SKIZOFRENIA
Oleh:
016.06.0011
Pembimbing:
2020
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
b. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi
otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang
memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa
ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian bagian tertentu
3
otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang
berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya
juga memainkan peranan (Sadock, 2010).
c. Faktor psikososial
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam
keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah
schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk
mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan
penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-
anaknya. keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting
dalam pembentukan kepribadian (Sadock, 2010).
2.3. Jenis-Jenis Skizofrenia
A. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau
halusinasi Auditorik.Waham biasanya adalah waham kejar atau waham
kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya
waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul.
Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka
berargumentasi, dan agresif (Elvira, 2017).
B. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan
kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate.
Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak
erat kaitannya dengan isi pembicaraan (Elvira, 2017).
C. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor
yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility).
Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali
4
tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang
tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti
tingkah laku orang lain (echopraxia) (Elvira, 2017).
5
2.4. Patofisiologi Skizofrenia
6
telah sukses digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia. Di sisi lain,
penurunan reseptor D2 yang ditemukan pada korteks prefrontalis dan
penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negatif skizofrenia.,
seperti kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkin terjadi
akibat pelepasan dopamin yang meningkat dan ini tidak memiliki efek
patogenetik (Tyaswati, 2017).
7
3. Adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di nukleus kautdatus,
nukleus akumbe dan putamen pada skizofrenia.
8
delusi, dan masalah proses berpikir, yang diduga hasil dari sebuah
kelebihan fase intermiten dopamin di sinaps dalam subkelompok orang
yang bermanifestasi sindrom klinis skizofrenia. Gejala-gejala negatif
skizofrenia, termasuk apatis, penarikan, dan kurangnya motivasi, yang
diduga hasil dari defisit tonik intermiten dopamin dalam sinaps pada
subkelompok orang dengan sindrom klinis skizofrenia (Sadock, 2010).
SEROTONIN. Serotonin telah menerima banyak perhatian dalam
penelitian skizofrenia sejak dilakukannya pengamatan yang menyatakan
bahwa obat antagonis serotonin-dopamin (SDA) (contohnya. klozapin,
risperidon, sertindol) memiliki aktivitas terkait serotonin yang poten.
Secara spesifik, antagonisme pada reseptor 5-HT2, serotonin ditekankan
sebagai sesuatu yang penting dalam mengurangi gejala psikotik dan
meredakan timbulnya gangguan pergerakan terkait antagonisme-D2.
Pemeriksaan profil afinitas reseptor untuk masing-masing antagonis
serotonin-dopa- min menunjukkan tidak adanya pola atau rasio aktivitas
yang seragam selain afinitasnya terhadap reseptor 5-HT2, serotonin yang
lebih tinggi dibanding terhadap reseptor D2. Klozapin memiliki afinitas
tertinggi untuk reseptor histamin, sementara kuetiapin paling erat
berikatan dengan reseptor adrenergik-α, dan ziprasidon merupakan satu-
satunya anggota kelompok tersebut yang berinteraksi kuat dengan reseptor
5-HT1. Afinitas terhadap reseptor 5-HT2, dan D2, bervariasi dengan kisaran
lebih dari 100 kali lipat dalam kelas obat ini. Meski demikian, masing-
masing merupakan agen antipsikotik yang lebih efektif daripada ratusan
senyawa terkait yang hanya berbeda sedikit afinitasnya. Oleh sebab itu,
tampaknya berbagai sistem neurotransmiter berinteraksi dalam suatu
keseimbangan tertentu untuk mengatur tanda dan gejala skizofrenia dan,
lebih lanjut, bahwa obat antipsikotik dapat memodulasi sirkuit ini dengan
mengacaukan secara samar salah satu dari beberapa sistem
neurotransmiter tersebut. Seperti yang diisyaratkan pada penelitian
mengenai gangguan mood, aktivitas serotonin dianggap terlibat dalam
9
perilaku impulsif dan bunuh diri yang juga dapat tampak pada pasien
skizofrenik (Sadock, 2010).
