Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. KONSEP SKIZOFRENIA
1.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang di tandai dengan adanya perubahan pada
persepsi, pikiran, efek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun deficit kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian ( Sadock, 2003 ).
Gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu gejala positif dan
gejala negative. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh
gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negative adalah alam perasaan
( afek ) tumpul atau mendatar, menarik diri, atau isolasi diri dari pergaulan, miskin
kontak emosional, pasif, apatis, sulit berfikir abstrak dan kehilangan dorongan
kehendak dan inisiatif.
1.2 Epidemiologi
Gangguan skizofrenia ini mengenai hamper 1% poulasi dewasa dan biasa
onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki gangguan
ini biasanya mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada
perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi
laki-laki daripada wanita dan lebih besar di daerah urban di bandingkan dengan
daerah rural ( Sadock, 2003 )
Pada skizofrenia beresiko meningkatkan resiko penyalahgunaan zat, terutama
ketergantungan nikotin. Hamper 90 % pasien mengalami ketergantungan nikotin.
Pada skizofrenia juga beresiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh
diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10%
dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri ( Kazadi, 2008 )
1.3 Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antar lain :

1.3.1 Faktor Genetik


Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang
disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang sering kita lihat mungkin
disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang
berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada
gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini
( dari ringan samapi berat ) dan mengapa resiko untuk mengalami
skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota
keluarga yang memiliki penyakit ini ( Durand & Barlow, 2007 ).
1.3.2 Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak
yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan
neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan
bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang
berlebihan di bagian –bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas
yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa
aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia.
Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine
tampaknya juga memainkan peranan ( Durand, 2007 ).
1.3.3 Faktor Psikologis dan Sosial
Banyak penelitian yang mempelajari bagaiman interaksi dalam
keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah
schizoprenegic mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan
tentang ibu yang memiliki sifat dingin , dominan dan penolak, yang
diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya ( Durand &
Barlow, 2007 ).
1.4 Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.
Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa
fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan
residual ( Sadock, 2003 : Buchanan, 2005 ).
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis,
yaitu adanya kekacuan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien
skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri buruk sampai tidak ada.
Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejal klinis skizofrenia.
Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis,
yaitu dapat berupa penarikan diri dan perilaku aneh (Buchnan, 2005).
1.5 Tipe-tipe Skizofrenia
Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan ( Davison, 2006 ), yaitu :
1.5.1 Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau
halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif
yang relative masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau
waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain
(misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga
muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ancietas, kemarahan, menjaga jarak dan
suka beragumentasi dan agresif.
1.5.2 Tipe Disorganized ( tidak terorganisai )
Ciri utama skizofrenia ini adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau
dan afek yang data atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat
disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi
pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku membawa pada gangguan yang
serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
1.5.3 Tipe Katatonik
Ciri utama tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang meliputi
ketidak berdayaan motoric ( waxy flexibility ). Aktivitas motoric
yangberlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi, gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan
orang lain atau mengikuti tingkah laku orang lain.

