PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini
ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,
gangguan kognitif, dan persepsi, dan gejala-gejala lainnya. Gejala skizofrenia ini akan
menyebabkan pasien skizofrenia mengalami penurunan fungsi ataupun ketidakmampuan
dalam menjalani hidupnya, sangat terhambat produktivitasnya dan nyaris terputus
relasinya dengan orang lain.
Prevelensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3 – 1 persen dan biasanya
timbul pada usia sekitar 18 – 45 tahun, namun ada juga yang berusia lebih dini.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami di Indonesia, dimana
sekitar 99% pasien rumah sakit jiwa di Indonesia adalah penderita Skizofrenia.
Skizofrenia ini tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi penderitanya, tetapi juga bagi
orang-orang terdekatnya. Biasanya keluargalah yang terkena dampak hadirnya
Skizofrenia di keluarga mereka. Sehingga pengetahuan tentang skizofrenia dan
pengenalan tentang gejala-gejala munculnya skiofrenia oleh keluarga dan lingkungan
sosialnya akan sangat membantu dalam pemberian penanganan pasien penderita
skizofrenia lebih dini sehingga akan mencegah berkembangnya gangguan mental yang
sangat berat ini.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Skozofrenia
Menurut Davidson (2012) Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan
gangguan utama dalam pikiran emosi, dan perilaku-pikiran yang terganggu, dimana berbagai
pemikiran tidak saling berhubungan secara logis; persepsi dan perhatian yang keliru; afek
datar atau tidak sesuai; dan berbagai gangguan aktivitas bizarre. Pasien menarik diri dari
banyak orang dan realitas, seringkali kedalam kehidupan fantasi yang penuh waham dan
halusinasi.
Skozofrenia termasuk dalam salah satu gangguan mental yang disebut psikosis, pasien
psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas (Setiadi, 2006).
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah
dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto, 2007).
Eugene Bleuler mengemukakan manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan
pikiran, emosi menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan
menumpulnya emosi sebagai gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi atau
delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing,
2007).
Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab
(banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas,
serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya
(Kaplan and Sadock, 2010).
Konsep Skizofrenia pertama kali di formulasikan oleh dua psikiater Eropa, Emil
Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai
dementia praecox, istilah awal untuk Skizozrenia pada tahun 1898. Dia membedakan dua
kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenic, atau disebabkan secara internal:
penyakit manik-depresi dan dementia praecox. Meskipun berbagai gangguan tersebut secara
simtomatik berbeda, Kraepelin yakin mereka memiliki kesamaan inti dan istila dementia
praecox mencerminkan apa yang diyakininya merupakan inti tersebut-yaitu terjadi pada usia
awal (praecox) dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorasi intelektual
progresif (demensia).
Pandangan Eugen Bleuer, mencerminkan upaya spesifik untuk mendefinisikan inti
gangguan dan mengubah titik berat Kraepelin pada usia terjadinya gangguan dan pada
perjalanan penyakit dalam defenisinya. Pendapat Bleurer berbeda dengan Kraepelin terkait
2
dua poin utama: ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak selalu terjadi pada usia dini, dan ia
yakin gangguan tersebut tidak akan berkembang menjadi demensia tanpa dapat dihindari.
Dengan demikian, sebutan dementia Praecox tidak sesuai lagi, dan pada tahun 1908 Bleurer
mengajukan istilahnya sendiri, Skizofrenia, yang berasal dari bahasa Yunani schizein, yang
artinya “membelah“, phren, yang artinya “akal pikiran”, untuk mencakupkan apa yang
menurutnya merupakan karakteristik utama kondisi tersebut.
Konsep Skizofrenia yang diperluas di Amerika Serikat merupakan pengaruh besar
dari Bleurer. Selama paruh pertama abad ke 20 diagnosis tersebut semakin meluas. Presentasi
pasien yang didiagnosis sebagai skizofrenik di rumah sakit Maudsley di London, meningkat
20 persen dalam kurun waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming & Gurland, 1974, dalam Gerald,
2012).
Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di AS dapta diketahui dengan
mudah. Beberapa figure penting di dunia psikiatri AS lebih memperluas konsep Skizofrenia
Bleurer yang pada dasarnya sudah luas. Contohnya, pada tahun 1933, Kasanin
menggambarkan Sembilan pasien yang didiagnosisi menderita dementia praecox. Pada
mereka gangguan tersebut timbul secara mendadak dan penyembuhannya relative cepat.
Mengamati bahwa gangguan yang merak alami dapat dikatakan sebagai kombinasi
skizofrenik dan simtom-simtom afektif, Kasanin mengajukan istilah psikosis skizoafektif
untuk menggambarkan berbagai gangguan yang dialami para pasien tersebut. Diagnosis
tersebut kemudian menjadi bagian konsep skozofrenia di AS dan dicantumkan dalam DSM-I
(1952) dan DSM-II (1968). Konsep Skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga
praktik-praktik diagnosis.
1. Para ahli klinis AS mendiagnosis skizofrenia bila terjadi waham dan halusinasi.
Karena simtom-simtom ini terutama delusi, juga terjadi dalam gangguan mood,
banyak pasien yang menerima diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-II
sebenarnya mengalami gangguan mood (Cooper dkk; 1972)
2. Para pasien yang dewasa ini didiagnosis mengalami gangguan kepribadian terutama
skizotipal, skizoit, ambang dan gangguan kepribadian paranoid, didiagnosis sebagai
skizofrenik berdasarka kriteria DSM-II.
3. Para pasien yang mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara akut
dengan kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita skizofrenia.
Berawal dari DSM-III (APA, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (APA. 1994) dan
DSM-IV-TR (APA, 2000), konsep skizofrenia di AS mengalami perubahan besar dari
defenisi terdahulu yang meluas menjadi lima praktik-praktik diagnosis. Kriteria-kriteria
simtomatik tersebut dapat diterapkan untuk semua budaya. Meskipun para pasien di Negara-
negara berkembang memiliki kejadian yang lebih akut dibanding para pasien di masyarakat
industri.
Tiga tipe gangguan skizofrenik yang tercantum dalam DSM-IV-TR pertama kali
dikemukakan oleh Kraeplin bertahun-tahun lalu.
1. Skizofrenia Disorganisasi
3
Bentuk hebefrenik skizofrenia yang dikemukakan Kraepelin disebut skizofrenia
disorganisasi dalam DSM-IV-TR. Cara bicara mereka mengalami disorganisasi dan sulit
dipahami oleh endengar. Pasien dapat berbicara secara idak runtut, menggabungka kata-
kata baru, seringkali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat memiliki afek datar atau
terus-menerus mengalami perubahan emosi yang dapat meledak. Menjadi tangis atau
tawa yang tidak dapat dipahami.
2. Skizofrenia Katatonik
Ciri utama pada skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi ketidakbergerakan (motoric immobility), aktivitas motoric yang berlebihan,
negativism yang ekstrim, mutism (sama sekali tidak mau berbicara atau berkomunikasi),
gerakan-gerakan yang tidak terkendali, echolia (mengulang ucapan orang lain) atau
echopraxia (mengikuti tingkah laku orang lain). Motoric immobility dapat dimunculkan
berupa catalepsy (waxy flexibility – tubuh menjadi sangat fleksibel untuk digerakkan
atau diposisikan dengan berbagai cara (Setiadi, 2006).
3. Skizofrenia Paranoid
Dalam Setiadi (2006) disebutkan bahwa ciri utama skizofrenia tipe ini adalah
adanya waham yang mencolok atau halusinasi auditori. Wahamnya biasanya adalah
waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain
(misalnya, waham kecemburuan, keagamaan, atau somatisasi) mungkin juga muncul.
Wahamnya mungkin lebih dari satu tetapi tersusun dengan rapi disekitar tema utama.
Halusinasi juga biasanya berkaitan dengan tema wahamnya.
4. Skizofrenia tipe Undifferentiated
Sejenis skizofrenia dimana gejala-gejala yang muncul sulit untuk digolongkan
pada tipe skizofrenia tertentu.
