Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

ILMU KEDOKTERAN JIWA

“SKIZOFRENIA”

Pembimbing :
dr. Taufik Hidayanto, Sp.KJ.

Oleh :
Uswatun Khasanah G4A020007
Nabila Sulistyawati G4A020010
Mahayu Dian Suryandaru G4A020020
Fiqham Muhamad Putra G4A020045

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD BANYUMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2020
I. PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan penyakit gangguan jiwa berat berupa hilangnya


kontak dengan kenyataan dan kesulitan membedakan hal yang nyata dengan
yang tidak (Yuliana, 2013). Penderita skizofrenia akan mengalami sekelompok
gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai
perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya,
waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang
terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Skizofrenia
merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di dunia
menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul
pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset pada laki-laki biasanya antara
15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih
buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Onset setelah umur 40
tahun jarang terjadi (Elvira dan Hadikusanto, 2013).

Menurut WHO (2001) saat ini di dunia terdapat lebih dari 450 juta jiwa
hidup dengan gangguan jiwa, dalam penelitian Lewis (2001) angka prevalensi
gangguan jiwa skizofrenia di dunia berkisar 4 per mil, kemudian meningkat
menjadi 5,3 per mil (Eric, 2006). Sedangkan di Indonesia pada tahun 2007
prevalensi skizofrenia di Indonesia adalah 2 per mil kemudian menurut WHO
prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia tahun 2013 meningkat menjadi 2,6
per mil pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Diantara penderita skizofrenia di
seluruh dunia sekitar 20-50% telah melakukan percobaan bunuh diri dan 10%
diantaranya meninggal karena bunuh diri. Angka kematian penderita skizofrenia
ini 8 kali lebih tinggi daripada angka kematian penduduk pada umumnya
(Hawari, 2012). Skizofrenia menempati rangking ke- 15 dalam perhitungan years
of life lost to disability (YLD) tahun 2016, dengan demikian gangguan ini dinilai
menimbulkan beban ekonomi kesehatan. Perhitungan YLD biasanya dinilai
untuk menghitung global burden of diseases (GBD) (GDB, 2016).

