Disusun Oleh :
Pipit Septiawati
402021063
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
I. Skizofrenia
A. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah sindrom klinis dengan berbagai psikopatologi, biasanya
parah, berlangsung lama dan korban dapat diidentifikasi dengan penyimpangan dari
pikiran mereka, persepsi dan emosi. (Annisa, 2018)
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama
dalam pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu, dimana berbagai
pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru
afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas motorik yang
bizzare (perilaku aneh), pasien skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan,
sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi.
(Davidson, 2006 dalam Eni, 2018)
Dari kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah
sindrom klinis dengan berbagai psikopatologi yang ditandai dengan gangguan utama
dalam pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu dimana berbagai
pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru
afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas motorik yang
bizzare (perilaku aneh), berlangsung lama, sering kali masuk ke adalam kehidupan
fantasi yang pebnuh delusi dan halusinasi.
B. Faktor Presipitasi dan Predisposisi
Sindrom gejala yang kompleks pada skizofrenia memunculkan berbagai
faktor tentang etiologi gangguan skizofrenia :
1. Faktor predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon
neurobiologi seperti:
a. Faktor genetik
Sebagai besar penelitian mengindikasikan hubungan genetik dan pola
familial. Semakin dekat hubungan darah dengan individu yang
menderita skizofrenia, semakin tinggi risiko genetik terhadap skizofrenia.
Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak kembar
yang menunjukkan bahwa kembar identik (kembar monozigot) berisiko
mengalami gangguan skizofrenia sebesar 50%, sedangkan kembar
fraternal (kembar dizigot) berisiko hanya 15%. Hal ini mengindikasikan
bahwa skizofrenia sedikit diturunkan. Penelitian penting lain menunjukan
bahwa anak-anak yang memiliki satu orang tua biologis penderita
skizofrenia memiliki resiko 15%, angka ini meningkat sampai 35%
jika kedua orang tua biologis menderita skizofrenia (Videbeck, 2011).
b. Faktor struktur dan fungsi otak (neuroanatomi)
Hipotesis perkembangan saraf dalam perkembangan skizofrenia
didasarkan pada observasi skizofrenia pada bayi yang terpajan dengan
infeksi virus pada trimester kedua serta tanda neurologis ringan yang
ditemukan ketika mengevaluasi klien skizofrenia. Faktor perkembangan,
struktur saraf, biokimia, dan lingkungan mempengaruhi kemampuan
individu dalam memproses informasi. Masalah dalam memfokuskan
perhatian, mengkaji stimulus, dan menetapkan makna afek terhadap
pengalaman dapat menggangu kognisi dan menghambat kemampuan
berinteraksi secara afektif dengan lingkungan. Faktor hambatan dalam
memproses informasi terus terjadi karena ketidakmampuan memodulasi
stresor biologis (O’Brien, 2013).
c. Faktor neurotransmiter (neurokimia)
Penurunan aktivitas lobus frontal pada klien skizofrenia dianggap berkaitan
dengan penurunan aktivitas glutamatergik dan dengan gejala negatif serta
defisit kognitif. Peningkatan aktivitas dopamin mesolimbik
diperkirakan berkaitan dengan efek farmakologis obat antipsikotik
dalam memblok dopamin dan pengaruh obat tersebut pada berbagai
sistem neurotransmiter (Kaplan, 2010).
d. Faktor psikososial
Menurut teori psikoanalisis, kerusakan yang menentukan penyakit mental
adalah gangguan dalam organisasi ‘ego’. Gangguan ini terjadi sebagai
akibat distorsi dalam hubungan timbal balik antara bayi dan ibunya,
dimana si anak tidak dapat berkembang melampui fase oral dari
perkembangan jiwanya. Didapati juga bahwa penderita
skizofrenia tidak pernah dapat mencapai hubungan yang erat dengan
ibunya pada masa bayinya. Beberapa psikoanalisis beranggapan
bahwa gangguan pada fungsi ego seseorang dapat menyebabkan
perasaan bermusuhan. Distorsi hubungan ibu-bayi ini kemudian
mengakibatkan terbentuknya suatu kepribadian yang peka terhadap
stress. Teori psikoanalis beranggapan bahwa berbagai gejala
skizofrenia mempunyai arti simbolik untuk si penderita secara
individu (Simanjutak, 2008).
