Dosen Pembimbing :
dr. Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai dan
membantu saya, sehingga referat yang berjudul “Skizofrenia Paranoid” dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Referat yang berjudul “Skizofrenia Paranoid” disusun untuk melengkapi tugas dan
merupakan salah satu syarat untuk dapat mengikuti ujian akhir di kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Jiwa di RSUD Tarakan Jakarta.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing saya
di bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di RSUD Tarakan yaitu dr. Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ , dr.
Meiliana Lindrawaty SpKJ, dr. Hasrini Romawi SpKJ(K) yang telah membimbing saya
dalam melaksanakan kepaniteraan ini dan dalam penyusunan referat ini, dan rekan-rekan Co-
Ass yang turut membantu, memberikan semangat dan dukungan moral selama kepaniteraan
klinik ini. Ucapan terima kasih juuga saya ucapkan kepada kedua orang tua saya dan teman-
teman saya yang telah memberikan saya dukungan moral dan materi dalam menyusun referat
ini.
Saya pun menyadari, di dalam referat ini tentu masih memiliki kekurangan, oleh karena
itu, saya sebagai penyusun referat ini memohon saran dan kritikannya. Semoga referat ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Terima kasih.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
I.Latar Belakang
2.1 DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia merupakan suatu sindrom
psikotik kronis yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia,
deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.1
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi pikiran dan
persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai kenyataan, dan mencakup
waham dan halusinasi.2 Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis,
menurut gejala utama yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia
paranoid.9 Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan
paling stabil, dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat.1,2,7 Pada pasien
skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala
paranoid.6
2.2 SEJARAH
Besarnya masalah klinis skizofrenia, secara terus-menerus telah menarik perhatian
tokoh-tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang sejarah gangguan ini. Tokoh-tokoh
tersebut, yaitu:3,4
2.3 EPIDEMIOLOGI
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka insidens
serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia. Menurut DSM-IV-TR, insidensi
tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi
geografik.3 Skizofrenia yang menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula
di bawah usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas
sosial.3,7
Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan risiko morbiditas
selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir masa remaja atau awal
dewasa.2 Awitan skizofrenia di bawah usia 10 tahun atau di atas usia 60 tahun sangat
jarang. Laki-laki memiliki onset skizofrenia yang lebih awal daripada wanita. Usia puncak
onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, dan untuk wanita usia puncak onsetnya
adalah 25 sampai 35 tahun.4,7
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung mengalami hendaya
akibat gejala negatif daripada wanita dan bahwa wanita lebih cenderung memiliki
kemampuan fungsi sosial yang lebih baik daripada pria sebelum awitan penyakit. Secara
umum, hasil akhir pasien skizofrenia wanita lebih baik dibandingkan hasil akhir pasien
skizofrenia pria.3
2.4 ETIOLOGI
Sampai saat ini, belum ditemukan etiologi pasti penyebab skizofrenia.1,7 Namun,
skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan gabungan antara berbagai
faktor yang dapat mendorong munculnya gejala mulai dari faktor neurobiologis maupun
faktor psikososial, diantaranya sebagai berikut:
2.4.1 Faktor Neurobiologis
2.4.1.1 Faktor Genetika
Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas), skizofrenia
adalah gangguan bersifat keluarga.7 Penelitian tentang adanya pengaruh
genetika atau keturunan terhadap terjadinya skizofrenia tersebut telah
membuktikan bahwa terjadinya peningkatan risiko terjadinya skizofrenia
bila terdapat anggota keluarga lainnya yang menderita skizofrenia, terutama
bila hubungan keluarga tersebut dekat (semakin dekat hubungan
kekerabatan, semakin tinggi risikonya).7
Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi perkembangan
otak memperbesar kerentanan menderita skizofrenia.2 Pada penelitian anak
kembar, terjadi peningkatan resiko seseorang menderita skizofrenia akan
lebih tinggi pada kembar identik atau monozigotik (mempunyai risiko 4-6
