1.1. Definisi
Skizofrenia merupakan suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada
proses berpikir serta terjadinya disharmoni antara proses berpikir, afek/emosi, kemauan
dan psikomotor, yang disertai distorsi kenyataan terutama karena waham dan
halusinasi. Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan yang ditandai
oleh kekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya delusi atau halusinasi), dalam
mood (contohnya afek yang tidak sesuai), dalam perasaan dirinya dan hubungannya
dengan dunia luar serta dalam hal tingkah laku.
1.2. Epidemiologi
Penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National
Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3
persen. Kira-kira 0,025 sampai 0,05 persen populasi total diobati untuk skizofrenia
dalam satu tahun. Walaupun duapertiga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan
perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari semua pasien skizofrenik
mendapatkan pengobatan, tidak tergantung pada keparahan penyakit.2
Prevalensinya antara laki-laki dan perempuan sama, namun menunjukkan
perbedaan dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset yang lebih
awal daripada perempuan. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25
tahun, sedangkan perempuan 25 sampai 35 tahun. Beberapa penelitian telah
menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih mungkin daripada wanita untuk terganggu
oleh gejala negatif dan wanita lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik
daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenik wanita adalah
lebih baik daripada hasil akhir untuk pasien skizofrenia laki-laki. Skizofrenia tidak
terdistribusi rata secara geografis di seluruh dunia. Secara historis, prevalensi
skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika Serikat adalah lebih tinggi daridaerah
lainnya.2
1.3. Etiologi
Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan
Sadock (1997) sebagai berikut:
1. Model diatesis-stress
Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan
adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang mungkin
memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh
lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan gejala
skizofrenia. Komponen lingkungan dapat biologis (contoh: infeksi) ataupun
psikologis (contoh: situasi keluarga yang penuh ketegangan).2
2. Faktor biologis
Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk daerah
tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis. Ketiga
daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah
tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi
suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik.2
3. Genetika
Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun 1930-an
yang menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota
keluarga lainnya juga menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya
hubungan persaudaraan tersebut. Resiko masyarakat umum 1%, pada orang tua
resiko 5%, pada saudara kandung 8% dan pada anak 12% apabila salah satu orang
tua menderita skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir,
anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada kembar monozigot 47%,
sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12%. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa gen yang diwarisi seseorang sangat kuat mempengaruhi resiko seseorang
mengalami skizofrenia. Hal ini dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-
keluarga tentang skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak
dengan salah satu orang tua yang menderiat skizofrenia 7-16%; bagi kedua orang tua
menderita skizofrenia 40-68%, bagi kembar dua telur (heterozygote) 2-15%; bagi
kembar satu telur (monozygote) 61-86%.2
4. Faktor psikososial
Klinisi harus mempertimbangkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi
skizofrenia karena para ahli telah membuktikan bahwa terapi obat saja tidak cukup
untuk mendapatkan perbaikan klinis yang maksimal. Secara historis telah
diperdebatkan bahwa suatu faktor psikososial secara langsung dan secara kausatif
berhubungan dengan perkembangan skizofrenia.3
Skizofrenia berdasarkan teori dopamin terdiri dari empat jalur dopamin yaitu:
1. Mesolimbik dopamin pathways : merupakan hipotesis terjadinya gejala positif pada
penderita skizofrenia. Mesolimbik dopamin pathways memproyeksikan badan sel
dopaminergik ke bagian ventral tegmentum area (VTA) di batang otak kemudian ke
nukleus akumbens di daerah limbik. Jalur ini berperan penting pada emosional,
perilaku khususnya halusinasi pendengaran, waham dan gangguan pikiran.
Antipsikotik bekerja melalui blokade reseptor dopamin ksususnya reseptor dopamin
D2. Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamin pathways menyebabkan gejala positif
meningkat.2
2. Mesokortikal dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah VTA ke daerah
serebral korteks khususnya korteks limbik. Peranan mesokortikal dopamin pathways
adalah sebagai mediasi dari gejala negatif dan kognitif pada penderita skizofrenia.
