Anda di halaman 1dari 12

Bab 1

PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir,
kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari
luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang
terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Skizofrenia merupakan gangguan
perempuan. Onset setelah umur 40 tahun jarang terjadi.
Skizofrenia sering terjadi pada orang dewasa dan di derita sekitar 26 juta orang di
dunia. Di Indonesia, indikator kesehatan jiwa yang di nilai pada riset kesehatan dasar
(RISKEDAS) 2013 antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional serta
cakupan pengobatannya. Jumlah seluruh rumah tangga yang di analisis adalah 294.959 terdiri
dari 1.027.763 anggota rumah tangga yang berasal dari semua umur. Rumah tangga yang
menjawab memiliki anggota rumah tangga dengan gangguan jiwa berat sebanyak 1.655,
terdiri dari 1.588 rumah tangga dengan 1 orang anggota rumah tangga, 62 rumah tangga
memiliki 2 orang anggota rumah tangga, 4 rumah tangga memiliki 3 anggota rumah tangga,
dan 1 rumah tangga dengan 4 orang anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa
berat. Jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data riskesdas 2013
adalah sebanyak 1.728 orang. Angka prevalensi gangguan jiwamenurut provinsi menurut
riskesdas 2013, provinsi Kalimantan tengah mencatat terbanyak 0,9% per mil. Prevalensi
psikosis tertinggi di DI Yogyakartadan aceh ( masing masing 2,7%), sedangkan yang
terendah di Kalimantan barat (0,7%). Prevalensi gangguan jiwa berat nasional 1,7 per mil.
Prevalensi skizofrenia yang menjalani pengobatan dibutuhkan penanganan yang
biasanya melibatkan terapi obat obatan antipsikotik yang biasanya diadministrasikan bersama
penanganan psikososial dengan tujuan mengurangi frekuensi kekambuhan dan memperbaiki
deficit keterampilan dan kepatuhan terhadap aturan pemakaian obat. Ketidak patuhan minum
obat menunjukan bahwa sebagian besar penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari
waktu ke waktu. Sejumlah faktor tampaknya berhubungan dengan ketidak patuhan pasien
dalam pengobatan, termasuk hubungan dokter atau tim medis lainnya dengan pasien yang
negative, ongkos pengobatan, efek samping obat yang dirasakan oleh pasien, lamanya
pengobatan, dan dukungan sosial yang buruk dari keluarga terdekat pasien skizofrenia.

1
Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu skizo yang artinya retak atau pecah (split),
dan frenia yang artinya jiwa. Dengan demikian, seseorang yang menderita skizofrenia adalah
seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian atau merupakan suatu
gangguan psikosomatis, gejala atis, gejala gejala pada badan hanya sekunder karena
gangguan dasar yang psikogenik psikogenik atau merupakan merupakan manifestasi somatis
dari gangguan psikogenik. Skizofrenia biasanya biasanya ditandai dengan adanya perubahan
pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang.
Dalam Diagnostic and statistical manual of mental disorder (DSM-IV) skizofrenia di
definisikan sebagai sekelompok ciri dari gejala positif dan negatif, kemampuan dalam fungsi
sosial, pekerjaan atau hubungan antar pribadi dan menunjukan terus gejala gejala ini selama
paling tidak 6 bulan. Sebagai tambahan, gangguan skizoafektif dan gangguan afek dengan
gejala psikotik tidak didefinisikan sebagai skizofrenia dan juga skizofrenia tidak disebabkan
oleh karena efek langsung karena psikologi dari zat atau kondisi medis.
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab ( banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit ( tak selalu bersifat kronis atau “decorating”) yang
luas, serta sejumlah akibat yang bergantung pada pertimbangan pengaruh genetic, fisik, dan
sosial biaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik
dari pikiran dan persepsi , serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate), tumpul ( blunted ).
Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual tetap terpelihara, walaupun kemunduran
kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
2.2. Epidemiologi
Survei yang telah dilakukan pada beberapa negara memiliki laju insiden per tahun
skizofrenia antara 0,1 – 0,4 per 1000 populasi. Insiden yang tinggi terjadi pada kelompok
sosial terutama etnis minoritas di Eropa Barat seperti komunitas Afro-Caribbean di Inggris
dan imigran dari Suriname di Belanda. Prevalensi gangguan jiwa berat atau yang dikenal
dengan skizofrenia terbanyak yaitu 2,7 per mil adalah DI Yogyakarta dan Aceh. Prevalensi
gangguan jiwa berat penduduk Indonesia adalah 1,7 per 1000 penduduk. Prevalensi psikosis
tertinggi di DI Yogyakarta dan Aceh masing – masing 2,7% sedangkan terendah di
Kalimantan Barat sebesar 0,7%. Di tinjau dari diagnosa atau jenis skizofrenia, jenis

