Anda di halaman 1dari 31

TINJAUAN PUSTAKA

SKIZOFRENIA

Oleh:

Siska Putri Utami

016.06.0011

Pembimbing:

dr. Pande Sura Oka, Sp.KJ

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF PSIKIATRI RSU BANGLI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR


MATARAM

2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan psikosis adalah gangguan kejiwaan berupa hilang kontak


dengan kenyataan yaitu penderita kesulitan membedakan hal nyata dengan
tidak, umumnya akan dimulai dengan kesulitan konsentrasi, berbicara tidak
jelas dan kesulitan mengingat. Penderita gangguan psikosis akan terlihat
menyendiri dengan emosi yang datar tetap secara mendadak emosi menjadi
sangat tinggi atau depresi
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang ditandai dengan gangguan
proses pikir dan emosi. Pada umumnya gejala yang muncul adalah halusinasi
dengar, paranoid atau waham, cara berfikir kacau, dan disertai disfungsi
sosial. Gejala yang muncul biasa dalam usia dewasa muda, dengan prevalensi
global 0,3 % sampai 0,7%. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pengamatan
perilaku danpengalaman yang dilaporkan.
Faktor lingkungan bisa menjadi penyebab gangguan ini dan perkembangan
skizofrenia. Faktor genetika juga berperan dalam proses penurunan sifat
gangguan pada anggota keluarga. Resiko terbesar penyakit skizofrenia ini
adalah 6,5%. Satu teori mengasumsikan keterlibatan genetik dalam evolusi
sifat manusia yaitu alami, namun belum ada teori resminya hingga saat ini.
Selain faktor genetika, faktor lingkungan seperti tempat tinggal, penggunaan
obat, stres juga mampu mempengaruhi. Penderita yang diberikan dukungan
oleh orang sekitarnya akan berkembang lebih baik daripada yang lebih banyak
dikritik oleh orang tuanya. Faktor lainnya yang memiliki peranan penting juga
seperti isolasi sosial, disfungsi keluarga, pengangguran, dankondisi ekonomi
yang buruk atau kehidupan yang penuh tekanan dari oprang orang sekitar.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu


gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada
persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang (Sadock, 2010).

2.2. Etiologi Skizofrenia

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa


penyebab skizofrenia, antara lain:
a. Faktor genetik
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal
ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga
penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur, bagi
kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%, kembar dua telur
(heterozigot) 2 -15%, bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan
salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua
orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%. Risiko untuk mengalami
skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota
keluarga yang memiliki penyakit ini dan tingkat keparahan pada orang-
orang yang mengalami gangguan ini berbeda-beda(dari ringan sampai
berat), ini karena Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah
fenomena yang disebut quantitative trait loci (Sadock, 2010).

b. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi
otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang
memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa
ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian bagian tertentu

3
otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang
berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya
juga memainkan peranan (Sadock, 2010).
c. Faktor psikososial
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam
keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah
schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk
mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan
penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-
anaknya. keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting
dalam pembentukan kepribadian (Sadock, 2010).
2.3. Jenis-Jenis Skizofrenia

A. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau
halusinasi Auditorik.Waham biasanya adalah waham kejar atau waham
kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya
waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul.
Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka
berargumentasi, dan agresif (Elvira, 2017).
B. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan
kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate.
Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak
erat kaitannya dengan isi pembicaraan (Elvira, 2017).

C. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor
yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility).
Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali

4
tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang
tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti
tingkah laku orang lain (echopraxia) (Elvira, 2017).

D. Tipe tak terinci / Undifferentiated


Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis
aktif yang menonjol (misalnya kebingunan dan inkoheren) atau memenuhi
kriteria skizofrenia tapi tidak dapat digolongkan dalam type paranoid,
katatonik, heberfrenik, residual atau depresi pasca scizofrenia (Elvira,
2017).
E. Tipe residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari
skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa,
seperti keyakinan keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide
tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu
dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran tak logis,
inaktivitas, dan afek datar (Elvira, 2017).
F. Depresi pasca skizofrenia
Merupakan episode depresif yang berlangsung lama dan terjadi
setelah serangan skizofrenia selama 12 bulan terakhir. Gejala skizofrenia
masih ada tetapi tidak menonjol, gejala yang menetap ini bisa gejala
positif atau negative tapi paling sering negative (Elvira, 2017).

