Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

STASE ILMU KESEHATAN JIWA


SKIZOFRENIA PARANOID

Dosen Pembimbing :
dr. Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ

Maria Aprilla Weking


10.2019.018

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


PERIODE 21 OKTOBER – 23 NOVEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UKRIDA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai dan
membantu saya, sehingga referat yang berjudul “Skizofrenia Paranoid” dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Referat yang berjudul “Skizofrenia Paranoid” disusun untuk melengkapi tugas dan
merupakan salah satu syarat untuk dapat mengikuti ujian akhir di kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Jiwa di RSUD Tarakan Jakarta.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing saya
di bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di RSUD Tarakan yaitu dr. Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ , dr.
Meiliana Lindrawaty SpKJ, dr. Hasrini Romawi SpKJ(K) yang telah membimbing saya
dalam melaksanakan kepaniteraan ini dan dalam penyusunan referat ini, dan rekan-rekan Co-
Ass yang turut membantu, memberikan semangat dan dukungan moral selama kepaniteraan
klinik ini. Ucapan terima kasih juuga saya ucapkan kepada kedua orang tua saya dan teman-
teman saya yang telah memberikan saya dukungan moral dan materi dalam menyusun referat
ini.
Saya pun menyadari, di dalam referat ini tentu masih memiliki kekurangan, oleh karena
itu, saya sebagai penyusun referat ini memohon saran dan kritikannya. Semoga referat ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Terima kasih.

Jakarta, November 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

I.Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai suatu gangguan psikotik, banyak


tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Pada awalnya, Benedict Morel (1809-1926),
seorang dokter psikiatrik dari Perancis, menggunakan istilah dẻmence prẻcoce untuk
pasien dengan penyakit yang dimulai pada masa remaja yang mengalami perburukan.
Kemudian, Emil Kreaplin (1856-1926) yang menerjemahkan istilah dẻmence prẻcoce
menjadi demensia prekoks yaitu suatu istilah yang menekankan proses kognitif (demensia)
dan awitan dini (prekoks) yang nyata. Istilah skizofrenia itu sendiri mulai dicetuskan oleh
Eugen Bleuler (1857-1939) sebagai pengganti demensia prekoks. Bleuler mengidentifikasi
symptom dasar dari skizofrenia yang dikenal dengan 4A, antara lain : Asosiasi, Afek,
Autisme dan Ambivalensi.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan psikotik yang paling sering terjadi.
Gangguan ini dapat terjadi baik pada wanita (usia awitan 25 - 35 tahun) maupun pria (usia
awitan 15 - 25 tahun). Skizofrenia sendiri adalah istilah psikosis yang menggambarkan
mispersepsi pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai
kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi. Seorang pasien dapat dikatakan pasien
skizofrenia bila manifestasi klinis yang terjadi sudah selama 1 (satu) bulan (berdasarkan
PPDJI-III).
Gejala yang ditimbulkan pada pasien skizofrenia mencangkup beberapa fungsi,
seperti pada gangguan persepsi (halusinasi), keyakinan yang salah (waham), penurunan
dari proses berpikir dan berbicara (alogia), gangguan aktivitas motorik (katatonik atau
hyperactive behavior), gangguan dari pengungkapan emosi (afek tumpul), tidak mampu
merasakan kesenangan (anhedonia sehingga menyebabkan afek datar). Akan tetapi,
kesadaran dan kemampuan intelektual pada pasien masih dapat dipertahankan, meskipun
terjadi defisit kognitif.
Terdapat beberapa klasifikasi atau subtipe skizofrenia yang diklasifikasikan oleh
Emil Kraepelin (1856-1926), salah satunya adalah skizofrenia paranoid. Skizofrenia
paranoid merupakan subtipe pada skizofrenia yang paling umum, dimana waham dan
halusinasi auditorik jelas terlihat. Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu
yang lama untuk menghilangkan gejala. Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama,
sehat dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun, dan
10% meninggal karena bunuh diri.
BAB II
TINJAUANPUSTAKA

