Anda di halaman 1dari 10

Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang mengakibatkan

penderitanya memiliki ketidakmampuan menilai realitas.


Penyebabnya adalah gangguan keseimbangan neurokimia di otak
yang mengganggu fungsinya secara keseluruhan. "Dan dalam
jangka panjang, orang dengan skizofrenia memiliki keterbatasan
fungsi dalam bekerja atau sekolah, hubungan interpersonal, dan
kemampuan mengurus diri sendiri," kata dr. Nurmiati Amir, Sp.KJ,
dari Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia (PDSKJI).
Secara spesifik berikut tanda dan gejala skizofrenia:
Gejala Positif
Delusi/waham
Halusinasi
Gejala Negatif
Anhedonia
Afek datar
Kurangnya motivasi
Penarikan diri
Alogia
Defisit Kognisi
Perhatian
Memori
Kelancaran berbahasa
Fungsi kognisi
Disorganisasi
Bicara
Perilaku
Gangguan Mood
Depresi
Cemas
Agresif
Ingin bunuh diri
Faktor-faktor Penyebab Skizofrenia
a. Faktor Biologis
1. Adanya gangguan pada neurotransmitter (penyampaian pesan secara
kimiawi) dimana terjadi ketidakseimbangan produksi neurotransmitter
dopamine, bila kadar dopamine berlebihan atau kurang,penderita dapat
mengalami gejala positif atau gejala negatif.
2. Pengaruh genetik
Kemungkinan bahwa schizophrenia merupakan kondisi kompleks
warisan, dengan beberapa gen mungkin berinteraksi untuk menghasilkan
resiko schizophrenia terpisah atau komponen yang dapat terjadi mengarah
diagnosa. Gen ini akan muncul untuk nonspesifik dimana mereka dapat
menimbulkan resiko gila lainnya. Seperti kekacauan gangguan bipolar.
Duplikasi dari urutan DNA dalam gen (dikenal sebagai menyalin nomor
varian) memungkinkan terjadi peningkatan resiko schizophrenia.
Sekelompok peneliti internasional mengidentifikasi tiga variasi baik
dari DNAyang diperkirakan meningkatkan penyakit schizophrenia, serta
beberapa gen lain yang mempunyai kaitan kuat dengan penyakit ini. David
St. Clairseorang psikiater di University of Aberdeen di Scotlandia
mengatakan, penemuan ini seperti awal dari jaman baru. Begitu peneliti
memahami mekanisme kerja dari proses mutasi, maka obat dan
pendekatan baru dapat dikembangkan.
Dalam penelitian,peneliti menganalisa gen dari 6.000-10.000 orang dari
seluruh dunia yang separuhnya menderita schizophrenia.Mereka
menemukan 1 mutasi pada kromosom 1,dua pada kromosom 15 dan
menetapkan suatu jenis gen yang terkait dengan kondisi schizophrenia
pada kromosom 22.Perubahan ini dapat meningkatkan resiko
berkembangnya schizophrenia hingga 15 kali lipat.
Faktor Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari factor psikososial sangat dipengaruhi
oleh faktorkeluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya
memiliki emosi ekspresi (EE)yang tinggi memiliki angka relaps lebih tinggi
daripada pasien yang berasal dari keluarga berkspresi yang rendah. EE
didefinisikan sebagai perilaku yang intrusive, terlihat berlebihan, kejam dan
kritis. Disam ping itu, stress psikologik dan lingkungan paling mungkin
mencetuskan dekompensasi psikotik yang lebih terkontrol. Di Negara
industri sejumlah pasien skizofrenia berada dalam kelompok sosio ekonomi
rendah. Pengamatan tersebut telah dijelaskan oleh hipotesis pergeseran ke
bawah (Downward drift hypothesis), yang menyatakan bahwa orang yang
terkena bergeser ke kelompok sosioekonomi rendah karena penyakitnya.
Suatu penjelasan alternative adalah hipotesis akibat sosial,yang
menyatakan stress yang dialami oleh anggota kelompok sosioekonomi
rendah berperan dalam perkembangan skizofrenia.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab sosial dari skizofenia
di
setiap
kultur
berbeda
tergantung
dari
bagaim ana
penyakit mental diterima di dalam kultur, sifat peranan pasien, tersedianya
sistem pendukung sosial dan keluarga, dan kompleksitas komunikasi
sosial.

Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu
dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan
masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral yang diajarkan
dirumah / sekolah dengan yang dipraktekkan di masyarakat sehari-hari.
Penyebab Skizofrenia
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan
pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Penyakit ini adalah
gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif
atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi
normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan
halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).
Pada pasien penderita, ditemukan penurunan kadar transtiretin atau prealbumin yang merupakan pengusung hormon tiroksin, yang menyebabkan
permasalahan pada zalir serebrospinal.
Penelitian Computed Tomography (CT) otak dan penelitian post mortem
mengungkapkan perbedaan-perbedaan otak penderita skizofrenia dari otak
normal walau pun belum ditemukan pola yang konsisten. Penelitian aliran
darah, glukografi dan Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
mengungkapkan turunnya aktivitas lobus frontal pada beberapa individu
penderita skizofrenia. Status hiperdopaminergik yang khas untuk traktus
mesolimbik (area tegmentalis ventralis di otak tengah ke berbagai struktur
limbic) menjadi penjelasan patofisiologis yang paling luas diterima untuk
skizofrenia.
Semua tanda dan gejala skizofrenia telah ditemukan pada orang-orang
bukan penderita skizofrenia akibat lesi system syaraf pusat atau akibat
gangguan fisik lainnya. Gejala dan tanda psikotik tidak satu pun khas pada
semua penderita skizofrenia. Hal ini menyebabkan sulitnya menegakkan
diagnosis pasti untuk gangguan skizofrenia.
Skizofrenia dapat menyerang siapa saja. Data American Psychiatric
Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia
menderita skizofrenia.
75% penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia
remaja dan dewasa muda paling berisiko karena pada tahap ini, kehidupan
manusia penuh dengan berbagai tekanan (stresor). Selain itu faktor genetik
juga dapat membuat seseorang menderita penyakit ini. Namun, mereka
yang normal, tidak ada faktor genetik, bisa saja menderita skizofrenia jika
stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasinya.
Bahkan beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen
atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis.
Sayangnya, kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan
lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian
diri. Padahal pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial
sangat penting karena jika semakin lama tidak diobati, kemungkinan
kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat.
Oleh karena itu seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya
segera dibawa ke psikiater dan psikolog untuk mendapatkan bantuan

b.

c. Faktor Sosiokultural
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat
dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan
penyebab langsung menimbulkan skizofrenia, biasanya terbatas
menentukan warna gejala-gejala. Disamping mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan
kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Beberapa faktorfaktor kebudayaan tersebut :
1. Cara-cara membesarkan anak
Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter,hubungan orang
tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah dewasa
mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak suka bergaul atau
justru menjadi penurut yang berlebihan.
2. Sistem Nilai

Pengobatan
Tinggal di rumah sakit merupakan pilihan terbaik untuk alasan
keamanan. Di sini penderita dapat memenuhi kebutuhan dasar
mereka untuk makan, beristirahat, dan kesehatan.
Cara terbaik untuk menghalangi kembalinya gejala skizofrenia
adalah dengan mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter.
Efek smping seperti rasa kantuk, bertambahnya berat badan,
perasaan gelisah, kontraksi otot dan gangguan gerakan
merupakan salah satu alasan paling penting penderita skizofrenia
berhenti mengkonsumsi obat
mereka. Antipsikotik atau neuroleptik adalah obat yang efektif
yang dapat membantu dalam membantu keseimbangan kimia
otak. Obat tersebut dapat mengontrol gejala skizofrenia meskipun
memiliki beberapa efek samping. Obat yang lebih baru, atipikal
antipsikotik tampak lebih efektif dan memiliki efek samping lebih
sedikit dan dapat membantu penderita yang tidak mendapatkan
kemajuan dalam pengobatan terdahulu. Selalu bicarakan dengan
dokter apabila akan menganti atau berhenti mengkonsumsi obat.
Perawatan dan pengobatan diperlukan agar gejala skizofrenia
tidak kembali. Terapi behavioral seperti pelatihan ketrampilan
sosial skills akan membantu penderita skizofrenia dalam
meningkatkan fungsi sosial dan ketrampilan mereka. Dukungan
keluarga dan masyarakat akan memberikan perbedaan yang
signifikan dalam pengobatan.