Gejala negatif dan kognitif disebabkan terjadinya penurunan dopamin di jalur
mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks. Penurunan
dopamin di mesokortikal dopamin pathways dapat terjadi secara primer dan
sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan
pada jalur ini atau melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D 2. Peningkatan
dopamin pada mesokortikal dapat memperbaiki gejala negatif atau mungkin gejala
kognitif.2
3. Nigostriatal dopamin pathways: berjalan dari daerah substansia nigra pada batang
otak ke daerah basal ganglia atau striatum. Jalur ini merupakan bagian dari sistem
saraf ekstrapiramidal. Penurunan dopamin di nigostriatal dopamin pathways dapat
menyebabkan gangguan pergerakan seperti yang ditemukan pada penyakit parkinson
yaitu rigiditas, bradikinesia dan tremor. Namun hiperaktif atau peningkatan dopamin
di jalur ini yang mendasari terjadinya gangguan pergerakan hiperkinetik seperti
korea, diskinesia atau tik.2
4. Tuberoinfundibular dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah hipotalamus ke
hipofisis anterior. Dalam keadaan normal tuberoinfundibular dopamin pathways
mempengaruhi oleh inhibisi dan penglepasan aktif prolaktin, dimana dopamin
berfungsi melepaskan inhibitor pelepasan prolaktin. Sehingga jika ada gangguan dari
jalur ini akibat lesi atau penggunaan obat antipsikotik, maka akan terjadi
peningkatan prolaktin yang dilepas sehingga menimbulkan galaktorea, amenorea
atau disfungsi seksual.2
Selain dopamin, neurotransmiter lainnya juga tidak ketinggalan diteliti mengenai
hubungannya dengan skizofrenia. Serotonin contohnya, karena obat antipsikotik
atipikal mempunyai aktivitas dengan serotonin. Selain itu, beberapa peneliti
melaporkan pemberian antipsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas
noradrenergik.2
Perjalanan berkembangnya skizofrenia sangatlah beragam pada setiap kasus.
Namun, secara umum melewati tiga fase utama, yaitu:3
a. Fase prodromal
Fase prodromal ditandai dengan deteriorasi yang jelas dalam fungsi kehidupan,
sebelum fase aktif gejala gangguan, dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau
akibat gangguan penggunaan zat, serta mencakup paling sedikit dua gejala dari
kriteria A pada kriteria diagnosis skizofrenia. Awal munculnya skizofrenia dapat
terjadi setelah melewati suatu periode yang sangat panjang, yaitu ketika seorang
individu mulai menarik diri secara sosial dari lingkungannya. Individu yang
mengalami fase prodromal dapat berlangsung selama beberapa minggu hingga
bertahun-tahun, sebelum gejala lain yang memenuhi kriteria untuk menegakkan
diagnosis skizorenia muncul. Individu dengan fase prodromal singkat,
perkembangan gejala gangguannya lebih jelas terlihat daripada individu yang
mengalami fase prodromal panjang
b. Fase Aktif Gejala
Fase aktif gejala ditandai dengan munculnya gejala-gejala skizofrenia secara jelas.
Sebagian besar penderita gangguan skizofrenia memiliki kelainan pada
kemampuannya untuk melihat realitas dan kesulitan dalam mencapai insight.