2.1 DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia merupakan suatu sindrom
psikotik kronis yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia,
deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.1
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi pikiran dan
persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai kenyataan, dan mencakup
waham dan halusinasi.2 Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis,
menurut gejala utama yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia
paranoid.9 Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan
paling stabil, dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat.1,2,7 Pada pasien
skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala
paranoid.6

2.2 SEJARAH
Besarnya masalah klinis skizofrenia, secara terus-menerus telah menarik perhatian
tokoh-tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang sejarah gangguan ini. Tokoh-tokoh
tersebut, yaitu:3,4

• Benedict Morel (1809-1926), seorang dokter psikiatrik dari Perancis, menggunakan


istilah dẻmence prẻcoce untuk pasien dengan penyakit yang dimulai pada masa remaja
yang mengalami perburukan.
• Karl Ludwig Kahlbaum (1828-1899) menggambarkan gejala katatonia
• Ewold Hacker (1843-1909) menulis mengenai perilaku aneh atau kacau (bizzzare) pada
pasien dengan hebefrenia.
• Emil Kraepelin (1856-1926)
Emil Kraepelin merupakan seorang ahli kedokteran jiwa di kota Munich (Jerman)
dan ia mengumpulkan gejala-gejala serta sindrom, menggolongkannya ke dalam satu
kesatuan dan menerjemahkan istilah dẻmence prẻcoce dari Morel menjadi demensia
prekoks, suatu istilah yang menekankan proses kognitif atau kemunduran inteligensi
(demensia) dan awitan dini atau sebelum waktunya (prekoks) yang nyata dari gangguan
ini.3,4,9 Pasien dengan demesia prekoks digambarkan memiliki perjalanan penyakit yang
memburuk dalam jangka waktu lama dan gejala klinis umum berupa halusinasi dan
waham. Dimana, demensia prekoks terkait dengan konsep saat ini tentang skizofrenia.2
Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis. Penderita digolongkan ke
dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya.9

Gambar 1. Emil Kraepelin (1856-1926).4


Sumber : 4Skizofrenia. Kaplan - Sadock : Sinopsis Psikiatri - Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Hal 700.

• Eugen Bleuler (1857-1939)


Pada tahun 1911, Eugen Bleuler seorang psikiatri dari swiss mengajukan istilah
“skizofrenia” dan istilah tersebut menggantikan “demensia prekoks” di dalam literatur,
karena nama ini dengan tepat sekali menonjolkan gejala utama penyakit ini, yaitu jiwa
yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berpikir,
perasaan, dan perbuatan (schizos = pecah belah atau bercabang, phren = jiwa).9
Bleuler menggambarkan gejala fundamental (atau primer) spesifik untuk
skizofrenia, termasuk suatu gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala
fundamental lainnya adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Jadi terdapat
empat A dari Bleuler yang terdiri dari asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi. Bleuler
juga menggambarkan gejala pelengkap (sekunder), yang termasuk halusinasi dan
waham, gejala yang telah menjadi bagian penting dari pengertian Kraepelin tentang
gangguan.

Gambar 2. Eugen Bleuler (1857 - 1939).4


Sumber : 4Skizofrenia. Kaplan - Sadock : Sinopsis Psikiatri - Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Hal 700.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka insidens
serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia. Menurut DSM-IV-TR, insidensi
tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi
geografik.3 Skizofrenia yang menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula
di bawah usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas
sosial.3,7

Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan risiko morbiditas
selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir masa remaja atau awal
dewasa.2 Awitan skizofrenia di bawah usia 10 tahun atau di atas usia 60 tahun sangat
jarang. Laki-laki memiliki onset skizofrenia yang lebih awal daripada wanita. Usia puncak
onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, dan untuk wanita usia puncak onsetnya
adalah 25 sampai 35 tahun.4,7
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung mengalami hendaya
akibat gejala negatif daripada wanita dan bahwa wanita lebih cenderung memiliki
kemampuan fungsi sosial yang lebih baik daripada pria sebelum awitan penyakit. Secara
umum, hasil akhir pasien skizofrenia wanita lebih baik dibandingkan hasil akhir pasien
skizofrenia pria.3

