Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini
ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,
gangguan kognitif, dan persepsi, dan gejala-gejala lainnya. Gejala skizofrenia ini akan
menyebabkan pasien skizofrenia mengalami penurunan fungsi ataupun ketidakmampuan
dalam menjalani hidupnya, sangat terhambat produktivitasnya dan nyaris terputus
relasinya dengan orang lain.
Prevelensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3 – 1 persen dan biasanya
timbul pada usia sekitar 18 – 45 tahun, namun ada juga yang berusia lebih dini.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami di Indonesia, dimana
sekitar 99% pasien rumah sakit jiwa di Indonesia adalah penderita Skizofrenia.
Skizofrenia ini tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi penderitanya, tetapi juga bagi
orang-orang terdekatnya. Biasanya keluargalah yang terkena dampak hadirnya
Skizofrenia di keluarga mereka. Sehingga pengetahuan tentang skizofrenia dan
pengenalan tentang gejala-gejala munculnya skiofrenia oleh keluarga dan lingkungan
sosialnya akan sangat membantu dalam pemberian penanganan pasien penderita
skizofrenia lebih dini sehingga akan mencegah berkembangnya gangguan mental yang
sangat berat ini.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud skizofrenia ?


2. Bagaimana simtom klinis skizofrenia ?
3. Apa saja etiologi skizofrenia ?
4. Bagaimana terapi skizofrenia ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Skozofrenia

Menurut Davidson (2012) Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan
gangguan utama dalam pikiran emosi, dan perilaku-pikiran yang terganggu, dimana berbagai
pemikiran tidak saling berhubungan secara logis; persepsi dan perhatian yang keliru; afek
datar atau tidak sesuai; dan berbagai gangguan aktivitas bizarre. Pasien menarik diri dari
banyak orang dan realitas, seringkali kedalam kehidupan fantasi yang penuh waham dan
halusinasi.
Skozofrenia termasuk dalam salah satu gangguan mental yang disebut psikosis, pasien
psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas (Setiadi, 2006).
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah
dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto, 2007).
Eugene Bleuler mengemukakan manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan
pikiran, emosi menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan
menumpulnya emosi sebagai gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi atau
delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing,
2007).
Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab
(banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas,
serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya
(Kaplan and Sadock, 2010).

B. Sejarah Konsep Skizofrenia

Konsep Skizofrenia pertama kali di formulasikan oleh dua psikiater Eropa, Emil
Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai
dementia praecox, istilah awal untuk Skizozrenia pada tahun 1898. Dia membedakan dua
kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenic, atau disebabkan secara internal:
penyakit manik-depresi dan dementia praecox. Meskipun berbagai gangguan tersebut secara
simtomatik berbeda, Kraepelin yakin mereka memiliki kesamaan inti dan istila dementia
praecox mencerminkan apa yang diyakininya merupakan inti tersebut-yaitu terjadi pada usia
awal (praecox) dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorasi intelektual
progresif (demensia).
Pandangan Eugen Bleuer, mencerminkan upaya spesifik untuk mendefinisikan inti
gangguan dan mengubah titik berat Kraepelin pada usia terjadinya gangguan dan pada
perjalanan penyakit dalam defenisinya. Pendapat Bleurer berbeda dengan Kraepelin terkait
2
dua poin utama: ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak selalu terjadi pada usia dini, dan ia
yakin gangguan tersebut tidak akan berkembang menjadi demensia tanpa dapat dihindari.
Dengan demikian, sebutan dementia Praecox tidak sesuai lagi, dan pada tahun 1908 Bleurer
mengajukan istilahnya sendiri, Skizofrenia, yang berasal dari bahasa Yunani schizein, yang
artinya “membelah“, phren, yang artinya “akal pikiran”, untuk mencakupkan apa yang
menurutnya merupakan karakteristik utama kondisi tersebut.
Konsep Skizofrenia yang diperluas di Amerika Serikat merupakan pengaruh besar
dari Bleurer. Selama paruh pertama abad ke 20 diagnosis tersebut semakin meluas. Presentasi
pasien yang didiagnosis sebagai skizofrenik di rumah sakit Maudsley di London, meningkat
20 persen dalam kurun waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming & Gurland, 1974, dalam Gerald,
2012).
Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di AS dapta diketahui dengan
mudah. Beberapa figure penting di dunia psikiatri AS lebih memperluas konsep Skizofrenia
Bleurer yang pada dasarnya sudah luas. Contohnya, pada tahun 1933, Kasanin
menggambarkan Sembilan pasien yang didiagnosisi menderita dementia praecox. Pada
mereka gangguan tersebut timbul secara mendadak dan penyembuhannya relative cepat.
Mengamati bahwa gangguan yang merak alami dapat dikatakan sebagai kombinasi
skizofrenik dan simtom-simtom afektif, Kasanin mengajukan istilah psikosis skizoafektif
untuk menggambarkan berbagai gangguan yang dialami para pasien tersebut. Diagnosis
tersebut kemudian menjadi bagian konsep skozofrenia di AS dan dicantumkan dalam DSM-I
(1952) dan DSM-II (1968). Konsep Skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga
praktik-praktik diagnosis.
1. Para ahli klinis AS mendiagnosis skizofrenia bila terjadi waham dan halusinasi.
Karena simtom-simtom ini terutama delusi, juga terjadi dalam gangguan mood,
banyak pasien yang menerima diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-II
sebenarnya mengalami gangguan mood (Cooper dkk; 1972)
2. Para pasien yang dewasa ini didiagnosis mengalami gangguan kepribadian terutama
skizotipal, skizoit, ambang dan gangguan kepribadian paranoid, didiagnosis sebagai
skizofrenik berdasarka kriteria DSM-II.
3. Para pasien yang mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara akut
dengan kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita skizofrenia.
Berawal dari DSM-III (APA, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (APA. 1994) dan
DSM-IV-TR (APA, 2000), konsep skizofrenia di AS mengalami perubahan besar dari
defenisi terdahulu yang meluas menjadi lima praktik-praktik diagnosis. Kriteria-kriteria
simtomatik tersebut dapat diterapkan untuk semua budaya. Meskipun para pasien di Negara-
negara berkembang memiliki kejadian yang lebih akut dibanding para pasien di masyarakat
industri.

C. Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR

Tiga tipe gangguan skizofrenik yang tercantum dalam DSM-IV-TR pertama kali
dikemukakan oleh Kraeplin bertahun-tahun lalu.
1. Skizofrenia Disorganisasi
3
Bentuk hebefrenik skizofrenia yang dikemukakan Kraepelin disebut skizofrenia
disorganisasi dalam DSM-IV-TR. Cara bicara mereka mengalami disorganisasi dan sulit
dipahami oleh endengar. Pasien dapat berbicara secara idak runtut, menggabungka kata-
kata baru, seringkali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat memiliki afek datar atau
terus-menerus mengalami perubahan emosi yang dapat meledak. Menjadi tangis atau
tawa yang tidak dapat dipahami.
2. Skizofrenia Katatonik
Ciri utama pada skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi ketidakbergerakan (motoric immobility), aktivitas motoric yang berlebihan,
negativism yang ekstrim, mutism (sama sekali tidak mau berbicara atau berkomunikasi),
gerakan-gerakan yang tidak terkendali, echolia (mengulang ucapan orang lain) atau
echopraxia (mengikuti tingkah laku orang lain). Motoric immobility dapat dimunculkan
berupa catalepsy (waxy flexibility – tubuh menjadi sangat fleksibel untuk digerakkan
atau diposisikan dengan berbagai cara (Setiadi, 2006).
3. Skizofrenia Paranoid
Dalam Setiadi (2006) disebutkan bahwa ciri utama skizofrenia tipe ini adalah
adanya waham yang mencolok atau halusinasi auditori. Wahamnya biasanya adalah
waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain
(misalnya, waham kecemburuan, keagamaan, atau somatisasi) mungkin juga muncul.
Wahamnya mungkin lebih dari satu tetapi tersusun dengan rapi disekitar tema utama.
Halusinasi juga biasanya berkaitan dengan tema wahamnya.
4. Skizofrenia tipe Undifferentiated
Sejenis skizofrenia dimana gejala-gejala yang muncul sulit untuk digolongkan
pada tipe skizofrenia tertentu.
5. Skizofrenia residual
Diagnosis skizofrenia tipe residual diberikan bila mana pernah ada paling tidak
satu kali episode skizofrenia, tetapi gambaran klinis saat ini tanpa simtom positif yang
meninjol. Terdapat bukti bahwa gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh adanya
negative simtom atau simtom positif yang lebih halus.

D. Simtom Klinis Skizofrenia


Simtom-simtom yang dialami pasien skizofrenia mencakup gangguan dalam
beberapa hal penting-pikiran persepsi perhatian; perilaku motoric; afek atau emosi; dan
keberfungsian hidup. Bagi para ahli diagnostic DSM menentukan berapa banyak masalah
yang harus ada dan seberapa tinggi kadarnya untuk menjustifikasi penegakan diagnosis.
Durasi gangguan juga penting dalam menegakkan diagnosis. Simtom-simtom utama
skizofrenia dalam tiga kategori : positif, negative dan disorganisasi. Kami juga
menyajikan beberapa simtom yang tidak cukup sesuai untuk digolongkan kedalam ketiga
kategori tersebut.
1. Simtom positif