Sebagai akibatnya episode psikosis dapat ditandai oleh adanya kesenjangan yang
semakin besar antara individu dengan lingkungan sosialnya.
c. Fase Residual
Fase residual terjadi setelah fase aktif gejala paling sedikit terdapat dua gejala dari
kriteria A pada kriteria diagnosis skizofrenia yang bersifat mentap dan tidak
disebabkan oleh gangguan afek atau gangguan penggunaan zat. Dalam perjalanan
gangguannya, beberapa pasien skizofrenia mengalami kekambuhan hingga lebih dari
lima kali. Oleh karena itu, tantangan terapi saat ini adalah untuk mengurangi dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
Subtipe Pembeda
skizofrenia
F20.0 Delusi (waham) dan halusinasi dengan tema curiga,
Skizofrenia diancam, atau waham kebesaran
Paranoid
F20.1 Pikiran, bicara, dan perilaku ‘tidak nyambung’, emosi
Skizofrenia datar atau tidak tepat, sering cekikikan, senyum,
Hebefrenik menyeringai
F20.2 Hampir tidak ada respon thd lingkungan, aspek
Skizofrenia motorik dan verbal sangat terganggu
Katatonik
F20.3 Klien masuk criteria skizofren tapi tidak dapat masuk
Skizofrenia kelompok paranoid, disorganized, ataupun katatonik
tak terinci
F20.4 Gejala depresif menonjol paling sedikit 2 minggu,
Depresi dan telah menderita skizofrenia selama 12 bulan
pasca terakhir ini
skizofrenia
F20.5 Gejala negative skizofrenia yang menonjol dan
Skizofrenia didahului oleh waham dan halusinasi yang semakin
residual berkurang.
F20.6 Gejala negative yang khas pada skizofrenia residual
Skizofrenia tanpa didahului oleh halusinasi, waham atau gejala
Simpleks psikosis lainnya
1.8. Penatalaksanaan1,2,5
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat
perbaikkan klinis.
a. Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :
1. Untuk tujuan diagnostik.
2. Menstabilkan medikasi.
3. Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh.
4. Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai.
5. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan di rumah sakit adalah ikatan efektif antara pasien dan
system pendukung masyarakat. Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada
pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya
perawatan di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan
tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit
harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri sendiri,
kualitas hidup, pekerjaan dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus di
arahkan untukk mengikat pasien dengan fasilitas pasca rawat termasuk keluarganya,
keluarga angkat, board and care homes, dan half way house. Pusat perawatan di
siang hari (day care center) dan kunjungan rumah kadang-kadang dapat membantu
pasien tetap di luar rumah sakit untuk periode waktu yang lama dan dapat
memperbaiki kualitas kahidupan sehari-hari pasien.
b. Terapi Somatik
Antipsikotik
Antipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama, yaitu antagonis reseptor
dopamine, risperidone ( ris perdal ), clozapine ( clozaril )
Pemilihan Obat
1. Antagonis Reseptor Dopamin
Adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam pengobatan skizofrenia.
Obat ini memiliki dua kekurangan utama, yaitu: Hanya sejumlah kecil pasien,
cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup
normal. Disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek
mengganggu yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme
berupa rigiditas dan tremor. Efek serius yang potensial adalah tardive dyskinesia
dan sindroma neuroleptik malignan. “Remoxipride“ adalah antagonis reseptor
dopamin dari kelas yang berbeda dari pada antagonis reseptor dopamin yang
sekarang ini tersedia. Awalnya obat ini disertai efek samping neurologist yang
bermakna, tetapi akhirnya remoxipride disertai dengan anemia aplastik, jadi
membatasi nilai klinisnya.
2. Risperidone
Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna pada
reseptor serotonin tipe 2 ( 5-HT2 ) dan pada reseptor dopamine tipe 2 ( d 2 ).
Risperidone menjadi obat lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena
kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman daripada antagonis
reseptor dopaminergik yang tipikal.
3. Clozapine
Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum diketahui
secara pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor D2 tetapi
merupakan antagonis yang kuat terhadap reseptor D4 dan mempunyai aktivitas
antagonistic pada reseptor serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu efek
samping yang mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks
darah. Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada pasien dengan tardive
dyskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak disertai
dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.
b. Terapi Somatik Lainnya
Elektrokonvulsif (ECT) dapat diindikasikan pada pasien katatonik dan bagi pasien
yang karena suatu alasan tidak dapat menggunakan antipsikotik (kurang efektif).
c. Terapi Psikososial
− Terapi Perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan social
untuk meningkatkan kemampuan social, kemampuan memenuhi diri sendiri,
latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong
dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan.