2.4 ETIOLOGI
Sampai saat ini, belum ditemukan etiologi pasti penyebab skizofrenia.1,7 Namun,
skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan gabungan antara berbagai
faktor yang dapat mendorong munculnya gejala mulai dari faktor neurobiologis maupun
faktor psikososial, diantaranya sebagai berikut:
2.4.1 Faktor Neurobiologis
2.4.1.1 Faktor Genetika
Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas), skizofrenia
adalah gangguan bersifat keluarga.7 Penelitian tentang adanya pengaruh
genetika atau keturunan terhadap terjadinya skizofrenia tersebut telah
membuktikan bahwa terjadinya peningkatan risiko terjadinya skizofrenia
bila terdapat anggota keluarga lainnya yang menderita skizofrenia, terutama
bila hubungan keluarga tersebut dekat (semakin dekat hubungan
kekerabatan, semakin tinggi risikonya).7
Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi perkembangan
otak memperbesar kerentanan menderita skizofrenia.2 Pada penelitian anak
kembar, terjadi peningkatan resiko seseorang menderita skizofrenia akan
lebih tinggi pada kembar identik atau monozigotik (mempunyai risiko 4-6
kali lebih sering dibandingkan kembar dizigotik).7
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk
mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen resesif.9
Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya
tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi
skizofrenia atau tidak. Angka presentasi terjadinya skizofrenia dapat dilihat
dari tabel dibawah ini. :
Hubungan Presentasi Terjadinya Skizofrenia

Populasi Umum 1%

Kembar Monozigotik 40 - 50 %

Kembar Dizigotik 10 - 15 %

Saudara Kandung Skizofrenia 10 %

Orang Tua 5%

Anak Dari Salah Satu Orang Tua Skizofrenia 10 – 15 %

Anak Dari Kedua orang Tua Skizofrenia 30 – 40 %

Tabel 1. Risiko Terjadinya Skizofrenia Selama Kehidupan.2,7


Sumber : 2At A Glance Psikiatri. Edisi 4. Gangguan Jiwa : Skizofrenia. Hal
19.
7
Buku Ajar Psikiatri FK Universitas Indonesia. Edisi 2. Skizofrenia. Hal
180.

2.4.1.2 Faktor Neuroanatomi Struktural


Sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis merupakan tiga
daerah yang saling berhubungan, sehingga disfungsi pada salah satu daerah
mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya.4 Gangguan pada
sistem limbik akan mengakibatkan gangguan pengendalian emosi.
Gangguan pada ganglia basalis, akan mengakibatkan gangguan atau
keanehan pada pergerakan (motorik), termasuk gaya berjalan, ekspresi
wajah facial grimacing. Pada pasien skizofrenia dapat ditemukan gangguan
organik berupa pelebaran ventrikel tiga dan lateral, atrofi bilateral lobus
temporomedial dan girus parahipokampus, hipokampus, dan amigdala.1,7
2.4.1.3 Faktor Neurokimia
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter juga
diidentifikasi sebagai etiologi pada pasien skizofrenia. Hipotesis yang
paling banyak yaitu gejala psikotik pada pasien skizofrenia timbul
diperkirakan karena adanya gangguan neurotransmitter sentral, yaitu
terjadinya peningkatan aktivitas dopaminergik atau dopamin sentral
(hipotesis dopamin).1,4 Peningkatan ini merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, atau
hipersensitivitas reseptor dopamin.