4
Simtom-simtom positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi, seperti
halusinasi dan waham. Simtom-simtom ini, sebagian terebesarnya, menjadi ciri suatu
episode akut skizofrenia.
a) Delusi (waham)
Waham (delusi), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan,
semacam itu merupakan simtom-simtom positif yang umum pada skizofrenia. Waham
memiliki bentuk lain. Ada beberapa jenis delusi, yaitu :

1) Grandeur (waham kebesaran)


Pasien yakin bahwa mereka adalah seseorang yang sangat luar biasa,
misalnya seorang artis terkenal, atau seorang nabi atau merasa diri sebagai
Tuhan.
2) Guilt (waham rasa bersalah)
Pasien merasa bahwa mereka telah melakukan dosa yang sangat besar.
3) Ill health (waham penyakit)
Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang sangat serius.
4) Jealously (waham cemburu)
Pasien yakin bahwa mereka telah berlaku tidak setia.
5) Passivity (waham pasif)
Pasien yakin bahwa mereka dikendalikan atau dimanipulasi oleh
berbagai kekuatana dari luar, misalnya oleh sesuatu pancaran sinar radio
makhluk mars.
6) Persecution (waham kejar)
Paisen merasa dikejar-kejar oleh pihak-pihak tertentu yang ingin
mencelakainya.
7) Poverty (waham kemiskinan)
Pasien takut mereka mengalami kebangkrutan, dimana pada kenyataanya
tidak demikian.
8) Reference (waham rujukan)
Pasien meras dibicarakan oleh orang lain secara luas, misalnya menjadi
pembicaraan masyarakat atau disiarkan di televise.
b) Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah dimana tidak terdapat stimulus
sensorik yang berkaitan dengannya. Halusinasi dapat berwujud penginderaan kelima
indera yang keliru, tetapi yang paling sering adalah halusinasi dengar (auditory) dan
halusinasi penglihatan (visual). Contoh halusianasi : pasien merasa mendengar suara-
suara yang mengajaknya bicara padahal kenyataannya tidak ada orang yang
mengajaknya bicara; atau pasien merasa melihat sesuatu yang pada kenyataannya
tidak ada.
2. Simtom negative
5
Simtom-simtom negative skizofrenia mencakup berbagai deficit behavioral,
seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Simtom-simtom ini
cenderung bertahan melampaui satu episode akut dan memiliki efek parah terhadap
kehidupan para pasien skozofrenia. Simtom-simtom ini juga penting secara
prognostic; banyaknya simtom negative merupakan predictor kuat terhadap kualitas
hidup yang rendah (ketidak mampuan kerja, hanya memiliki sedikit teman) dua tahun
setelah dirawat rumah sakit (Ho dkk., 1998).
Ketika mengukur simtom-simtom negative, penting untuk memilah mana yang
merupakan simtom-simtom skizofrenia yang sesungguhnya dan simtom-simtom yang
disebabkan oleh beberapa faktor lain (Carpenter, Heinrichs & Wagman, 1988, dalam
Gerald, 2012).
a) Avolition
Apati atau avolution merupakan kondisi kurangnya energy dan ketiadaan
minat atau ketidak mampuan untuk tekun untuk melakukan apa yang biasanya
merupakan aktivitas rutin. Pasien daoat menjadi tidak tertarik untuk berdandan dan
menjaga kebersihan diri, dan rambut yang tidak tersisir, kuku kotor gigi yang tidak
disikat dan pakaian yang berantakan.
b) Alogia
Merupakan suatu gangguan pikiran negative, alogia dapat terwujud dalam
beberapa bentuk. Dalam miskin percakapan, jumlah total percakapan yang sangat jauh
berkurang, jumlah percakapan memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi
dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang.
c) Anhedonia
Ketidak mampuan untuk merasakan kesengangan. Ini tercermin dalam
kurangnya minat dalam berbagai aktivitas rekreasional gagal untuk mengembangkan
hubungan dekat denga orang laindan kurangnya minat dalam hubungan seks.
d) Afek datar
Pada pasien yng memiliki afek datar hampir tidak ada yang dapat
memunculkan respon emosional. Pasien menatap dengan pandangan kosong, otot-otot
wajah meraka kendur dan mata mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien
menjawab dengan suara datar dan tanpa nada. Konsep afek datar hanya merujuk pada
ekspresi emosi yang tampak dan tidak pada pengalaman diri pasien, yang bisa saja
sama sekali tidak mengalami pemiskinan.
e) Asosialitas
Yaitu mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan social. Mereka
hanya memiliki sedikit teman, keterampilan social yang rendah, dan sangat kurang
berminat untuk bekumpul bersama orang lain.
3. Simtom disorganisasi
Simtom disorganisasi mencakup disorganisai pembicaraan dan perilaku aneh
(bizarre).
a) Disorganisasi pembicaraan (Disorganized Speech)