TERAPI SKIZOFRENIA
TERAPI SKIZOFRENIA
I.1. TERAPI BIOLOGIS
I.1.1 Penggunaan Obat Antipsikosis
Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala
schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine
decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok
obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol).
Obat ini disebut obet penenang utama. Obat tersebut dapat
menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak
mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang
sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun).
Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus.
luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang
tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan).
Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada
bagian batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu
mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex
cerebral. Obat-obatan ini tampaknya mengurangi masukan
sensorik pada sistem retikuler, sehingga informasi tidak mencapai
cortex cerebral. Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk
meredakan gejala schizophrenia, memperpendek jangka waktu
pasien di rumah sakit, dan mencegah kambuhnya penyakit.
Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk penyembuhan
menyeluruh. Kebanyakan pasien harus melanjutkannya dengan
perbaikan dosis pengobatan agar dapat berfungsi di luar rumah
sakit.
Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik
tersebut memiliki dampak sampingan yang kurang
menyenangkan, yaitu mulut kering, pandangan mengabur, sulit
berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan
pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak sampingan
yang lebih seriusdalam beberapa hal, misalnya tekanan darah
rendah dan gangguan otot yang menyebabkan gerakan mulut dan
dagu yang tidak disengaja (Atkinson, et al., 1991). Selain itu,
dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti
schizophrenic bermunculan dan mulai digunakan di Indonesia.
Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone, olanzepine, iloperidol,
diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan yang lebih
baik, terutama bagi yang sudah resisten dengan obat-obat lama.
Obat-obat generasi kedua ini bisa menetralisir gejala-gejala akut
schizophrenia seperti tingkah laku kacau, gaduh gelisah, waham,
halusinasi pendengaran, inkoherensi, maupun menghilangkan
gejala-gejala negatif (kronik) seperti autistik (pikiran penuh fantasi
dan tak terarah), perasaan tumpul, dan gangguan dorongan
kehendak. Namun, obat-obat anti schizophrenia ini memiliki harga
yang cukup mahal. Sementara, penderita schizophrenia di
Indonesia kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi
rendah dan biasanya menggunakan obat-obatan klasik (generik)
(Wicaksana, 2000).
I.1.2 Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi
elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan
keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Di masa lalu
ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai
gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak
membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang
lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman
yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun
lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan
ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan
pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas
kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan
berbagai cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien
diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang
otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui
kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak
yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu
sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang
otot mencegah terjadinya kekejangan otot tubuh dan
kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan tidak ingat
apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran
dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya
diberikan kepada belahan otak yang tidak dominant (nondominan
hemisphere). Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini
biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan
schizophrenia, namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita
depresi tertentu (Atkinson, et al.,1991).
I.1.3 Pembedahan bagian otak
Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994) memperkenalkan
prefrontal lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus
frontalis penderita schizophrenia. Menurut Moniz, cara ini cukup
berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya,
khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi,
pada tahun 1950 -an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan
penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak
bergairah, bahkan meninggal.
I.2 PSIKOTERAPI
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat

situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa


(RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para psikiater dan
petugas kesehatan terkondisi untuk menangani schizophrenia
dengan obat saja selain terapi kejang listrik (ECT). Psikoterapi
suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak
pernah dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak
manfaatnya. Wawancara tatap muka yang rutin dengan pasien
jarang dilakukan (Wicaksana, 2000).
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa
dengan cara psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan
bahwa perubahan perilaku tergantung pada pemahaman individu
atas motif dan konflik yang tidak disadari.
I.2.1 Terapi Psikoanalisa.
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep
Freud. Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan
konflik yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang
digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya . Hal yang
paling penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal
yang direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada
saat penderita schizophrenia sedang tidak "kambuh". Macam
terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas.
Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan
pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada dalam
pikirannya tanpa penyuntingan atau penyensoran (Akinson, 1991).
Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam
kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa.
Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan relaks,
maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat
itu secara verbal. Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh
menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang ada di
benaknya dan penderita mengalami blocking, maka hal itu
merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi. Hal yang
direpress biasanya berupa dorongan vital seperti sexual dan
agresi. Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut figur
otorotas yang selalu diwakili oleh father dan mother figure.
Repressi anger dan hostile merupakan salah satu bentuk
intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada individu.
Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian menjadi
tidak baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi
bebas, maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari
analisanya dapat menimbulkan insight pada penderita. Analisa
pada waktu terjadi blocking bertujuan agarpenderita mampu
menempatkan konfliknya lebih proporsional, sehingga penderita
mengalami suatu proses penurunan ketegangan dan penderita
lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya. Seperti yang telah
diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi kesempatan untuk
dapat mengungkapkan segala traumatic events dan keinginankeinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut dengan moment
chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk mengeluarkan
uneg-uneg yang ia rasakan , sehingga terjadi redusir terhadap
pelibatan emosi dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya.
Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga terdapat proses
transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan
therapist sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya
menimbulkan masalah bagi penderita.
Terdapat 2 macam transference, yaitu:
(1) transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan figur
yang disukai oleh penderita,
(2) transference negatif, yaitu therapist menggantikan figur yang
dibenci oleh penderita (Fakultas Psikologi UNPAD, 1992).
I.2.2 Terapi Perilaku (Behavioristik)
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian
klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku
nyata. Para terpist mencoba menentukan stimulus yang
mengawali respon malasuai dan kondisi lingkungan yang
menguatkan atau mempertahankan perilaku itu (Ullaman dan
Krasner, 1969; Lazarus, 1971 dalam Atkinson, 1991).
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh
variabel kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu
tentang situasi menimbulkan kecemasan tentang akibat dari
tindakan tertentu) dan telah mencakupkan upaya untuk
mengubah variabel semacam itu dengan prosedur yang khusus
ditujukan pada perilaku tersebut (Bandura, 1982; Meinchenbaum
dan Jaremko, 1982 dalam Atkinson, 1991). Pada kongres psikiatri
di Malaysia pada tahun 2000, cognitif - behavior therapy untuk
pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari Amerika
maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup
baik, terutama untuk kasus-kasus baru, dengan menggunakan
cognitif - behavior therapy tersebut. Rupanya ada gelombang
besar optimisme akan kesembuhan schizophrenia di dunia dengan
terapi yang lebih komprehensif ini. Selain itu, secara umum terapi
ini juga bermaksud secara langsung membentuk dan
mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang lebih
sesuai, sebagai persiapan penderita untuk kembali berperan
dalam masyarakat. Paul dan Lentz (Rathus,et al., 1991; Davison,
et al., 1994) menggunakan dua bentuk program psikososial untuk
meningkatkan fungsi kemandirian.
a. Social Learning Program.
Social learning program menolong penderita schizophrenia untuk
mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini
menggunakan token economy, yakni suatu cara untuk
menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token)
bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda
tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti makanan
atau hak-hak tertentu. Program lainnya adalah millieu program