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi disebut juga faktor pencetus respon neurobiologis
meliputi :
a. Lingkungan
Faktor lingkungan yang menjadikan pencetus terjadinya
skizofrenia lingkungan yang mempengaruhi atau menimbulkan
penyakit diantara lain: ekonomi, pendidikan, masalah rumah tangga,
kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup, pola
aktivitas sehari-hari, kesukaran berhubungan dengan orang lain,
isolasi sosial, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, stigmasiasi,
kemiskinan, kurangnya alat transportasi dan ketidakmampuan
mendapatkan pekerjaan (Simanjutak, 2008).
b. Sikap atau perilaku
Sikap atau perilaku juga menjadikan pencetus skizofrenia karena sikap
atau perilaku timbul terdapat merasa tidak mampu, tekanan psikologis,
putus asa, merasa gagal, kehilangan kendali diri (demoralisasi),
merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut, merasa
malang, dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan
sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidak adekuatan
pengobatan dan ketidak adekuatan penanganan gejala stresor seseorang
terpaksa mengadakan adaptasi (penyesuain diri) untuk menanggulangi
stresor (tekanan) yang timbul. Namun, tidak semua orang mampu
mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga
dampak dari stresor yang ada berdampaklah seseorang terkena
skizofrenia (Hawari, 2012).
Dari penyebab skizofrenia diatas dapat disimpulkan bahwa
skizofrenia sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab
skizofrenia secara pasti. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan
mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang menjadikan
manifestasi atau faktor pencetus ataup resipitasi faktor seperti
penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya bisa menyebabkan
skizofrenia (Maramis, 2009).
C. Etiologi Skizofrenia
National Health Service (NHS) (2012) dalam Novitayani (2017) menyatakan
bahwa skizofrenia dapat dialami oleh seseorang karena adanya multiple faktor
penyebab. Diantara faktor multiple itu dapat disebut :
Etiologi skizofrenia terdiri dari : faktor-faktor biologik, psikososial dan
genetik.
1. Faktor-faktor biologik
a. Neurokimiawi otak
1) Hipotesis dopamin
Formulasi paling sederhana dari hipotesis dopamin skizofrenia
menyatakan skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang
berlebihan. Teori dasar ini tidak mengelaborasi apakah hiperaktivitas
dopaminergik itu sehubungan dengan terlalu banyak pelepasan
dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, hipersensitivitas reseptor
dopamin terhadap dopamin atau kombinasi dari mekanisme-
mekanisme ini.
2) Hipotesis serotonin
Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai
penyebab gejala positif dan negatif pada skizofrenia.
3) Hipotesis gamma-aminobutiryc acid (GABA)
Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc
acid (GABA) dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan
pada penemuan bahwa beberapa pasien skizofrenia mempunyai
kehilangan neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus. GABA
memiliki efek regulatory pada aktivitas dopamin, dan kehilangan
neuron inhibitory GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas
neuron-neuron dopaminergik.
4) Hipotesis glutamat
Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu
mantagonis glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa
dengan skizofrenia.
5) Hipotesis degeneratif saraf (neurodegenerative hypothesis)
Sejumlah proses degeneratif saraf dihipotesiskan, berkisar dari
apoptosis abnormal yang diprogram secara genetik, degenerasi dari
neuron-neuron yang kritis, pemaparan prenatal terhadap anoksia,
toksintoksin, infeksi atau malnutrisi, proses kehilangan neuronal yang
dikenal sebagai excitotoxicity akibat aksi berlebihan dari
neurotransmiter glutamat. Jika neuron- neuron tereksitasi ketika
memperantarai gejala-gejala positif, kemudian mati akibat proses
toksik yang disebabkan neurotransmisi excitatory yang berlebihan, ini
membawa ke stadium residual burn out dan gejal-gejala negatif.