6
Juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, merujuk pada masalah dalam
mengorganisasi berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat
memahaminya. Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi
longgar atau keluar jalur (derailment) yang merupakan suatu aspek gangguan pikiran
dimana pasien mengalami kesulitan untuk tetap berada pada satu topik dan terhanyut
dalam serangkaian asosiasi yang dimunculkan oleh suatu pemikiran dari masa lalu.
Asosiasi mental tidak diatur oleh logika, tetapi oleh aturan-aturan tertentu yang hanya
dimiliki oleh pasien.
b) Perilaku aneh
Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak dalam
kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak dimengerti, memakai pakaian yang tidak
biasa, bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol dan lain-lain.
Mereka tampak kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku mereka dan
menyesuaikannya dengan berbagai standar masyarakat. Mereka juga mengalami
kesulitan melakukan tugas sehari-hari dalam hidup.
4. Simtom lain
Dua simtom penting dalam kelompok ini adalah :
a) Katatonia
Beberapa abnormalitass motoric menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat
melakukan suatu gerakan berulang kali, menggunakan urutan yang aneh dan
kadang kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan yang sering kali
tampaknya memiliki tujuan tertentu. Beberapa pasien menunjukkan peningkatan
yang tidak biasa pada keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat riang,
menggerakkan anggota badan secara liar, dan pengeluaran energy yang sangat
besar. Di ujung lain spectrum ini adalah imobilitas katatonik : pasien
menunjukkan berbagai postur yang tidak biasa dan tetap dalam waktu yang lama.
Pasien katatonik juga memiliki fleksibiltas lilin-orang lain dapat menggerakkan
anggota badan seorang pasien dalam posisi aneh dalam waktu yang lama.
b) Afek yang tidak sesuai
Afek yang tidak sesuai merupakan respon-respon emosional yang berada
diluar konteks, misalnya tertawa ketika mendengar berita duka.

E. Etiologi Skizofrenia

Etiologi adalah semua faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan suatu


gangguan atau penyakit. Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya
multipel yang saling berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat disebut :
1. Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu
telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara kandung 7- 15%,
anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang
tua menderita skizofrenia 40-60%, kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68%

7
(Maramis, 2009). Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik
yang resesif (Lumbantobing, 2007).
2. Gangguan anatomic
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu : Lobus
temporal, sistem limbik dan reticular activating system. Ventrikel penderita skf lebih
besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau 9 berkurangnya
neuron dilobus temporal. Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme
glukosa di lobus frontal. Pada pemeriksaan post mortem didapatkan banyak reseptor
D2 diganglia basal dan sistem limbik, yang dapat mengakibatkan meningkatnya
aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007).
3. Biokimiawi
Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan dopamine,
kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skf (Lumbantobing, 2007).