NOREPINEFRIN. Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pem
berian obat antipsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas neuron
noradrenergik di lokus seruleus dan bahwa efek terapeutik beberapa obat
antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-α
dan adrenergik-α2,. Meski hubungan antara aktivitas dopaminergik dan
noradrenergik masih belum jelas. Terdapat peningkatan jumlah data yang
menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sistem
dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang
sering (Sadock, 2010).
GABA. Neurotransmiter asam amino inhibitorik, asam γ-
aminobutirat (GABA) juga dianggap terlibat dalam patofisiologi
skizofrenia. Data yang tersedia sejalan dengan hipotesis bahwa sejumlah
pasien skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABAnergik di
hipokampus. Hilangnya neuron GABAnergik inhibitorik secara teoretis
dapat mengakibatkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan
noradrenergic (Sadock, 2010).
GLUTAMAT. Hipotesis yang diajukan tentang glutamat men-
cakup hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan neurotoksisitas terinduksi
glutamat. Glutamat dilibatkan karena ingesti akut fensiklidin, suatu
antagonis glutamat, menimbulkan sindrom yang menyerupai skizofrenia
(Sadock, 2010).
2.5. Gejala – Gejala Skizofrenia
10
Tidak ada penampilan atau perilaku yang khas skizofrenia.
Beberapa bahkan dapat berpenampilan dan berperilaku "normal".
Mungkin mereka tampak berpreokupasi terhadap kesehatan, penampilan
badan, agama atau minatnya.
Pasien dengan skizofrenia kronis cenderung menelantarkan
penampilannya. Kerapian dan higiene pribadi juga terabaikan. Mereka
juga cenderung menarik diri secara sosial (Maramis, W., 2012).
B. Gangguan Pembicaraan
Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses
pikiran. Yang terganggu terutama adalah asosiasi. Asosiasi longgar berarti
tidak adanya hubungan antaride. Kalimat-kalimatnya tidak saling
berhubungan. Kadang- kadang satu idea belum selesai diutarakan, sudah
dikemukakan idea lain. Atau terdapat pemindahan maksud, misalnya
maksudnya "tani" tetapi dikatakan "sawah". Bentuk yang lebih parah
adalah inkoherensi (Maramis, W., 2012).
Neologisme. Kadang-kadang pasien dengan skizofrenia
membentuk kata baru untuk menyatakan arti yang hanya dipahami oleh
dirinya sendiri.
Mutisme. Sering tampak pada pasien skizofrenia katatonik.
Kadang-kadang pikiran seakan-akan berhenti, tidak timbul idea
lagi. keadaan ini dinamakan blocking, biasanya berlangsung beberapa
detik saja, tetapi kadang- kadang sampai beberapa hari (Maramis, W.,
2012).
C. Gangguan Perilaku
Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah
gejala katatonik yang dapat berupa stupor atau gaduh gelisah
(excitement). Pasien dengan stupor tidak bergerak, tidak berbicara, dan
tidak berespons, meskipun ia sepenuhnya sadar. Sedangkan pasien dengan
katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas motorik yang tidak
terkendali. Kedua keadaan ini kadang-kadang terjadi bergantian. Pada
stupor katatonik juga bisa didapati fleksibilitas serea dan katalepsi. Gejala
11
katalepsi adalah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang
lama. Fleksibilitas serea: bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu
tahanan seperti rada lilin atau malam dan posisi itu dipertahankan agak
lama (Maramis, W., 2012).
Gangguan perilaku lain adalah stereotipi dan manerisme.
Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap badan
tertentu disebut stereotipi; misalnya menarik-narik rambutnya, atau tiap
kali bila mau menyuap nasi mengetuk piring dulu beberapa kali. Keadaan
ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa tahun. Stereotipi
pembicaraan dinamakan verbigerasi, kata atau kalimat diulang-ulangi. Hal
ini sering juga terdapat pada gangguan otak organik Manerisme adalah
stereotipi tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam bentuk
grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan (Maramis,
W., 2012).
Negativisme: menentang atau justru melakukan yang berlawanan
dengan apa yang disuruh. Otomatisme konando tcommand automatism)
sebetulnya merupakan lawan dari negativisme: semua perintah dituruti
secara otomatis, bagaimana ganjil pun. Termasuk dalam gangguan ini
adalah ekholalia (penderita meniru kata-kata yang diucapkan orang lain)
dan ekhopraria (penderita meniru perbuațan atau gerakan orang lain)
(Maramis, W., 2012).