5
2.4. Patofisiologi Skizofrenia

Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan


glukosa, terutama di korteks prefrontalis. Selain itu, migrasi neuron
abnormal selama perkembangan otak secara patofisologis sangat
bermakna. Atrofi penonjolan dendrit dari sel piramidal telah ditemukan
pada korteks prefrontalis dan girus singulata. Penonjolan dendrit
mengandung sinaps glutaminergik, sehingga transmisi glutamineriknya
terganggu. Selain itu, pada area yang terkena, pembentukan GABA dan
atau jumlah neuron GABAnergik tampaknya berkurang sehingga
penghambatan sel piramidal menjadi berkurang (Tyaswati, 2017).

Makna patofisiologis khusus dikaitkan dengan dopamin.


Availabilitas dopamin atau agonis dopamin yang berlebihan dapat
menimbulkan gejala skizofrenia. Penghambatan pada reseptor dopamin-D2

6
telah sukses digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia. Di sisi lain,
penurunan reseptor D2 yang ditemukan pada korteks prefrontalis dan
penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negatif skizofrenia.,
seperti kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkin terjadi
akibat pelepasan dopamin yang meningkat dan ini tidak memiliki efek
patogenetik (Tyaswati, 2017).

Dopamin berperan sebagai transmiter melalui beberapa jalur


(Silbernagl, 2003):

a. Jalur dopaminergik ke sistem limbik (mesolimbik)


b. Jalur dopaminergik kekorteks (sistem mesokorteks) mungkin
penting dalam perkembangan skizofrenia
c. Pada sistem tubuloinfundibular, dopamin mengatur pelepasan
hormon hipofisis (terutama pelepasan prolaktin)
d. Dopamin mengatur aktivitas motorik pada sistem nigrostriatal.
Serotonin mungkin juga berperan dalam menimbulkan gejala
skizofrenia. Kerja serotonin yang berlebihan dapat menimbulkan
halusinasi dan banyak obat antipsikotik akan menghambat reseptor 5-HT2A
(Tyaswati, 2017).
Hipotesis yang paling banyak yaitu adanya gangguan
neurotransmitter sentral yaitu terjadinya peningkatan aktivitas dopamin
sentral (hipotesis dopamin). Hipotesis ini dibuat berdasarkan tiga
penemuan utama (Elvira, 2017):
1. Efektivitas obat-obat neuroleptik (misalya fenotiazin) pada
skizofrenia, ia bekerja memblok reseptor dopamin pasca sinaps
(tipe D2).
2. Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin. Psikosis
yang terjadi sukar dibedakan, secara klinik dengan psikosis
skizofrenia paranoid akut. Amfetamin melepaskan dopamin
sentral. Selain itu, amfetamin juga memperburuk skizofrenia.

7
3. Adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di nukleus kautdatus,
nukleus akumbe dan putamen pada skizofrenia.

Hipotesis Dopamin Skizofrenia

Pengenalan bahwa dopamin, suatu neurotransmitter eksitator, yang


kemungkinan memainkan peran dalam patogenesis, patofisiologi, dan
farmakoterapi skizofrenia merupakan temuan kunci di jalan untuk
meringankan gangguan tersebut (Brasic, 2013).
Dopamin merupakan neurotransmitter endogen biasanya ada di
seluruh tubuh manusia. Untuk memungkinkan komunikasi antara neuron,
neuron presinaptik melepaskan dopamin ke dalam sinaps untuk melakukan
perjalanan ke neuron postsynaptic dengan mengikat reseptor dopamin dan
kemudian menstimulasi neuron pasca-sinaptik. Dopamin yang tersisa di
sinaps ini kemudian dibawa kembali ke dalam neuron presinaptik oleh
transporter dopamin untuk ditempatkan dalam paket yang akan dilepas
bila diperlukan (Sadock, 2010).
Garis besar bukti berkumpul untuk mengkonfirmasi gagasan
bahwa perubahan dalam densitas, distribusi, dan fungsi neuroreseptor D2
dan D3 di otak berperan dalam patogenesis dan patofisiologi skizofrenia.
Hipotesis dopamin pada skizofrenia mengusulkan bahwa skizofrenia
adalah hasil dari disfungsi neurotransmisi dopaminergik di otak.
Kemungkinan terdapat beberapa subtipe biologis yang berbeda dari orang
dengan skizofrenia.Temuan yang berbeda dari penelitian yang diterbitkan
tentang neuroreseptor pada orang dengan skizofrenia mungkin hasil dari
perbedaan subkelompok biologis yang tidak diketahui dari populasi orang
dengan sindrom klinis skizofrenia.Sebuah subkelompok biologis orang
dengan skizofrenia tampaknya memiliki penurunan basal, level tonik
dopamin intrasinaptik yang mengakibatkan hiperfungsi sistem
dopaminergik pada skizofrenia. Gejala-gejala positif skizofrenia,
menyajikan pada masa remaja dan dewasa muda, termasuk halusinasi,