2
skizofrenia terbanyak terdapat pada skizofrenia paranoid sebanyak 40,8%, kemudian diikuti
dengan skizofrenia residual sebanyak 39,4%, skizofrenia hebrefenik sebanyak 12%,
skizofrenia katatonik sebanyak 3,5%, skizofrenia tak terinci sebanyak 2,1%, skizofrenia
lainnya sebanyak 1,4%, dan yang paling sedikit adalah skizofrenia simpleks sebanyak 0,7%.
2.3. Etiologi
Etiologi pasti schizophrenia atau skizofrenia belum diketahui secara pasti.
Namun, etiologi diduga berhubungan dengan faktor genetik, perkembangan, dan faktor
lingkungan.

Genetik
Walaupun studi telah membuktikan adanya hubungan genetik dengan kejadian
schizophrenia namun penyebabnya masih belum jelas hingga saat ini. Sebuah studi
schizophrenia juga mengatakan bahwa faktor-faktor non-genetik lainnya juga berperan
terhadap kejadian schizophrenia.
Pada kembar monozigot, jika salah satu terkonfirmasi schizophrenia, maka
kemungkinan kembarannya terkena schizophrenia adalah sebesar 48%. Pada kembar dizigot,
risikonya adalah 12–14%. Anak dari kedua orang tua yang menderita schizophrenia memiliki
peluang 40% untuk terkena schizophrenia.
Frekuensi gangguan kepribadian yang berhubungan dengan schizophrenia dan gejala
psikosis ditemukan lebih tinggi pada kelompok dengan riwayat keluarga yang menderita
schizophrenia dibandingkan kelompok dengan keluarga tanpa schizophrenia.
Perkembangan dan Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap etiologi schizophrenia adalah hipotesis
perkembangan saraf sejak awal kehamilan. Hal-hal yang berpengaruh, antara lain stres ibu,
defisiensi nutrisi, infeksi ibu, retardasi pertumbuhan intrauterin dan komplikasi saat
kehamilan dan kelahiran. Selain itu, stresor sosial, misalnya diskriminasi atau kesulitan
ekonomi, dapat membuat seseorang cenderung berpikir delusional atau paranoid.
Prevalensi schizophrenia juga ditemukan lebih tinggi pada individu yang lahir selama
akhir musim dingin atau awal musim semi, pada individu yang dilahirkan dan dibesarkan di
daerah perkotaan, dan individu yang memiliki ayah dengan usia relatif tua.
Selain itu, prevalensi schizophrenia juga dapat meningkat karena penyalahgunaan
ganja pada masa remaja, khususnya penyalahgunaan senyawa dengan kandungan
tetrahydrocannabinol (THC) yang tinggi. Beberapa hal lain, seperti cedera atau trauma pada

3
kepala, penyakit autoimun, epilepsi, serta infeksi parah juga berhubungan dengan
peningkatan risiko schizophrenia.

Faktor Biokimia
Beberapa jalur biokimia memiliki kontribusi pada schizophrenia. Sejumlah
neurotransmiter telah dikaitkan dengan gangguan ini, dan sebagian besar didasarkan pada
respons pasien terhadap agen psikoaktif. Dopamin, serotonin, norepinefrin, gamma-
aminobutyric acid (GABA) dan glutamat adalah neurotransmiter umum yang terlibat dalam
patogenesis schizophrenia.
Peran dopamin dalam schizophrenia didasarkan pada hipotesis yang berasal dari dua
studi. Pertama, kelompok obat yang menghambat fungsi dopamin yang biasa dikenal sebagai
fenotiazin dapat mengurangi gejala psikotik.
Kedua, amfetamin meningkatkan pelepasan dopamin dan menyebabkan psikosis
paranoid, serta memperburuk gejala schizophrenia. Selain itu, disulfiram yang menghambat
dopamin hidroksilase juga memperburuk gejala schizophrenia.
Peran glutamat dalam schizophrenia juga didasarkan pada hipotesis bahwa
berkurangnya fungsi N-methyl-D-aspartate (NMDA) glutamat dapat memicu terjadinya
schizophrenia. Hal ini juga dibuktikan pada otak post mortem yang sebelumnya didiagnosis
dengan schizophrenia memiliki kadar glutamat yang rendah. Konsumsi phencyclidine (PCP),
serta ketamine, sebuah antagonis glutamat, juga menyebabkan sindrom akut dan gangguan
kognitif yang mirip dengan schizophrenia.
Kadar serotonin berlebihan dalam tubuh berkontribusi terhadap gejala negatif dan
positif pada schizophrenia. Aktivitas antagonis serotonin, seperti pada clozapine, dan
antipsikotik generasi kedua lainnya, seperti risperidone, dapat membantu mengurangi gejala
positif pada pasien.