5. Skizofrenia residual
Diagnosis skizofrenia tipe residual diberikan bila mana pernah ada paling tidak
satu kali episode skizofrenia, tetapi gambaran klinis saat ini tanpa simtom positif yang
meninjol. Terdapat bukti bahwa gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh adanya
negative simtom atau simtom positif yang lebih halus.
4
Simtom-simtom positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi, seperti
halusinasi dan waham. Simtom-simtom ini, sebagian terebesarnya, menjadi ciri suatu
episode akut skizofrenia.
a) Delusi (waham)
Waham (delusi), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan,
semacam itu merupakan simtom-simtom positif yang umum pada skizofrenia. Waham
memiliki bentuk lain. Ada beberapa jenis delusi, yaitu :
6
Juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, merujuk pada masalah dalam
mengorganisasi berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat
memahaminya. Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi
longgar atau keluar jalur (derailment) yang merupakan suatu aspek gangguan pikiran
dimana pasien mengalami kesulitan untuk tetap berada pada satu topik dan terhanyut
dalam serangkaian asosiasi yang dimunculkan oleh suatu pemikiran dari masa lalu.
Asosiasi mental tidak diatur oleh logika, tetapi oleh aturan-aturan tertentu yang hanya
dimiliki oleh pasien.
b) Perilaku aneh
Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak dalam
kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak dimengerti, memakai pakaian yang tidak
biasa, bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol dan lain-lain.
Mereka tampak kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku mereka dan
menyesuaikannya dengan berbagai standar masyarakat. Mereka juga mengalami
kesulitan melakukan tugas sehari-hari dalam hidup.
4. Simtom lain
Dua simtom penting dalam kelompok ini adalah :
a) Katatonia
Beberapa abnormalitass motoric menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat
melakukan suatu gerakan berulang kali, menggunakan urutan yang aneh dan
kadang kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan yang sering kali
tampaknya memiliki tujuan tertentu. Beberapa pasien menunjukkan peningkatan
yang tidak biasa pada keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat riang,
menggerakkan anggota badan secara liar, dan pengeluaran energy yang sangat
besar. Di ujung lain spectrum ini adalah imobilitas katatonik : pasien
menunjukkan berbagai postur yang tidak biasa dan tetap dalam waktu yang lama.
Pasien katatonik juga memiliki fleksibiltas lilin-orang lain dapat menggerakkan
anggota badan seorang pasien dalam posisi aneh dalam waktu yang lama.
b) Afek yang tidak sesuai
Afek yang tidak sesuai merupakan respon-respon emosional yang berada
diluar konteks, misalnya tertawa ketika mendengar berita duka.
E. Etiologi Skizofrenia
7
(Maramis, 2009). Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik
yang resesif (Lumbantobing, 2007).
2. Gangguan anatomic
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu : Lobus
temporal, sistem limbik dan reticular activating system. Ventrikel penderita skf lebih
besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau 9 berkurangnya
neuron dilobus temporal. Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme
glukosa di lobus frontal. Pada pemeriksaan post mortem didapatkan banyak reseptor
D2 diganglia basal dan sistem limbik, yang dapat mengakibatkan meningkatnya
aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007).
3. Biokimiawi
Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan dopamine,
kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skf (Lumbantobing, 2007).
10
yang membuat seseorang setidak-tidaknya yang memiliki predisposisi menderita
skizofrenia.
b. Teori seleksi-sosial
Membalikan arah kausalitas antara kelas sosial dan skizofrenia. Dalam
perjalanan berkembangnya psikosis mereka, orang-orang yang menderita skizofrenia
dapat terseret ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif dan
motivasional yang semakin berkembang yang membebani para individu tersebut dapat
sangat melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapat sehingga
mereka tidak mampu tinggal di wilayah lain. Atau, mereka memilih untuk pindah ke
wilayah di mana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan di mana
mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam.
