dokter
untuk menggantikan obat
psikotik yang hanya sedikit
yang menyebabkan sedasi.
b. Peningkatan nafsu makan dan c. Dorong untuk melakukan
menghasilkan pertambahan olahraga dan makan makanan
berat badan yang rendah kalori, serta
pikiran perencanaan diet
untuk menurunkan berat
badan sementara tetap
mempertahankan nutrisi yang
optimal.
c. Perubahan endokrin, seperti d. Nilai kondisi klien dan
pembesaran payudara dan beritahu dokter tentang efek
pengurangan libido yang merugikan ini.
d. Ikterus kolekstatik : demam, e. Hentikan obat, beritahu
mual, letargik, dan nyeri dokter, pertahankan tirah
abdomen baring, berikan diet tinggi
karbohidrat, tingi protein,
dan monitor fungsi hati.
e. Agranurlositosis : demam, f. Hentikan obat, beritahu
radang tenggorokan, tidak enak dokter, periksa darah untuk
badan (malaise), sariawan, dan memeriksa apakah terdapat
gejala lain yang menyerupai agranurlositosis atau
flu. leukopeni; jika ada,
tempatkan klien dalam ruang
isolasi karena kondisi ini
mengancam jiwanya.

L. Terapi
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis sehingga untuk
pengobatannya memerlukan waktu yang panjang. Ada berbagai macam terapi yang
bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama
lain dan dengan jangka waktu yang relatif cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri
dari pemberian obat-obatan, psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada
skizofrenia meliputi: terapi lingkungan, terapi individu, terapi kelompok, terapi
keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan manajemen kasus
(Hawari, 2009).

Terapi psikososial mencakup berbagai metode untuk meningkatkan


kemampuan sosial, kecukupan diri, ketrampilan praktis, dan komunikasi
interpersonal pada pasien skizofrenia. Tujuannya adalah memungkinkan seseorang
yang sakit parah untuk membangun keterampilan sosial dan keterampilan pekerjaan
untuk hidup yang mandiri (Sadock, 2010). Secara umum tujuan psikoterapi adalah
untuk memperkuat struktur kepribadian, mematangkan kepribadian (maturing
personality), memperkuat ego (ego strength), meningkatkan citra diri (self
confidence), yang kesemuanya itu untuk mencapai kehidupan yang berarti dan
bermanfaat (meaning fullness oflife). (Hawari,2014).

1. Terapi lingkungan (Milie Therapy)


a. Berikan lingkungan yang aman, terstruktur dan terasa seperti di
masyarakat
b. Tingkatkan uji realitas
c. Monitor jumlah stimulus
d. Munculkan kesempatan komunikasi
e. Sediakan aktivitas therapy yang akan mengalihkan klien dari keasyikan
dengan halusinasi dan paranoid atau pemikiran waham
f. Dukung kemampuan mengambil keputusan
g. Tingkatkan pengontrolan terhadap sikap agresi dan rangsang-rangsang
yang tidak dapat diterima

2. Terapi perilaku
a. Fokuskan pada konsekuensi perilaku disfungsional dan cara untuk
mengubahnya.
b. Ajarkan keterampilan sosial, aktivitas kehidupan sehari-hari, dan
keterampilan berkomunikasi
c. Gunakan sistem tanda penghargaan untuk menguatkan perilaku yang
diinginkan dengan memberi penghargaan kepada mereka berupa hak-hak
khusus
3. Terapi kelompok
a. Fokuskan pada keterampilan sehari-hari
b. Ajarkan cara-cara mengelola stresor lingkungan dan interpersonal
c. Bantu klien mengembangkan rasa diri yang positif
d. Berinteraksi yang bersifat mendukung dan bersifat langsung dengan orang
lain. Klien dapat belajar mendengar, bertanya, dan memberi umpan baik
yang sesuai
e. Sediakan tempat untuk mengekspresikan perasaan dan membicarakan atau
menyelesaikan masalah
f. Hadirkan kesempatan untuk memberi dan menerima dukungan
4. Terapi keluarga
a. Fokuskan pada peningkatan pengetahuan tentang struktur dan fungsi
sistem keluarga
b. Bantu keluarga untuk bisa bersikap mendukung dan merawat klien tanpa
menjadi terlalu melindungi
c. Anjurkan kejujuran dalam mengekspresikan perasaan
d. Tingkatkan cara-cara efektif untuk mengatasi perasaan negatif dan
konflik keluarga, dan koreksi komunikasi yang tidak sesuai dan distorsi
kejadian-kejadian yang negatif
e. Tingkatkan kemampuan untuk mengatasi gangguan jiwa kronis
f. Verifikasi pembatasan dan peran anggota keluarga
g. Diskusikan kebutuhan untuk terlibat dalam berbagai kesempatan
interaksi sosial.