8
delusi, dan masalah proses berpikir, yang diduga hasil dari sebuah
kelebihan fase intermiten dopamin di sinaps dalam subkelompok orang
yang bermanifestasi sindrom klinis skizofrenia. Gejala-gejala negatif
skizofrenia, termasuk apatis, penarikan, dan kurangnya motivasi, yang
diduga hasil dari defisit tonik intermiten dopamin dalam sinaps pada
subkelompok orang dengan sindrom klinis skizofrenia (Sadock, 2010).
SEROTONIN. Serotonin telah menerima banyak perhatian dalam
penelitian skizofrenia sejak dilakukannya pengamatan yang menyatakan
bahwa obat antagonis serotonin-dopamin (SDA) (contohnya. klozapin,
risperidon, sertindol) memiliki aktivitas terkait serotonin yang poten.
Secara spesifik, antagonisme pada reseptor 5-HT2, serotonin ditekankan
sebagai sesuatu yang penting dalam mengurangi gejala psikotik dan
meredakan timbulnya gangguan pergerakan terkait antagonisme-D2.
Pemeriksaan profil afinitas reseptor untuk masing-masing antagonis
serotonin-dopa- min menunjukkan tidak adanya pola atau rasio aktivitas
yang seragam selain afinitasnya terhadap reseptor 5-HT2, serotonin yang
lebih tinggi dibanding terhadap reseptor D2. Klozapin memiliki afinitas
tertinggi untuk reseptor histamin, sementara kuetiapin paling erat
berikatan dengan reseptor adrenergik-α, dan ziprasidon merupakan satu-
satunya anggota kelompok tersebut yang berinteraksi kuat dengan reseptor
5-HT1. Afinitas terhadap reseptor 5-HT2, dan D2, bervariasi dengan kisaran
lebih dari 100 kali lipat dalam kelas obat ini. Meski demikian, masing-
masing merupakan agen antipsikotik yang lebih efektif daripada ratusan
senyawa terkait yang hanya berbeda sedikit afinitasnya. Oleh sebab itu,
tampaknya berbagai sistem neurotransmiter berinteraksi dalam suatu
keseimbangan tertentu untuk mengatur tanda dan gejala skizofrenia dan,
lebih lanjut, bahwa obat antipsikotik dapat memodulasi sirkuit ini dengan
mengacaukan secara samar salah satu dari beberapa sistem
neurotransmiter tersebut. Seperti yang diisyaratkan pada penelitian
mengenai gangguan mood, aktivitas serotonin dianggap terlibat dalam

9
perilaku impulsif dan bunuh diri yang juga dapat tampak pada pasien
skizofrenik (Sadock, 2010).
NOREPINEFRIN. Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pem
berian obat antipsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas neuron
noradrenergik di lokus seruleus dan bahwa efek terapeutik beberapa obat
antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-α
dan adrenergik-α2,. Meski hubungan antara aktivitas dopaminergik dan
noradrenergik masih belum jelas. Terdapat peningkatan jumlah data yang
menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sistem
dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang
sering (Sadock, 2010).
GABA. Neurotransmiter asam amino inhibitorik, asam γ-
aminobutirat (GABA) juga dianggap terlibat dalam patofisiologi
skizofrenia. Data yang tersedia sejalan dengan hipotesis bahwa sejumlah
pasien skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABAnergik di
hipokampus. Hilangnya neuron GABAnergik inhibitorik secara teoretis
dapat mengakibatkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan
noradrenergic (Sadock, 2010).
GLUTAMAT. Hipotesis yang diajukan tentang glutamat men-
cakup hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan neurotoksisitas terinduksi
glutamat. Glutamat dilibatkan karena ingesti akut fensiklidin, suatu
antagonis glutamat, menimbulkan sindrom yang menyerupai skizofrenia
(Sadock, 2010).
2.5. Gejala – Gejala Skizofrenia

Gejala psikotik ditandai oleh abnormalitas dalam bentuk dan isi


pikiran, persepsi, dan emosi serta perilaku. Berikut ini beberapa gejala yang
dapat diamati pada skizofrenia.