Setiadi (2006) menggolongkan etiologi skizofrenia ke dalam dua pendekatan, yaitu


somatogenesis dan psikogenesis.
1. Somatogenesis
Pendekatan somatogenesis berusaha memahami kemunculan skizofrenia
sebagai akibat dari berbagai proses biologis dalam tubuh.
a. Genetik
Berbagai peneltian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi seseorang, sangat
kuat memengaruhi resiko seseorang mengalami skizofrenia. Studi pada keluarga telah
menunjukkan bahwa semakin dekat relasi seseorang dengan pasien skizofrenia, makin
besar pula resikonya ia mengalami penyakit tersebut. Namun, para kerabat kasus
penderita skizofrenia tidak hanya memiliki gen yang sama, namun juga pengalaman
yang sama (Davidson, 2012).
Studi adopsi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Heston (1996) berhasil
memantau 47 orang anak yang dari para ibu yang menderita skizofrenia, yang sejak
bayi dipisahkan dari ibu mereka dan dibesarkan oleh orang tua asuh. 50 peserta
control diseleksi dari panti asuhan yang sama dengan anak-anak dari para ibu
skizofrenia. Hasilnya menunjukkan bahwa 31 anak dari 47 anak yang memiliki ibu
skizofrenik (66%) menerima suatu diagnosis DSM, dibandingkan hanya 9 anak dari
50 peserta control (18%). Tidak satupun dari peserta control yang mendapat diagnosis
skizofrenia, namun 16,6% keturunan dari ibu skizofrenik juga mendapat diagnosis
yang sama. Studi ini menunjukkan bahwa faktor- genetic berperan penting dalam
terjadinya skizofrenia.
b. Biocemistry (Ketidakseimbangan Kimiawi Otak)
Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidak
seimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter – yaitu kimiawi otak yang
memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli
mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang
berlebihan dibagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivisas yang abnormal
8
terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang
berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter tampaknya
juga memainkan peranan.
c. Neuroanatomy (Abnormalitas Struktur Otak)
Berbagai teknik imaging, seperti MRI(Magnetic Resonance Imaging) dan PET
telah membantupara ilmuwan untuk menemukan abnormalitas structural spesifik pada
otak pasien skizofrenia yang kronis cenderung memiliki vertical otak yang lebih
besar. Mereka juga memiliki voume jaringan otak yang lebih sedikit daripada orang
normal. Pasien sizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus
frontalis otak. Ada juga kemungkinan abnormalitas dibagian-bagian lain otak seerti di
lobus temporalis, basal ganglia, thalamus, hippocampus, dan superior temporal gyrus.
MRI menunjukkan perbedaan stuktural antara otak orang dewasa ormal di
sebelah kiri dengan otak pasien skizofrenia di sebelah kanan. Otak pasien skizofrenia
menunjukkan pembesaran ventrikal, namun tidak semua pasien skizofrenia
menunjukkan abnormalias ini.
2. Psikogenesis
Pemahaman kemunculan skizofrenia menurut pendekatan psikologis
(khususnya psikodinamik).
a. Pandangan Sigmund Freud
Menurut pandangan psikodinamika, skizofrenia mencerminkan ego yang
dibanjirinya oleh dorongan-dorongan seksual primitif atau agresif atau impuls-impuls
yang berasal dari id. Impuls-ilmpuls tersebut mengancam ego dan berkembang
menjadi konflik intrapsikis yang kuat. Di bawah ancaman seperti itu, orang tersebut
mundur ke periode awal dari tahapan oral, yang disebut sebagai narsisme primer.
Pada periode ini bayi belum belajar bahwa dunia dan dirinya adalah hal yang berbeda.
Karena ego menjembatani hubungan antara diri degan dunia luar, kerusakan pada
fungsi ego ini berpengaruh terhadap adanya jarak terhadap realitas yang khas
skizofrenia. Masukan dari id menyebabkan fantasi menjadi disalahartikan sebagai
realitas, menyebabkan halusinasi dan waham. Impuls-impuls primitif mungkin juga
membawa beban yang lebih berat daripada norma-norma sosial dan diekspresikan
pada perilaku yang aneh, dan tidak sesuai secara sosial.
b. Pandangan Harry Stack Sullivan
Sullivan (1962), menekankan pentingnya hubungan ibu dan anak yang
terganggu, dan mengemukakan argumentasi bahwa hal tersebut dpat menetapkan
tahapan untuk penarikan diri secara perlahan-lahandari orang lain. Pada masa kanak-
kanak awal, interaksi yang penuh kecemasan dan permusuhan antara anak dan orang
tua membawa anak untuk mencari perlindungan pada dunia fantasi yang bersifat
pribadi. Lingkaran setan pun terjadi: Semakin anak menarik diri, semakin berkurang
kesempatan yang ada untuk membangun kepercayaan pada orang lain dan
keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk membangun keintiman. Kemudian ikatan
yang lemah antara anak dan orang lain mendorong kecemasan sosial dan penarikan
diri yang lebih jauh. Siklus ini berlanjut sampai masa dewasa muda. Kemudian,
dihadapkan dengan meningkatnya tuntutan di sekolah atau pekerjaan dan dalam
9
hubungan intim, orang tersebut menjadi semakin dibanjiri dengan kecemasan dan
menarik diri sepenuhnya ke dunia fantasi.
c. Pandangan aliran Ego Psychology
Federn (1952) mengatakan bahwa pasien skizofrenia memiliki batasan antara
yang ada di dalam dan diluar karena ego boundary mereka tidak memadai lagi.
Mahler (1952) mengatakan bahwa ego boundary berkembang dari kontak fisik antara
ibu dan bayi. Tidak adanya stimulus ini pada dyad ibu-bayi mengakibatkan kesulitan
pasien skizofrenia membedakan diri dengan orang lain. Kecenderungan pasien
skizofrenia dewasa untuk menyatu secara psikologis dengan sekeliling mereka dapat
dipahami sebagai usaha untuk membangun kembali kebahagiaan simbiotik di masa
awal kehidupan. Namun demikian, kebersatuan ini juga mengakibatkan ketakutan
akan penghancuran diri, mengakibatkan pasien skizofrenia merasa terjebak antara
keinginan untuk bersatudan ketakutan akan disintegrasi.
d. Pandangan Object Relations Theory
Skizofrenia memutuskan relasi penderitanya dari orang-orang lain. Pasien
skizofrenia dikatakan di dunianya sendiri, dunia yang tak dikenal oleh orang lain
selain dirinya. Laing mengatakan bahwa penderita skizofrenia tidak merasa nyaman
di dalam dunia, tidak mampu mengalami dirinya bersama dengan orang lain dan juga
tidak mengalami dirinya sendiri utuh, melainkan terbelah dalam berbagai cara.
Kondisi keterpisahan dari relasi denga orang lain merupakan akibat dari gangguan
dari relasi paling awal, yaitu relasi antara bayi dan pengasunya.
3. Stres Psikologis dan Skizofrenia
Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan
biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Data menunjukkan bahwa, sebagaimana
pada banyak gangguan yang telah dibahas, peningkatan stres kehidupan meningkatkan
kemungkinan kekambuhan. Para individu yang mengalami skizofrenia tampak sangat
reaktif terhadap berbagai stresor yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Orang
dengan gangguan skizofrenia sangat rentan terhadap stres sehari-hari.
a. Kelas Sosial dan Skizofrenia.
Angka kejadian tertinggi skizofrenia terdapat di berbagai wilayah pusat kota
yang dihuni oleh masyarakat dari kelas-kelas sosial rendah. Hubungan antara kelas
sosial dan skizofrenia tidak menunjukkan tingkat kejadian skizofrenia yang semakin
tinggi seiring dengan semakin rendahnya kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan
yang sangat tajam antara jumlah orang yang menderita skizofrenia dalam kelas sosial
terendah dan jumlah penderita skizofrenia pada berbagai kelas sosial lain.
Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit
untuk menginterpretasikannya secara kausal. Beberapa orang percaya bahwa stresor
yang berhubungan dengan kelas sosial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi
terhadap terjadinya skizofrenia yaitu hipotesis sosiogenik. Perlakuan merendahkan
yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang rendah dan
kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat menjadikan
keberadaan seseorang dalam kelas sosial terendah sebagai kondisi yang penuh stres