2.4.2 Faktor Psikososial


2.4.2.1 Faktor Keluarga dan Lingkungan
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam
menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi.7 Pasien
skizofrenia sering tidak “dibebaskan” oleh keluarganya. Beberapa peneliti
mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan aneh pada
keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-samar atau tidak
jelas dan sedikit tak logis.7 Penderita skizofrenia pada keluarga dengan
ekspresi emosi tinggi (expressed emotion [EE], keluarga yang berkomentar
kasar dan mengkritik secara berlebihan) memiliki peluang yang lebih besar
untuk kambuh.2,7
2.4.2.2 Faktor Stressor
Skizofrenia juga berhubungan dengan penurunan sosio-ekonomi dan
kejadian hidup yang berlebihan pada tiga minggu sebelum onset gejala
akut.2

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan bahwa tipe paranoid
ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi dengar
yang sering, dan tidak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan pada tipe
terdisorganisasi atau katatonik.4 Skizofrenia paranoid secara klasik ditandai oleh adanya
waham persekutorik (waham kejar) atau waham kebesaran.

Pada pasien skizofrenia tipe paranoid, menunjukkan regresi kemampuan mental,


respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan pasien skizofrenia tipe
lain.(4) Pasien skizofrenia paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri
secara adekuat di dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh
kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.4

Pada ICD-10, gambaran klinis pada pasien skizofrenia paranoid (F20.0) didominasi
oleh adanya gejala-gejala paranoid, seperti:6
• Waham kejar (presecution), seperti memercayai bahwa orang lain bersekutu melawan
dia
• Waham rujukan (reference), seperti bahwa orang asing atau televisi, radio atau koran
terutama mengarah kepada pasien; bila tidak mencapai intensitas waham, isi pikiran
tersebut dikenal sebagai ideas of reference
• Waham merasa dirinya tinggi/istimewa (exalted birth), atau mempunyai misi khusus;
misalnya, keyakinan bahwa dirinya dilahirkan sebagai Mesias
• Waham perubahan tubuh
• Waham cemburu
• Suara-suara halusinasi yang bersifat mengancam atau memerintahkan pasien
• Halusinasi pendengaran non-verbal, seperti tertawa, bersiul, dan bergumam
• Halusinasi bentuk lainnya, seperti penghiduan, pengecapan, penglihatan, sensasi
somatik seksual atau sensasi somatik lainnya

2.6 PATOFISIOLOGI

Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi sebagai


penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi antara lain pada dopamin yang
mengalami peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan pada
serotonin, norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid (GABA) yang pada
akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan dopaminergik. Neuroanatomi dari jalur
neuronal dopamin pada otak dapat menjelaskan gejala-gejala skizofrenia.

Gambar 3. Terdapat 5 (lima) jalur dopamin pada otak.12

Sumber : 12Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s Essential
Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 26.
2.7 KRITERIA DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria DSM-IV-

TR atau ICD-X. Berdasarkan DSM-IV, kriteria pasien skizofrenia, yaitu:7


1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan
interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor,
autisme, atau gangguan organik.

Semua pasien skizofrenia mesti digolongkan ke dalam salah satu dari subtipe yang
telah disebutkan diatas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas manifestasi perilaku yang
paling menonjol.7 Berdasarkan PPDGJI-III, maka pedoman diagnostik skizofrenia
paranoid (F20.0), yaitu :5

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia


Sebagai tambahan :

Halusinasi dan/atau waham harus menonjol


a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain
perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion
of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “passivity” (delusion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling
khas
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif tidak nyata/tidak menonjol
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada pasien skizofrenia paranoid adalah gangguan psikotik lain,
dapat berupa gangguan skizofreniform dan gangguan skizoafektif. Pada gangguan
skizofreniform, gejalanya sama dengan skizofrenia, namun berlangsung sekurang-
kurangnya 1 bulan, tetapi kurang dari 6 bulan.3 Pada pasien dengan skizofreniform, akan
kembali ke fungsi normal ketika gangguan hilang. Bila suatu sindrom manik atau depresif
terjadi bersamaan dengan gejala utama skizofrenia, maka hal itu adalah gangguan
skizoafektif, yang mempunyai gambaran baik skizofrenia maupun gangguan afektif
(gangguan mood).3

2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis, sebagaimana
terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan penatalaksanaan yang efektif,
dapat berdampak lebih buruk (kemunduran mental).2,9 Pasien skizofrenia mungkin tidak
sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat
ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah. 9
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia paranoid dapat berupa
penatalaksanaan non-farmakologis dan farmakologis.