atau therapeutic community. Dalam program ini, penderita dibagi


dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab
untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu
untuk bersama-sama dan saling membantu dalam penyesuaian
perilaku serta membicarakan masalah-masalah bersama dengan
pendamping. Terapi ini berusaha memasukkan penderita
schizophrenia dalam proses perkembangan untuk mempersiapkan
mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan
melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing. Dalam
penelitian, social learning program mempunyai hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa dan
millieu program. Persoalan yang muncul dalam terapi ini adalah
identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif. Tidak jelas
apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor lain
yang menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program
penguatan dengan tanda tersebut membantu perubahan perilaku
hanya selama tanda diberikan atau hanya dalam lingkungan
perawatan.
b. Social Skills Training.
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian
sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat membantu
dalam beradaptasi dengan masyarakat (Rathus, et al., 1991;
Davisoan, et al., 1994; Sue, et al., 1986). Social Skills Training
menggunakan latihan bermain sandiwara. Para penderita diberi
tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar
mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang sebenarnya.
Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam panti-panti
rehabilitasi psikososial untuk membantu penderita agar bisa
kembali berperan dalam masyarakat. Mereka dibantu dan
didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti
memasak, berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat,
dan sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap
ada persoalan bagaimana mempertahankan perilaku bila suatu
program telah selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi yang
tidak diajarkan secara langsung.
I.2.3 Terapi Humanistik
a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang
dalam berhubungan dengan orang lain, yang dapat menyebabkan
seseorang berusaha menghindari relasinya dengan orang lain,
mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola penyelesaian
masalah yang dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan
dunia empiris. Dalam menangani kasus tersebut, terapi kelompok
akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan klien,
khususnya klien schizophrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik.
Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling
berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan
sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi
tersebut saling memberikan feedback tentang pikiran dan
perasaan yang dialami oleh mereka. Klien dihadapkan pada
setting sosial yang mengajaknya untuk berkomunikasi, sehingga
terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka dalam
kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering
dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal
relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu
diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan
perasaannya yang tidak realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua
serta anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapist. Terapi
ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit
jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi
dalam keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita
kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi
tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan,
baik
yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan
untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama.
Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan caracara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan
tentang cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih
penderita dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan
dan pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan disusun
sedemikian rupa serta dievaluasi. Dari beberapa penelitian,
seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus,
et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat membantu
dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah
kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi
Gejala Skizofrenia
Seperti halnya berbagai macam penyakit, skizofrenia pun memiliki gejalagejala awal. Berikut ini adalah beberapa indikator premorbid (pra-sakit) preskizofrenia.
- Ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin,
jarang tersenyum, acuh tak acuh.
- Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah,
kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial).
- Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan,
mempertahankan, atau memindahkan atensi.
- Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial,

tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas,


mengganggu dan tak disiplin.
Pada umumnya gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua
kelompok berikut:
1. Gejala-gejala Positif
Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang
dapat diamati oleh orang lain. Yang termasuk dalam gejala ini antara lain
adalah halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif).
2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala ini disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas
atau fungsi normal seseorang.
Yang termasuk dalam gejala-gejala ini antara lain adalah kurang atau tidak
mampu menampakkan/ mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku,
kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatankegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita Skizofrenia atau penyakit
psikotik yang lainnya, keberadaan Skizofrenia pada kelompok ini sangat
sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom
Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan Post
Traumatic Stress Dissorder. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau
Skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhatihati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan
faktor predisposisi skizofrenia, yaitu:
- Gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap
semua orang sebagai musuh. - Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi
dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta
selalu menyendiri.
- Gangguan skizotipal yaitu perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek
sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada
perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak
terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet
atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan
inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang
menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya
gejala skizofrenia, misalnya tekanan (stresor) lingkungan dan faktor genetik
ataupun penggunaan yang salah pada beberapa jenis obat-obatan
terlarang.
Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fase berikut
ini:
1. Fase Prodromal
Pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa
minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi
jelas. Gejala pada fase ini meliputi: hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial,
fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri.
Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah
keluarga dan teman, mereka akan mengatakan orang ini tidak seperti yang
dulu. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
2. Fase Aktif
Pada fase ini, gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku
katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir
semua individu datang berobat pada fase ini. Bila tidak mendapat
pengobatan, gejala-gejala tersebut dapat hilang secara spontan tetapi
suatu saat mengalami eksaserbasi (terus bertahan dan tidak dapat
disembuhkan). Fase aktif akan diikuti oleh fase residual.
3. Fase Residual
Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan Fase Prodromal tetapi
gejala positif/psikotiknya sudah berkurang.
Di samping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase di atas, penderita
skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara
spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi,
konsentrasi, hubungan sosial)

Jenis-jenis Skizofrenia

Skizofrenia Simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas.
Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali terjadi.
Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita

kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin3.


lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya
menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia
akan mungkin akan menjadi pengemis, pelacur atau penjahat
(Maramis, 2004).
4.
Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis
(2004) permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja
atau antara 1525 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses
berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan
psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini.
Waham dan halusinasi banyak sekali.
1.
Skizofrenia Katatonik
Menurut Maramis (2004), skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia,
timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah
2.
katatonik atau stupor katatonik.
Stupor Katatonik
3.
Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali
terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba
4.
atau perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai
berbicara dan bergerak.
Gaduh Gelisah Katatonik
Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak
disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh
rangsangan dari luar.
Skizofrenia Paranoid
Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit.
Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala
skizofrenia simplek atau gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak
demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan,
(Maramis, 2004).
Episode Skizofrenia Akut
Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan
mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul
perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya
seakan-akan mempunyai arti yang khusus baginya.
Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang
dari enam bulan penderita sudah baik. Kadang-kadang bila kesadaran yang
berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia
yang lainnya, (Maramis, 2004).
Skizofrenia Residual
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala
primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder.
Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia, (Maramis,
2004).
Skizofrenia Skizoafektif
Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat
menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala
mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi
mungkin juga timbul lagi serangan (Maramis, 2004).

Diagnosis Skizofrenia
Pedoman Diagnostik PPDGJ III
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
1.

2.

- thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
- thought insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar dirinya (withdrawal); dan
- thought broadcasting= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
- delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- delusion of passivitiy = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya = secara jelas merujuk
kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus);
- delusional perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

Halusinasi Auditorik:
* Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
* Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
* Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain)
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik (prodromal)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude)
dan penarikan diri secara sosial.
Menurut Bleuler, diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila terdapat
ganguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur kepribadian
serta diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder.
Sedangkan Schneider berpendapat bahwa diagnosa sudah boleh dibuat
bila terdapat satu dari gejala-gejala halusinasi pendengaran dan satu gejala
gangguan batas ego dengan syarat bahwa kesadaran penderita tidak
menurun (PPDGJ III).
Setionegoro (Maramis, 2004) membuat diagnosa skizofrenia dengan
memperhatikan gejala-gejala pada tiga buah koordinat. Koordinat pertama
(organobiologik) yaitu, autisme, gangguan afek dan emosi, gangguan
asosiasi (proses berfikir), ambivalensi (gangguan kemauan) serta
gangguan aktifitas maupun gangguan konsentrasi. Koordinat kedua
(psikologik) yaitu, gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keperibadian, dengan memperhatikan
perkembangan ego, sistematik motivasi dan psikodinamika dalam interaksi
dengan lingkungan. Koordinat ketiga (sosial) yaitu, gangguan pada
kehidupan sosial penderita yang diperhatikan secara fenomenologik.
Schneider (Kaplan dan Sadock, 2003) memberikan kriteria diagnosa
berdasarkan urutan gejala sebagai berikut:
Gejala urutan pertama:
1. Pikiran yang dapat digeser
2. Suara-suara yang berdebat atau berdiskusi atau keduanya
3. Suara-suara yang mengkomentari
4. Pengalaman pasivitas somatik
5. Penarikan pikiran dan pengalaman pikiran yang dipengaruhi lainnya
6. Siar pikiran
7. Persepsi bersifat waham
8. Semua pengalaman lain yang melibatkan kemauan, membuat afek dan
membuat impuls.
Gejala urutan kedua:
1. Gangguan persepsi lain
2. Gagasan bersifat waham yang tiba-tiba
3. Kebingungan
4. Perubahan mood disforik dan euforik
5. Perasaan kemiskinan emosional
6. dan beberapa lainya juga
Langfeldt (Kaplan dan Sadock, 2003) memberikan kriteria diagnosis
sebagai berikut:
Kriteria Gejala

1.