Secara ringkas, data-data yang ada lebih mendukung teori seleksi sosial
dibanding teori sosiogenik. Namun, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa lingkungan
sosial tidak memiliki peran apapun dalam skizofrenia.
F. Terapi Skizofrenia
1. Penanganan Biologis
a. Terapi Kejut dan Psychosurgery
Diawal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan memberika insulin
dalam dosis tinggi diperkenalkan oleh Sakel (1938), yang mengklaim bahwa ¾ dari para
pasien skizofrenia yang ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai
temuan terkemudian oleh para peneliti lain kurang mendukung hal tersebut, dan terapi
koma - insulin – yang beresiko serius terhadap kesehatan, termasuk koma yang tidak
dapat disadarkan dan kematian – secara bertahap ditinggalkan. Pada tahun 1935, Moniz,
seorang psikiater memperkealkan lobotomy prefrontalis, suatu proses pembedahan yang
11
membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan pusat otak bagian
bawah.
b. Terapi Somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik.
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi
pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum
mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien.
Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan
pertama yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik
yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan
Clozaril (Clozapine).
1) Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik
konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering
menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara
lain :
a) Haldol (haloperidol)
b) Mellaril (thioridazine)
c) Navane (thiothixene)
d) Prolixin (fluphenazine)
e) Stelazine ( trifluoperazine)
f) Thorazine ( chlorpromazine)
g) Trilafon (perphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik
konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical
antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama,
pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan
antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli
merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua,
bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat
diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu
(disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan
terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot
formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsychotic.
2) Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip
kerjanya berbda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan
antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia,
antara lain :
a) Risperdal (risperidone)
b) Seroquel (quetiapine)
c) Zyprexa (olanzopine)
3) Clozaril
12
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal
yang pertama. Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon
(berhasil) dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki
efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang
(1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan
infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel
darah putihnya secara reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan. Clozaril bila
paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil. Sediaan Obat
Anti Psikosis dan Dosis Anjuran.
13
dengan obat lain, para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2
kali lebih lama pada Clozaril)
Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)
Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk
mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti
minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini
terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau
mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita berhenti
minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang
bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih
simpel dalam penerapannya. Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah
mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk
menggantinya dengan obat obatan yang lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat
diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti dengan
antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila
terapi dengan obat-obatan diatas gagal.
Pengobatan Selama fase Penyembuhan
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah
sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah
episode petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien
Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan sebelum
mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari satu episode,
atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama.
Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan
dan makin beratnya penyakit.
2. Penanganan psikologis
a. Terapi Psikodinamika
Psikoanalisis seperti Harry Stack Sullivan dan Frieda Fromm-Reichmann,
mengadaptasi teknik psikoanalisis secara spesifik untuk perawatan skizofrenia. Namun,
penelitian gagal menunjukan efektivitas terapi psikoanalisis maupun psikodinamika untuk
skizofrenia. Dengan keterangan tentang penemuan-penemuan negatif, beberapa kritik
mengemukakan bahwa penggunaan terapi psikodinamika untuk menangani skizofrenia
tidaklah terjamin. Namun hasil yang menjanjikan dilaporkan untuk sebuah bentuk terapi
individual yang disebut terapi personal yang berpijak pada model diatesis-stres. Tetapi
personal membantu pasien beradaptasi secara lebih efektif terhadap stres dan membantu
mereka membangun keterampilan sosial, seperti mempelajari bagaimana menghadapi
kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal menjelaskan bahwa terapi personal mungkin
mengurangi rata-rata kambuh dan meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien
skizofrenia yang tinggal dengan keluarga (Bustillo dkk., 2001; Hogarty dkk., 1997a,
1997b).
b. Terapi Perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan sosial
untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan
praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian
atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan
pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur
tubuh aneh dapat diturunkan.