10
yang membuat seseorang setidak-tidaknya yang memiliki predisposisi menderita
skizofrenia.
b. Teori seleksi-sosial
Membalikan arah kausalitas antara kelas sosial dan skizofrenia. Dalam
perjalanan berkembangnya psikosis mereka, orang-orang yang menderita skizofrenia
dapat terseret ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif dan
motivasional yang semakin berkembang yang membebani para individu tersebut dapat
sangat melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapat sehingga
mereka tidak mampu tinggal di wilayah lain. Atau, mereka memilih untuk pindah ke
wilayah di mana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan di mana
mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam.
Secara ringkas, data-data yang ada lebih mendukung teori seleksi sosial
dibanding teori sosiogenik. Namun, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa lingkungan
sosial tidak memiliki peran apapun dalam skizofrenia.

c. Keluarga dan Skizofrenia.


Hubungan keluarga terutama antara ibu dan anak laki-laki, sebagai hal penting
dalam terjadinya skizofrenia. Berbagai studi terhadap keluarga para indivdu yang
menderita skizofrenia mengungkap bahwa dalam beberapa hal mereka berbeda dari
keluarga normal. Beberapa temuan menunjukkan bahwa komunikasi buruk orang tua
dapat berperan dalam etiologi skizofrenia. Penyimpangan komunikasi dalam keluarga
ditemukan memprediksi terjadinya skizofenia kelak pada anak-anak mereka,
memperkuat signifikansinya. Meskipun demikian, penyimpangan komunikasi bukan
faktor etiologis spesifik bagi skizofrenia karena orang tua para orang dengan
gangguan skizofrenia manik sama tingginya pada variabel ini. Lingkungan keluarga
yang terganggu merupakan akibat dari adanya anak yang terganggu dalam keluarga.
Dengan demikian, kita hanya dapat mengatakan dengan tidak pasti bahwa peran
keluarga dalam etiologi skizofrenia telah dikethui.
Serangkaian studi yang dilakukan di London mengindikasikan bahwa keluarga
dapat memberikan dampak penting terhadap penyesuaian orang dengan gangguan
skizofrenia setelah mereka keluar dari rumah sakit. Lingkungan di mana orang dengan
gangguan skizofrenia tinggal setelah keluar dari rumah sakit sangat berpengaruh pada
seberapa cepat mereka akan kembali dirawat di rumah sakit.