D. Gangguan Afek
Kedangkalan respons emosi (emotional blunting), misalnya
penderita menjadi acuh-tak-acuh terhadap hal-hal yang penting untuk
dirinya sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa depannya. Perasaan
halus sudah hilang Juga sering didapati anhedonia (Maramis, W., 2012).
Parathimi, apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan
gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah (Maramis, W.,
2012).
Paramimi, penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia
menangis. Parathimi dan paramimi bersama-sama dinamakan incongruity
12
of affect dalam bahasa Inggris dan inadequaat dalam bahasa Belanda
(Maramis, W., 2012).
Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai
kesatuan, misalnya sesudah membunuh anaknya penderita menangis
berhari-hari, tetapi mulutnya seperti tertawa. Semua ini merupakan
gangguan afek dan emosi yang khas untuk skizofrenia (Maramis, W.,
2012).
Gangguan afek dan emosi lain adalah: Emosi yang berebihan,
sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti penderita sedang
bersandiwara. Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya
kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional
rapport). Karena itu sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita
(Maramis, W., 2012).
Sensitivitas emosi. Penderita skizofrenia sering menunjukkan
hipersensitivitas terhadap penolakan, bahkan sebelum menderita sakit.
Sering hal ini menimbulkan isolasi sosial untuk menghindari penolakan
(Maramis, W., 2012).
E. Gangguan Persepsi
Halusinasi: Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan
kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai
pada keadaan lain. Paling sering pada skizofrenia adalah halusinasi
pendengaran (auditorik atau: akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi
barang-barang atau siulan. Halusinasi penciuman (olfatorik), halusinasi
pengecapan (gustatorik) atau halusinasi rabaar (taktil) jarang dijumpai.
Misalnya penderita mencium kembang ke mana pun ia pergi, atau ada
orang yang menyinarinya dengan alat rahasia, atau ia merasa ada racun di
dalam makanannya. Halusinasi penglihatan (optik) agak jarang pada
skizofrenia, lebih sering pada psikosis akut vang berhubungan dengan
sindrom otak organik. Bila terdapat, maka biasanya pada stadium
permulaan, misalnya penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka
orang yang menakutkan (Maramis, W., 2012).
13
F. Gangguan Pikiran
Waham: Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali
dan sangat bizar Penderita tidak menginsafi hal ini dan baginya wahamnya
merupakan fakta yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sebaliknya ia
tidak mengubah sikapnya yang bertentangan, misalnya penderita
berwaham bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main dengan air ludahnya dan
mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Mayer-Gross membagi waham
dalam 2 kelompok; yaitu waham primer dan waham sekunder. Mungkin
juga terdapat waham sistematis. Ada juga tafsiran yang bersifat waham
(delusional interpretations) (Maramis, W., 2012).
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa
penyebab apa-apa dari luar. Menurut Mayer-Gross hal ini hampir
patognomonik buat skizofrenia. Misalnya waham bahwa istrinya sedang
berbuat serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua
kali, atau seorang penderita berkata "dunia akan kiamat" sebab ia melihat
seekor anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohon untuk kencing.
Waham sekunder biasanya logis kedengarannya: dapat diikuti dan
merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala
skizofrenia lain. Waham dinamakan mernurut isinya: waham kebesaran
atau expansif, waham nihilistik, waham kejaran, waham sindiran, wahram
dosa, dan sebagainya. Waham primer agak jarang terjadi dan lebih sulit
ditentukan dengan pasti. Waham kejaran (persecutory dehusion) sering
didapatkan tetapi tidak spesifik untuk skizofrenia. Waham referensi dan
waham kendali serta waham pikiran sisipan atau pikiran siaran lebih
jarang terjadi tetapi mempunyai arti diagnostik yang lebih besar untuk
skizofrenia (Maramis, W., 2012).