2.
3.

Petunjuk penting ke arah diagnosis skizofrenia adalah (jika tidak ada tanda
gangguan kongnitif, infeksi, atau intoksikasi yang dapat ditunjukkan).

skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan


dengan perawatan terapi psikologis.

Perubahan keperibadian yang bermanifestasi sebagai penumpulan


emosional dengan jenis khusus diikuti oleh hilangnya inisiatif dan perilaku
yang berubah dan seringkali aneh (khususnya pada hebefrenik, perubahan
adalah karakteristik dan petunjuk utama ke arah diagnosis).
Pada tipe katatonik, riwayat penyakit dan tanda tipikal dalam periode
kegelisahan dan stupor (dengan negativisme, wajah berminyak, katalepsi,
gejala vegetatif, dll).
Pada psikosis paranoid, gejala penting pembelahan keperibadian (atau
gejala depersonalisasi) dan hilangnya perasaan realitas (gejala derealisasi)
atau waham primer.
Kriteria Perjalanan Penyakit
Keputusan akhir tentang diagnosis tidak dapat dibuat sebelum periode
follow-up selama sekurangnya lima tahun telah menunjukkan perjalanan
penyakit yang jangka panjang.

Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita


skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk
sembuh. Kisah John Nash, doktor ilmu matematika dan pemenang hadiah
Nobel 1994 yang mengilhami film A Beautiful Mind, membuktikan bahwa
penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi.

Prognosis Skizofrenia
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan
orang mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara
umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan
35% mengalami perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang
1.
dapat memprediksi siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak,
2.
tetapi ada beberapa faktor yang dapat memberikan prognosis yang baik
dan mempengaruhinya seperti:
3.
* Usia tua
* Faktor pencetus jelas
* Onset akut
* Riwayat sosial/pekerjaan pramorbid baik
* Gejala depresi
* Menikah
* Riwayat keluarga
* Gangguan mood
* Sistem pendukung baik
* Gejala positif

4.
5.

Sebaliknya, hal-hal berikut ini akan memberikan prognosis yang buruk


* Onset muda
* Tidak ada faktor pencetus
* Onset tidak jelas
* Riwayat sosial buruk
* Autistik
* Tidak menikah/janda/duda
* Riwayat keluarga skizofrenia
* Sistem pendukung buruk
* Gejala negatif
* Riwayat trauma prenatal
* Tidak remisi dalam 3 (tiga) tahun
* Sering relaps
* Riwayat agresif
(Luana, 2007).
(Berdasarkan sumber lain)
Fase residual sering mengikuti remisi gejala psikotik yang tampil penuh,
terutama selama tahun-tahun awal gangguan ini. Gejala dan tanda selama
fase ini mirip dengan gejala dan tanda pada fase prodromal; gejala-gejala
psikotik ringan menetap pada sekitar separuh penderita.
Penyembuhan total yang berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun
terjadi pada 10% pasien, sedangkan perbaikan yang bermakna terjadi pada
sekitar dua per tiga kasus. Banyak penderita skizofrenia mengalami
eksaserbasi intermitten, terutama sebagai respon terhadap situasi
lingkungan yang penuh stress. Pria biasanya mengalami perjalanan
gangguan yang lebih berat dibanding wanita. Sepuluh persen penderita
skizofrenia meninggal karena bunuh diri.
Prognosis baik berhubungan dengan tidak adanya gangguan perilaku
prodromal, pencetus lingkungan yang jelas, awitan mendadak, awitan pada
usia pertengahan, adanya konfusi, riwayat untuk gangguan afek, dan
sistem dukungan yang tidak kritis dan tidak terlalu intrusive.
Skizofrenia Tipe I tidak selalu mempunyai prognosis yang lebih baik
dibandingkan Skizofrenia Tipe II. Sekitar 70% penderita skizofrenia yang
berada dalam remisi mengalami relaps dalam satu tahun. Untuk itu, terapi
selamanya diwajibkan pada kebanyakan kasus

Bantuan bagi Penderita Skizofrenia


Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga
perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik,
terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan
penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita

Intervensi Psikososial
Hal ini dilakukan dengan menurunkan stressor lingkungan atau
mempertinggi kemampuan penderita untuk mengatasinya, dan adanya
dukungan sosial. Intervensi psikososial diyakini berdampak baik pada
angka relaps dan kualitas hidup penderita.
Intervensi berpusat pada keluarga hendaknya tidak diupayakan untuk
mendorong eksplorasi atau ekspresi perasaan-perasaan, atau
mempertinggi kewaspadaan impuls-impuls atau motivasi bawah sadar.
Tujuan intervensi psikososial keluarga adalah:
Pendidikan pasien dan keluarga tentang sifat-sifat gangguan skizofrenia.
Mengurangi rasa bersalah penderita atas timbulnya penyakit ini. Bantu
penderita memandang bahwa skizofrenia adalah gangguan otak.
Mempertinggi toleransi keluarga akan perilaku disfungsional yang tidak
berbahaya. Kecaman dari keluarga dapat berkaitan erat dengan relaps.
Mengurangi keterlibatan orang tua dalam kehidupan emosional penderita.
Keterlibatan yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko relaps.
Mengidentifikasi perilaku problematik pada penderita dan anggota keluarga
lainnya dan memperjelas pedoman bagi penderita dan keluarga.
Psikodinamik atau berorientasi insight belum terbukti memberikan
keuntungan bagi individu skizofrenia. Cara ini malahan memperlambat
kemajuan. Terapi individual menguntungkan bila dipusatkan pada
penatalaksanaan stress atau mempertinggi kemampuan sosial spesifik,
serta bila berlangsung dalam konteks hubungan terapeutik yang ditandai
dengan empati, rasa hormat positif dan ikhlas. Pemahaman yang empatis
terhadap kebingungan penderita, ketakutan-ketakutannya, dan
demoralisasinya amat penting dilakukan.
Ada beberapa macam metode psikososial yang dapat dilakukan untuk
membantu penderita Skizofrenia, diantaranya adalah:
Psikoterapi individual
o Terapi suportif
o Sosial skill training
o Terapi okupasi
o Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
Psikoterapi kelompok
Psikoterapi keluarga
Manajemen kasus
Assertive Community Treatment (ACT)

Pengobatan Skizofrenia
Psikofarmaka
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek
sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan
jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen.
Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti
dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama)
dengan dosis ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti
psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir
baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala
negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis
atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala
negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek
samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal.
Obat antipsikotik yang beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi
dua bagian yaitu anti psikotik generasi pertama (APG I) dan anti psikotik
generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di
mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoin fundibular sehingga
dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat
memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive
dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi
seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun
kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping anti kolinergik seperti
mulut kering pandangan kabur gangguan miksi, defekasi dan hipotensi.

APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan
kurang atau sama dengan 10 mg di antaranya adalah trifluoperazine,
fluphenazine, haloperidol dan pimozide.
Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala
dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi
rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg di antaranya adalah chlorpromazine
dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh
gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut
sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau anti psikotik atipikal.
Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur
dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping
extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang
tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine , quetiapine dan
rispendon.
(Luana, 2007).

didapatkan 30%-40% penderita mengalami kekambuhan, sedangkan


setelah 1 tahun pasca rawat 40%-50% penderita mengalami kekambuhan,
dari setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65%-75% penderita
mengalami kekambuhan, (Porkony dkk, 1993).
Penderita dengan skizofrenia dapat mengalami remisi dan kekambuhan,
mereka dapat dalam waktu yang lama tidak muncul gejala, maka
skizofrenia sering disebut dengan penyakit kronik, karena itu perlu
mendapatkan perhatian medis yang sama, seperti juga individu-individu
yang menderita penyakit kronik lainnya seperti hipertensi dan diabetes
mellitus.
Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain
tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan
sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari
keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat
yang membuat stress, (cybermed.cbn.net.id).

Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:


1.
2.
3.
4.

Onset efek primer (efek klinis): 2-4 minggu.


Onset efek sekunder (efek samping): 2-6 jam.
Waktu paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2x per hari).
Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga
tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
Obat anti psikosis long acting: fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau
haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2 4 minggu. Berguna untuk
pasien yang tidak/sulit minum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
Cara atau Lama Pemberian Obat
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3
hari sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi
setiap 2 minggu bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian
dipertahankan 8-12 minggu (stabilisasi).
Diturunkan setiap 2 minggu (dosis maintenance) lalu dipertahankan 6 bulan
sampai 2 tahun, diselingi drug holidaytapering off (dosis diturunkan 2-4
minggu) lalu dihentikan.
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis multi episode, terapi
pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan derajat
kekambuhan 2,5 sampai 5 kali).
Pada umumnya pemberian obat anti psikosis sebaiknya dipertahankan
selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis reda sama
sekali. Pada penghentian mendadak dapat timbul gejala cholinergic
rebound gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing dan gemetar.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian antikolinergikt seperti injeksi
sulfas atropin 0,25 mg (secara intra muskular), tablet trihexyphenidyl 3x2
mg/hari, 1-2/hari/minggu) setelah itu.
(Luana, 2007).

Obat Neuroleptika
Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi,
karena 75% penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat
neuroleptika.
Kontraindikasi meliputi:

Neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti klorpromazin, molindone,


dan thioridazine pada penderita dengan hipertrofi prostate atau glaucoma
sudut tertutup.
Antara sepertiga hingga separuh penderita skizofrenia dapat membaik
dengan lithium. Namun, karena lithium belum terbukti lebih baik dari
neuroleptika, penggunaannya disarankan sebatas obat penopang.
Meskipun terapi elektrokonvulsif (ECT) lebih rendah dibanding dengan
neuroleptika bila dipakai sendirian, penambahan terapi ini pada regimen
neuroleptika menguntungkan beberapa penderita skizofrenia

Kekambuhan Skizofrenia
Kekambuhan gangguan jiwa pisikotik adalah munculnya kembali gejalagejala pisikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan
dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit (RS), lamanya dan perjalanan
penyakit. Penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari
RS mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki
sedikit keterampilan sosial, (Porkony dkk, 1993).
Porkony dkk (1993), melaporkan bahwa 49% penderita Skizofrenia
mengalami rawat ulang setelah follow up selama 1 tahun, sedangkan
penderita-penderita non-Skizofrenia hanya 28%.
Solomon dkk (1994), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat

Menurut Sullinger, 1988 ada 4 (empat) faktor penyebab penderita kambuh


dan perlu dirawat di rumah sakit, diantaranya adalah sebagai berikut:
Penderita
Sudah umum diketahui bahwa penderita yang gagal memakan obat secara
teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah
sakit tidak memakan obat secara teratur (Appleton, 1982, dikutip oleh
Sullinger, 1988).
Dokter
Makan obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun
pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping
Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti
gerakan yang tidak terkontrol.
Penanggung jawab penderita
Setelah penderita pulang ke rumah maka pihak rumah sakit tetap
bertanggung jawab atas program adaptasi penderita di rumah.
Keluarga
Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi
emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan
dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan
ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan
ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu penderita juga mudah
dipengaruhi oleh stres yang menyenangkan (naik pangkat, menikah)
maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga
penderita dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stres. Cara terapi
bisanya: mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi
kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan
untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada penderita ganguan jiwa,
memfasilitasi untuk menemukan situasi dan pengalaman baru bagi
penderita.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan
keluarganya adalah menjadi ragu-ragu dan serba takut, tidak nafsu makan,
sukar konsentrasi, sulit tidur, depresi, tidak ada minat serta menarik diri,
(Iyus, 2007).
Untuk dapat hidup dalam masyarakat, maka penderita skizofrenia perlu
mempelajari kembali keterampilan sosial. Penderita-penderita yang baru
keluar dari RS memerlukan pelayanan dari masyarakat agar mereka dapat
menyesuaikan diri dan menyatu dalam masyarakat. Tingginya angka
rehospitalisasi merupakan tanda kegagalan dalam sistem masyarakat.
Penderita kronis di dalam masyarakat membutuhkan dukungan hidup yang
dapat dipertahankan untuk waktu yang lama. Beberapa penderita tetap
dapat mengalami kekambuhan meskipun mereka mendapatkan pelayanan
pasca rawat (after care services) pada instansi-instansi.
Lin, dkk (1982) melaporkan bahwa 36% dari penderita skizofrenia yang
tinggal di panti setelah perawatan di RS tetap mengalami kekambuhan,
(Porkony dkk, 1993).
Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Kekambuhan
Skizofrenia

Sullivan mengemukakan teori psikodinamika skizofrenia berdasarkan


perjalanan-perjalanan klinik, di mana pusat dari psikopatologinya adalah
gangguan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Lingkungan,
terutama keluarga memegang peran penting dalam proses terjadinya
skizofrenia. Pernyataan ini juga berlaku sebaliknya, lingkungan, terutama
keluarga memegang peran penting dalam proses penyembuhan
skizofrenia. Sebab, dikatakan oleh Sullivan bahwa skizofrenia merupakan
hasil dari kumpulan pengalaman-pengalaman traumatis dalam
hubungannya dengan lingkungan selama masa perkembangan individu
(Kaplan dan Sadock, 2003).
Titik berat penelitian-penelitian tentang dukungan sosial keluarga dan
gangguan psikotik terutama skizofrenia adalah pada efek yang
menghapuskan hubungan traumatik sendiri seperti pernyataan emosi, rasa
kebersamaan yang semu, mencari kambing hitam dan keterikatan ganda.
Aspek-aspek dukungan sosial keluarga terdiri dari empat aspek yaitu aspek
informatif, aspek emosional dan aspek penilaian atau penghargaan serta
aspek instrumental, sebagaimana yang dikatakan oleh House dan Kahn
(1995) tersebut di atas di titik beratkan pada besar dan padatnya jaringan
kerja sosial, misalnya hubungan dengan keluarga dan sifat-sifat hubungan
sebelumnya, (Breier & Strauss, 1994).
Hal ini menunjukkan bahwa kuat lemahnya dukungan sosial keluarga
terhadap penderita berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan skizofrenia.
Semakin kuat dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan
semakin cepat tingkat kesembuhan skizofrenia. Sebaliknya semakin lemah
dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan semakin lama
tingkat kesembuhan skizofrenia. Demikian juga halnya dengan
kekambuhan skizofrenia, terkait dengan kuat lemahnya dukungan sosial
keluarga.
Didapatkan 12 fungsi hubungan sosial dan 2 fase kebutuhan sosial yang
penting selama periode penyembuhan (Breier & Strauss, 1994). Fungsifungsi yang menolong dalam hubungan sosial tersebut adalah:
1.
2.

Ventilasi
Tes realita, untuk menilai kemampuan penderita di dalam
membedakan realita
3.
Berbagai dukungan sosial, terutama dari keluarga
4.
Persetujuan dan perpaduan sosial terutama keluarga dan lingkungan
dekatnya, di mana penderita ingin diterima kembali dalam lingkungan
sosialnya dan mengharapkan hubungan dengan orang-orang yang
dikenalnya sebelum ia masuk RS.
5.
Motivasi
6.
Pembentukan, di mana penderita mencontoh tingkah laku orang lain
untuk meningkatkan fungsi sosialnya.
7.
Pengawasan gejala
8.
Pemecahan masalah
9.
Pengertian yang empatik
10.
Saling memberi dan menerima
11.
Insight.
Fase kebutuhan sosial adalah:
1.
2.

