Oleh:
dr. Octavianus Darmawan
Pembimbing:
dr. I G. N. Budiarsa, Sp.S
Dr. dr. Thomas Eko P., Sp.S(K)
Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)
dr. D. K. Indrasari Utami, Sp.S
dr. Ketut Widyastuti, Sp.S
BAGIAN/SMF NEUROLOGI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2015
Pendahuluan
Tidur merupakan salah satu kebutuhan fisiologis bagi manusia. Tidur adalah
keadaan alami yang terjadi karena perubahan status kesadaran dan respon
terhadap stimulus. Tidur yang tidak adekuat dan berkualitas buruk dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan fisiologis dan psikologis. Dampak
fisiologis yang muncul akibat buruknya kualitas tidur meliputi penurunan
aktivitas sehari-hari, kelelahan, fungsi neuromuskular yang buruk, penurunan
daya tahan tubuh, stres, depresi, dan cemas (Moldolfsky, 2001).
Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan. Insomnia
adalah ketidakmampuan untuk memulai tidur atau mempertahankan kondisi tidur
(Lumbantobing, 2001). Prevalensi insomnia pada lanjut usia di Amerika Serikat
dan negara lainnya bervariasi antara 30-60% (Kamel dkk., 2006). Foley dkk.
(1999) melaporkan insiden insomnia pada lanjut usia sebesar 5%. Angka tersebut
kurang lebih sama pada pria dan wanita, kemudian menjadi lebih tinggi pada pria
setelah melewati usia 85 tahun. Tingkat penghasilan dan pendidikan yang rendah
juga meningkatkan risiko mengalami insomnia. Walaupun demikian, hanya satu
dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah didiagnosis
oleh dokter. Hal ini terkait dengan pendapat gangguan tidur pada lanjut usia
merupakan bagian normal dari proses penuaan (Frost, 2001).
Dengan meningkatnya kemampuan teknologi di berbagai bidang serta
kemajuan di bidang ekonomi, harapan hidup manusia Indonesia turut meningkat,
melampaui 60 tahun, sehingga meningkatkan populasi lanjut usia di masyarakat.
(Lumbantobing, 2001). Lansia dengan depresi, stroke, penyakit jantung, penyakit
paru, diabetes, artritis, atau hipertensi sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya
buruk dan durasi tidurnya kurang jika dibandingkan dengan lansia sehat.
Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas yang signifikan. Ada
beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya mengantuk
berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, depresi, sering terjatuh,
penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Angka
kematian, angka sakit jantung dan kanker lebih tinggi pada seseorang yang lama
tidurnya lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan dengan
seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari (Frost, 2001).
Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai fisiologi tidur normal,
arsitektur tidur pada lanjut usia, pengaruh gangguan tidur terhadap lansia,
insomnia pada lansia, etiologi, dan penatalaksanaan insomnia pada lansia baik
aspek nonfarmakologis maupun farmakologis.
menilai kecukupan tidur juga belum ada, sehingga lebih bergantung kepada
persepsi pasien dan pengaruhnya terhadap status fungsional (Montgomery, 2002).
Fisiologi tidur dapat dilihat melalui gambaran elektrofisiologi sel-sel otak
selama tidur. Polisomnografi merupakan alat yang dapat mendeteksi aktivitas otak
selama tidur. Pemeriksaan polisomnografi sering dilakukan saat tidur malam hari.
Alat
tersebut
dapat
mencatat
aktivitas
EEG,
elektrookulografi,
dan
Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium
1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur, menduduki sekitar 5% dari
total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa
(gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran,
predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik.
Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit.
Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti
setengah tidur (Printz dan Vittelo, 2000).
Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh
aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan
tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik.
Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh
gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan
durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan darah cenderung
menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Stadium ini menduduki
sekitar 50% total tidur (Printz dan Vittelo, 2000).
Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per
detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi
tidak ada gerakan bola mata (Printz dan Vittelo, 2000).
Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit
dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta.
Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium
ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara
sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila
seseorang mengalami deprivasi tidur (Printz dan Vittelo, 2000).
Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur
stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola mata cepat.
Refleks tendon melemah atau hilang. Tekanan darah dan napas meningkat. Pada
pria terjadi ereksi penis. Pada tidur REM terdapat mimpi. Fase ini menggunakan
sekitar 20%-25% waktu tidur. Latensi REM sekitar 70-100 menit pada subyek
normal tetapi pada penderita depresi, gangguan makan, skizofrenia, gangguan
kepribadian ambang, dan gangguan penggunaan alkohol durasinya lebih pendek
(Printz dan Vittelo, 2000).
Insomnia
adalah
ketidakmampuan
untuk
memulai
tidur
atau
Keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap tidak segar
meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit satu bulan.
Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau impairment
lainnya.
Tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum
atau zat.
Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk tidur dan
10
11
12
13
14
kualitas hidup. Selain itu, juga dapat meningkatkan produktivitas dan kognitif,
menurunkan biaya medis, serta risiko terkait kecelakaan. Langkah pertama untuk
mengatasi insomnia sekunder terhadap gangguan medik atau psikiatrik adalah
mengoptimalkan terapi terhadap penyakit yang mendasarinya. Terapi insomnia
secara umum dapat dibagi menjadi terapi nonfarmakologis dan terapi
farmakologis (Kamel dan Gammack, 2006).
A. Terapi Nonfarmakologis
Insomnia seringkali tidak mendapat terapi yang cukup, dan terapi
nonfarmakologis jarang dipertimbangkan oleh tenaga medis. Beberapa pilihan
terapi nonfarmakologis adalah sebagai berikut (Printz dan Vittelo, 2000).
15
faktor primer dan reaktif yang sering ditemukan pada insomnia. Ada beberapa
instruksi yang harus diikuti oleh penderita insomnia, diantaranya:
1) Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
2) Jika tidak bisa tidur (setelah beberapa menit) harus bangun, pergi ke
ruang lain, kerjakan sesuatu yang tidak membuat terjaga, masuk
kamar tidur setelah kantuk datang kembali.
3) Bangun pada saat yang sama setiap hari tanpa menghiraukan waktu
tidur, total tidur, atau hari (misalnya hari Minggu).
4) Menghindari tidur di siang hari.
5) Tidak menggunakan stimulansia (kopi, rokok) dalam 4-6 jam sebelum
tidur.
Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama. Bila kebiasaan
ini terus dipraktikkan, gangguan tidur akan berkurang baik frekuensinya
maupun beratnya.
16
Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik. Menghipnosis diri
sendiri, relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi keadaan
relaks cukup efektif untuk memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan
yang cukup dan serius. Biofeedback adalah memberikan umpan-balik
terhadap perubahan fisiologik yang terjadi setelah relaksasi. Umpan balik ini
dapat meningkatkan kesadaran diri pasien tentang perbaikan yang didapat.
Teknik ini dapat dikombinasi dengan higiene tidur dan terapi pengontrolan
stimulus.
B. Terapi Farmakologis
Benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap merupakan pilihan utama
untuk mengatasi insomnia baik primer maupun sekunder. Kloralhidrat dapat pula
bermanfaat dan cenderung tidak disalahgunakan. Antihistamin, prekursor protein
seperti l-triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat
digunakan. Penggunaan jangka panjang obat hipnotik tidak dianjurkan. Obat
hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi
insomnia jangka pendek (Printz dan Vittelo, 2000).
Dosis harus kecil dan durasi pemberian harus singkat. Benzodiazepin dapat
direkomendasikan untuk dua atau tiga hari dan dapat diulang tidak lebih dari tiga
kali. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat
menutupi penyakit yang mendasari. Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati
pada pasien penyakit paru obstruktif kronik, obesitas, gangguan jantung dengan
hipoventilasi. Benzodiazepin dapat mengganggu ventilasi pada apnea tidur. Efek
17
berguna
untuk
penderita
yang
mengalami
interupsi
tidur.
kontinuitas
tidur
akibat
efek
samping
poliuria.
18
Simpulan
Mengingat tingginya prevalensi insomnia pada lansia dan terapi yang dapat
dilakukan, perlu dilakukan skrining untuk mengetahui adanya gangguan tidur
pada lansia. Pemeriksaan harus bersifat komprehensif, meliputi anamnesis,
riwayat
penggunaan
obat-obatan,
pemeriksaan
fisik,
dan
pemeriksaan
19
ditingkatkan agar dapat disusun suatu pedoman tatalaksana insomnia pada lansia
yang sesuai pada sistem kedokteran berbasis bukti.
Daftar Pustaka
Feinsilver SH. Sleep in the elderly. What is normal? Clin Geriatr Med.
2003;19:177-188.
Foley DJ, Monjan A, Simonsick EM, et al. Incidence and remission of
insomnia among elderly adults: an epidemiologic study of 6,800 persons over
three years. Sleep. 1999;22(S2):S366-S372.
Frost R. Sleep Disorder. In: Introductory Textbook of Psychiatry, Andreasen NC,
Black DW. eds, 3rd ed. Am Psychiatric Publ. Inc, Washington DC, London.
2001:643-66.
Gottlieb DJ, Punjabi NM, Newman AB, et al. Association of sleep time with
diabetes mellitus and impaired glucose tolerance. Arch Intern Med.
2005;165:863-867.
John MW. A new method for measuring daytime sleepiness: the Epworth
sleepiness scale. Sleep. 1991;14:540-545.
Kamel NS, Gammack JK. Insomnia in the Elderly: Cause, Approach, and
Treatment. The American Journal of Medicine. 2006;119:463-469.
Lumbantobing. 2001. Neurogeriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Meier-Ewert HK, Ridker PM, Rifai N, et al. Effect of sleep loss on C-reactive
protein, an inflammatory marker of cardiovascular risk. J Am Coll Cardiol.
2004;43:678-683.
Moldofsky, H. 2001. Sleep and Pain. Sleep Medicine Reviews;5(5):387398.
20