– Terapi Berorientasi Keluarga
Jika masalah memang timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus
pada pemecahan masalah secara cepat. Setelah periode pemulangan segera, topik
penting yang dibahas dalam terapi keluarga adalah proses pemulihan khususnya
lama dan kecepatannya. Di dalam session keluarga dengan pasien skizofrenia,
ahli terapi harus mengendalikan intensitas emosional dari session.
1.9. Prognosis
Tabel 2. Prognosis pada Pasien Skizofrenia2
GANGGUAN AFEKTIF
2.1. Definisi
Menurut PPDGJ III, gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) merupakan
sekelompok penyakit yang bervariasi bentuknya. Kelainan fundamental dari kelompok
gangguan ini adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah
depresi, atau ke arah elasi (suasana perasaan yang meningkat).
2.2. Epidemiologi
Pada pengamatan universal, prevalensi gangguan depresif berat pada wanita dua
kali lebih besar dari pada laki-laki. Gangguan Bipolar I mempunyai prevalensi yang
sama bagi laki-laki dan wanita. Lebih banyaknya wanita yang tercatat mengalami
depresi bisa disebabkan oleh pola komunikasi wanita yang ingin memberitahukan
masalahnya kepada orang lain dan harapan untuk mendapatkan bantuan atau dukungan
sedangkan pada laki-laki cenderung untuk memikirkan masalahnya sendiri dan jarang
menunjukkan emosinya.
Berbagai penelitian mengungkapkan golongan usia muda yaitu remaja dan
dewasa awal lebih mudah terkena depresi. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut
terdapat tahap-tahap serta tugas perkembangan yang penting yaitu peralihan dari masa
anak-anak ke masa remaja, remaja ke dewasa, masa sekolah ke masa kuliah dan bekerja
serta masa pubertas ke masa pernikahan. Survei telah melaporkan prevalensi yang
tinggi dari depresi terjadi pada usia 18-44 tahun. Beberapa data epidemiologis baru-
baru ini menyatakan insidensi gangguan depresif berat meningkat pada usia kurang dari
20 tahun. Penurunan kecenderungan depresi pada usia dewasa diduga karena
berkurangnya respon emosi seseorang seiring bertambahnya usia, meningkatnya
kontrol emosi dan kekebalan terhadap pengalaman dan peristiwa hidup yang dapat
memicu stress.
Onset gangguan bipolar I lebih awal dari daripada onset gangguan depresi. Onset
gangguan bipolar I dari usia 5 tahun sampai usia 50 tahun. Laporan kasus gangguan
bipolar I diatas usia 50 tahun sangat jarang. Pada umumnya gangguan depresif berat
paling sering terjadi pada seseorang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang
erat, telah bercerai atau berpisah dengan pasangan hidup. Gangguan bipolar I lebih
sering terjadi pada orang yang bercerai dan hidup sendiri daripada orang yang menikah.
2.3. Etiologi
a. Faktor Biologis
Berdasarkan riset, kekurangan neurotransmiter serotonin, norepinefrin dan
dopamin dapat menyebabkan depresi. Di satu sisi, jika neurotransmiter ini berlebih
dapat menjadi penyebab gangguan manik. Selain itu antidepresan trisiklik dapat
memicu mania.
Serotonin adalah neurotransmiter aminergic yang paling sering dihubungkan
dengan depresi. Penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi. Pada beberapa
pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di
cairan serebrospinalnya. Pada penggunaan antidepresan jangka panjang terjadi
penurunan jumlah tempat ambilan kembali serotonin.