F. Terapi Skizofrenia

1. Penanganan Biologis
a. Terapi Kejut dan Psychosurgery
Diawal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan memberika insulin
dalam dosis tinggi diperkenalkan oleh Sakel (1938), yang mengklaim bahwa ¾ dari para
pasien skizofrenia yang ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai
temuan terkemudian oleh para peneliti lain kurang mendukung hal tersebut, dan terapi
koma - insulin – yang beresiko serius terhadap kesehatan, termasuk koma yang tidak
dapat disadarkan dan kematian – secara bertahap ditinggalkan. Pada tahun 1935, Moniz,
seorang psikiater memperkealkan lobotomy prefrontalis, suatu proses pembedahan yang
11
membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan pusat otak bagian
bawah.
b. Terapi Somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik.
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi
pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum
mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien.
Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan
pertama yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik
yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan
Clozaril (Clozapine).
1) Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik
konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering
menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara
lain :
a) Haldol (haloperidol)
b) Mellaril (thioridazine)
c) Navane (thiothixene)
d) Prolixin (fluphenazine)
e) Stelazine ( trifluoperazine)
f) Thorazine ( chlorpromazine)
g) Trilafon (perphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik
konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical
antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama,
pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan
antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli
merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua,
bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat
diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu
(disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan
terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot
formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsychotic.
2) Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip
kerjanya berbda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan
antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia,
antara lain :
a) Risperdal (risperidone)
b) Seroquel (quetiapine)
c) Zyprexa (olanzopine)
3) Clozaril

12
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal
yang pertama. Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon
(berhasil) dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki
efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang
(1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan
infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel
darah putihnya secara reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan. Clozaril bila
paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil. Sediaan Obat
Anti Psikosis dan Dosis Anjuran.

No Nama Generik Sediaan Dosis

1 Klorpromazin Tablet, 25 dan 100 mg, 150-600mg/


hariInjeksi25mg/ml

2 Haloperidol Tablet, 0,5 mg, 1,5 mg, 5 5-15 mg/hari Injeksi5mg/ml


mg,

3 Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12 - 24 mg/hari

4 Flufenazin Tablet 2,5 mg, 5 mg 10 - 15 mg/hari

5 Flufenazin dekanoat Inj 25 mg/ml 25 mg/2-4 minggu

6 Levomeprazin Tablet 25 mg, Injeksi 25 25 - 50 mg/hari


mg/ml

7 Trifluperazin Tablet 1 mg dan 5 mg 10 - 15 mg/hari

8 Tioridazin Tablet 50 dan 100 mg 150 - 600 mg/hari

9 Sulpirid Tablet 200 mg 300 - 600 mg/hari

10 Pimozid Tablet 1 dan 4 mg 1 - 4 mg/hari

11 Risperidon Tablet 1, 2, 3 mg 2 - 6 mg/hari

Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama


Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia
episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena
tardive dyskinesia lebih rendah. Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa
saat untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti

13
dengan obat lain, para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2
kali lebih lama pada Clozaril)
Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)
Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk
mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti
minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini
terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau
mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita berhenti
minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang
bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih
simpel dalam penerapannya. Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah
mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk
menggantinya dengan obat obatan yang lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat
diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti dengan
antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila
terapi dengan obat-obatan diatas gagal.
Pengobatan Selama fase Penyembuhan
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah
sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah
episode petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien
Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan sebelum
mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari satu episode,
atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama.
Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan
dan makin beratnya penyakit.

Efek Samping Obat-obat Antipsikotik


Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang lama, sangat
penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang timbul. Mungkin masalah
terbesar dan tersering bagi penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional
gangguan (kekakuan) pergerakan otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra
Piramidal (EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar
tidak kaku penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak
dapat beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan
kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya benztropine)
bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau mengobati efek samping ini.
Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan
mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial grimace. Kemungkinan
terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan menggunakan dosis efektif terendah
dari obat antipsikotik. Apabila penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional
mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional
dengan antipsikotik atipikal.
14
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi seksual,
sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obat-obatan tersebut.
Untuk mengatasinya biasanya dokter akan menggunakan dosis efektif terendah atau
mengganti dengan newer atypical antipsycotic yang efek sampingnya lebih sedikit.
Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang memakan obat.
Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan antipsikotik atipikal. Diet dan olah
raga dapat membantu mengatasi masalah ini. Efek samping lain yang jarang terjadi adalah
neuroleptic malignant syndrome, dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat
yang juga dapat menimbulkan komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-
gejala ini membutuhkan penanganan yang segera.