Fase penyembuhan, penderita sangat membutuhkan perhatian


dari keluarganya karena tidak dapat mandiri, fungsi hubungan sosial yang
digunakan di sini adalah macam dukungan dan ventilasi.
Fase pembentukan kembali
Fungsi hubungan sosial yang digunakan adalah motivasi, saling memberi
dan menerima, pengawasan gejala. 12 fungsi hubungan sosial dan 2 fase
kebutuhan sosial yang penting selama periode penyembuhan (Breier dan
Strauss, 1994) tersebut sangat erat kaitannya dengan dukungan sosial
keluarga.
Pemberian obat antipsikotik dapat mengurangi resiko kekambuhan, tetapi
obat-obatan tersebut tidak dapat mengajarkan tentang kehidupan dan
keterampilan meskipun dapat memperbaiki kualitas hidup penderita melalui
penekanan gejala-gejala. Pengajaran kehidupan dan keterampilan sosial
hanya mungkin didapat penderita melalui dukungan sosial keluarga. Dari
penelitian didapat bahwa 45% penderita skizofrenia yang mendapat
pengobatan antipsikotik akan mengalami kekambuhan dalam waktu 1 tahun
pasca rawat, sedangkan penderita yang diberi plasebo 70% kambuh,
(Kaplan dan Sadock , 2003).
Hal ini berarti pengobatan skizofrenia harus dilakukan dengan cara interaksi
multidimensional. Gejala-gejala dan ketidakmampuan sosial serta
ketidakmampuan individual yang di tunjukkan merupakan hasil dari
benturan-benturan yang dialami dalam kehidupan. Angka kekambuhan
dalam waktu 1 tahun pasca rawat pada penderita skizofrenia yang
mendapat latihan keterampilan sosial adalah 20%, penderita yang
mendapat pengobatan antipsikotik 41% dan 19% penderita yang pada
keluarga diberikan psikoedukasi.
Penderita yang mendapat latihan keterampilan sosial, obat antipsikotik dan
psikoedukasi keluarga dilaporkan tidak ada yang kambuh, (Kaplan dan
Sadock, 2003)

Depresi dan Cara Penyembuhannya


Mungkin di antara Anda ada yang pernah mengalami depresi tanpa tahu
sebab musababnya sampai membuat Anda semakin depresi karena tidak
ketemu jawabannya. Akhirnya Anda jadi uring-uringan sendiri, semua jadi
serba salah karena menurut Anda, tak seorang pun yang bakal memahami
masalah Anda; bagaimana bisa mengharapkan bantuan orang lain jika
sudah demikian keadaannya ?
Sebenarnya penyebab depresi bisa dilihat dari faktor biologis (seperti
misalnya karena sakit, pengaruh hormonal, depresi pasca-melahirkan,
penurunan berat yang drastis) dan faktor psikososial (misalnya konflik
individual atau interpersonal, masalah eksistensi, masalah kepribadian,
masalah keluarga). Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa masalah
keturunan punya pengaruh terhadap kecenderungan munculnya depresi.
Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala
psikologis dan fisik tertentu. Sebelum kita menjelajah lebih lanjut untuk
mengenali gejala depresi, ada baiknya jika kita mengenal apakah artinya
gejala. Gejala adalah sekumpulan peristiwa, perilaku atau perasaan yang
sering (namun tidak selalu) muncul pada waktu yang bersamaan. Gejala
depresi adalah kumpulan dari perilaku dan perasaan yang secara spesifik
dapat dikelompokkan sebagai depresi.
Namun yang perlu diingat, setiap orang mempunyai perbedaan yang
mendasar, yang memungkinkan suatu peristiwa atau perilaku dihadapi
secara berbeda dan memunculkan reaksi yang berbeda antara satu orang
dengan yang lain. Mengenali gejala depresi mungkin bisa membantu
memahami depresi yang Anda alami.
Gejala depresi bisa timbul dalam bentuk fisik maupun psikologis. Secara
garis besar ada beberapa gejala fisik biasanya menyertai depresi. Gejala itu
seperti :
Gangguan pola tidur (sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit)
Menurunnya tingkat aktivitas. Pada umumnya, orang yang mengalami
depresi menunjukkan perilaku yang pasif, menyukai kegiatan yang tidak
melibatkan orang lain seperti nonton TV, makan, tidur
Menurunnya efisiensi kerja. Penyebabnya jelas, orang yang terkena depresi
akan sulit memfokuskan perhatian atau pikiran pada suatu hal, atau
pekerjaan. Sehingga, mereka juga akan sulit memfokuskan energi pada
hal-hal prioritas. Kebanyakan yang dilakukan justru hal-hal yang tidak
efisien dan tidak berguna, seperti misalnya ngemil, melamun, merokok
terus menerus, sering menelpon yang tak perlu. Yang jelas, orang yang
terkena depresi akan terlihat dari metode kerjanya yang menjadi kurang
terstruktur, sistematika kerjanya jadi kacau atau kerjanya jadi lamban.
Menurunnya produktivitas kerja. Orang yang terkena depresi akan
kehilangan sebagian atau seluruh motivasi kerjanya. Sebabnya, ia tidak lagi
bisa menikmati dan merasakan kepuasan atas apa yang dilakukannya. Ia
sudah kehilangan minat dan motivasi untuk melakukan kegiatannya seperti
semula. Oleh karena itu, keharusan untuk tetap beraktivitas membuatnya
semakin kehilangan energi karena energi yang ada sudah banyak terpakai
untuk mempertahankan diri agar tetap dapat berfungsi seperti biasanya.
Mereka mudah sekali lelah, capai padahal belum melakukan aktivitas yang
berarti !
Mudah merasa letih dan sakit. Jelas saja, depresi itu sendiri adalah
perasaan negatif. Jika seseorang menyimpan perasaan negatif maka jelas
akan membuat letih karena membebani pikiran dan perasaan ! ; dan ia
harus memikulnya di mana saja dan kapan saja, suka tidak suka!
Sedangkan gejala psikologis yang biasanya terasa oleh orang yang
mengalami depresi antara lain:
Kehilangan rasa percaya diri. Penyebabnya, orang yang mengalami depresi
cenderung memandang segala sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai
diri sendiri. Pasti mereka senang sekali membandingkan antara dirinya
dengan orang lain. Orang lain dinilai lebih sukses, pandai, beruntung, kaya,
lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, lebih diperhatikan oleh atasan,
dan pikiran negatif lainnya.
Sensitif. Orang yang mengalami depresi senang sekali mengaitkan segala
sesuatu dengan dirinya. Perasaannya sensitif sekali, sehingga sering
peristiwa yang netral jadi dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh
mereka, bahkan disalahartikan. Akibatnya, mereka mudah tersinggung,
mudah marah, perasa, curiga akan maksud orang lain (yang sebenarnya
tidak ada apa-apa), mudah sedih, murung, dan lebih suka menyendiri.
Merasa diri tidak berguna. Perasaan tidak berguna ini muncul karena
mereka merasa menjadi orang yang gagal terutama di bidang atau
lingkungan yang seharusnya mereka kuasai. Misalnya, seorang manajer
mengalami depresi karena ia dimutasikan ke bagian lain. Dalam
persepsinya, pemutasian itu disebabkan ketidakmampuannya dalam
bekerja dan pimpinan menilai dirinya tidak cukup memberikan kontribusi
sesuai dengan yang diharapkan.
Perasaan bersalah. Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran
orang yang mengalami depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang
menimpa dirinya sebagai suatu hukuman atau akibat dari kegagalan
mereka melaksanakan tanggung jawab yang seharusnya dikerjakan.
Banyak pula yang merasa dirinya menjadi beban bagi orang lain dan
menyalahkan diri mereka atas situasi tersebut.
Lebih suka menyendiri. Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap
terbuka dan secara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun
ada kesempatan.
Permasalahan sesungguhnya yang dialami orang yang depresi adalah tidak
mau atau malu mencari bantuan untuk menyembuhkan depresi. Mereka
memilih untuk menyimpan sendiri beban pikiran dan perasaannya.
Terutama apabila depresi terjadi pada orang yang terkenal dan dihormati
masyarakat. Mereka takut dianggap tidak mampu mengatasi masalahnya
sendiri atau tidak mau dianggap gila. Depresi bukan penyakit jiwa yang
tidak bisa disembuhkan.
Depresi hanyalah gangguan kecil yang seharusnya bisa kita selesaikan
dengan cepat dan mudah asalkan kita tahu caranya. Untuk itu, tidak perlu