6) Hipotesis perkembangan saraf (neurodevelopmental hypothesis)
Banyak teori-teori tentang skizofrenia menyatakan gangguan ini
berasal dari abnormalitas dalam perkembangan otak. Sebagian
menyatakan bahwa problem didapatkan dari lingkungan otak janin.
Skizofrenia dapat berawal dengan proses degeneratif yang didapat
yang berpengaruh dengan perkembangan saraf. Sebagai contoh
skizofrenia meningkat pada orang-orang dengan riwayat semasa janin
mengalami komplikasi obstetrik saat dalam kehamilan ibu, berkisar
dari infeksi virus, kelaparan, proses autoimun dan masalah-masalah
lain yang menyebabkan gangguan pada otak di awal perkembangan
janin, dapat berkontribusi terhadap penyebab skizofrenia. Faktor-
faktor ini juga akhirnya dapat mengurangi faktor-faktor pertumbuhan
saraf dan merangsang proses-proses tetentu yang membunuh neuron-
neuron yang kritis, seperti sitokin, infeksi virus, hipoksia, trauma,
kelaparan atau stres.
7) Elektrofisiologi
Studi-studi elektrofisiologi menunjukkan bahwa banyak pasien
skizofrenia mempunyai rekaman elektrofisiologik abnormal,
peningkatan sensitivitas terhadap prosedur aktivasi (aktivitas spike
yang sering setelah kurangnya tidur, penurunan aktivitas alfa,
peningkatan aktivitas theta dan delta).
8) Psikoneuroimunologi
Sejumlah abnormalitas berkaitan dengan skizofrenia, mencakup
penurunan produksi T-cell interleukin-2, pengurangan jumlah dan
respons limfosit perifer, reaktivitas humoral dan seluler abnormal
terhadap neuron, adanya antibodi brain-directed (antibrain).
9) Psikoneuroendokrinologi
Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin pada
pasien skizofrenia dan kelompok kontrol. Contohnya: abnormalitas
dexamethason suppression test, penurunan luteinizing hormone dan
follicle-stimulating hormone.
b. Faktor psikososial
1) Teori psikoanalitik
Sigmund Freud menyatakan skizofrenia berasal dari
perkembangan yang terfiksasi. Fiksasi ini mengakibatkan defek pada
perkembangan ego dan defek-defek ini memberikan kontribusi
terhadap gejala-gejala skizofrenia.
2) Dinamika keluarga
Sejumlah pasien skizofrenia berasal dari keluarga-keluarga yang
disfungsi. Perilaku keluarga patologis dapat meningkatkan stres
emosional yang merupakan hal yang rentan pada pasien skizofrenia
untuk mengatasinya. Dinamika keluarga tersebut berupa double bind
communication, schisms and skewed family, pseudomutual dan
pseudohostile families, dan emosi yang diekspresikan secara tinggi.
c. Faktor genetik
Terdapat kontribusi genetik pada sebagian atau mungkin semua
bentuk skizofrenia, dan proporsi yang tinggi dari variasi dalam
kecenderungan skizofrenia sehubungan dengan efek genetik. Risiko
menderita skizofrenia sebesar 1% pada populasi umum jika tidak ada
keluarga yang terlibat. Bila salah satu orang tua menderita skizofrenia
maka insidens untuk menderita skizofrenia sebesar 12%. Insidens
skizofrenia pada kembar dizigotik jika salah satu menderita skizofrenia
sebesar 12%, pada kembar monozigotik sebesar 47%. Jika kedua orang tua
menderita skizofrenia insidensnya sebesar 40%.
D. Tipe Skizofrenia
Menurut Zahnia (2016), beberapa tipe skizofrenia yang
diidentifikasi berdasarkan variabel klinik menurut PPDGJ III antara lain
sebagai berikut:
1. Skizofrenia Paranoid
2. Skizofrenia Hebefrenik
3. Skizofrenia Katakonik
E. Fase Skizofrenia
1. Fase Prodromal
a. Kemunduran dalam waktu lama (6 sampai 12 bulan) dalam tingkat fungsi
perawatan diri, sosial, waktu luang, pekerjaan, atau akademik.
b. Timbul gejala positif dan negatif.
c. Periode kebingungan pada klien dan keluarga.