A. Penampilan dan Perilaku Umum

10
Tidak ada penampilan atau perilaku yang khas skizofrenia.
Beberapa bahkan dapat berpenampilan dan berperilaku "normal".
Mungkin mereka tampak berpreokupasi terhadap kesehatan, penampilan
badan, agama atau minatnya.
Pasien dengan skizofrenia kronis cenderung menelantarkan
penampilannya. Kerapian dan higiene pribadi juga terabaikan. Mereka
juga cenderung menarik diri secara sosial (Maramis, W., 2012).
B. Gangguan Pembicaraan
Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses
pikiran. Yang terganggu terutama adalah asosiasi. Asosiasi longgar berarti
tidak adanya hubungan antaride. Kalimat-kalimatnya tidak saling
berhubungan. Kadang- kadang satu idea belum selesai diutarakan, sudah
dikemukakan idea lain. Atau terdapat pemindahan maksud, misalnya
maksudnya "tani" tetapi dikatakan "sawah". Bentuk yang lebih parah
adalah inkoherensi (Maramis, W., 2012).
Neologisme. Kadang-kadang pasien dengan skizofrenia
membentuk kata baru untuk menyatakan arti yang hanya dipahami oleh
dirinya sendiri.
Mutisme. Sering tampak pada pasien skizofrenia katatonik.
Kadang-kadang pikiran seakan-akan berhenti, tidak timbul idea
lagi. keadaan ini dinamakan blocking, biasanya berlangsung beberapa
detik saja, tetapi kadang- kadang sampai beberapa hari (Maramis, W.,
2012).
C. Gangguan Perilaku
Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah
gejala katatonik yang dapat berupa stupor atau gaduh gelisah
(excitement). Pasien dengan stupor tidak bergerak, tidak berbicara, dan
tidak berespons, meskipun ia sepenuhnya sadar. Sedangkan pasien dengan
katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas motorik yang tidak
terkendali. Kedua keadaan ini kadang-kadang terjadi bergantian. Pada
stupor katatonik juga bisa didapati fleksibilitas serea dan katalepsi. Gejala

11
katalepsi adalah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang
lama. Fleksibilitas serea: bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu
tahanan seperti rada lilin atau malam dan posisi itu dipertahankan agak
lama (Maramis, W., 2012).
Gangguan perilaku lain adalah stereotipi dan manerisme.
Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap badan
tertentu disebut stereotipi; misalnya menarik-narik rambutnya, atau tiap
kali bila mau menyuap nasi mengetuk piring dulu beberapa kali. Keadaan
ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa tahun. Stereotipi
pembicaraan dinamakan verbigerasi, kata atau kalimat diulang-ulangi. Hal
ini sering juga terdapat pada gangguan otak organik Manerisme adalah
stereotipi tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam bentuk
grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan (Maramis,
W., 2012).
Negativisme: menentang atau justru melakukan yang berlawanan
dengan apa yang disuruh. Otomatisme konando tcommand automatism)
sebetulnya merupakan lawan dari negativisme: semua perintah dituruti
secara otomatis, bagaimana ganjil pun. Termasuk dalam gangguan ini
adalah ekholalia (penderita meniru kata-kata yang diucapkan orang lain)
dan ekhopraria (penderita meniru perbuațan atau gerakan orang lain)
(Maramis, W., 2012).
D. Gangguan Afek
Kedangkalan respons emosi (emotional blunting), misalnya
penderita menjadi acuh-tak-acuh terhadap hal-hal yang penting untuk
dirinya sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa depannya. Perasaan
halus sudah hilang Juga sering didapati anhedonia (Maramis, W., 2012).
Parathimi, apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan
gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah (Maramis, W.,
2012).
Paramimi, penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia
menangis. Parathimi dan paramimi bersama-sama dinamakan incongruity

