Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu
dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan
masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral yang diajarkan
dirumah / sekolah dengan yang dipraktekkan di masyarakat sehari-hari.
Penyebab Skizofrenia
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan
pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Penyakit ini adalah
gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif
atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi
normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan
halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).
Pada pasien penderita, ditemukan penurunan kadar transtiretin atau prealbumin yang merupakan pengusung hormon tiroksin, yang menyebabkan
permasalahan pada zalir serebrospinal.
Penelitian Computed Tomography (CT) otak dan penelitian post mortem
mengungkapkan perbedaan-perbedaan otak penderita skizofrenia dari otak
normal walau pun belum ditemukan pola yang konsisten. Penelitian aliran
darah, glukografi dan Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
mengungkapkan turunnya aktivitas lobus frontal pada beberapa individu
penderita skizofrenia. Status hiperdopaminergik yang khas untuk traktus
mesolimbik (area tegmentalis ventralis di otak tengah ke berbagai struktur
limbic) menjadi penjelasan patofisiologis yang paling luas diterima untuk
skizofrenia.
Semua tanda dan gejala skizofrenia telah ditemukan pada orang-orang
bukan penderita skizofrenia akibat lesi system syaraf pusat atau akibat
gangguan fisik lainnya. Gejala dan tanda psikotik tidak satu pun khas pada
semua penderita skizofrenia. Hal ini menyebabkan sulitnya menegakkan
diagnosis pasti untuk gangguan skizofrenia.
Skizofrenia dapat menyerang siapa saja. Data American Psychiatric
Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia
menderita skizofrenia.
75% penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia
remaja dan dewasa muda paling berisiko karena pada tahap ini, kehidupan
manusia penuh dengan berbagai tekanan (stresor). Selain itu faktor genetik
juga dapat membuat seseorang menderita penyakit ini. Namun, mereka
yang normal, tidak ada faktor genetik, bisa saja menderita skizofrenia jika
stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasinya.
Bahkan beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen
atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis.
Sayangnya, kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan
lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian
diri. Padahal pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial
sangat penting karena jika semakin lama tidak diobati, kemungkinan
kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat.
Oleh karena itu seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya
segera dibawa ke psikiater dan psikolog untuk mendapatkan bantuan
b.
c. Faktor Sosiokultural
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat
dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan
penyebab langsung menimbulkan skizofrenia, biasanya terbatas
menentukan warna gejala-gejala. Disamping mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan
kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Beberapa faktorfaktor kebudayaan tersebut :
1. Cara-cara membesarkan anak
Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter,hubungan orang
tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah dewasa
mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak suka bergaul atau
justru menjadi penurut yang berlebihan.
2. Sistem Nilai
Pengobatan
Tinggal di rumah sakit merupakan pilihan terbaik untuk alasan
keamanan. Di sini penderita dapat memenuhi kebutuhan dasar
mereka untuk makan, beristirahat, dan kesehatan.
Cara terbaik untuk menghalangi kembalinya gejala skizofrenia
adalah dengan mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter.
Efek smping seperti rasa kantuk, bertambahnya berat badan,
perasaan gelisah, kontraksi otot dan gangguan gerakan
merupakan salah satu alasan paling penting penderita skizofrenia
berhenti mengkonsumsi obat
mereka. Antipsikotik atau neuroleptik adalah obat yang efektif
yang dapat membantu dalam membantu keseimbangan kimia
otak. Obat tersebut dapat mengontrol gejala skizofrenia meskipun
memiliki beberapa efek samping. Obat yang lebih baru, atipikal
antipsikotik tampak lebih efektif dan memiliki efek samping lebih
sedikit dan dapat membantu penderita yang tidak mendapatkan
kemajuan dalam pengobatan terdahulu. Selalu bicarakan dengan
dokter apabila akan menganti atau berhenti mengkonsumsi obat.
Perawatan dan pengobatan diperlukan agar gejala skizofrenia
tidak kembali. Terapi behavioral seperti pelatihan ketrampilan
sosial skills akan membantu penderita skizofrenia dalam
meningkatkan fungsi sosial dan ketrampilan mereka. Dukungan
keluarga dan masyarakat akan memberikan perbedaan yang
signifikan dalam pengobatan.
TERAPI SKIZOFRENIA
TERAPI SKIZOFRENIA
I.1. TERAPI BIOLOGIS
I.1.1 Penggunaan Obat Antipsikosis
Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala
schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine
decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok
obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol).
Obat ini disebut obet penenang utama. Obat tersebut dapat
menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak
mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang
sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun).
Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus.
luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang
tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan).
Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada
bagian batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu
mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex
cerebral. Obat-obatan ini tampaknya mengurangi masukan
sensorik pada sistem retikuler, sehingga informasi tidak mencapai
cortex cerebral. Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk
meredakan gejala schizophrenia, memperpendek jangka waktu
pasien di rumah sakit, dan mencegah kambuhnya penyakit.
Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk penyembuhan
menyeluruh. Kebanyakan pasien harus melanjutkannya dengan
perbaikan dosis pengobatan agar dapat berfungsi di luar rumah
sakit.
Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik
tersebut memiliki dampak sampingan yang kurang
menyenangkan, yaitu mulut kering, pandangan mengabur, sulit
berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan
pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak sampingan
yang lebih seriusdalam beberapa hal, misalnya tekanan darah
rendah dan gangguan otot yang menyebabkan gerakan mulut dan
dagu yang tidak disengaja (Atkinson, et al., 1991). Selain itu,
dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti
schizophrenic bermunculan dan mulai digunakan di Indonesia.
Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone, olanzepine, iloperidol,
diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan yang lebih
baik, terutama bagi yang sudah resisten dengan obat-obat lama.
Obat-obat generasi kedua ini bisa menetralisir gejala-gejala akut
schizophrenia seperti tingkah laku kacau, gaduh gelisah, waham,
halusinasi pendengaran, inkoherensi, maupun menghilangkan
gejala-gejala negatif (kronik) seperti autistik (pikiran penuh fantasi
dan tak terarah), perasaan tumpul, dan gangguan dorongan
kehendak. Namun, obat-obat anti schizophrenia ini memiliki harga
yang cukup mahal. Sementara, penderita schizophrenia di
Indonesia kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi
rendah dan biasanya menggunakan obat-obatan klasik (generik)
(Wicaksana, 2000).
I.1.2 Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi
elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan
keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Di masa lalu
ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai
gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak
membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang
lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman
yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun
lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan
ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan
pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas
kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan
berbagai cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien
diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang
otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui
kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak
yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu
sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang
otot mencegah terjadinya kekejangan otot tubuh dan
kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan tidak ingat
apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran
dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya
diberikan kepada belahan otak yang tidak dominant (nondominan
hemisphere). Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini
biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan
schizophrenia, namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita
depresi tertentu (Atkinson, et al.,1991).
I.1.3 Pembedahan bagian otak
Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994) memperkenalkan
prefrontal lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus
frontalis penderita schizophrenia. Menurut Moniz, cara ini cukup
berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya,
khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi,
pada tahun 1950 -an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan
penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak
bergairah, bahkan meninggal.
I.2 PSIKOTERAPI
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat
Jenis-jenis Skizofrenia
Skizofrenia Simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas.
Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali terjadi.
Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita
Diagnosis Skizofrenia
Pedoman Diagnostik PPDGJ III
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
1.
2.
- thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
- thought insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar dirinya (withdrawal); dan
- thought broadcasting= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
- delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- delusion of passivitiy = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya = secara jelas merujuk
kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus);
- delusional perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
Halusinasi Auditorik:
* Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
* Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
* Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain)
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik (prodromal)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude)
dan penarikan diri secara sosial.
Menurut Bleuler, diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila terdapat
ganguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur kepribadian
serta diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder.
Sedangkan Schneider berpendapat bahwa diagnosa sudah boleh dibuat
bila terdapat satu dari gejala-gejala halusinasi pendengaran dan satu gejala
gangguan batas ego dengan syarat bahwa kesadaran penderita tidak
menurun (PPDGJ III).
Setionegoro (Maramis, 2004) membuat diagnosa skizofrenia dengan
memperhatikan gejala-gejala pada tiga buah koordinat. Koordinat pertama
(organobiologik) yaitu, autisme, gangguan afek dan emosi, gangguan
asosiasi (proses berfikir), ambivalensi (gangguan kemauan) serta
gangguan aktifitas maupun gangguan konsentrasi. Koordinat kedua
(psikologik) yaitu, gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keperibadian, dengan memperhatikan
perkembangan ego, sistematik motivasi dan psikodinamika dalam interaksi
dengan lingkungan. Koordinat ketiga (sosial) yaitu, gangguan pada
kehidupan sosial penderita yang diperhatikan secara fenomenologik.
Schneider (Kaplan dan Sadock, 2003) memberikan kriteria diagnosa
berdasarkan urutan gejala sebagai berikut:
Gejala urutan pertama:
1. Pikiran yang dapat digeser
2. Suara-suara yang berdebat atau berdiskusi atau keduanya
3. Suara-suara yang mengkomentari
4. Pengalaman pasivitas somatik
5. Penarikan pikiran dan pengalaman pikiran yang dipengaruhi lainnya
6. Siar pikiran
7. Persepsi bersifat waham
8. Semua pengalaman lain yang melibatkan kemauan, membuat afek dan
membuat impuls.