2. Penanganan psikologis

a. Terapi Psikodinamika
Psikoanalisis seperti Harry Stack Sullivan dan Frieda Fromm-Reichmann,
mengadaptasi teknik psikoanalisis secara spesifik untuk perawatan skizofrenia. Namun,
penelitian gagal menunjukan efektivitas terapi psikoanalisis maupun psikodinamika untuk
skizofrenia. Dengan keterangan tentang penemuan-penemuan negatif, beberapa kritik
mengemukakan bahwa penggunaan terapi psikodinamika untuk menangani skizofrenia
tidaklah terjamin. Namun hasil yang menjanjikan dilaporkan untuk sebuah bentuk terapi
individual yang disebut terapi personal yang berpijak pada model diatesis-stres. Tetapi
personal membantu pasien beradaptasi secara lebih efektif terhadap stres dan membantu
mereka membangun keterampilan sosial, seperti mempelajari bagaimana menghadapi
kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal menjelaskan bahwa terapi personal mungkin
mengurangi rata-rata kambuh dan meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien
skizofrenia yang tinggal dengan keluarga (Bustillo dkk., 2001; Hogarty dkk., 1997a,
1997b).
b. Terapi Perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan sosial
untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan
praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian
atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan
pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur
tubuh aneh dapat diturunkan.
Meskipun sedikit terapis perilaku yang meyakini bahwa yang salah menyebabkan
skizofrenia, intervensi berdasarkan pembelajaran telah menunjukan efektivitas dalam
memodifikasi perilaku skizofrenia dan membantu orang-orang yang mengalami gangguan
ini untuk mengembangkan perilaku yang lebih adaptif yang dapat membantu mereka
menyesuaikan diri secara lebih efektif untuk hidup dalam komunitas. Metode terapi
meliputi teknik-teknik seperti (1) reinforcement selektif terhadap perilaku (seperti
memberikan perhatian terhadap perilaku yang sesuai dan menghilangkan verbalisasi yang
aneh dengan tidak lagi memberi perhatian); (2) token ekonomi, dimana individu padaunit-
unit perawatan di rumah sakit diberi hadiah untuk perilaku yang sesuai dengan token,
15
seperti kepingan plastik, yang dapat ditukar dengan imbalan yang nyata seperti barang-
barang atau hak-hak istimewa yang diinginkan; dan (3) pelatihan keterampilan sosial, di
amna klien diajarkan keterampilan untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial lain
yang sesuai melalui coaching (latihan), modeling, latihan perilaku, dan umpan balik.
c. Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam
keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali
mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari).
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga
adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota
keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia
untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut
berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang
keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti
skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah
menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam
penelitian terkontrol, penurunan angka relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan
tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga.
d. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah,
dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku,
terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif,
bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia
e. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam
pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu dan
menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi bagi
pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien
sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi,
jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang
diinterpretasikan oleh pasien. Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari
yang ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan
seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap
keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau
teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia,
perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial
adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama
pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan
adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi,
atau eksploitasi.
3. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)

16
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh,
prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif
antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang
dilakukan pada perawatan rumahsakit harus direncanakan.
Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien
tentang skizofrenia. Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit
tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat
jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial.
Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas
perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien
kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.
Ringkasnya, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua
kebutuhan orang yang menderita skizofrenia. Konseptualisasi skizofrenia sebagai
disabilitas sepanjang hidup menggaris bawahi kebutuhan untuk perawatan intervensi
jangka panjang yang menggabungkan pengobatan antipsikotik, terapi keluarga, bentuk-
bentuk terapi suportif atau kognitif-behavioral, pelatihan vokasional, dan penyediaan
perumahan yang layak serta pelayanan dukungan sosial lainnya (Bustillo dkk., 2001;
Huxley, Rendall, & Sedere, 2000; Sensky dkk., 2000; Tarrier dkk., 2000).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Skozofrenia adalah salah satu gangguan mental yang disebut psikosis, pasien
psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas yang ditandai
dengan gangguan utama dalam pikiran emosi, bizzare, dan mengalami waham dan
halusinasi. Simtom klinis utama skizofrenia digolongkan dalam tiga kategori : positif,
negative dan disorganisasi, dan beberapa simtom yang tidak cukup sesuai untuk
digolongkan kedalam ketiga kategori tersebut. Setiadi menggolongkan etiologi
skizofrenia ke dalam dua pendekatan, yaitu somatogenesis dan psikogenesis.
Penanganan bagi penderita skizofrenia beragam baik menggunakan obat-obatan,
maupun psikososial, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua
kebutuhan orang yang menderita skizofrenia, konseptual terapi. Perawatan kontemporer

17
cenderung menyeluruh, menggabungkan antara pendekatan psikofarmakologis dan
psikososial.

B. Saran
Bagi keluarga, mencari berbagai referensi dan pengetahuan tentang skizofrenia
dan berperan serta dalam memberikan dukungan kepada penderita skizofrenia. Bila
perlu, keluarga meminta bantuan professional dari pihak-pihak yang terkait, seperti
bidang medis, psikologi, dan kerohanian.
Bagi pemerintah dan bidang kesehatan, meningkatkan layanan dan penanganan
lebih baik kepada para penderita psikosis, termasuk penderita skizofrenia.

DAFTAR PUSTAKA

Davidson, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. 2012. Psikologi Abnormal (Ed. 9, Cet.3. Jakarta:
Rajawali Pers
Arif, I.S . 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: Refika
Aditama

18

Anda mungkin juga menyukai