12
of affect dalam bahasa Inggris dan inadequaat dalam bahasa Belanda
(Maramis, W., 2012).
Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai
kesatuan, misalnya sesudah membunuh anaknya penderita menangis
berhari-hari, tetapi mulutnya seperti tertawa. Semua ini merupakan
gangguan afek dan emosi yang khas untuk skizofrenia (Maramis, W.,
2012).
Gangguan afek dan emosi lain adalah: Emosi yang berebihan,
sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti penderita sedang
bersandiwara. Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya
kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional
rapport). Karena itu sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita
(Maramis, W., 2012).
Sensitivitas emosi. Penderita skizofrenia sering menunjukkan
hipersensitivitas terhadap penolakan, bahkan sebelum menderita sakit.
Sering hal ini menimbulkan isolasi sosial untuk menghindari penolakan
(Maramis, W., 2012).
E. Gangguan Persepsi
Halusinasi: Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan
kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai
pada keadaan lain. Paling sering pada skizofrenia adalah halusinasi
pendengaran (auditorik atau: akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi
barang-barang atau siulan. Halusinasi penciuman (olfatorik), halusinasi
pengecapan (gustatorik) atau halusinasi rabaar (taktil) jarang dijumpai.
Misalnya penderita mencium kembang ke mana pun ia pergi, atau ada
orang yang menyinarinya dengan alat rahasia, atau ia merasa ada racun di
dalam makanannya. Halusinasi penglihatan (optik) agak jarang pada
skizofrenia, lebih sering pada psikosis akut vang berhubungan dengan
sindrom otak organik. Bila terdapat, maka biasanya pada stadium
permulaan, misalnya penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka
orang yang menakutkan (Maramis, W., 2012).

13
F. Gangguan Pikiran
Waham: Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali
dan sangat bizar Penderita tidak menginsafi hal ini dan baginya wahamnya
merupakan fakta yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sebaliknya ia
tidak mengubah sikapnya yang bertentangan, misalnya penderita
berwaham bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main dengan air ludahnya dan
mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Mayer-Gross membagi waham
dalam 2 kelompok; yaitu waham primer dan waham sekunder. Mungkin
juga terdapat waham sistematis. Ada juga tafsiran yang bersifat waham
(delusional interpretations) (Maramis, W., 2012).
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa
penyebab apa-apa dari luar. Menurut Mayer-Gross hal ini hampir
patognomonik buat skizofrenia. Misalnya waham bahwa istrinya sedang
berbuat serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua
kali, atau seorang penderita berkata "dunia akan kiamat" sebab ia melihat
seekor anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohon untuk kencing.
Waham sekunder biasanya logis kedengarannya: dapat diikuti dan
merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala
skizofrenia lain. Waham dinamakan mernurut isinya: waham kebesaran
atau expansif, waham nihilistik, waham kejaran, waham sindiran, wahram
dosa, dan sebagainya. Waham primer agak jarang terjadi dan lebih sulit
ditentukan dengan pasti. Waham kejaran (persecutory dehusion) sering
didapatkan tetapi tidak spesifik untuk skizofrenia. Waham referensi dan
waham kendali serta waham pikiran sisipan atau pikiran siaran lebih
jarang terjadi tetapi mempunyai arti diagnostik yang lebih besar untuk
skizofrenia (Maramis, W., 2012).

Gejala positif

 Waham

14
Waham adalah kepercayaan palsu yang tetap dipertahankan
walaupun diperlihatkan bukti yang jelas untuk
mengoreksinya.Semakin akut skizofrenia semakin sering mengalami
waham. (waham kejar, yaitu percaya bahwa dirinya selalu dikejar-
kejar orang; waham curiga, yaitu rasa curiga yang berlebihan; waham
kebesaran, yaitu kepercayaan bahwa dirinya adalah orang penting)
(Elvira, 2017).
 Halusinasi
Halusinasi adalah gangguan penerimaan pancaindra tanpa ada
stimulus eksternal (halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan,
penciuman, dan perabaan).
Jenis halusinasi yang sering terjadi pada skizofrenia yaitu
halusinasi audiotorial, tapi bisa juga terjadi halusinasi jenis lain.
Jenis halusinasi audiotorial berupa suara satu orang atau
beberapa orang, orang yang dikenal atau belum, isinya komentar
tentang pasien ataupun perintah. Halusinasi ini terjadi saat sadar
penuh, jika terjadi saat ingin tidur: hipnogogik, dan jika terjadi saat
bangun tidur: hipnopompik (Elvira, 2017).
 Pembicaraan terganggu
o Dalam pembicaraan tiba-tiba tidak dapat melanjutkan isi
pembicaraan.
o Inkoheren: berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara
kacau).
o Neologisme: menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh
diri sendiri, tetapi tidak dimengerti oleh orang lain (Elvira, 2017).
 Perilaku disorganisasi