2.9.1 PENATALAKSANAAN NON-FARMAKOLOGIS


• Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus dirawat di
rumah sakit.6 Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di
rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya
fasilitas pengobatan rawat jalan.4 Rawat inap diindikasikan terutama untuk :1,3
1. Tujuan diagnostik
2. Stabilisasi pengobatan
3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau pembunuhan, maupun
mengancam lingkungan sekitar
4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya, termasuk,
ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang dan
papan
5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga maupun
lingkungan
6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa

Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan sistem pendukung


komunitas merupakan tujuan utama rawat inap.3 Rawat inap dan layanan
rehabilitasi masyarakat juga bertujuan untuk memaksimalkan kemandirian
pasien (contohnya dengan melatih keterampilan hidup sehari-hari), karena pada
pasien dengan gejala sisa (contohnya gejala negatif dan kognitif) mungkin tidak
dapat hidup mandiri.2 Setelah keluar dari rumah sakit, pasien tersebut perlu di
follow-up teratur oleh ahli psikiatri.6

• Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial (Sosioterapi)


Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah psikoterapi
suportif individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis dengan
maksud mengembalikan penderita ke masyarakat.9 Terapi perilaku kognitif
(cognitive behavioural therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam membantu
pasien mengatasi waham dan halusinasi yang menetap. Tujuannya adalah untuk
mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan, dan tidak secara langsung
menghilangkan gejala. Terapi keluarga dapat membantu mereka megurangi
ekspresi emosi yang berlebihan dan terbukti efektif mencegah kekambuhan.2
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter.9 Hal ini dimaksudkan
agar pasien tidak mengasingkan diri dan terapi ini sangat penting dalam
menjaga kepercayaan diri dan kualitas hidupnya.2 Penting sekali untuk menjaga
komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga.1
2.9.2 PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS
Pemberian obat-obat anti-psikosis
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia (sindrom psikosis
fungsional) merupakan penatalaksanaan yang utama. Pengobatan anti-psikosis
diperkenalkan awal tahun 1950-an.3 Pemilihan jenis obat anti-psikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan (fase akut atau kronis) dan
efek samping obat.8,9 Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang
baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.
Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun bersifat
pengobatan simtomatik.13 Obat anti-psikosis efektif mengobati “gejala positif”
pada episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena passivity) dan
mencegah kekambuhan.2,9 Obat-obat ini hanya mengatasi gejala gangguan dan
tidak menyembuhkan skizofrenia.3 Pengobatan dapat diberikan secara oral,
intramuscular, atau dengan injeksi depot jangka panjang.2
Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia,
pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping,
karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan mengurangi
ketaatanberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan
untuk menggunakan antipsikosis atipikal atau antipsikosis tipikal, tetapi dengan
dosis yang rendah.9
Gambar 9. Sifat obat antipsikotik konvensional adalah kemampuan
mereka untuk memblokir reseptor dopamin D2 khususnya di jalur
dopamin mesolimbik. Sehingga akan mengurangi hiperaktivitas pada
jalur dopamin mesolimbik dan mengurangi gejala positif.
Sumber : 11Antipsychotic Agents. Stahl’s Essential Psychopharmacology. 4 th
Edition. http://stahlonline.cambridge.org/essential_4th_chapter.jsf

Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas


neurotransmitter dopamine yang meningkat (Hiperaktivitas sistem
dopaminergik sentral).8 Pada umumnya, pemberian obat anti-psikosis
sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun, setelah semua gejala
psikosis mereda sama sekali. Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung
lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek
klinis.8 Obat anti-psikosis dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme
kerjanya,
yaitu:3,4,7
1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis generasi I