Gejala urutan kedua:
1. Gangguan persepsi lain
2. Gagasan bersifat waham yang tiba-tiba
3. Kebingungan
4. Perubahan mood disforik dan euforik
5. Perasaan kemiskinan emosional
6. dan beberapa lainya juga
Langfeldt (Kaplan dan Sadock, 2003) memberikan kriteria diagnosis
sebagai berikut:
Kriteria Gejala
1.
2.
3.
Petunjuk penting ke arah diagnosis skizofrenia adalah (jika tidak ada tanda
gangguan kongnitif, infeksi, atau intoksikasi yang dapat ditunjukkan).
Prognosis Skizofrenia
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan
orang mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara
umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan
35% mengalami perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang
1.
dapat memprediksi siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak,
2.
tetapi ada beberapa faktor yang dapat memberikan prognosis yang baik
dan mempengaruhinya seperti:
3.
* Usia tua
* Faktor pencetus jelas
* Onset akut
* Riwayat sosial/pekerjaan pramorbid baik
* Gejala depresi
* Menikah
* Riwayat keluarga
* Gangguan mood
* Sistem pendukung baik
* Gejala positif
4.
5.
Intervensi Psikososial
Hal ini dilakukan dengan menurunkan stressor lingkungan atau
mempertinggi kemampuan penderita untuk mengatasinya, dan adanya
dukungan sosial. Intervensi psikososial diyakini berdampak baik pada
angka relaps dan kualitas hidup penderita.
Intervensi berpusat pada keluarga hendaknya tidak diupayakan untuk
mendorong eksplorasi atau ekspresi perasaan-perasaan, atau
mempertinggi kewaspadaan impuls-impuls atau motivasi bawah sadar.
Tujuan intervensi psikososial keluarga adalah:
Pendidikan pasien dan keluarga tentang sifat-sifat gangguan skizofrenia.
Mengurangi rasa bersalah penderita atas timbulnya penyakit ini. Bantu
penderita memandang bahwa skizofrenia adalah gangguan otak.
Mempertinggi toleransi keluarga akan perilaku disfungsional yang tidak
berbahaya. Kecaman dari keluarga dapat berkaitan erat dengan relaps.
Mengurangi keterlibatan orang tua dalam kehidupan emosional penderita.
Keterlibatan yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko relaps.
Mengidentifikasi perilaku problematik pada penderita dan anggota keluarga
lainnya dan memperjelas pedoman bagi penderita dan keluarga.
Psikodinamik atau berorientasi insight belum terbukti memberikan
keuntungan bagi individu skizofrenia. Cara ini malahan memperlambat
kemajuan. Terapi individual menguntungkan bila dipusatkan pada
penatalaksanaan stress atau mempertinggi kemampuan sosial spesifik,
serta bila berlangsung dalam konteks hubungan terapeutik yang ditandai
dengan empati, rasa hormat positif dan ikhlas. Pemahaman yang empatis
terhadap kebingungan penderita, ketakutan-ketakutannya, dan
demoralisasinya amat penting dilakukan.
Ada beberapa macam metode psikososial yang dapat dilakukan untuk
membantu penderita Skizofrenia, diantaranya adalah:
Psikoterapi individual
o Terapi suportif
o Sosial skill training
o Terapi okupasi
o Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
Psikoterapi kelompok
Psikoterapi keluarga
Manajemen kasus
Assertive Community Treatment (ACT)
Pengobatan Skizofrenia
Psikofarmaka
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek
sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan
jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen.
Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti
dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama)
dengan dosis ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti
psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir
baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala
negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis
atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala
negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek
samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal.
Obat antipsikotik yang beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi
dua bagian yaitu anti psikotik generasi pertama (APG I) dan anti psikotik
generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di
mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoin fundibular sehingga
dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat
memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive
dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi
seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun
kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping anti kolinergik seperti
mulut kering pandangan kabur gangguan miksi, defekasi dan hipotensi.
APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan
kurang atau sama dengan 10 mg di antaranya adalah trifluoperazine,
fluphenazine, haloperidol dan pimozide.
Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala
dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi
rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg di antaranya adalah chlorpromazine
dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh
gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut
sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau anti psikotik atipikal.
Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur
dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping
extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang
tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine , quetiapine dan
rispendon.
(Luana, 2007).
Obat Neuroleptika
Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi,
karena 75% penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat
neuroleptika.