Berdasarkan informasi diatas dapat dinyatakan bahwa skizofrenia adalah


penyakit yang memerlukan penanganan tepat dan cepat agar tidak menimbulkan
kerugian yang lebih besar , oleh karena itu penting sekali bagi tenaga medis
untuk mempunyai penngetahuan yang cukup mengenai penyakit tersebut. Apalagi
sistem BPJS kesehatan menempatkan dokter umum sebagai lini pertama diagnosis
penyakit yang harus mampu menentukan langkah pengobatan pasien selanjutnya.
Referat ini disusun untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca
tentang skizofrenia.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang kompleks dengan berbagai
ekspresi fenotip. Skizofrenia memiliki memiliki variasi penyebab (banyak
yang belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis
atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Maslim, 2013).
B. Epidemiologi
Hampir 1% penduduk dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka.
Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda.
Awitan pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun. Awitan setelah umur 40
tahun jarang terjadi (Elvira & Hadisukanto, 2017).
Sebanyak 50% penderita skizofrenia mengalami disabilitas hampir seumur
hidupnya. Di dunia, skizofrenia masuk dalam sepuluh penyakit dengan biaya
terbesar. Perjalanan penyakitnya sangat heterogeny. Sekitar 50%
membutuhkan rawat inap satu kali atau lebih, selama durasi sakitnya.
Sebanyak 20% pasien dapat Kembali bekerja sempurna dan 30% dapat
mempertahankan hubungan sosial yang stabil (Elvira & Hadisukanto, 2017).
C. Etiologi
Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit yang
tunggal, namun katagori diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan,
mungkin dengan kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang
sedikit banyak yang serupa. Belum ditemukan etiologi yang pasti mengenai
skizofrenia, tetapi hasil penelitian menyebutkan etiologi skizofrenia, yaitu:
1. Neurobiologi
Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik yang
ditemukan pada penderita skizofrenia. Gangguan organik dapat terlihat
pada sub populasi pasien. Gangguan yang paling banyak dijumpai yaitu
pelebaran ventrikel 3 dan lateral yang stabil dan terkadang sudah terlihat
sebelum awitan penyakit, atrofi bilateral lobus temporal medial dan lebih
spesifik pada girus parahipocampus, hipocampus dan amygdala,
disorientasi spasial sel piramid hippocampus dan penurunan volume
korteks prefrontal dorso lateral. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
semua perubahan ini statis dan telah dibawa sejak lahir dan beberapa kasus
perjalanannya progresif. Lokasinya menunjukkan gangguan perilaku yang
ditemui gangguan skizofrenia, misalnya gangguan hipocampus dikaitkan
dengan infermen memori dan atrofi lobus frontalis dihubungkan dengan
gejala negatif skizofrenia (Elvira & Sylvia, 2013)
2. Biokimia
a. Hipotesis Dopamin
Hipotesis ini menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas
dopaminergik yang berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan dua
pengamatan. Pertama, kemanjuran serta potensi sebagian besar obat
antipsikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin), berkorelasi dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin tipe 2
(D2). Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang
terkenal adalah afetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak
menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan
pelepasan dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang terlalu
banyak, hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin, atau
kombinasi mekanisme tersebut. Jalur dopamin di otak yang terlibat
juga tidak dirinci dalam teori ini, meski jalur mesokortikal dan
mesolimbik paling sering disebut. Peran signifikan dopamin dalam
patofisiologi skizofrenia sejalan dengan studi yang mengukur
konsentrasi plasma metabolit utama dopamin, asam homovalinat. Studi
melaporkan adanya korelasi positif antara konsentrasi asam
homovanilat dan tingkat keparahan gejala yang timbul pada pasien
Penurunan asam homovalinat berkorelasi dengan perbaikan gejala
pada setidaknya beberapa pasien (Elvira & Sylvia, 2013).
b. Norepinefrin
Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat nitpsikotik
jangka panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus
seruleus dan bahwa efek terapeutik beberap aobat antipsikotik
mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik alfa-1 dan
adrenergik alfa-2. Meski hubungan antara aktivitas dopaminergik dan
doradrenergik masih belum jelas, terdapat peningkatan jumlah data