Meskipun sedikit terapis perilaku yang meyakini bahwa yang salah menyebabkan
skizofrenia, intervensi berdasarkan pembelajaran telah menunjukan efektivitas dalam
memodifikasi perilaku skizofrenia dan membantu orang-orang yang mengalami gangguan
ini untuk mengembangkan perilaku yang lebih adaptif yang dapat membantu mereka
menyesuaikan diri secara lebih efektif untuk hidup dalam komunitas. Metode terapi
meliputi teknik-teknik seperti (1) reinforcement selektif terhadap perilaku (seperti
memberikan perhatian terhadap perilaku yang sesuai dan menghilangkan verbalisasi yang
aneh dengan tidak lagi memberi perhatian); (2) token ekonomi, dimana individu padaunit-
unit perawatan di rumah sakit diberi hadiah untuk perilaku yang sesuai dengan token,
15
seperti kepingan plastik, yang dapat ditukar dengan imbalan yang nyata seperti barang-
barang atau hak-hak istimewa yang diinginkan; dan (3) pelatihan keterampilan sosial, di
amna klien diajarkan keterampilan untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial lain
yang sesuai melalui coaching (latihan), modeling, latihan perilaku, dan umpan balik.
c. Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam
keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali
mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari).
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga
adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota
keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia
untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut
berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang
keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti
skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah
menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam
penelitian terkontrol, penurunan angka relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan
tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga.
d. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah,
dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku,
terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif,
bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia
e. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam
pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu dan
menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi bagi
pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien
sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi,
jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang
diinterpretasikan oleh pasien. Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari
yang ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan
seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap
keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau
teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia,
perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial
adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama
pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan
adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi,
atau eksploitasi.
3. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
16
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh,
prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif
antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang
dilakukan pada perawatan rumahsakit harus direncanakan.
Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien
tentang skizofrenia. Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit
tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat
jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial.
Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas
perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien
kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.
Ringkasnya, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua
kebutuhan orang yang menderita skizofrenia. Konseptualisasi skizofrenia sebagai
disabilitas sepanjang hidup menggaris bawahi kebutuhan untuk perawatan intervensi
jangka panjang yang menggabungkan pengobatan antipsikotik, terapi keluarga, bentuk-
bentuk terapi suportif atau kognitif-behavioral, pelatihan vokasional, dan penyediaan
perumahan yang layak serta pelayanan dukungan sosial lainnya (Bustillo dkk., 2001;
Huxley, Rendall, & Sedere, 2000; Sensky dkk., 2000; Tarrier dkk., 2000).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Skozofrenia adalah salah satu gangguan mental yang disebut psikosis, pasien
psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas yang ditandai
dengan gangguan utama dalam pikiran emosi, bizzare, dan mengalami waham dan
halusinasi. Simtom klinis utama skizofrenia digolongkan dalam tiga kategori : positif,
negative dan disorganisasi, dan beberapa simtom yang tidak cukup sesuai untuk
digolongkan kedalam ketiga kategori tersebut. Setiadi menggolongkan etiologi
skizofrenia ke dalam dua pendekatan, yaitu somatogenesis dan psikogenesis.
Penanganan bagi penderita skizofrenia beragam baik menggunakan obat-obatan,
maupun psikososial, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua
kebutuhan orang yang menderita skizofrenia, konseptual terapi. Perawatan kontemporer
17
cenderung menyeluruh, menggabungkan antara pendekatan psikofarmakologis dan
psikososial.
B. Saran
Bagi keluarga, mencari berbagai referensi dan pengetahuan tentang skizofrenia
dan berperan serta dalam memberikan dukungan kepada penderita skizofrenia. Bila
perlu, keluarga meminta bantuan professional dari pihak-pihak yang terkait, seperti
bidang medis, psikologi, dan kerohanian.
Bagi pemerintah dan bidang kesehatan, meningkatkan layanan dan penanganan
lebih baik kepada para penderita psikosis, termasuk penderita skizofrenia.
DAFTAR PUSTAKA
Davidson, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. 2012. Psikologi Abnormal (Ed. 9, Cet.3. Jakarta:
Rajawali Pers
Arif, I.S . 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: Refika
Aditama
18