Gejala Negatif

 Berkurangnya ekspresi emosi pada wajah, kontak mata, intonasi


pembicaraan, gerakan tangan, kepala.

15
 Avolisi yaitu berkurangnya keinginan untuk melakukan aktivitas yang
bertujuan
Dua hal ini yang paling menonjol pada skizofrenia
 Alogia yaitu jarang bicara
 Anhedonia yaitu berkurangnya kemampuan untuk merasakan senang
 Asosialisasi yaitu berkurangnya minat untuk interaksi social (Elvira,
2017).
2.6. Diagnosis Skizofrenia

Adapun kriteria diagnostik skizofrenia beserta pembagiannya


menurut PPDGJ-III
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas
(dan biasanya 2 gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang
tajam atau kurang jelas) :
(a)
- “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang
atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi
pikiran ulangan walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda; atau
- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang
asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion)
atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal); dan
- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar
sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
(b)
- “delusion of control” = waham tentang dirinya
dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau
- “delusion of influence” = waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau

16
- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang dirinya = secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
pengideraan khusus);
- “delusional perception” = pengalaman inderawi yang
tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien atau
- mendiskusikan perihal pasien diantara mereka
sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara),
atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah
satu bagian
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut
budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang
mustahil, misalnya perihal keyakinan atau politik tertentu,
atau kekuatan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk
asing dari dunia lain.
 Atau paling sedikit dua gejala di bawa ini yang harus selalu ada
secara jelas :
(e) halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas,
ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;

17
(f) arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami
sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
(g) perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah
(excitement), posis tubuh tertentu (poturing), atau
fleksibilitas cerea, negativisme, dan stupor;
(h) gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara
yang jarang dan respons emosional yang menumpul atau
tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan social dan menurunnya kinerja social; tetapi
harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
 Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung
selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku
untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek
perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan
penarikan diri secara sosial.

Diagnosis Jenis-Jenis Skizofrenia

F20.0 Skizofrenia Paranoid

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.


 Sebagai tambahan:
- halusinasi dan/atau waham harus menonjol:
(a) suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau
memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk

18
verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung
(humming), atau bunyi tawa (laughing);
(b) halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual
mungkin ada tetapi jarang menonjol;
(c) waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas
- gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta
gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol

F20.1 Skizofrenia Hebefrenik

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.


 Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada
usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25
tahun)
 Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan
senang menyendiri (solitary), namum tidak harus demikian
untuk menentukan diagnosis.
 Untuk diagnosis hebefrenik yang meyakinkan umumnya
diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya,
untuk memastikan gejala berikut bertahan:
- Perilaku tidak bertanggung jawab dan tidak dapat
diramalkan, serta mannerisme; kecenderungan untuk selalu
menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa
tujuan dan hampa perasaan
- Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate),
sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas

19
diri (selfsatisfied), senyum sendiri (self-absorbed smiling),
atau oleh sikap tinggi hati (lofty manner), tertawa
menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara
bersendau gurau (pranks), keluhan hipokondriakal, dan
ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu (rambling) serta inkoheren.
 Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses
pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada
tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary
delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan
yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of
purpose). Adanya situasi preokupasi yang dangkal dan dibuat-
buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.

F20.2 Skizofrenia Katatonik

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.


 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi
gambaran klinisnya:
(a) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap
lingkungan dan dalam Gerakan serta aktivitas spontan) atau
mutisme (tidak berbicara)
(b) Gaduh-gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak
bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
(c) Menampilkan posisi tertentu (seacara sukarela mengambil
dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar

20
atau aneh)
(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan,
atau pergerakan kearah yang berlawanan)
(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk
melawan upaya menggerakkan dirinya)
(f) Fleksibilitas cerea/ “waxy flexibility” (mempertahankan
anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk
dari luar); dan
(g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism”
(kepatuhan secara otomatis terhadap perintah), dan
pengulangan kata-kata serta kalimatkalimat
 Pada pasien yang tidak komuikatif dengan manifestasi perilaku
dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus
ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya
gejala-gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-
gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif.