5. Terapi residensial
a. Fokuskan pada intervensi krisis
b. Atasi perilaku yang terlihat oleh keluarga dan masyarakat sebagai
penyimpangan
c. Beri lingkungan yang aman dengan ruang lingkup yang tepat dan batasan
yang realistis mengenai yang dapat diterima
d. Beri kesempatan untuk mengobati klien dan memantau efek obat
e. Melakukan rawat inap untuk mengatasi perilaku kekerasan yang
ditujukan pada diri dan orang lain
6. Terapi rawat jalan/program pengobatan sehari
a. Fokuskan pada pengelolaan gejala jangka panjang
b. Tingkatkan pengelolaan pengobatan
c. Beri terapi individual, terapi kelompok, dan aktivitas terstruktur atau
pelatihan kerja sesuai kebutuhsn klien
d. Beri pengembangan keterampilan sosial kerja, dan komunikasi secara
terus-menerus
e. Ciptakan dan pertahankan kontinuitas perawatan, rasa memiliki harapan,
dan hubungan keluarga dengan sistem kesehatan jiwa.
7. Terapi biologis
a. Farmakoterapi
Dua kelompok utama obat digunakan untuk mengatasi gangguan skizofrenia,
yaitu tipikal dan atipikal. Agens tipikal adalah neuroleptik sangat poten,
seperti flufenazin (prolixin), haloperidol (haldol), dan trifluoperazin
(stelazin). Agen ini efektif memblok reaksi dopamin diarea reseptor.
Agens tipikal dianggap penting dalam menahan gejala positif. Agens
atipikal adalah antagonis serotonergik-dopamin. Agens ini termasuk
risperidone (risperdal), olanzapine (zypreza), dan kuetiapin (seroquel),
memblok area serotonin dan dopamin tertentu. Obat ini dimetabolisme
dihati dan diekskresi oleh ginjal, sehingga fungsi hati dan fungsi ginjal
harus dipantau secara ketat. Agens atipikal digunakan untuk mengatasi
gejala positif dan negatif (G.O’Brien,2008).

b. Terapi Elektrokonvulsif (ECT)


Efektif pada sebagian pasien skizofrenia, khususnya sub tipe katatonik.
Pasien dengan lama penyakit kurang dari satu tahun merupakan jenis
skizofrenia yang paling responsif dengan pemberian terapi
elektrokonvulsif (Sani, 2011). Terapi elektrokonvulsif (ECT)
menginduksi kejang grand mal secara buatan dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis.
Jumlah terapi yang diberikan dalam satu rangkaian bervariasi sesuai
dengan masalah awal pasien dan respon terapeutik yang dikaji selama
terapi. Untuk pasien skizofrenia jumlah terapinya 20-30 kali terapi. ECT
biasanya diberikan dua sampai tiga kali dalam seminggu dengan hari
yang bergantian walaupun terapi ini dapat diberikan lebih sering atau
lebih jarang (Puri, 2011). Indikasi ECT adalah:

a) Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap


antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat.
b) Pasien dengan gangguan bipolar yang tidak berespon terhadap obat.
c) Pasien bunuh diri akut yang cukup lama tidak dapat menerima
pengobatan untuk mencapai efek terapeutik.
d) Ketika efek samping ECT yang diantisipasi kurang dari efeksamping
yang berhubungan dengan terapi obat, seperti pada pasien lansia,
pasien dengan blok jantung, dan selama kehamilan. Kontraindikasi
ECT adalah :
a) Tumor intracranial
b) Kehamilan
c) Osteoporosis
d) Infark miokardium
e) Asma bronchial