1.5.4 Tipe Undifferentiated


Tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola symptom yang cepat
menyangkut semua indicator skizofrenia. Mislanya, indikasi yang sangat
ruwet, kebingungan, emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-
rubah, adanya delusi, referensi yang berubah-rubah atau salah, adanya
ketergugahan yang sangat besar , autism seperti mimpi, depresi dan
sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
1.5.5 Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari
skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejal-gejala residual atau sisa,
seperti keyakinan-keyakinan negative atau mungkin masih memiliki ide-ide
tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejal residual itu
dapat meliputi menarik diri secara social, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas
dan afek datar.
1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan
terapi psikososial.
1.6.1 Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi
dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan
pembedahan bagian otak. Terapi dengan menggunakan obat antipsikosis
dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang digunakan adalah
chlorpromazine ( thorazine ) dan fluphenazine decanoate ( prolixin ).
Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine
( serpasil ) dan haloperidol ( Haldol ). Obat ini disebut obat penenang
utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi
tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat
tinggi ( orang tersebut dapat dengan mudah terbangun ). Obat ini cukup
tepat bagi penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring
stimulus yang tidak relevan ( Durand, 2007 ).
Terapi elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Tetapi metode ini tidak menguntungkan
lagi sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini
masih dilakukan hingga saat ini. ECT merupakan pengalaman yang sangat
menakutkan pasien. Pasien sering tidak bangun lagi setelah aliran listrik
dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara., serta
sering kali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu.
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan otak ( Moniz, 1935,
dalam davison, et al, 1994 ) memperkenalkan prefontal lobotomy, yaitu
proses operasi primitive dengan cara membuang “ stone of madness “ atau
disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang
terganggu. Akan tetapi, pada tahun 1950 an cara ini ditingalkan karena
menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul,
tidak bergairah bahkan meninggal.
1.6.2 Terapi Psikososial
Pada terapi psikososial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan
terapi keluarga ( Durand, 2007 ). Terapi kelompok merupakan salah satu
jenis terapi humanistic. Pada terapi ini , beberapa klien berkumpul dan
saling berkomunikasi dan therapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai
pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback
tentang pikiran dan perasaan yang di alami. Peserta diposisikan pada situasi
social yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat
memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari
rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha
untuk menghindari ungkapan- ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan
penyakit penderita kambuh lagi. Dalam hal ini, keluarga di beri
pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Dalam penelitian Fallon( Davison, et all, 1994 ; Rathus, et
all, 1991 ) ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.
2. KONSEP HALUSINASI
2.1.1 Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah suatu pengalaman pada suatu kejadian sensoris tanpa
ada input dari lingkungan sekitarnya. Mark Durrand dan David H.Barlow
( 2007 ), mendeskripsikan halusinasi adalah suatu pengahayatan kepada
kejadian-kejadian yang tidak mendasar pada kejadian ektsernal ( Pieter, Herri
Zan, Bethsaida Janiwarti dan Marti saragih, 2011 ). Halusinasi diantaranya
merasakan sensasi suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan
tanpa stimulus nyata ( Keliat, 2011 ).
2.1.2 Etiologi Halusinasi
Faktor predisposisi menurut ( Yosep, 2011 )
a. Factor Perkembangan
Perkembangan klien yang terganggu misalnya kurangnya
mengontrol emosi dan keharmonisan keluarga menyebabkan klien tidak
mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, dan hilang percaya diri.
b. Factor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungan sejak bayi
akan membekas diingatannya sampai dewasa dan dia akan merasa
disingkirkan kesepian dan tidak percaya pada lingkungan.
c. Factor Biokimia
Adanya stress yang berlebihan yang dialami oleh seseorang maka
di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia buffofeno dan dimetytransferase sehingga
terjadi ketidak seimbangan asetilkolin dan dopamine.
d. Factor Psikologis
Tipe kepribadian yang lemas dan tidak bertanggung jawab akan
mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dari alam nyata menuju alam khayal.
e. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Hasil studi menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2.1.3 Jenis Halusinasi
Jenis halusinasi antara lain menurut Stuart ( 2007 )
 Halusinasi pendengaran
Karakteristik ditandai dengan suara, terutama suara-suara orang,
biasanya klien mendengar suara orang sedang berbicara apa yang sedang
dipikirkan dan memerintahkan untuk melakukan sesuatau.
 Halusinasi penglihatan
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk
pancaran cahaya, gambaran geometric, gambaran kartundan/ atau panorama
yang luas dan kompleks. Penglihatan ini bisa menyenangkan atau
menakutkan.
 Halusinasi penghidu
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti darah, urine atau feses. Kadang- kadang bau harum.
Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan demensia.
 Halusinasi peraba
Karakteristik di tandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat contoh meraa sensasi listrik datang dari tanah, benda
mati atau orang lain.
 Halusinasi pengecap
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan , merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urine atau feses.
 Halusinasi Kenestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir memalui vena atau arteri, makanan di cernan atau pembentukan
urine.
2.1.4 Tanda dan Gejala
Menurut NANDA ( 2010 ) , tanda dan gejala halusinasi meliputi :
konsentrasi kurang, selalu berubah respon dari rangsangan, kegelisahan,
perubahan sensori akut, mudah tersinggung, disorientasi waktu, tempat dan
orang, perubahan kemampuan pemecahan masalah, perubahan pola perilaku.
Karakteristik perilaku yang dapat ditunjukkan klien dan kondisi
halusinasi menurut Direja ( 2011 )
1) Halusinasi Pendengaran
Data Subjektif :
Klien mendengarkan suara atau bunyi tanpa stimulus nyata, melihat
gambaran tanpa stimulus yang nyata, mencium nyata stimulus nyata,
merasa makan sesuatu, merasa ada sesuatu pada kulitnya, takut terhadap
suara atau bunyi yang di dengar, ingin memukul dan melempar barang.
Data Objektif :
Klien berbicara, senyum dan tertawa sendiri, pembicaraan kacau dan
terkadang tidak masuk akal, tidak dapat membedakan hal yang nyata dan
tidak nyata, menarik diri dan menghindar dari orang lain, disorientasi,
tidak bisa memusatkan perhatian atau konsentrasi menurun, perasaan
curiga takut, gelisah, bingung, ekspresi wajah tegang , muka merah dan
pucat, menunjukkan perilaku, merusak diri dan lingkungan.
2) Halusinasi Penglihatan
Data Subjektif :
Klien akan menunjuk-nunjuk kearah tertentu, akan ketakutan terhadap
sesuatu yang tidak jelas.
Data objektif :
Klien melihat bayangan seperti melihat hal-hal yang lain hantu atau
lainnya yang sebenarnya tidak ada.
3) Halusinasi Penghidu
Data Subjektif :
Klien membau-bauan seperti merasakan bau darah, urine, kadang-
kadang bau terasa menyenangkan.
Data Objektif :
Klien menghidung seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, klien
akan menutup hidung.
4) Halusinasi Pengecap
Data Subjektif :
Klien merasakan seperti darah, urin atau yang dalam mulutnya.
Data Objektif :
Klien sering meludah, dan muntah-muntah tanpa sebab.
5) Halusinasi Perabaan
Data Subjektif :
Klien mengatakan merasa ada hewan atau ada sesuatu yang melekat
pada permukaan kulitnya.
Data Objektif :
Klien sering mengusap-usap kulitnya berharap hewan atau yang
lainnya pergi dari kulitnya.
2.1.5 Patofisologi Halusinasi
Patofisiologi halusinasi yaitu menurut Maramis ( 2004 ) , halusinasi dapat
didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak
terdapat stimulus , individu merasa ada stimulus suara, bisa juga berpa suara-
suara bising dan mendengung, tetapi paling sering berupa kata-kata yang
tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien,
sehingga klien menghasilkan respon tertentu seperti bicara sendiri. Suara bisa
berasal dari dalam diri individu atau dari luar dirinya. Isi suara tersebut dapat
memerintahkan sesuatu pada klien, klien merasa yakin bahwa suara itu dari
Tuhan, sahabat dan musuh ( Rahmawati, 2014 ).
2.1.6 Penatalaksanaan Medis
Terapi dalam jiwa bukan hanya meliputi pengobatan dan farmakologi,
tetapi juga pemberian psikoterapi, serta terapi modalitas yang sesuai dengan
gejala atau penyakit klien yang akan mendukung penyembuhan klien jiwa.
Pada terapi tersebut juga harus dengan dukungan keluarga dan social akan
memberikan peningkatan penyembuhan karena klien akan merasa berguna
dalam masyarakat dan tidak merasa diasingkan dengan penyakit yang di
alaminya ( Kusmawati & Hartono, 2010 ).