F20.3 Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.


 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi
pascaskizofrenia

F20.4 Depresi Pasca-Skizofrenia

 Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:

21
(a) pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria
umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
(b) beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
(c) gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi
paling sedikit kriteria untuk episode depresi (F32.-), dan
telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia,
diagnosis menjadi Episode Depresif (F32.-). Bila gejala
skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah
satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0-F20.3).

F20.5 Skizofrenia Residual

 Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini


harus dipeuhi semua:
(a) gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan
dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal
ynag buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja
social yang buruk;
(b) sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di
masa lampau yang memenuhi kriteria umum diagnosis
skizofrenia;
(c) sedikitnya sudah melampaui kurun waktu 1 tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom “negatif” dari skizofrenia

22
(d) tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik
lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat
menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

F20.6 Skizofrenia Simpleks

 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan


karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang
berjalan perlahan dan progresif dari:
- gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi
lain dari episode psikotik, dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi
yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat
yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan
hidup, dan penarikan diri secara sosial
 Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan sub
tipe skizofrenia lain

Diagnosis skizofrenia ditegakkan melalui kriteria diagnosis yang


tercantum dalam DSM V. Sehingga segala gejala yang timbul pada seseorang
dapat dikategorikan sebagai skizofrenia jika memenuhi kriteria yang sudah
ditetapkan. Adapun kriteria diagnostik skizofrenia berdasarkan DSM V:

A. Dua atau lebih gejala dibawah ini, berlangsung paling sedikit satu bulan
(atau bisa kurang bila berhasil diterapi). Paling sedikit satu dari gejela ini
harus ada (1), (2) dan (3):
1. Waham
2. Halusinasi.
3. Pembicaraan yang tidak terorganisir (misalnya, inkoheren).
4. Perilaku disorganisasi atau katatonik.
5. Simtom negatif (berkurangnya ekspresi emosi atau avolisi).

23
B. Sejak awitan gangguan, untuk periode waktu yang cukup bermakna,
terdapat penurunan derajat fungsi dalam satu atau lebih area penting,
misalnya fungsi pekerjaan, hubungan interpersonal, perawatan diri (di
bawah derajat yang pernah dicapai sebelum awitan). Bila awitannya terjadi
pada masa anak dan remaja, terdapat kegagalan dalam mencapai derajat
fungsi pekerjaan, akademik dan hubungan interpersonal yang diharapkan.
C. Tanda-tanda, secara terus menerus menetap paling sedikit enam bulan.
Dalam periode enam bulan tersebut harus terdapat paling sedikit satu
bulan simtom (bisa kurang bila berhasil diterapi) yang memenuhi Kriteria
A (simtom-simtom pada fase aktif) dan juga dapat termasuk simtom
periode prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual,
tanda- tanda gangguan dapat bermanifestasi hanya dalam bentuk simtom
negatif atau dua atau lebih simtom yang terdapat pada Kriteria A dalam
derajat yang lebih ringan (misalnya, kepercayaan-kepercayaan aneh,
pengalaman persepsi yang tak lumrah).
D. Harus telah disingkirkan gangguan skizoafektif dan gangguan depresi atau
bipolar dengan ciri psikotik;
1) Tidak terdapat secara bersamaan dengan episode depresi atau manik
selama simtom fase-aktif
2) Bila terdapat episode mood selama fase-aktif, ia harus terlihat dalam
minoritas durasi total periode aktif atau residual penyakit.
E. Gangguan yang terjadi tidak disebabkan oleh efek fisiologi zat (misalnya,
penyalahgunaan zat atau medikasi) atau kondisi medis lainnya.
F. Bila terdapat riwayat gangguan spektrum autisme atau gangguan
komunikasi awitan masa anak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat
hanya bila waham atau halusinasi yang menonjol. Simtom-simtom lainnya
yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis gangguan skizofrenia juga
harus terjadi paling sedikit satu bulan (kurang bila berhasil diterapi).