II. RESIKO PERILAKU KEKERASAN


1. Pengertian
 Perilaku kekerasan merupkan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang tidak dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan ( fitria,2009)
 Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut (Jenny, Purba, Mahnum, & Daulay, 2008).
 Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain (Yosep, 2007).
 Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
 maupun orang lain, disertai amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol
(Farida & Yudi, 2011).
 Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai
marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif
dan masih terkontrol (Yosep, 2007). Resiko mencederai diri yaitu suatu
kegiatan yang dapat menimbulkan kematian baik secara langsung maupun
tidak langsung yang sebenarnya dapat dicegah (Depkes, 2007).
 Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
kekerasan yaitu ungkapan perasaan marah yang mengakibatkan hilangnya
kontrol diri dimana individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan
suatu tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan.
2. Penyebab
1). Factor presdisposisi
Ada beberapa factor yang memepengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologic, teori psikologi, dan teori :
a. Teori Biologik
 Neurologic factor, beragam komponen dari system syarap berupa
synap,neurotransmitter,dendrite,axon terminalis mempunyai peran
memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan
memepengaruhi sifat agresif. Sistem linbik sangat terlibat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku timbulnya perilaku bermusuhan dan
respon agresif.
 Genetic factor,adanya factor gen yang diturunkan melalui orangtu,
menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riset Kazuo Murakami(2007)
dalam gen manusia terdapat dormant (potensi) agresif  yang sedang tidur
dan akan bangun jika terstimulasi oleh factor external.  Menurut
penelitian genetic type karyotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh
penghuni perilaku tindak criminal serta orang-orangyang tersangkut
hukum akibat perilaku agresif.
 Cycardian Rhytme ( irama ssirkadian tubuh), memegang peranan pada
individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami
peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang
masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam 9 dan jam
13. Pada jam  tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersifat
agresif .
 Biochemistey factor ( factor biokimia tubuh )seperti neurotransmitter di
otak (ephyneprin,norepinephrin,dopamine,asetikolin, dan serotonin)
sangat berperan dalam penyimpaian informasi melalui system
persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar tubuh yang dianggap
mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui impuls
neurotransmitter ke otak dan merespon nya melalui serabut efferent.
Peningkatan hormone androgen dan norephipeneprin serta penurunan
serotonindan GABA pada cairan cerebrospinal vertebra dapat menjadi
factor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
 Brain Area Disorder, gangguan pada system limbic dan lobus temporal,
sindrom otak organic , tumor otak, penyakit ensepailitis, epilepsy
ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
b. Teori Psikologik
 Teori psikoanalisa : agresivitas dan kekerasan yang dipengaruhi oleh
riwayat tumbuh kembang seseorang ( life span hystori). Teori ini
menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun
dimana anak tidak mendapat kasih saying dan pemenuhan kebutuhan air
susu yang cukup cenderung mengembangkan nya sikap agresif dan
bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi adanya 
ketidakpercayaan pada lingkungan.
 Imitation, modeling, and informasi processing theory :
Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan
sekitar memungkingkan individu meniru perilaku tersebut.
 Teori pembelajaran
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan
terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respons ayah saat menerima
kekecewaan dan mengamati bagaimana respons ibu saat marah . ia juga
belajar bahwa dengan agresivitas lingkungan sekitar menjdi peduli,
bertanya , menanggapi dan menganggap bahwa diriya eksis dan patut
untuk diperhitungkan.
 Teori sosiokultural
Dalam budaya tertentu seperti rebutan berkah , rebutan uang receh, sesaji
atau kotoran kerbau dikeraton , serta ritual-ritual yang cenderung
mengarah pada kemusyirikan secara tidak langsung turut menumpuk
sikap agresif dan ingin menang sendiri. Control masyarakat yang rendah
dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara
penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan factor persdiposisi
terjadinya perilaku kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan maraknya
demontrasi, film-film kekerasan, mistik, tahayul,dan pendukunan
( santet, teluh ) dalam tayangan televisi.
 Aspek religiusitas
Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan
dan bisikan syetan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia
menyesal  ( devil support). Semua bentuk kekerasan adalah bisikan
syetan melalui pembulu darah ke jantung , otak dan organ vital manusia
lain yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan
dirinya terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal
(ego) dan norma agama  ( super ego).
2). Factor presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali berkaita
dengan :
 Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau symbol solidaritas
seperti dalam sebua konser, penonton sepak bola , gen sekola,
perkelahian missal dan sebagaian nya.
 Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar kondisi sosial
ekonomi.
 Kesulitan dalam mengkominakasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
dalam menyelesaikan konflik .
 Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
menempatkan dirinya sebagai orang yang dewasa.
 Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alcoholisme dan tidak mampu menontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
 Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