2. Fase Aktif
a. Permulaan intervensi asuhan kesehatan, khususnya hospitalisasi.
b. Pengenalan pemberian obat dan modalitas terapeutik lainnya.
c. Perawatan difokuskan pada rehabilitasi psikiatrik saat klien belajar untuk
hidup denganpenyakit yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan
perilaku.
3. Fase Residual
a. Pengalaman sehari-hari dengan penanganan gejala.
b. Penguraian dan penguatan gejala.
c. Adaptasi.
H. Patofisiologi
Patofisologi skizofrenia adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter di otak, terutama norepineprin, serotonin dan dopamin.
(Sadock, 2015). Namun, proses patofisiologi skizofrenia masih belum
diketahui secara pasti. Secara umum, beberapa penelitian menemukan
bahwa skizofrenia dikaitkan dengan penurunan volume otak, teuratam
bagian temporal (termasuk mediaotemporal), bagian frontal, termasuk
substansia alba dan grisea. Dari sejumlah penelitian ini, darah otak yang
secara konsisten menunjukkan kelainan adalah daerah hipokampus dara
hipokampus.
Pada penelitian neuroimaging penderita dengan skizofrenia,
ditemukan penurunan volume talamus dan deformitas thalamus,
abnormalitas pada nukleus vetrolateral.
I. Pathway
J. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan psikologi
a. Pemeriksaan psikiatrik
b. Pemeriksaan psikometri
2. Pemeriksaan lain juga diperlukan
Darah rutin, fungsi hepar, faal ginjal, enzim hepar, EKG, CT-Scan, EEG.
K. Pengobatan
1. Obat antispikotik memberi intervensi farmakologis untuk menangani gejala
skizoprenia akut dan kronik dengan meredakan agitasi psikomotor, agresi,
kegelisahan, dan insomnia.
2. Obat-obatan antispikotik dapat menurunkan halusinasi, waham, dan gangguan
pikiran setelah kadar terapeutik dalam darah tercapai.
3. Pengobatan menurunkan perilaku kacau dan dekstruktif (gejala positif) dna
memfasilitasi intervensi terapeutik lain yang mengatasi gangguan rasa diri dan
kurangnya hubungan dengan orang lain (gejala negatif). Obat-obatan
antispikotik yang tidak khas, klozapin (clorazile) dan risperidon (risperdal),
menawarkan beberapa perbaikan gejala positif maupun negatif. Oleh karena
itu, kombinasi psikoterapi dan terapi obat di rekomendasikan.
4. Monitor efek samping ekstrapiramidal pada klien karena pengobatan dengan
menggunakan antipsikotik dapat memblok reseptor dopamine pasca sinap di
otak. Blokade reseptor ini dapat menyebabkan pseudoparkinsonnisme dan efek
ekstrapiramidal lain, seperti diskinesia tardif. Untuk mengontrol efek samping
ini, banyak klien mendapatkan obat-obat anti parkinson.
Penanganan efek samping obat-obatan antipsikotik
Gejala spesifik Penatalaksanaan keperawatan
Efek antikolinergik
a. Mulut kering a. Minta klien untuk membawa
sebotol air dan minum
sesering mungkin,
mengunyah permen karet
bebas gula, menghisap
permen yang keras, atau
gunakan pengganti air liur
(seperti Xerolube)
b. Pandangan kabur a. Batasi klien untuk hanya
membaca buku yang
hurufnya besar-besar;
umumnya masalah teratasi
dengan waktu 2 minggu.
b. Kongesti hidung a. Efek ini biasanya teratasi
dalam 2 minggu, atau
gunakan dekongestan hidung.
b. Retensi urine atau tidak a. Pantau haluaran urine,
mampu memulai berkemih palpasi adanya distensi,
(urineri hentancy) pasang kateter jika perlu,
dapatkan sebuah intruksi
untuk menurunkan dosis obat
antipsikotik, dan tambahan
obat kolinergik seperti
betanicol (urecholine).