Kontraindikasi meliputi:
Kekambuhan Skizofrenia
Kekambuhan gangguan jiwa pisikotik adalah munculnya kembali gejalagejala pisikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan
dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit (RS), lamanya dan perjalanan
penyakit. Penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari
RS mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki
sedikit keterampilan sosial, (Porkony dkk, 1993).
Porkony dkk (1993), melaporkan bahwa 49% penderita Skizofrenia
mengalami rawat ulang setelah follow up selama 1 tahun, sedangkan
penderita-penderita non-Skizofrenia hanya 28%.
Solomon dkk (1994), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat
Ventilasi
Tes realita, untuk menilai kemampuan penderita di dalam
membedakan realita
3.
Berbagai dukungan sosial, terutama dari keluarga
4.
Persetujuan dan perpaduan sosial terutama keluarga dan lingkungan
dekatnya, di mana penderita ingin diterima kembali dalam lingkungan
sosialnya dan mengharapkan hubungan dengan orang-orang yang
dikenalnya sebelum ia masuk RS.
5.
Motivasi
6.
Pembentukan, di mana penderita mencontoh tingkah laku orang lain
untuk meningkatkan fungsi sosialnya.
7.
Pengawasan gejala
8.
Pemecahan masalah
9.
Pengertian yang empatik
10.
Saling memberi dan menerima
11.
Insight.
Fase kebutuhan sosial adalah:
1.
2.
Pyromania
Pyromania adalah sejenis mania di mana muncul dorongan
kuat
untuk
sengaja
menyulut apiuntuk
meredakan
ketegangan dan biasanya menimbulkan perasaan lega atau
puas setelah melakukannya. Penderita pyromania (atau
biasa disebut pyromaniak) berbeda dengan para pembakar
gedung (arson), pyromaniak juga berbeda dengan mereka
yang menyulut api akibat psikosis, demi kepentingan
pribadi, moneter, maupun politik, atau sebagai tindakan
balas dendam. Pyromaniak menyulut api demi merangsang
euforia, dan sering kali tertarik pada hal-hal yang berkaitan
dengan pengendalian api, seperti pemadam kebakaran.
Simtoma
Simtoma atau simtom dalam penyakit adalah cara untuk
melakukan pengindikasian keberadaan sesuatu penyakit
atau gangguan kesehatan yang tidak diinginkan dengan
melalui gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri penyakit yang
dapat dirasakan seperti perasaan mual atau pusing, akan
tetapi dalam hal ini tidak termasuk didalam pengertian
karena
halusinasi
atau
delusi,
cara
melakukan
pengindikasian ini bertumpuk pada diri pelaku, bukan hasil
dari pengamatan yang dilakukan berdasarkan pemeriksaan
kedokteran.
Penggunaan lain simtoma juga terdapat dalam politik
dimana artinya adalah melihat sebagai akar dari sesuatu
permasalahan.
Psikopat secara harfiah berarti sakit jiwa. Psikopat berasal
dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti
penyakit. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat
karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orangorang terdekatnya.
Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena
seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya.
Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati,
pengidapnya seringkali disebut orang gila tanpa gangguan
mental. Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi
dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi
karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran
daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit
jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan.
Seorang ahli psikopati dunia yang menjadi guru besar di
Universitas British Columbia, Vancouver, Kanada bernama
Robert D. Hare telah melakukan penelitian psikopat sekitar
25 tahun. Ia berpendapat bahwa seorang psikopat selalu
membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta,
menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan
kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri.
Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh,
pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen
dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang
berpenampilan
sempurna,
pandai
bertutur
kata,
mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan
menyenangkan.
Psikopat memiliki 20 ciri-ciri umum. Namun ciri-ciri ini
diharapkan tidak membuat orang-orang mudah mengecap
seseorang
psikopat
karenadiagnosis gejala
ini
membutuhkan pelatihan ketat dan hak menggunakan
pedoman penilaian formal, lagipula dibutuhkan wawancara
mendalam
dan
pengamatan-pengamatan
lainnya.
Mengecap seseorang dengan psikopat dengan sembarangan
beresiko buruk, dan setidaknya membuat nama seseorang
itu
menjadi
jelek.
Lima tahap mendiagnosis psikopat
1. Mencocokan kepribadian pasien dengan 20 kriteria yang
ditetapkan Prof. Hare. Pencocokkan ini dilakukan dengan
cara mewawancara keluarga dan orang-orang terdekat
pasien, pengaduan korban, atau pengamatan prilaku pasien
dari
waktu
ke
waktu.
2. Memeriksa kesehatan otak dan tubuh lewat pemindaian
menggunakan elektroensefalogram, MRI, dan pemeriksaan
kesehatan secara lengkap. Hal ini dilakukan karena menurut