Gejala positif
Waham
14
Waham adalah kepercayaan palsu yang tetap dipertahankan
walaupun diperlihatkan bukti yang jelas untuk
mengoreksinya.Semakin akut skizofrenia semakin sering mengalami
waham. (waham kejar, yaitu percaya bahwa dirinya selalu dikejar-
kejar orang; waham curiga, yaitu rasa curiga yang berlebihan; waham
kebesaran, yaitu kepercayaan bahwa dirinya adalah orang penting)
(Elvira, 2017).
Halusinasi
Halusinasi adalah gangguan penerimaan pancaindra tanpa ada
stimulus eksternal (halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan,
penciuman, dan perabaan).
Jenis halusinasi yang sering terjadi pada skizofrenia yaitu
halusinasi audiotorial, tapi bisa juga terjadi halusinasi jenis lain.
Jenis halusinasi audiotorial berupa suara satu orang atau
beberapa orang, orang yang dikenal atau belum, isinya komentar
tentang pasien ataupun perintah. Halusinasi ini terjadi saat sadar
penuh, jika terjadi saat ingin tidur: hipnogogik, dan jika terjadi saat
bangun tidur: hipnopompik (Elvira, 2017).
Pembicaraan terganggu
o Dalam pembicaraan tiba-tiba tidak dapat melanjutkan isi
pembicaraan.
o Inkoheren: berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara
kacau).
o Neologisme: menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh
diri sendiri, tetapi tidak dimengerti oleh orang lain (Elvira, 2017).
Perilaku disorganisasi
Gejala Negatif
15
Avolisi yaitu berkurangnya keinginan untuk melakukan aktivitas yang
bertujuan
Dua hal ini yang paling menonjol pada skizofrenia
Alogia yaitu jarang bicara
Anhedonia yaitu berkurangnya kemampuan untuk merasakan senang
Asosialisasi yaitu berkurangnya minat untuk interaksi social (Elvira,
2017).
2.6. Diagnosis Skizofrenia
16
- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang dirinya = secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
pengideraan khusus);
- “delusional perception” = pengalaman inderawi yang
tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien atau
- mendiskusikan perihal pasien diantara mereka
sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara),
atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah
satu bagian
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut
budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang
mustahil, misalnya perihal keyakinan atau politik tertentu,
atau kekuatan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk
asing dari dunia lain.
Atau paling sedikit dua gejala di bawa ini yang harus selalu ada
secara jelas :
(e) halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas,
ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
17
(f) arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami
sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
(g) perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah
(excitement), posis tubuh tertentu (poturing), atau
fleksibilitas cerea, negativisme, dan stupor;
(h) gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara
yang jarang dan respons emosional yang menumpul atau
tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan social dan menurunnya kinerja social; tetapi
harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung
selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku
untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek
perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan
penarikan diri secara sosial.
18
verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung
(humming), atau bunyi tawa (laughing);
(b) halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual
mungkin ada tetapi jarang menonjol;
(c) waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas
- gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta
gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol
19
diri (selfsatisfied), senyum sendiri (self-absorbed smiling),
atau oleh sikap tinggi hati (lofty manner), tertawa
menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara
bersendau gurau (pranks), keluhan hipokondriakal, dan
ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu (rambling) serta inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses
pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada
tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary
delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan
yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of
purpose). Adanya situasi preokupasi yang dangkal dan dibuat-
buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
20
atau aneh)
(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan,
atau pergerakan kearah yang berlawanan)
(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk
melawan upaya menggerakkan dirinya)
(f) Fleksibilitas cerea/ “waxy flexibility” (mempertahankan
anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk
dari luar); dan
(g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism”
(kepatuhan secara otomatis terhadap perintah), dan
pengulangan kata-kata serta kalimatkalimat
Pada pasien yang tidak komuikatif dengan manifestasi perilaku
dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus
ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya
gejala-gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-
gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif.
21
(a) pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria
umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
(b) beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
(c) gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi
paling sedikit kriteria untuk episode depresi (F32.-), dan
telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia,
diagnosis menjadi Episode Depresif (F32.-). Bila gejala
skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah
satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0-F20.3).
22
(d) tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik
lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat
menjelaskan disabilitas negatif tersebut.