Dopamin juga diperkirakan memiliki peranan dalam menyebabkan depresi.
Data menunjukkan aktivitas dopamin yang menurun pada depresi dan meningkat
pada mania. Obat yang menurunkan kadar dopamin seperti reserpine dan pada
penyakit yang mengalami penurunan dopamin seperti parkinson disertai juga dengan
gejala depresi. Obat-obat yang meningkatkan kadar dopamin seperti tyrosine,
amphetamine dan bupropion menurunkan gejala depresi. Disfungsi jalur dopamin
mesolimbik dan hipoaktivitas reseptor dopamin tipe 1 (D1) terjadi pada depresi.2
Obat-obatan yang mempengaruhi sistem neurotransmiter seperti kokain akan
memperparah mania. Agen lain yang dapat memperburuk mania termasuk L-dopa,
yang berpengaruh pada reuptake dopamin dan serotonin. Calsium channel blocker
yang digunakan untuk mengobati mania dapat mengganggu regulasi kalsium di
neuron. Gangguan regulasi kalsium ini dapat menyebabkan transmisi glutaminergik
yang berlebihan dan iskemia pembuluh darah.
Neurotransmiter lain seperti GABA dan peptida neuroaktif seperti vasopresin
dan opiat endogen juga berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa sistem pembawa kedua (second messenger) seperti
adenylate cyclase, phosphatidylinositol dan regulasi kalsium mungkin memiliki
relevansi dengan penyebab gangguan mood.
Regulasi abnormal pada sumbu neuroendokrin mungkin dikarenakan fungsi
abnormal neuron yang mengandung amine biogenik. Secara teoritis, disregulasi pada
sumbu neuroendokrin seperti sumbu tiroid dan adrenal terlibat dalam gangguan
mood. Pasien dengan gangguan mood mengalami penurunan sekresi melatonin
nokturnal, penurunan pelepasan prolaktin, penurunan kadar FSH dan LH serta
penurunan kadar testosteron pada laki-laki.
Dexamethasone adalah analog sintetik dari kortisol. Pada Dexamethasone
Suppression Test, 50% dari pasien yang menderita depresi memiliki respon yang
abnormal terhadap dexamethasone dosis tunggal. Banyak penelitian menemukan
bahwa hiperkortisolemia dapat merusak neuron pada hipokampus.
Gangguan tiroid seringkali disertai dengan gejala afektif. Penelitian telah
mengambarkan adanya regulasi tiroid yang abnormal pada pasien dengan gangguan
mood. Sepertiga dari pasien dengan gangguan depresif berat memiliki pelepasan
tirotropin yang tumpul. Penelitian terakhir melaporkan kira-kira 10% pasien dengan
gangguan mood khususnya gangguan bipolar I memiliki antibodi antitiroid yang
dapat dideteksi.
Beberapa penelitian menemukan terdapat perbedaan pengaturan pelepasan
hormon pertumbuhan antara pasien depresi dengan orang normal. Penelitian juga
telah menemukan bahwa pasien dengan depresi memiliki penumpulan respon
terhadap peningkatan sekresi hormon pertumbuhan yang diinduksi clonidine.
Gangguan tidur adalah gejala yang sering ditemukan pada pasien depresi.
Menurunnya kebutuhan tidur adalah gejala klasik dari mania. Penelitian telah
mengungkapkan bahwa elektroensefalogram (EEG) saat tidur pada orang yang
menderita depresi menunjukkan kelainan. Kelainan tersebut antara lain perlambatan
onset tidur, pemendekan latensi rapid eye movement (REM), peningkatan panjang
periode REM pertama dan tidur delta yang abnormal. Pada depresi terjadi regulasi
abnormal dari irama sirkadian. Beberapa penelitian pada binatang menyatakan
bahwa terapi antidepresan efektif untuk mengubah jam biologis.