3. Rentang respon marah

Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan

kemarahan yang dimanisfestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut

merupakan suata bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari

individu . orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan

pesan bahwa ia “tidak setuju tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak

diturut atau diremehkan”. Rentang respons kemarahan individu dimulai dari

respons normal (asertif) sampai pada respons sangat tidak normal ( maladaptif)

RENTANG RESPON MARAH

   Respon Adaptif Respon Maladaptif

  Asertif Frustasi   Pasif         Agresif     Kekerasan

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Klien mampu Klien gagal Klien merasa Klien Peerasaan
mengungkapkan mencapai tidak dapat mengekspresikan marah dan
marah  tanpa tujuan mengungkapkan secara fisik , tapi bermusuhan
menyalahkan kepuasan / perasaan nya masih terkontrol, yang kuat
oranglain dan saat marah tidak berdaya mendorong da hilang
memberikan dan tidak dan menyerah oranglain dengan control,
kelegaan dapat ancaman disertai
menemukan amuk
alternatif merusak
lingkungan 

4. Tanda dan Gejala 


1. Fisik 
 Mata melotot/ pandangan tajam 
 Tangan mengepal
 Wajah memerah dan tegang 
 Postur tubuh kaku 
 Pandangan tajam 
 Mengatupkan rahang dengan kuat
 Jalan mondar-mandir 
2. Verbal 
 Bicara kasar 
 Suara tinggi, membentak atau berteriak 
 Mengancam verbal atau fisik 
 Mengumpat dengan kata-kata kotor 
 Suara keras 
 Ketus
3. Perilaku 
 Melempar atau memukul benda / oranglain 
 Menyerang oranglain 
 Melukai oranglain 
 Merusak lingkungan 
 Amuk/ agresif
4. Emosi 
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya , bermusuhan , mengamuk ingin berkelahi , menyalahkan
dan menuntut.
5. Intelektual 
Mendominasi , cerewet, kasar, berdebat, meremehkan,sarkasme.
6. Spiritual 

Merasa diri berkuasa , merasa diri benar, mengkritik pendapat oranglain,


menyinggung perasaan oranglain, menyinggung perasaan orglain , tidak
perduli ,kasar.
7. sosial
Menarik diri , pengasingan , penolakan , kekerasan , ejekan sindiran.
8. Perhatian 
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
5. Mekanisme koping
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena
adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain:
 Sublimasi : menerima sasaran pengganti yang mulia artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremasadonan
kue, meninju tembok dan sebagainya.
 Proyeksi : menyalahkan oranglain mengenai kesukaran nya atau
keinginan nya yang tidak baik., misalnya seseorang wanita wanita muda
yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap
sejenisnya.
 Represi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk kea lam sadar , misalnya seorang anak yang sangat benci pada
orangtuanya.
 Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
mengguakan sebagai rintangan.
 Displacement : melepaskan perasaan yang terteka biasanya bermusuhan ,
pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi.
6. Pengkajian perilaku Asertif, Pasif , dan Agresif / kekerasan 
Perawat perlu memahami dan membedakan berbagai perilaku yang
ditampilkan klien, hal ini dapat dianalisa dari perbandingan berikut:

Aspek Pasif Asertif Agresif

Isi Negatif, Positif menawarkan Menyombongkan diri


pembicaraan merendahkan diri, diri, Misalnya : “ merendahkan orang lain,
misalnya “ saya mampu , saya misalnya : “ kamu pasti
Bisakah saya bisa , anda boleh , tidak bisa , kamu selalu
melakukan hal itu anda dapat” melanggar, kamu tidak
? Bisakah anda pernah nurut, kamu tidak
melakukan nya ? akan bisa “

Tekanan Lambat, Sedang Keras , ngotot


suara mengeluh

Posisi badan Meundukan Tengap dan santai Kaku , condong kedepan


kepala

Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak akan


dengan sikap jarak yang nyaman menyerang oranglain
mengabaikan

Penampilan Loyo , tidak dapat Sikap tenang Mengancam , posisi


tenang menyerang

Kontak mata Sedikit/ sama Mempertahankan Mata melotot dan


sekali tidak kontak mata sesuai dipertahankan
dengan hubungan

Masalah keperawatan 
1. Resiko menciderai diri sendiri , oranglain dan lingkungan 
- Data : muka merah, pandangan tajam , otot tegang, nada suara tinggi ,
berdebat , kadang memaksakan kehendak.
- Gejala yang muncul : stress, mengungkapkan secara verbal , menentang ,
menunut.

2.   Resiko Perilaku kekerasan 


- Data : agresif , gaduh , gelisah , menyentuh oranglain secara menyakitkan,
mengancam, melukai, marah ringan sampai serius .

7. Diagnosa keperawatan

1. Resiko menciderai diri sendiri, oranglain dan lingkungan 


2.  Resiko perilaku kekerasan 
3. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
4. Harga diri rendah kronis
5. Isolasi sosial
6. Berduka disfungsional
Rencana Tindakan Keperawatan 
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Resiko Perilaku Kekerasan

PERENCANAAN
Tgl DX
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
1 2 3 4 5
Resiko Pasien mampu : Setelah……… SP.1 (Tgl
Perilaku  Mengidentifikasi pertemuan, pasien mampu ………………………………………………………….. )
kekerasan penyebab dan tanda :  Identifikasi penyebab, tanda dan gejala serta akibat
Resiko perilaku  Menyebutkan Resiko perilaku kekerasan
kekerasan penyebab, tanda,  Latih cara fisik 1
 Menyebutkan jenis gejala, dan akibat  Tarik napas dalam
Resiko perilaku Resiko perilaku  Masukan dalam jadwal harian pasien
kekerasan yang kekerasan
pernah dilakukan  Memperagakan cara
 Menyebutkan akibat fisik 1 untuk
dari Resiko perilaku mengontrol Resiko
kekerasan yang perilaku kekerasan
dilakukan
 Menyebutkan cara
mengontrol Resiko
perilaku kekerasan
 Mengontrol Resiko
perilaku
kekerasannya
secara :
1. Fisik
2. Social/ Verbal
3. Spiritual
4. Terapi
Psikofarmaka
(patah obat)
Setelah……… SP.2 (Tgl
pertemuan, pasien mampu ………………………………………………………….. )
:  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1)
 Menyebutkan  Latik cara fisik 2
kegiatan yang sudah  Pukul kasur/ bantal
dilakukan  Masukan dalam jadwal harian pasien
 Memperagakan cara
fisik untuk
mengontrol Resiko
perilaku kekerasan
Setelah……… SP.3 (Tgl
pertemuan, pasien mampu ………………………………………………………….. )
:  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1 & 2)
 Menyebutkan  Latih secara social/ verbal
kegiatan yang sudah  Menolak dengan baik
dilakukan  Meminta dengan baik
 Memperagakan cara  Mengungkapkan dengan baik
social/ verbal untuk  Masukan dalam jadwal harian pasien
mengontrol Resiko
perilaku kekerasan