1. Psikofarmakologis
Terapi gangguan jiwa dengan obat-obatan disebut dengan
psikofarmakoterapi atau medikasi psikotropika yaitu obat yang mempunyai
efek terapeutik langsung pada proses mental penderita karena kerjanya pada
otak / system syaraf pusat. Obat bius berupa Haloperidol, Alprazolam, Cpz,
Trihexphendyl.
2. Terapi Somatis
Terapi somatic adalah terapi yang diberikan pada klien dengan gangguan
jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptive menjadi perilaku
adaptif dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien.
Jenis somatic adalah meliputi pengingkatan, terapi kejang listrik, isolasi dan
fototerapi.
a. Pengingkatan
Pengingkatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi
cedera fisik sendiri atau orang lain.
b. Terapi Kejang Listrik / Elektri Convulsive Therapy ( ECT )
Adalah bentuk terapi pada klien dengan menimbulkan kejang
dengan mengalirkan arus lstrik kekuatan rendah ( 2-8 Joule ) melalui
elektroda yang ditempelkan beberapa detik pada pelipis kiri/ kanan
( Lobus frontal ) klien ( Stuart, 2007 ).
3. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Tetapi
diberikan dalam upaya mengubah perilaku klien dan perilaku yang
maladaptive menjadi perilaku adaptif. Jenis terapi modalitas meliputi
psikoanalisis, psikoterapi, terapi perilaku kelompok, terapi keluarga, terapi
rehabilitas, terapi psikodrama, terapi lingkungan ( Stuart, 2007 ).

Anda mungkin juga menyukai