(APG-I)
Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional atau tipikal.
Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam
mem-blokade atau menghambat pengikatan dopamin pada reseptor
pascasinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), hal inilah yang
diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat.13 Oleh karena
kinerja obat APG-I, maka obat ini lebih efektif untuk gejala positif,
contohnya gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak
wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan untuk terapi
gejala negatif.1,8,10 Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki dua
kekurangan utama, yaitu :
a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen) yang cukup
tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup
normal
b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang
mengganggu dan serius. Efek menganggu yang paling utama adalah
akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor.
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat diberikan dalam satu
dosis oral harian ketika orang tersebut berada dalam kondisi yang stabil dan
telah menyesuaikan dengan efek samping apa pun.10 Prototip kelompok
obat APG-I adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat ini sampai
sekarang masih tetap digunakan sebagai antipsikosis, karena
ketersediannya dan harganya murah.13
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25-100 mg 150-600 mg/hari
Promactil Tab. 100 mg
Meprosetil Tab. 100 mg
Cepezet Tab. 100 mg
Perphenazine Perphenazine Tab. 4 mg
Trilafon Tab.2-4-8 mg
Trifluoperazine Stelazine Tab 1 -5 mg 10-15 mg / hari
Fluphenazine Anatensol Tab 2,5 -5 mg 10- 15 mg / hari
Thioridazine Melleril Tab. 50 – 100 mg 150 – 300 mg / Hari
Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 – 1,5 mg 5 – 15 mg / hari
Dores Tab. 1,5 mg
Serenace Tab. 0,5-1,5 mg
Haldol Tab. 2 -5 mg
Govotil Tab. 2 -5 mg
Lodomer Tab. 2 -5 mg
Pimozine Orap Forte Tab. 4 mg 2-4 mg / hari

Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran (yang beredar di
Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8

Sumber : 8Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi 3. Hal
14.

Medication). Edisi 3. Hal 14.

Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine yang mempengaruhi ganglia basal,
sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal / EPS).13 Semua obat APG-I
dapat menimbulkan efek samping EPS (ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia,
sindrom Parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas).8 EFek samping ini dibagi menjadi efek akut,
yaitu efek yang terjadi pada hari-hari atau mingguminggu awal pertama pemberian obat,
sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun
menggunakan obat.7 Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka harus disertakan obat
trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai obat antidotum.

2.Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis generasi II

(APG-II)
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama antipsikotik
golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom).13 Obat APG-II disebut juga obat anti-psikosis
baru atau atipikal. Standar emas terbaru untuk pemberian obat anti-psikosis bagi pasien
skizofrenia adalah APG-II. Obat APG-II memiliki efek samping neurologis yang lebih sedikit
dibandingkan dengan antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala psikotik
yang lebih luas.10
Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah berafinitas terhadap “Dopamine D2
Receptors” (sama seperti APG-I) dan juga berafinitas terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors”
(Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif terhadap gejala positif (waham, halusinasi,
inkoherensi) maupun gejala negatif (afek tumpul, proses pikir lambat, apatis, menarik diri).1,8

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran

Sulpride Dogmaril Forte Tab. 200 mg 300 – 600 mg/ hari

Clozapine Clorazil `tab 25 – 100 mg 25 -100 mg/ hari

Olanzapine Zyprexa Tab. 5 – 10 mg 10-20 mg/ hari

Quetiapine Seroquel Tab. 25-100 mg 50-400 mg/ hari


Zotepine Lodopine Tab.25-50 mg 75- 100 mg/ hari

Risperidone Risperidone Tab 1,2,3 mg 2-6 mg/ hari

Risperidal Tab 1,2,3 mg

Neripros Tab 1,2,3 mg

Persidal Tab. 1,2,3 mg

Rizodal Tab. 1,2,3 mg

Zofredal Tab 1,2,3 mg

Ariiprazole Abilify Tab. 10-15 mg 10-15 mg/ hari

Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran (yang beredar di
Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8

Sumber : 8Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi 3.
Hal 14-15.
Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, isi pikir miskin)
lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-psikosis
atipikal perlu dipertimbangkan.8