4
2.4 Patofisiologi

Faktor
genetic
dan

lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya skizofrenia. Neurotransmitter


yang berperan dalam patofisiologi skizofrenia adalah DA, 5HT, Glutamat, Peptide,
Norepinefrin.
Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa terutama di
korteks prefrontalis. Pada pasien tipe II ( negativisme ) terdapat  penurunan  penurunan
sejumlah neuron dan penurunan jumlah substansia grisea. Selain itu, migrasi neuron
abnormal selama perkembangan otak secara patofisologis juga sangat bermakna terhadap
terjadinya skizofrenia.
Hiperaktivitas system dopaminergic pada skizofrenia ( hiperdopaminergia pada
system mesolimbik berkaitan dengan gejala postif, dan hiperdopaminergia pada system
mesokortek dan nigrostiatal bertanggung jawab terhadap gejala negative dan gejala
ekstrapiramidal ) reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor dopamine-2 (D2)
peningkatan densitas reseptor D2 tampak pada jaringan otak pasien skizofrenia. Peningkatan

5
aktivitas system dopaminergic pada system mesolimbic akan menyebabkan munculnya gejala
positif, sedangkan peningkatan aktivitas serotonergic akan menurunkan aktivitas
dopaminergic pada system mesokortek yang bertanggung jawab terhadap gejala negative .

Berikut merupakan 4 jalur utama dopamine yang berperan terhadap munculnya gejala
gejala yang terdapat skizofrenia :
a. Jalur nigrostriatal : dari substantia nigra ke basal ganglia fungsi gerakan , EPS
b. Jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke system limbic memori, sikap,
kesadaran, proses stimulus
c. Jalur mesokortikal : dari tegmental area menuju ke frontal cortex kognisi, fungsi
sosial, komunikasi, respon terhadap stress
d. Jalur tuberinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitary pelepasan
prolactin

6
2.5. Manifestasi klinis
Ada tiga gejala utama yang menyertai skizofrenia yaitu gejala positif, gejala negatif
dan gejala kognitif. Gejala positif adalah tindakan yang mulai membawa dampak bagi
lingkungannya, seperti mengamuk dan berteriak teriak. Gejala negatif berupa tindakan yang
tidak membawa dampak merugikan bagi lingkungannya, seperti mengurung diri di kamar,
melamun, menarik diri dari  pergaulan, dan sebagainya. Tidak ada penampilan atau perilaku
yang khas.
a. Gejala positif meliputi halusinasi , waham, prilaku aneh (cara berpakaian , perilaku
sosial, agresif, perilaku berulang), gangguan pikiran formal positif ( penyimpangan,
tangensialitas,inkoherensi,dll)
b. Gejala negatif meliputi pendataran afektif, alogia ( miskin bicara, kemiskinan isi
bicara, afek yang tidak sesuai) tidak ada kemauan- apati, anhedonia-asosialita, tidak
memiliki atensi sosial.
c. Gejala kognitif meliputi miskin ide, sulit fokus, dan memusatkan perhatian, dan sulit
mengingat sesuatu yang baru atau sesuatu yang telah di pelajari.

Perjalanan penyakit skizofrenia terbagi menjadi tiga fase, yaitu:


1. Fase prodromal yaitu fase dimana gejala nonspesifik muncul sebelum gejala psikotik
menjadi jelas. Lamanya bisa beberapa minggu, bulan bahkan tahunan. Gejalanya
berupa hendaya pekerjaan, fungsi sosial, perawatan diri, dan penggunaan waktu
luang.
2. Fase aktif yaitu fase dimana gejala psikotik menjadi jelas seperti perilaku katatonik,
halusinasi, delusi, disertai gangguan afek.
3. Fase residual yaitu fase yang gejalanya mirip seperti fase prodromal tetapi gejala
psikotiknya tidak begitu jelas.