2.7. Pengobatan Skizofrenia

a. Fase Akut

24
1. Farmakoterapi

Pada fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya

atau orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi

beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi,

agresi dan gaduh gelisah (KemenkesRI, 2015).

Langkah Pertama:

- Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan.

Langkah Kedua:

- Keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan atau

isolasi hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap

dirinya sendiri dan orang lain serta usaha restriksi lainnya

tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk

sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk

memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih baik,

pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang

lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu

dipertimbangkan (KemenkesRI, 2015).

Obat injeksi:

(a) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat

diulang setiap 2 jam, dosis maksimum 30mg/hari.

(b) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal

29,25 mg/hari), intramuskulus.

25
(c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat

diulang setiap setengah jam, dosis maksimum

20mg/hari.

(d) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis

maksimum 30mg/hari.

Obat oral:

Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman

pasien sebelumnya dengan antipsikotika misalnya, respons gejala

terhadap antipsikotika, profil efek samping, kenyamanan terhadap

obat tertentu terkait cara pemberiannya. Pada fase akut, obat segera

diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan dan dosis dimulai

dari dosis anjuran dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam

26
waktu 1 – 3 minggu, sampai dosis optimal yang dapat

mengendalikan gejala (KemenkesRI, 2015).

2. Psikoedukasi

Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan,

stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan

ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui

komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan,

menyediakan lingkunganyang nyaman, toleran perlu dilakukan

(KemenkesRI, 2015).

b. Fase Stabilisasi

1. Farmakoterapi

Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau

untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi

kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan

(recovery). Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut

dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke

tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotika

jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu

(KemenkesRI, 2015).

2. Psikoedukasi

Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan

skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien

untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala, merawat

27
diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik

intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini

(KemenkesRI, 2015).

c. Fase Rumatan

1. Farmakoterapi

Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis

minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi

akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah

berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan

sampai lima tahun bahkan seumur hidup (KemenkesRI, 2015).

2. Psikoedukasi

Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada

kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya

remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional,

cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga

diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga mereka

mampu mencegah kekambuhan berikutnya (KemenkesRI, 2015).

2.8. Prognosis Skizofrenia

Untuk menetapkan prognosis kita harus mempertimbangkan semua


faktor di bawah ini:

1. Kepribadian prepsikotik: Bila skizoid dan hubungan antarmanusia


memang kurang memuaskan, maka prognosis lebih jelek.
2. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosis lebih baik daripada
bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.

28
3. Jenis: Prognosis jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering
penderita dengan skizofrenia katatonik sembuh dan kembali ke
kepribadian prepsikotik. Kemudian menyusul prognosis jenis paranoid.
Banyak dari penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Skizofrenia
hebefrenik dan skizofrenia simplex mempunyai prognosis yang sama
jelek. Biasanya penderita dengan jenis skizofrenia ini menuju ke arah
kemunduran mental.
4. Umur: Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosis.
5. Pengobatan: Makin lekas diberi pengobatan, makin baik.
6. Faktor keturunan: prognosis menjadi lebih berat bila di dalam keluarga
terdapat yang juga menderita skizofrenia.

29
BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Skizofrenia adalah gangguan suatu psikosis fungsional dengan


gangguan utama pada proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir,
afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan,
terutama karena waham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga
muncul inkoherensi, afek dan emosi inadekuat, serta psikomotor yang
menunjukkan penarikan diri, ambivalensi dan perilaku bizarre.
Etiopatofisiologi skizofrenia yaitu faktor genetik, gangguan
neurotransmitter, gangguan morfologi dan fungsional otak, gangguan
imunitas, faktor kehamilan, faktor keluarga. Pasien dengan skizofrenia
selain membutuhkan terapi farmakologi juga perlu psikoterapi dan
psikoedukasi agar pasien mendapat dukungan oleh keluarga serta
mempercepat penyembuhan pasien. Prognosis skizofrenia menjadi lebih
buruk bila pasien menyalahgunakan zat atau hidup dalam keluarga yang
tidak harmonis.

30
DAFTAR PUSTAKA

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. 2017. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2015.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. 26 Februari 2015. Jakarta
Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM-5
Sadock, B. J., Sadock, V. A. 2010. Kaplan & Sadock’s Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi 2. Jakarta: EGC

31

Anda mungkin juga menyukai