A. Dua atau lebih gejala dibawah ini, berlangsung paling sedikit satu bulan
(atau bisa kurang bila berhasil diterapi). Paling sedikit satu dari gejela ini
harus ada (1), (2) dan (3):
1. Waham
2. Halusinasi.
3. Pembicaraan yang tidak terorganisir (misalnya, inkoheren).
4. Perilaku disorganisasi atau katatonik.
5. Simtom negatif (berkurangnya ekspresi emosi atau avolisi).
23
B. Sejak awitan gangguan, untuk periode waktu yang cukup bermakna,
terdapat penurunan derajat fungsi dalam satu atau lebih area penting,
misalnya fungsi pekerjaan, hubungan interpersonal, perawatan diri (di
bawah derajat yang pernah dicapai sebelum awitan). Bila awitannya terjadi
pada masa anak dan remaja, terdapat kegagalan dalam mencapai derajat
fungsi pekerjaan, akademik dan hubungan interpersonal yang diharapkan.
C. Tanda-tanda, secara terus menerus menetap paling sedikit enam bulan.
Dalam periode enam bulan tersebut harus terdapat paling sedikit satu
bulan simtom (bisa kurang bila berhasil diterapi) yang memenuhi Kriteria
A (simtom-simtom pada fase aktif) dan juga dapat termasuk simtom
periode prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual,
tanda- tanda gangguan dapat bermanifestasi hanya dalam bentuk simtom
negatif atau dua atau lebih simtom yang terdapat pada Kriteria A dalam
derajat yang lebih ringan (misalnya, kepercayaan-kepercayaan aneh,
pengalaman persepsi yang tak lumrah).
D. Harus telah disingkirkan gangguan skizoafektif dan gangguan depresi atau
bipolar dengan ciri psikotik;
1) Tidak terdapat secara bersamaan dengan episode depresi atau manik
selama simtom fase-aktif
2) Bila terdapat episode mood selama fase-aktif, ia harus terlihat dalam
minoritas durasi total periode aktif atau residual penyakit.
E. Gangguan yang terjadi tidak disebabkan oleh efek fisiologi zat (misalnya,
penyalahgunaan zat atau medikasi) atau kondisi medis lainnya.
F. Bila terdapat riwayat gangguan spektrum autisme atau gangguan
komunikasi awitan masa anak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat
hanya bila waham atau halusinasi yang menonjol. Simtom-simtom lainnya
yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis gangguan skizofrenia juga
harus terjadi paling sedikit satu bulan (kurang bila berhasil diterapi).
a. Fase Akut
24
1. Farmakoterapi
Langkah Pertama:
Langkah Kedua:
Obat injeksi:
25
(c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat
20mg/hari.
maksimum 30mg/hari.
Obat oral:
obat tertentu terkait cara pemberiannya. Pada fase akut, obat segera
26
waktu 1 – 3 minggu, sampai dosis optimal yang dapat
2. Psikoedukasi
(KemenkesRI, 2015).
b. Fase Stabilisasi
1. Farmakoterapi
tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotika
(KemenkesRI, 2015).
2. Psikoedukasi
27
diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik
(KemenkesRI, 2015).
c. Fase Rumatan
1. Farmakoterapi
akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah
2. Psikoedukasi
cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga
28
3. Jenis: Prognosis jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering
penderita dengan skizofrenia katatonik sembuh dan kembali ke
kepribadian prepsikotik. Kemudian menyusul prognosis jenis paranoid.
Banyak dari penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Skizofrenia
hebefrenik dan skizofrenia simplex mempunyai prognosis yang sama
jelek. Biasanya penderita dengan jenis skizofrenia ini menuju ke arah
kemunduran mental.
4. Umur: Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosis.
5. Pengobatan: Makin lekas diberi pengobatan, makin baik.
6. Faktor keturunan: prognosis menjadi lebih berat bila di dalam keluarga
terdapat yang juga menderita skizofrenia.
29
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
30
DAFTAR PUSTAKA
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. 2017. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2015.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. 26 Februari 2015. Jakarta
Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM-5
Sadock, B. J., Sadock, V. A. 2010. Kaplan & Sadock’s Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi 2. Jakarta: EGC
31