2.6. Klasifikasi skizofrenia


1. Skizofrenia paranoid (F 20. 0)
a) Memenuhi kriteria skizofrenia.
b) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol : halusinasi auditori yang memberi
perintah atau auditorik yang berbentuk tidak verbal; halusinasi pembauan atau
pengecapan rasa atau bersifat seksual;waham dikendalikan, dipengaruhi, pasif atau
keyakinan dikejar-kejar.

7
c) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala katatonik
relative tidak ada.

2. Skizofrenia hebefrenik (F 20. 1)


a) Memenuhi kriteria skizofrenia .
b) Pada usia remaja dan dewasa muda (15-25 tahun).
c) Kepribadian premorbid : pemalu, senang menyendiri.
d) Gejala bertahan 2-3 minggu.
e) Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Perilaku tanpa tujuan, dan tanpa maksud.Preokupasi dangkal dan dibuat-
buat terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak.
f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,mannerism,
cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tujuan, dan hampa perasaan.
g) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (in appropriate),cekikikan, puas diri, senyum
sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau,
keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang.
h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren.

3. Skizofrenia katatonik (F 20. 2)


a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia.
b) Stupor (amat berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau aktivitas
spontan) atau mutisme.
c) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli eksternal).
d) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta mempertahankan
posisi tersebut.
e) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang berlawanan
dari perintah).
f) Rigiditas (kaku).
g) Flexibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan posisi tubuh dalam posisi
yang dapat dibentuk dari luar.
h) Command automatism (patuh otomatis dari perintah) dan pengulangan kata-kata serta
kalimat.

8
i) Diagnosis katatonik dapat tertunda jika diagnosis skizofrenia belum tegak karena
pasien yang tidak komunikatif.

4. Skizofrenia tak terinci (F 20.3)


a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia.
b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik.
c) Tidak memenuhi skizofren residual atau depresi pascaskizofrenia.

5. Skizofrenia pasca-skizofrenia (F 20. 4)


a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia selama 12 bulan terakhir ini.
b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran
klinisnya).
c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria
untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2
minggu. Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi
episode depresif (F32.-).Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis
harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0 - F20.3).

6. Skizofrenia residual (F 20. 5)


a) Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik,
aktifitas yang menurun, afek yangmenumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif,
kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh, erawatan
diri dan kinerja sosial yang buruk.
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia.
c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan
telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia.
d) Tidak terdapat dementia atau gangguan otak organik lain, depresi kronis atau
institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

9
7. Skizofrenia simpleks ( F 20.6 )
a) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkankarena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalanperlahan dan progresif dari:
I. Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.
II. Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan dengan sub tipe
skizofrenia lainnya.

8. Skizofrenia lainnya (F.20.8)


a) Termasuk skizofrenia chenesthopathic(terdapat suatu perasaanyang tidaknyaman,
tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan skizofreniform YTI.

9. Skizofrenia tak spesifik (F.20.7)


a) Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe yang telah
disebutkan.

2.7 gejala klinis skizofrenia


Menurut (PPDGJ)tentang skizofren harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat
jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas):
1) Thought echo, Thought insertion or withdrawal, Thought broadcasting
a) Thought echo adalah isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya
berbeda.
b) Thought insertion or withdrawal adalah isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal).
c) Thought broadcasting adalah isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umumnya mengetahuinya.

2) Delusion of control , Delusion of influence , Delusion of passivity , Delusion perception.


10
a) Delusion of control adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar.
b) Delusion of influenceadalahwaham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar.
c) Delusion of passivity adalah waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar (tentang dirinya secara jelas, merujuk ke pergerakan tubuh serta
anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan khusus).
d) Delusion perception adalah pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik dan mukjizat.

3) Halusional Auditorik dapat berupa suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap prilaku pasien. Dan mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah
satu bagian tubuh).

4) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil,misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau
kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau
berkomunikasi dengan mahluk asing atau dunia lain).

5) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.

6) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang
berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.

7) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), negativisme, mutisme, dan stupor.

8) Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang
menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan

11
menurunya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neureptika.

2.8 penatalaksanaa
A. farmakoterapi

12

Anda mungkin juga menyukai