Setelah……… SP.4 (Tgl


pertemuan, pasien mampu ……………………………………………………………)
: 1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1, 2 & 3)
 Menyebutkan 2. Latih secara spiritual :
kegiatan yang sudah 1. Berdoa
dilakukan 2. Sholat
 Memperagakan cara 3. Masukan dalam jadwal harian pasien
spiritual
Setelah……… SP.5 (Tgl
pertemuan, pasien mampu ………………………………………………………….. )
: 4. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1, 2, 3 & 4)
5. Latih patuh obat
3. Minum obat secara teratur dengan prinsip 5B
4. Susun jadwal minum obat secara teratur
6. Masukan dalam jadwal harian pasien

Keluarga mampu : Setelah……… SP.1(Tgl


Merawat pasien dirumah pertemuan, keluarga ………………………………………………………….. )
mampu : 5. Identifikasi masalah yang dirasakan keluarga dalam
 Menjelaskan merawat pasien
penyebab, tanda/ 6. Jelaskan tentang R-P-K dari :
gejala, akibat serta 7. Penyebab
mampu 8. Akibat
memperagakan cara 9. Cara merawat
merawat. 10. Latih 2 cara merawat
11. RTL keluarga/ jadwal untuk merawat pasien

Setelah……… SP.2 (Tgl


pertemuan, keluarga ………………………………………………………….. )
mampu : 2. Evaluasi SP.1
1. Menyebutkan 3. Latih (simulasi) 2 cara lain untuk merawat pasien
kegiatan yang sudah 4. Latih langsung ke pasien
dilakukan dan mampu 5. RTL keluarga/ jadwal keluarga untuk merawat
merawat serta dapat pasien
membuat RTL
Setelah……… SP.3 (Tgl
pertemuan, keluarga ………………………………………………………….. )
mampu : 2. Evaluasi SP.1 & 2
1. Menyebutkan 3. Latih langsung ke pasien
kegiatan yang sudah 4. RTL keluarga/ jadwal keluarga untuk merawat
dilakukan dan mampu pasien
merawat serta dapat
membuat RTL
Setelah……… SP.4 (Tgl
pertemuan, keluarga ………………………………………………………….. )
mampu : 1. Evaluasi SP.1, 2 & 3
 Melaksanakan Follow 2. Latih langsung ke pasien
Up dan rujukan serta 3. RTL keluarga
mampu menyebutkan 12. Follow Up
kegiatan yang sudah 13. Rujukan
dilakukan
DAFTAR PUSTAKA

Ariananda, Reza, Erky. 2015. Stigma Masyarakat Terhadap Penderita Skizofrenia.

(skripsi).Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang.

Carlson, R, Neil. 2015. Fisiologi Perilaku. Edisi Kesebelas. Jilid 2. Jakarta: Penerbit

Erlangga. Hal 211.

Copel, Carman, Linda. 2007. Kesehatan Jiwa & Psikiatri. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Fatmawati, Iin, Nadlifa, A. 2016. Faktor-Faktor Penyebab Skizofrenia (Studi Kasus

Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta).(skripsi).Surakarta: Fakultas Psikologi.

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Jaya, P. (2012). Dinamika Pola Pikir Orang Jawa di tengah Arus Modernisasi.

Humaniora. Vol. 24. No 2. 133-140.

Yosep, Iyus. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.

Yusuf. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan : Salemba Medika.

Suryani, S. 2015. Makalah mengenal gejala dan penyebab gangguan jiwa:

Universitas Padjajaran.

Videbeck, L, Sheila. 2016. Buku Ajar Keperawatan. Jakarta: EGC. Hal 348.

Anda mungkin juga menyukai