Anda merasa malu untuk berkonsultasi dengan hypnotherapist. Namun


pastikan juga hypnotherapist yang Anda kunjungi benar-benar memahami
masalah pikiran. Menghipnotis itu mudah, tapi menggunakan hipnotis untuk
terapi masalah psikologis adalah masalah serius dan butuh pengetahuan
yang luas.
BEBERAPA JENIS PENYAKIT JIWA
Stress
Stres adalah suatu kondisi atau keadaan tubuh yang
terganggu karena tekanan psikologis. Biasanya stres
dikaitkan bukan karena penyakit fisik tetapi lebih mengenai
kejiwaan. Akan tetapi karena pengaruh stres tersebut maka
penyakit fisik bisa muncul akibat lemahnya dan rendahnya
daya
tahan
tubuh
pada
saat
tersebut.
Banyak hal yang bisa memicu stres muncul seperti rasa
khawatir, perasaan kesal, kecapekan, frustasi, perasaan
tertekan, kesedihan, pekerjaan yang berlebihan, Pre
Menstrual Syndrome (PMS), terlalu fokus pada suatu hal,
perasaan bingung, berduka cita dan juga rasa takut.
Biasanya hal ini dapat diatasi dengan mengadakan
konsultasi kepada psikiater atau beristirahat total.
Neurosis
Neurosis, sering disebut juga psikoneurosis, adalah istilah
umum yang merujuk pada ketidakseimbangan mental yang
menyebabkan stress, tapi tidak seperti psikosis atau
kelainan kepribadian, neurosis tidak mempengaruhi
pemikiran rasional. Konsep neurosis berhubungan dengan
bidang psikoanalisis, suatu aliran pemikiran dalam psikologi
atau psikiatri
Psikosis
Psikosis merupakan gangguan tilikan pribadi yang
menyebabkan ketidakmampuan seseorang menilai realita
dengan
fantasi
dirinya.
Hasilnya,
terdapat
realita
baru versi orang psikosis tersebut. Psikosis adalah suatu
kumpulan gejala atau sindrom yang berhubungan gangguan
psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan merupakan
gejala spesifik penyakit tersebut, seperti yang tercantum
dalam
kriteria
diagnostik
DSM-IV
(Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders ) maupun ICD-10
(The International Statistical Classification of Diseases) atau
menggunakan kriteria diagnostik PPDGJ- III (Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa). Arti psikosis
sebenarnya masih bersifat sempit dan bias yang berarti
waham dan halusinasi, selain itu juga ditemukan gejala lain
termasuk di antaranya pembicaraan dan tingkah laku yang
kacau, dan gangguan daya nilai realitas yang berat. Oleh
karena itu psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu
kumpulan gejala/terdapatnya gangguan fungsi mental,
respon perasaan, daya nilai realitas, komunikasi dan
hubungan antara individu dengan lingkungannya.
Syndrom
Sindrom, dalam ilmu kedokteran dan psikologi, adalah
kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis, tanda-tanda,
simtoma, fenomena, atau karakter yang sering muncul
bersamaan. Kumpulan ini dapat meyakinkan dokter dalam
menegakkan diagnosa.
Istilah
sindrom
dapat
digunakan
hanya
untuk
menggambarkan berbagai karakter dan gejala, bukan
diagnosa. Namun terkadang, beberapa sindrom dijadikan
nama penyakit, seperti Sindrom Down.
Kata sindrom berasal dari bahasa Yunani yang berarti
berlari bersama, seperti yang terjadi pada kumpulan
tanda tersebut. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk
kumpulan
tanda klinik yang
masih
belum
diketahui
penyebab. Banyak sindrom yang dinamakan sesuai dengan
dokter yang dianggap menemukan tanda-tanda itu pertama
kali. Selain itu dapat juga diambil dari nama lokasi, sejarah,
dan
lainnya.
Sindrom dan keadaan terkait

Pyromania
Pyromania adalah sejenis mania di mana muncul dorongan
kuat
untuk
sengaja
menyulut apiuntuk
meredakan
ketegangan dan biasanya menimbulkan perasaan lega atau
puas setelah melakukannya. Penderita pyromania (atau
biasa disebut pyromaniak) berbeda dengan para pembakar
gedung (arson), pyromaniak juga berbeda dengan mereka
yang menyulut api akibat psikosis, demi kepentingan
pribadi, moneter, maupun politik, atau sebagai tindakan
balas dendam. Pyromaniak menyulut api demi merangsang
euforia, dan sering kali tertarik pada hal-hal yang berkaitan
dengan pengendalian api, seperti pemadam kebakaran.
Simtoma
Simtoma atau simtom dalam penyakit adalah cara untuk
melakukan pengindikasian keberadaan sesuatu penyakit
atau gangguan kesehatan yang tidak diinginkan dengan
melalui gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri penyakit yang
dapat dirasakan seperti perasaan mual atau pusing, akan
tetapi dalam hal ini tidak termasuk didalam pengertian
karena
halusinasi
atau
delusi,
cara
melakukan
pengindikasian ini bertumpuk pada diri pelaku, bukan hasil
dari pengamatan yang dilakukan berdasarkan pemeriksaan
kedokteran.
Penggunaan lain simtoma juga terdapat dalam politik
dimana artinya adalah melihat sebagai akar dari sesuatu
permasalahan.
Psikopat secara harfiah berarti sakit jiwa. Psikopat berasal
dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti
penyakit. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat
karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orangorang terdekatnya.
Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena
seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya.
Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati,
pengidapnya seringkali disebut orang gila tanpa gangguan
mental. Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi
dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi
karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran
daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit
jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan.
Seorang ahli psikopati dunia yang menjadi guru besar di
Universitas British Columbia, Vancouver, Kanada bernama
Robert D. Hare telah melakukan penelitian psikopat sekitar
25 tahun. Ia berpendapat bahwa seorang psikopat selalu
membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta,
menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan
kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri.
Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh,
pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen
dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang
berpenampilan
sempurna,
pandai
bertutur
kata,
mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan
menyenangkan.
Psikopat memiliki 20 ciri-ciri umum. Namun ciri-ciri ini
diharapkan tidak membuat orang-orang mudah mengecap
seseorang
psikopat
karenadiagnosis gejala
ini
membutuhkan pelatihan ketat dan hak menggunakan
pedoman penilaian formal, lagipula dibutuhkan wawancara
mendalam
dan
pengamatan-pengamatan
lainnya.
Mengecap seseorang dengan psikopat dengan sembarangan
beresiko buruk, dan setidaknya membuat nama seseorang
itu
menjadi
jelek.
Lima tahap mendiagnosis psikopat
1. Mencocokan kepribadian pasien dengan 20 kriteria yang
ditetapkan Prof. Hare. Pencocokkan ini dilakukan dengan
cara mewawancara keluarga dan orang-orang terdekat
pasien, pengaduan korban, atau pengamatan prilaku pasien
dari
waktu
ke
waktu.
2. Memeriksa kesehatan otak dan tubuh lewat pemindaian
menggunakan elektroensefalogram, MRI, dan pemeriksaan
kesehatan secara lengkap. Hal ini dilakukan karena menurut

penelitian gambar hasil PET (positron emission tomography)