2.10 PROGNOSIS
Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak
ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan menuju
ke kemunduran mental (deteriorasi mental).9 Sekarang dengan pengobatan modern,
ternyata bila penderita itu datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama,
maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau
recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati
cacat sedikit yang mereka masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social
recovery).9
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk menghilangkan
gejala.1,7 Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat dalam waktu satu tahun, 80%
mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun, dan 10% meninggal karena bunuh diri. 2
Kira-kira 50 persen dari semua pasien dengan skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang
satu kali selama hidupnya, dan 10 sampai 15 persen pasien skizofrenik meninggal karena
bunuh diri selama periode follow-up 20 tahun.4 Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita
sama-sama mungkin untuk melakukan bunuh diri.
Prognosis Baik Prognosis Buruk

Onset lambat, akut Onset muda

Factor pencetus yang jelas Tidak ada factor pencetus

Riwayat social, seksual dan pekerjaan Riwayat social, seksual dan pekerjaan
premorbid yang baik premorbid yang buruk

Menikah dan telah berkeluarga Tidak menikah, bercerai,janda atau duda

System pendukung yang baik System pendukung yang buruk

Gejala positif Gejala negative

Jenis kelamin perempuan Tanda dan Gejala neurologis

Riwayat trauma perinatal Tidak ada remisi selama tiga tahun


BAB III

KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti “terpisah” atau “pecah”,
dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian
antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia merupakan suatu sindrom psikotik kronis
yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta
dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.
Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala utam yang
terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid. Skizofrenia paranoid
merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan paling stabil, dimana waham dan
halusinasi auditorik jelas terlihat. Pada pasien skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak
tampak sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala paranoid.
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia paranoid harus dilakukan sesegera mungkin
setelah didiagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran mental). Pasien
skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang
baik, penderita dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau
pun di luar rumah. Terapi yang diberikan dapat dengan non-formakologi (rawat inap dan
terapi psikososial) melalui keluarga dan lingkungannya dan farmakologi dengan pemberian
obat anti-psikosis tipikal (APG-I) atau anti-psikosis atipikal (APG-II) berdasarkan gejala
psikosis yang dominan dan efek samping obat).
DAFTAR PUSTAKA

1. Psikiatri : Skizofrenia (F2). Editor : Chris Tanto, Frans Liwang, dkk. Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. 2014:910-3.


2. Gangguan Jiwa : Skizofrenia - Fenomena, Etiologi, Penangan dan Prognosis. Editor :
Rina Astikawati. At A Glance Psikiatri - Cornelius Katona, Claudia Cooper, dan Mary
Robertson. Edisi 4. Jakarta : Erlangga. 2012:18-21.
3. Skizofrenia. Editor : Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan & Sadock - Buku

Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2014:147-68.


4. Skizofrenia. Editor : I. Made Wiguna S. Kaplan - Sadock, Sinopsis Psikiatri - Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Tanggerang : Binarupa Aksara Publisher.
2010:699-744.
5. Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham : Skizofrenia (F20). Editor :
Rusdi Maslim. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-
5.
Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2013:46-8.
6. Skizofrenia dan Gangguan Waham (Paranoid). Editor : Husny Muttaqin dan Frans Dany.

Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2013:147-50.


7. Skizofrenia. Editor : Sylvia D. Elvira dan Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri.

Edisi 2. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 2013:173-98.


8. Obat Anti-psikosis. Editor : Rusdi Maslim. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Edisi 3. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atma Jaya (PT. Nuh Jaya). 2007:14-22.
9. Skizofrenia. Editor : Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya :

Airlangga University Press. 2009:259-81.


10. Terapi Biologis - Antagonis Reseptor Dopamin : Antipsikotik Tipikal. Editor : Husny
Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan & Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2014:498-502.
11. Antipsychotic Agents. Stahl’s Essential Psychopharmacology. 4th Edition. Diunduh dari
:

http://stahlonline.cambridge.org/essential_4th_chapter.jsf
12. Psychosis and Schizophrenia. Editor : Stahl, Stephen M. Antipsychotics and Mood
Stabilizers : Stahl’s Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. England : Cambridge
University Press. 2008:26-34.
13. Psikotropik. Editor : Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy, dkk. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007:161-9.

Anda mungkin juga menyukai