c. Konstipasi b. Tingkatkan asupan klien,
asupan serat, latihan, serta
dapatkan instruksi untuk
menggunakan pelunak fese
(laksatip).
d. Fotopobia c. Minta klien menggunakan
kacamata untuk menahan
sinar matahari.
e. Kekeringan mata d. Dorong klien untuk
mengedip atau meggunakan
air mata buatan.
f. Impotensi atau tidak mampu e. Kaji masalah, jelaskan
ejakulasi hubungan antara ansietas dan
fungsi seksual, yakinkan
klien bahwa gejala bisa puli
(refersibel) dan ringan, serta
konsulkan dengan dokter
untuk mengganti obat.
Gejala ekstrapiramidal
a. Pseudoparkinsonnisme; wajah a. Segera hubungin dokter,
seperti topeng; gaya berjalan yang mungkin mengganti
dengan menyeret kaki; tremor; obat, menurunkan dosis, atau
pergerakan pill-rolling meresepkan obat anti
(pergerakan jari tangan yang kolinergik, seperti
terlihat seperti tremor); postur benzoprine (cogenfin) atau
tubuh kaku dan bungkuk trihensifenidil (artane).
b. Reaksi distonia : spasme otot a. Temani klien dan jelaskan
pada berbagai otot yang dapat bahwa gejala ini akan
meliputi krisis okulogiri teratasi, dan dapatkan resep
(depiasi mata keatas untuk memberi obat anti
involunter), tortikolis (leher diskinetik, seperti
kaku yang menarik kepala difenhidramine (benadril)
kesatu sisi dan dagu kesisi atau obat anti kolinergik
berlawan), disfagia (kesulitan
menelan), spasme laring
b. Akatisia : kegelisahan motorik a. Segera hubungi dokter, yang
misalnya menggoyangkan mungkin mengganti obat,
badan atau menghentak- menurunkan dosisnya, atau
hentakkan kaki meresepkan obat
antikolinergik, seperti
benzoprine, trihensifenidil.
c. Diskinesia tardif (tardive b. Tidak ada penanganan untuk
diskinesia, TD) : sekumpulan TD. Klien menjalani
gerakan involunter yang terjadi scrinning untuk mengetahui
diakhir dimulai dari wajah, gejala TD paling sedikit
leher dan rahang (lidah setiap 3 bulan sebagai
terdorong, muka menyeringai, tindakan prefentif. Ajar
bibir mengecap-ngecap, tanda-tanda awal pada klien
mengunyah, dan mendengkur), dan seluruh keluarga. Putus
tetapi dapat berkembang ke obat mungkin tidak akan
anggota badan yang lain dan meredakan gejalanya.
seluruh tubuhnya.
Efek merugikan lain yang jarang terjadi
a. Sindrom neuroleptik maligna : a. Hentikan obat antispikotik,
ditandai dengan gejala dan dapatkan penanganan
ekstrapiramidal yang ekstrime, medis darurat untuk gejala-
hipertermia yang hebat, gejala seperti aritmia,
hipertensi, takikardia, dan dehidrasi, ketidak
inkontinensia seimbangan elektrolit,
spasme otot yang hebat, dan
hipertermia
b. Efek kardiak, seperti hipertensi a. Monitor tekanan darah dan
ortostatik dan takikardia frekuensi serta irama denyut
nadi, jelaskan pada klien
bagaimana cara menjuntaikan
kakiknya dan bangun
perlahan-lahan untuk
mencegah vertigo, segera
hubungi dokter yang dapat
menurunkan dosisnya
a. Sedasi b. Katakan kepada klien bahwa
sedasi akan berhenti, dorong
klien untuk berjalan
kesekeliling dan melakukan
aktivitas fisik, serta
konsultasikan pada dokter
untuk menggantikan obat
psikotik yang hanya sedikit
yang menyebabkan sedasi.
b. Peningkatan nafsu makan dan c. Dorong untuk melakukan
menghasilkan pertambahan olahraga dan makan makanan
berat badan yang rendah kalori, serta
pikiran perencanaan diet
untuk menurunkan berat
badan sementara tetap
mempertahankan nutrisi yang
optimal.