Penelitian melaporkan adanya kelainan imunologis pada pasien depresi dan
pada orang yang berdukacita karena kehilangan sanak saudara, pasangan atau teman
dekat. Kemungkinan proses patofisiologi yang melibatkan sistem imun
menyebabkan gejala psikiatrik dan gangguan mood pada beberapa pasien.
Pada pencitraan otak pasien dengan gangguan mood terdapat sekumpulan
pasien dengan gangguan bipolar I terutama pasien laki-laki memiliki ventrikel
serebral yang membesar. Pembesaran ventrikel lebih jarang pada pasien dengan
gangguan depresif berat. Pencitraan dengan MRI juga menyatakan bahwa pasien
dengan gangguan depresif berat memiliki nukleus kaudatus yang lebih kecil dan
lobus frontalis yang lebih kecil. Banyak literatur menjelaskan penurunan aliran
darah pada korteks serebral dan area korteks frontalis pada pasien depresi berat.2
Hipotesis menyatakan gangguan mood melibatkan patologis pada sistem
limbik, ganglia basalis dan hipotalamus. Gangguan pada ganglia basalis dan sistem
limbik terutama pada hemisfer yang dominan dapat ditemukan bersamaan dengan
gejala depresif. Disfungsi pada hipotalamus dihubungkan dengan perubahan pola
tidur, nafsu makan dan perilaku seksual pada pasien dengan depresi. Postur yang
membungkuk, terbatasnya aktivitas motorik dan gangguan kognitif minor adalah
beberapa gejala depresi yang juga ditemukan pada penderita dengan gangguan
ganglia basalis seperti penyakit Parkinson dan demensia subkortikal lainny
b. Faktor Genetika
Seseorang yang memiliki keluarga dengan gangguan mood memiliki resiko
lebih besar menderita gangguan mood daripada masyarakat pada umumnya.
Penelitian oleh Kendler (1992) dari Departemen Psikiatri Virginia Commonwealth
University menunjukkan bahwa resiko depresi sebesar 70% karena faktor genetik,
20% karena faktor lingkungan dan 10% karena akibat langsung dari depresi berat.
Pada penelitian keluarga ditemukan bahwa keluarga derajat pertama dari
penderita gangguan bipolar I kemungkinan 8 sampai 18 kali lebih besar untuk
menderita gangguan bipolar I dan 2 sampai 10 kali lebih besar untuk menderita
gangguan depresi berat dibanding kelompok kontrol. Keluarga derajat pertama
pasien dengan gangguan depresif berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar
untuk menderita gangguan bipolar I dan 2 sampai 3 kali lebih besar untuk menderita
gangguan depresif berat dibanding kelompok kontrol.
Kemungkinan untuk menderita gangguan mood menurun jika derajat
hubungan keluarga melebar. Contohnya, keluarga derajat kedua seperti sepupu lebih
kecil kemungkinannya daripada keluarga derajat pertama seperti kakak misalnya
untuk menderita gangguan mood. Sekitar 50% pasien dengan gangguan bipolar I
memiliki orang tua dengan gangguan mood terutama depresi. Jika orang tua
menderita gangguan bipolar I maka kemungkinan anaknya menderita gangguan
mood sebesar 25%. Jika kedua orang tua menderita gangguan bipolar I maka
kemungkinan anaknya menderita gangguan mood adalah 50-75%.
c. Faktor Psikososial
Beberapa artikel menjelaskan hubungan antara fungsi keluarga dengan onset
serta perjalanan gangguan mood khususnya gangguan depresif berat. Ada bukti
bahwa individu yang kehilangan ibu saat masih muda memiliki resiko lebih besar
terkena depresi. Pada pola pengasuhan, orang tua yang menuntut dan kritis,
menghargai kesuksesan dan menolak semua kegagalan membuat anak mudah
terserang depresi di masa depan. Anak yang menderita penyiksaan fisik atau seksual
membuat seseorang mudah terkena depresi sewaktu dewasa.