kali lebih sering dibandingkan kembar dizigotik).7
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk
mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen resesif.9
Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya
tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi
skizofrenia atau tidak. Angka presentasi terjadinya skizofrenia dapat dilihat
dari tabel dibawah ini. :
Hubungan Presentasi Terjadinya Skizofrenia
Populasi Umum 1%
Kembar Monozigotik 40 - 50 %
Kembar Dizigotik 10 - 15 %
Orang Tua 5%
Pada ICD-10, gambaran klinis pada pasien skizofrenia paranoid (F20.0) didominasi
oleh adanya gejala-gejala paranoid, seperti:6
• Waham kejar (presecution), seperti memercayai bahwa orang lain bersekutu melawan
dia
• Waham rujukan (reference), seperti bahwa orang asing atau televisi, radio atau koran
terutama mengarah kepada pasien; bila tidak mencapai intensitas waham, isi pikiran
tersebut dikenal sebagai ideas of reference
• Waham merasa dirinya tinggi/istimewa (exalted birth), atau mempunyai misi khusus;
misalnya, keyakinan bahwa dirinya dilahirkan sebagai Mesias
• Waham perubahan tubuh
• Waham cemburu
• Suara-suara halusinasi yang bersifat mengancam atau memerintahkan pasien
• Halusinasi pendengaran non-verbal, seperti tertawa, bersiul, dan bergumam
• Halusinasi bentuk lainnya, seperti penghiduan, pengecapan, penglihatan, sensasi
somatik seksual atau sensasi somatik lainnya
2.6 PATOFISIOLOGI
Sumber : 12Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s Essential
Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 26.
2.7 KRITERIA DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria DSM-IV-
Semua pasien skizofrenia mesti digolongkan ke dalam salah satu dari subtipe yang
telah disebutkan diatas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas manifestasi perilaku yang
paling menonjol.7 Berdasarkan PPDGJI-III, maka pedoman diagnostik skizofrenia
paranoid (F20.0), yaitu :5
2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis, sebagaimana
terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan penatalaksanaan yang efektif,
dapat berdampak lebih buruk (kemunduran mental).2,9 Pasien skizofrenia mungkin tidak
sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat
ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah. 9
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia paranoid dapat berupa
penatalaksanaan non-farmakologis dan farmakologis.
(APG-I)
Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional atau tipikal.
Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam
mem-blokade atau menghambat pengikatan dopamin pada reseptor
pascasinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), hal inilah yang
diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat.13 Oleh karena
kinerja obat APG-I, maka obat ini lebih efektif untuk gejala positif,
contohnya gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak
wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan untuk terapi
gejala negatif.1,8,10 Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki dua
kekurangan utama, yaitu :
a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen) yang cukup
tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup
normal
b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang
mengganggu dan serius. Efek menganggu yang paling utama adalah
akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor.
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat diberikan dalam satu
dosis oral harian ketika orang tersebut berada dalam kondisi yang stabil dan
telah menyesuaikan dengan efek samping apa pun.10 Prototip kelompok
obat APG-I adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat ini sampai
sekarang masih tetap digunakan sebagai antipsikosis, karena
ketersediannya dan harganya murah.13
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25-100 mg 150-600 mg/hari
Promactil Tab. 100 mg
Meprosetil Tab. 100 mg
Cepezet Tab. 100 mg
Perphenazine Perphenazine Tab. 4 mg
Trilafon Tab.2-4-8 mg
Trifluoperazine Stelazine Tab 1 -5 mg 10-15 mg / hari
Fluphenazine Anatensol Tab 2,5 -5 mg 10- 15 mg / hari
Thioridazine Melleril Tab. 50 – 100 mg 150 – 300 mg / Hari
Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 – 1,5 mg 5 – 15 mg / hari
Dores Tab. 1,5 mg
Serenace Tab. 0,5-1,5 mg
Haldol Tab. 2 -5 mg
Govotil Tab. 2 -5 mg
Lodomer Tab. 2 -5 mg
Pimozine Orap Forte Tab. 4 mg 2-4 mg / hari
Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran (yang beredar di
Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8
Sumber : 8Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi 3. Hal
14.
Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine yang mempengaruhi ganglia basal,
sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal / EPS).13 Semua obat APG-I
dapat menimbulkan efek samping EPS (ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia,
sindrom Parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas).8 EFek samping ini dibagi menjadi efek akut,
yaitu efek yang terjadi pada hari-hari atau mingguminggu awal pertama pemberian obat,
sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun
menggunakan obat.7 Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka harus disertakan obat
trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai obat antidotum.
(APG-II)
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama antipsikotik
golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom).13 Obat APG-II disebut juga obat anti-psikosis
baru atau atipikal. Standar emas terbaru untuk pemberian obat anti-psikosis bagi pasien
skizofrenia adalah APG-II. Obat APG-II memiliki efek samping neurologis yang lebih sedikit
dibandingkan dengan antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala psikotik
yang lebih luas.10
Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah berafinitas terhadap “Dopamine D2
Receptors” (sama seperti APG-I) dan juga berafinitas terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors”
(Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif terhadap gejala positif (waham, halusinasi,
inkoherensi) maupun gejala negatif (afek tumpul, proses pikir lambat, apatis, menarik diri).1,8
Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran (yang beredar di
Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8
Sumber : 8Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi 3.
Hal 14-15.
Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, isi pikir miskin)
lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-psikosis
atipikal perlu dipertimbangkan.8
2.10 PROGNOSIS
Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak
ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan menuju
ke kemunduran mental (deteriorasi mental).9 Sekarang dengan pengobatan modern,
ternyata bila penderita itu datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama,
maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau
recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati
cacat sedikit yang mereka masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social
recovery).9
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk menghilangkan
gejala.1,7 Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat dalam waktu satu tahun, 80%
mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun, dan 10% meninggal karena bunuh diri. 2
Kira-kira 50 persen dari semua pasien dengan skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang
satu kali selama hidupnya, dan 10 sampai 15 persen pasien skizofrenik meninggal karena
bunuh diri selama periode follow-up 20 tahun.4 Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita
sama-sama mungkin untuk melakukan bunuh diri.
Prognosis Baik Prognosis Buruk
Riwayat social, seksual dan pekerjaan Riwayat social, seksual dan pekerjaan
premorbid yang baik premorbid yang buruk
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti “terpisah” atau “pecah”,
dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian
antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia merupakan suatu sindrom psikotik kronis
yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta
dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.
Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala utam yang
terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid. Skizofrenia paranoid
merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan paling stabil, dimana waham dan
halusinasi auditorik jelas terlihat. Pada pasien skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak
tampak sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala paranoid.
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia paranoid harus dilakukan sesegera mungkin
setelah didiagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran mental). Pasien
skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang
baik, penderita dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau
pun di luar rumah. Terapi yang diberikan dapat dengan non-formakologi (rawat inap dan
terapi psikososial) melalui keluarga dan lingkungannya dan farmakologi dengan pemberian
obat anti-psikosis tipikal (APG-I) atau anti-psikosis atipikal (APG-II) berdasarkan gejala
psikosis yang dominan dan efek samping obat).
DAFTAR PUSTAKA
1. Psikiatri : Skizofrenia (F2). Editor : Chris Tanto, Frans Liwang, dkk. Kapita Selekta
http://stahlonline.cambridge.org/essential_4th_chapter.jsf
12. Psychosis and Schizophrenia. Editor : Stahl, Stephen M. Antipsychotics and Mood
Stabilizers : Stahl’s Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. England : Cambridge
University Press. 2008:26-34.
13. Psikotropik. Editor : Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy, dkk. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007:161-9.