c. Perubahan endokrin, seperti d. Nilai kondisi klien dan
pembesaran payudara dan beritahu dokter tentang efek
pengurangan libido yang merugikan ini.
d. Ikterus kolekstatik : demam, e. Hentikan obat, beritahu
mual, letargik, dan nyeri dokter, pertahankan tirah
abdomen baring, berikan diet tinggi
karbohidrat, tingi protein,
dan monitor fungsi hati.
e. Agranurlositosis : demam, f. Hentikan obat, beritahu
radang tenggorokan, tidak enak dokter, periksa darah untuk
badan (malaise), sariawan, dan memeriksa apakah terdapat
gejala lain yang menyerupai agranurlositosis atau
flu. leukopeni; jika ada,
tempatkan klien dalam ruang
isolasi karena kondisi ini
mengancam jiwanya.
L. Terapi
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis sehingga untuk
pengobatannya memerlukan waktu yang panjang. Ada berbagai macam terapi yang
bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama
lain dan dengan jangka waktu yang relatif cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri
dari pemberian obat-obatan, psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada
skizofrenia meliputi: terapi lingkungan, terapi individu, terapi kelompok, terapi
keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan manajemen kasus
(Hawari, 2009).
2. Terapi perilaku
a. Fokuskan pada konsekuensi perilaku disfungsional dan cara untuk
mengubahnya.
b. Ajarkan keterampilan sosial, aktivitas kehidupan sehari-hari, dan
keterampilan berkomunikasi
c. Gunakan sistem tanda penghargaan untuk menguatkan perilaku yang
diinginkan dengan memberi penghargaan kepada mereka berupa hak-hak
khusus
3. Terapi kelompok
a. Fokuskan pada keterampilan sehari-hari
b. Ajarkan cara-cara mengelola stresor lingkungan dan interpersonal
c. Bantu klien mengembangkan rasa diri yang positif
d. Berinteraksi yang bersifat mendukung dan bersifat langsung dengan orang
lain. Klien dapat belajar mendengar, bertanya, dan memberi umpan baik
yang sesuai
e. Sediakan tempat untuk mengekspresikan perasaan dan membicarakan atau
menyelesaikan masalah
f. Hadirkan kesempatan untuk memberi dan menerima dukungan
4. Terapi keluarga
a. Fokuskan pada peningkatan pengetahuan tentang struktur dan fungsi
sistem keluarga
b. Bantu keluarga untuk bisa bersikap mendukung dan merawat klien tanpa
menjadi terlalu melindungi
c. Anjurkan kejujuran dalam mengekspresikan perasaan
d. Tingkatkan cara-cara efektif untuk mengatasi perasaan negatif dan
konflik keluarga, dan koreksi komunikasi yang tidak sesuai dan distorsi
kejadian-kejadian yang negatif
e. Tingkatkan kemampuan untuk mengatasi gangguan jiwa kronis
f. Verifikasi pembatasan dan peran anggota keluarga
g. Diskusikan kebutuhan untuk terlibat dalam berbagai kesempatan
interaksi sosial.
5. Terapi residensial
a. Fokuskan pada intervensi krisis
b. Atasi perilaku yang terlihat oleh keluarga dan masyarakat sebagai
penyimpangan
c. Beri lingkungan yang aman dengan ruang lingkup yang tepat dan batasan
yang realistis mengenai yang dapat diterima
d. Beri kesempatan untuk mengobati klien dan memantau efek obat
e. Melakukan rawat inap untuk mengatasi perilaku kekerasan yang
ditujukan pada diri dan orang lain
6. Terapi rawat jalan/program pengobatan sehari
a. Fokuskan pada pengelolaan gejala jangka panjang
b. Tingkatkan pengelolaan pengobatan
c. Beri terapi individual, terapi kelompok, dan aktivitas terstruktur atau
pelatihan kerja sesuai kebutuhsn klien
d. Beri pengembangan keterampilan sosial kerja, dan komunikasi secara
terus-menerus
e. Ciptakan dan pertahankan kontinuitas perawatan, rasa memiliki harapan,
dan hubungan keluarga dengan sistem kesehatan jiwa.