perbandingan orang normal, pembunuh spontan, dan
pembunuh terencana berdarah dingin menunjukkan
perbedaan aktivitas otak di bagian prefrontal cortex yang
rendah. Bagian otak lobus frontal dipercaya sebagai bagian
yang
membentuk
kepribadian.
3. Wawancara menggunakan metode DSM IV (The American
Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder versi IV) yang dianggap berhasil untuk
menentukan
kepribadianantisosial.
4. Memperhatikan gejala kepribadian pasien. Biasanya sejak
usia pasien 15 tahun mulai menunjukkan tanda-tanda
gangguan
kejiwaan.
5. Melakukan psikotes. Psikopat biasanya memiliki IQ yang
tinggi.
Gejala-gejala psikopat
1. Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali
pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha
tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri,
kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain.
Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya
positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan
akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya
dan
mengolahnya
seakan-akan
itu
fakta.
2.
Egosentris
dan
menganggap
dirinya
hebat.
3. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Meski kadang
psikopat mengakui perbuatannya namun ia sangat
meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak
memiliki
alasan
untuk
peduli.
4. Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku
di
masa
kecil.
5.
Sikap
antisosial
di
usia
dewasa.
6. Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam
dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.
7. Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang
nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar
rumah.
8. Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat
tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan
yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada
apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa
depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan halhal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan,
kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal
sepele.
9. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal
demi
kesenangan
belaka.
10. Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering
menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka
tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki respon
fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa
takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut
kering, tegang, gemetar bagi psikopat hal ini tidak
berlaku. Karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah
dingin.
11. Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain
untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.
Skizofrenia
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat
ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel
kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling
lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons
emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi
normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang
salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang
pancaindra).
Pada pasien penderita, ditemukan penurunan kadar
transtiretin atau pre-albumin yang merupakan pengusung
hormon tiroksin, yang menyebabkan permasalahan pada
fluida cerebrospinal.
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American
Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1%
populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 1625 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko

tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi


penderita
sering
terlambat
disadari
keluarga
dan
lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap
penyesuaian diri.
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial
sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati,
kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi
terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang
mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke
psikiater dan psikolog.
Gejala
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain
ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah
dingin,
jarang
tersenyum,
acuh
tak
acuh.
Penyimpangan komunikasi:
pasien
sulit
melakukan
pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau
berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita
tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau
memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu,
tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati
rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu
dan tak disiplin.
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi
dua kelas:
1.Gejala-gejalaPositifTermasuk halusinasi, delusi, gangguan
pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena
merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang
lain.
2.Gejala-gejalaNegatifGejala-gejala yang dimaksud disebut
negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau
fungsi normal seseorang.Termasuk kurang atau tidak
mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah
dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak
dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan
kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia
atau penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia
pada grup ini sangat sulit dibedakan dengan gangguan
kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau
gangguan perilaku dan gangguan stres post-traumatik. Oleh
sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada
anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-hati
oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang
merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan
kepribadian
paranoid
atau
kecurigaan
berlebihan,
menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan
kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu
bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu
menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki
perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit,
percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada
perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran
obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh
kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang
termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan
inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti
berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang
berperan untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya
stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka
yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor
psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi.
Beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja,
halusinogen
atau
amfetamin
(ekstasi)
juga
dapat
menimbulkan gejala-gejala psikosis.
Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati,
namun keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan
seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan
terlalu
mengontrol
yang
justru
bisa
menyulitkan
penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan
penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan

antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi


psikologis.
Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh
penderita skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta
memotivasi penderita untuk sembuh. Kisah John Nash,
doktor ilmu matematika dan pemenang hadiah Nobel 1994
yang mengilhami film A Beautiful Mind, membuktikan bahwa
penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi.
Kleptomania
Kleptomania (bahasa Yunani: , kleptein, mencuri,
, mania) adalah penyakit jiwa yang membuat
penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Bendabenda yang dicuri oleh penderita kleptomania umumnya
adalah barang-barang yang tidak berharga, seperti mencuri
gula, permen, sisir, atau barang-barang lainnya. Sang
penderita biasanya merasakan rasa tegang subjektif
sebelum mencuri dan merasakan kelegaan atau kenikmatan
setelah mereka melakukan tindakan mencuri tersebut.
Tindakan ini harus dibedakan dari tindakan mencuri biasa
yang biasanya didorong oleh motivasi keuntungan dan telah
direncanakan sebelumnya.
Depresi
Penyakit ini umum muncul pada masa puber dan ada
sampai dewasa. Pada beberapa kasus, kleptomania diderita
seumur hidup. Penderita juga mungkin memiliki kelainan
jiwa lainnya, seperti kelainan emosi, Bulimia Nervosa,
paranoid,
schizoid
atau
borderline
personality
disorder.Kleptomania dapat muncul setelah terjadi cedera
otak traumatik dan keracunan karbon monoksida.
Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan
sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan
terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka hal itu
disebut sebagai suatu Gangguan Depresi. Beberapa gejala
Gangguan Depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang
berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat
dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur.
Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian
bunuh diri.
Penyebab suatu kondisi depresi meliputi:
*
Faktor
organobiologis
karena
ketidakseimbangan
neurotransmiter diotakterutamaserotonin
* Faktor psikologis karena tekanan beban psikis, dampak
pembelajaran perilaku terhadap suatu situasi sosial
* Faktor sosio-lingkungan misalnya karena kehilangan
pasangan hidup, kehilangan pekerjaan, paska bencana,
dampak situasi kehidupan sehari-hari lainnya
Menurut Diagnostic and Statistical Manual IV Text Revision
(DSM IV-TR) (American Psychiatric Association, 2000),

seseorang menderita gangguan depresi jika: A. Lima (atau


lebih) gejala di bawah telah ada selama periode dua minggu
dan merupakan perubahan dari keadaan biasa seseorang;
sekurangnya salah satu gejala harus emosi depresi atau
kehilangan minat atau kemampuan menikmati sesuatu.
1. Keadaan emosi depresi/tertekan sebagian besar waktu
dalam satu hari, hampir setiap hari, yang ditandai oleh
laporan subjektif (misal: rasa sedih atau hampa) atau
pengamatan orang lain (misal: terlihat seperti ingin
menangis).
2. Kehilangan minat atau rasa nikmat terhadap semua, atau
hampir semua kegiatan sebagian besar waktu dalam satu
hari, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau
pengamatan orang lain)
3. Hilangnya berat badan yang signifikan saat tidak
melakukan diet atau bertambahnya berat badan secara
signifikan (misal: perubahan berat badan lebih dari 5% berat
badan
sebelumnya
dalam
satu
bulan)
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Kegelisahan atau kelambatan psikomotor hampir setiap
hari (dapat diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan
subjektif akan kegelisahan atau merasa lambat)
6. Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap
hari
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang
berlebihan atau tidak wajar (bisa merupakan delusi) hampir
setiap hari
8. Berkurangnya kemampuan
untuk berpikir atau
berkonsentrasi, atau sulit membuat keputusan, hampir
setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau pengamatan
orang lain)
9. Berulang-kali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya
takut mati), berulang-kali muncul pikiran untuk bunuh diri
tanpa rencana yang jelas, atau usaha bunuh diri atau
rencana yang spesifik untuk mengakhiri nyawa sendiri
Gejala-gejala tersebut juga harus menyebabkan gangguan
jiwa
yang
cukup
besar
dan
signifikan
sehingga
menyebabkan gangguan nyata dalam kehidupan sosial,
pekerjaan atau area penting dalam kehidupan seseorang.
Cara menanggulangi depresi berbeda-beda sesuai dengan
keadaan pasien, namun biasanya merupakan gabungan dari
farmakoterapi dan psikoterapi atau konseling. Dukungan
dari orang-orang terdekat serta dukungan spiritual juga
sangat membantu dalam penyembuhan

Anda mungkin juga menyukai