7. Terapi biologis
a. Farmakoterapi
Dua kelompok utama obat digunakan untuk mengatasi gangguan skizofrenia,
yaitu tipikal dan atipikal. Agens tipikal adalah neuroleptik sangat poten,
seperti flufenazin (prolixin), haloperidol (haldol), dan trifluoperazin
(stelazin). Agen ini efektif memblok reaksi dopamin diarea reseptor.
Agens tipikal dianggap penting dalam menahan gejala positif. Agens
atipikal adalah antagonis serotonergik-dopamin. Agens ini termasuk
risperidone (risperdal), olanzapine (zypreza), dan kuetiapin (seroquel),
memblok area serotonin dan dopamin tertentu. Obat ini dimetabolisme
dihati dan diekskresi oleh ginjal, sehingga fungsi hati dan fungsi ginjal
harus dipantau secara ketat. Agens atipikal digunakan untuk mengatasi
gejala positif dan negatif (G.O’Brien,2008).
pesan bahwa ia “tidak setuju tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak
respons normal (asertif) sampai pada respons sangat tidak normal ( maladaptif)
Masalah keperawatan
1. Resiko menciderai diri sendiri , oranglain dan lingkungan
- Data : muka merah, pandangan tajam , otot tegang, nada suara tinggi ,
berdebat , kadang memaksakan kehendak.
- Gejala yang muncul : stress, mengungkapkan secara verbal , menentang ,
menunut.
7. Diagnosa keperawatan
PERENCANAAN
Tgl DX
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
1 2 3 4 5
Resiko Pasien mampu : Setelah……… SP.1 (Tgl
Perilaku Mengidentifikasi pertemuan, pasien mampu ………………………………………………………….. )
kekerasan penyebab dan tanda : Identifikasi penyebab, tanda dan gejala serta akibat
Resiko perilaku Menyebutkan Resiko perilaku kekerasan
kekerasan penyebab, tanda, Latih cara fisik 1
Menyebutkan jenis gejala, dan akibat Tarik napas dalam
Resiko perilaku Resiko perilaku Masukan dalam jadwal harian pasien
kekerasan yang kekerasan
pernah dilakukan Memperagakan cara
Menyebutkan akibat fisik 1 untuk
dari Resiko perilaku mengontrol Resiko
kekerasan yang perilaku kekerasan
dilakukan
Menyebutkan cara
mengontrol Resiko
perilaku kekerasan
Mengontrol Resiko
perilaku
kekerasannya
secara :
1. Fisik
2. Social/ Verbal
3. Spiritual
4. Terapi
Psikofarmaka
(patah obat)
Setelah……… SP.2 (Tgl
pertemuan, pasien mampu ………………………………………………………….. )
: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1)
Menyebutkan Latik cara fisik 2
kegiatan yang sudah Pukul kasur/ bantal
dilakukan Masukan dalam jadwal harian pasien
Memperagakan cara
fisik untuk
mengontrol Resiko
perilaku kekerasan
Setelah……… SP.3 (Tgl
pertemuan, pasien mampu ………………………………………………………….. )
: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1 & 2)
Menyebutkan Latih secara social/ verbal
kegiatan yang sudah Menolak dengan baik
dilakukan Meminta dengan baik
Memperagakan cara Mengungkapkan dengan baik
social/ verbal untuk Masukan dalam jadwal harian pasien
mengontrol Resiko
perilaku kekerasan
Carlson, R, Neil. 2015. Fisiologi Perilaku. Edisi Kesebelas. Jilid 2. Jakarta: Penerbit
Copel, Carman, Linda. 2007. Kesehatan Jiwa & Psikiatri. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Jaya, P. (2012). Dinamika Pola Pikir Orang Jawa di tengah Arus Modernisasi.
Yosep, Iyus. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.
Yusuf. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan : Salemba Medika.
Universitas Padjajaran.
Videbeck, L, Sheila. 2016. Buku Ajar Keperawatan. Jakarta: EGC. Hal 348.