yang menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sitem
dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps
yang sering (Elvira & Sylvia, 2013).
c. Glutamat
Gluamat telah terlibat karena konsumsi phencyclidine, antagonis
glutamat, memproduksi sindrom akut yang serupa dengan skizofrenia.
Hipotesis tentang glutamat termasuk hiperkativitas, hipoaktivitas, dan
glutamate induced neurotoxicity (Elvira & Sylvia, 2013).
d. Asetilkolin dan Nikotin
Pada data postmortem (data yang diambil dari orang yang telah
meninggal) pasien skizofrenia menunjukkan adanya penurunan kadar
muskarinik dan reseptor nikotin di daerah putamen bagian kaudal,
hipokampus, dan beberapa bagian prefrontal cortex. Reseptor-reseptor
ini berperan penting dalam regulasi neurotransmiter yang berperan
dalam kesadaran sebagai individu pada seorang, yang mengalami
gangguan pada pasien skizofrenia (Elvira & Sylvia, 2013).
e. Genetika
Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara bermakna,
kompleks dan poligen. Skizofrenia adalah gangguan yang bersifat
familial, semakin dekat hubungan kekerabatan semakin tinggi risiko
terjadinya skizofrenia. Frekuensi kejadian gangguan non psikotik
meningkat pada keluarga skizofrenia serta secara genetic dikaitkan
dengan gangguan kepribadian ambang dan skizotipal, gangguan
obsesif - kompulsif, dan kemungkinan dihubungkan dengan gangguan
kepribadian paranoid dan antisosial (Elvira & Sylvia, 2013).
f. Faktor Keluarga
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting
dalam menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi.
Pasien yang berisiko adalah pasien yang tinggal bersama keluarga
yang tidak harmonis, memperlihatkan kecemasan berlebihan, sangat
protektif, terlalu ikut campur, sangat mengritik, dan sering tidak
dibebaskan oleh keluarganya (Elvira & Sylvia, 2013).
Beberapa peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang
patologis dan aneh pada keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi
sering samar-samar atau tidak jelas dan sedikit tidak logis. Penelitian
terbaru menyampaikan bahwa pola komunikasi keluarga tersebut
mungkin disebabkan dampak memiliki anak skizofrenia (Elvira &
Sylvia, 2013).
g. Model Diatesis Stres
Model Diatesis Stress ini yaitu untuk mengintegrasikan faktor
biologis, psikososial, dan lingkungan. Seseorang memiliki kerentanan
spesifik(diathesis), yang jika mengalami stress akan dapat memicu
munculnya gejala skizofrenia. Stressor atau diathesis ini bersifat
biologis, lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan biologikal
(seperti infeksi) atau psikologis (seperti kematian orang terdekat)
(Sadock, 2010).
h. Psikososial
1. Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari
fiksasi perkembangan, dan merupakan konflik antara ego dan
dunia luar. Kerusakan ego memberikan konstribusi terhadap
munculnya gejala skizofrenia. Secara umum kerusakan ego
mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan control terhadap
dorongan dari dalam. Pada pandangan psikodinamik lebih
mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus
menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama
anak-anak dan mengakibatkan stress dalam hubungan
interpersonal. Gejala positif diasosiasikan dengan onset akut
sebagai respon terhadap faktor pemicu dan erat kaitanya dengan
adanya konflik. Gejala negative berkaitan erat dengan faktor
biologis, sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal
mungkin timbul akibat kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga
berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar (Elvira &
Sylvia, 2013).
2. Teori Belajar
Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenian
mempelajari reaksi dan cara berfikir yang tidak rasional dengan
mengintimidasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional
yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien
skizofrenia (Elvira & Sylvia, 2013).
berkembang karena pada masa anak-anak mereka belajar dari
model yang buruk
3. Teori Tentang Keluarga
Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami
penyakit non psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi,
perilaku keluarga yang pagtologis yang secara signifikan
meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien
skizofrenia (Elvira & Sylvia, 2013).
4. Teori Sosial
Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam
menyebabkan gangguan skizofrenia. Data pendukung mengenai
penekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap
waktu timbulnya onset dan keparahan penyakit (Elvira & Sylvia,
2013).

D. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien skizofrenia memiliki beberapa tanda antara lain :
1. Deskripsi umum
- Penampilan
Penampilan (postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan) pasien
skizofrenia dapat berkisar dari orang yang sangat berantakan,
menjerit-jerit, dan teragitasi hingga orang yang terobsesi tampil rapi,
sangat pendiam, dan imobil.
- Perilaku motorik
Manerisme, tik, gerakan tubuh, kedutan, perilaku streotipik,
ekopraksia, hiperaktivitas, agitasi, sikap melawan, fleksibilitas,
rigiditas, gaya berjalan, dan kegesitan. Biasanya diakibatkan karena
respon terhadap halusinasi. Pada stupor katatonik pasien tampak
seperti tidak bernyawa, membisu, negativisme, dan kepatuhan
otomatis.
- Sikap terhadap pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat dideskripsikan sebagai
kooperatif, bersahabat, penuh perhatian, tertarik, balk-blakan,
seduktif, defensif, merendahkan, kebingungan, apatis, bermusuhan,
suka melucu, menyenangkan, suka mengelak, atau berhati-hati.
2. Mood dan Afek
- Gejala afektif yang umum pada skizofrenia adalah menurunnya
responsivitas emosional yang terkadang cukup parah sehingga disebut
sebagai anhedonia serta emosi yang tidak tepat & sangat aktif seperti
kemarahan, kebahagiaan, & ansietas yang ekstrim.
- Afek dapat datar atau tumpul terutama pada skizofrenia katatonik.
- Afek tak serasi.
- Afek labil.
- Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan
untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport).
Karena itu sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita.
Karena terpecah-belahnya kepribadian, maka dual hal yang
berlawanan mungkin timbul bersama-sama, misalnya mencintai dan
membenci satu orang yang sama; menangis dan tertawa tentang satu
hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi afektif.
3. Gangguan Persepsi
- Halusinasi (pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan
kesadaran (pada kelainan lain tidak ditemukan yang seperti ini).
Paling sering halusinasi auditorik bisa berupa mendengar suara
mengancam, menuduh, menghina, dan suara bersifat cabul. Halusinasi
penglihatan jarang, namun bila ada, biasanya pada stadium permulaan.
- Halusinasi senestik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya
keadaan organ tubuh yang terganggu. Contoh halusinasi senestik
mencakup sensasi terbakar pada otak, sensasi terdorong pada
pembuluh darah, serta sensasi tertusuk pada sumsum tulang.
- Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distorsi citra
yang nyata, sementara halusinasi tidak didasarkan pada citra atau
sensasi yang nyata. Ilusi dapat terjadi pada pasien skizofrenik selama
fase aktif, namun dapat pula terjadi dalam fase prodromal dan selama
periode remisi.
- Depersonalisasi
- Derealisasi
4. Gangguan Pikiran
- Proses pikir (bentuk pemikiran)
Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin
ide. Dapat terjadi proses pikir yang cepat, yang bila berlangsung
sangat ekstrim, disebut flight of ideas. Seorang pasien juga dapat
menunjukkan cara berpikir yang lambat atau tertahan. Gangguan
kontinuitas pikir meliputi pernyataan yang bersifat tangensial,
sirkumstansial, meracau, suka mengelak, atau perseveratif.
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu
ide selesai diungkapkan. Sirkumstansial mengisyaratkan hilangnya
kemampuan berpikir yang mengarah ke tujuan dalam mengemukakan
suatu ide, pasien menyertakan banyak detail yang tidak relevan dan
komentar tambahan namun pada akhirnya mampu ke ide semula.
Tangensialitas merupakan suatu gangguan berupa hilangnya benang
merah pembicaraan pada seorang pasien dan kemudian ia mengikuti
pikiran tangensial yang dirangsang oleh berbagai stimulus eksternal
atau internal yang tidak relevan dan tidak pernah kembali ke ide
semula. Gangguan proses pikir dapat tercermin dari word salad
(hubungan antar pemikiran yang tidak dapat dipahami atau
inkoheren), clang association (asosiasi berdasarkan rima), punning
(asosiasi berdasarkan makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru
yang diciptakan oleh pasien melalui kombinasi atau pemadatan kata-
kata lain).
- Isi pikir
Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi,
fobia, rencana, niat, ide berulang mengenai bunuh diri atau
pembunuhan, gejala hipokondriakal, dan kecenderungan antisosial
tertentu.
5. Gangguan Sensorium dan Kognisi
Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi
pasien, kemampuan berpikir abstrak.
- Orientasi
Biasanya orientasi tempat, waktu, dan orang baik. Jika ada gangguan
orientasi, selidiki kemungkinan adanya gangguan otak neurologis atau
medis. Beberapa pasien skizofrenia mungkin memberikan jawaban
salah atau bizzare terhadap pertanyaan tentang orientasi.
- Memori biasanya baik, namun terkadang mustahil meminta pasien
mengerjakan uji memori dengan baik agar kemampuannya dapat
dikaji secara adekuat.
- Kemampuan untuk menangani konsep-konsep. Pasien mungkin
memiliki gangguan dalam membuat konsep atau menangani ide.
6. Daya Nilai dan Tilikan
- Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian
sosial. Dapatkah pasien meramalkan apa yang akan dilakukannya
dalam situasi imajiner. Contohnya: apa yang akan pasien lakukan
ketika ia mencium asap dalam suasana gedung bioskop yang penuh
sesak?. Pada umumnya kurang baik karena lebih bersifat acuh.
- Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya.
Pasien dapat menunjukkan penyangkalan total akan penyakitnya atau
mungkin menunjukkan sedikit kesadaran kalau dirinya sakit namun
menyalahkan orang lain, faktor eksternal, atau bahkan faktor organik.
Mereka mungking menyadari dirinya sakit, namun menganggap hal
tersebut sebagai sesuatu yang asing atau misterius dalam dirinya.
Berdasarkan derajat tilikan tertinggi yang dijumpai pasien skizofrenia
adalah derajat tiga yaitu menyalahkan faktor lain sebagai penyebab
dari penyakitnya. Hal tersebut juga akan berpengaruh pada kepatuhan
pengobatan.
7. Reliabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan
kemampuan untuk melaporkan keadaanya secara akurat. Contohnya, bila
pasien terbuka mengenai penyalahgunaan obat tertentu secara aktif
mengenai keadaan yang menurut pasien dapat berpengaruh buruk
(misalnya, bermasalah dengan hukum), psikiater dapat memperkirakan
bahwa realiabilitas pasien adalah baik.

Ada dua gejala yang menyertai skizofrenia yakni gejala negatif dan gejala
positif. Gejala negatif berupa tindakan yang tidak membawa dampak
merugikan bagi lingkungannya. Misalnya, gangguan perasaan (afek tumpul,
respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif, apatis),
gangguan proses pikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang stereotip, tidak ada
inisiatif, perilaku sangat terbatas dan cenderung menyendiri (abulia).
Sementara gejala positif adalah tindakan yang mulai membawa dampak bagi
lingkungannya. Misalnya, gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), waham,
halusinasi, gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi), perilaku aneh (cara
berpakaian, perilaku social, agresif, perilaku berulang) atau tidak terkendali
(disorganized).

E. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis skizofrenia pada PPDGJ-III yakni sebagai berikut :
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang sangat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala tersebut kurang jelas) :
1. Isi pikiran
a. Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda
b. Thought incertion or withdrawal yaitu isi pikiran yang asing dari
luar masuk ke dalam pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar dirinya
c. Thought broadcasting yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya.
2. Waham atau Delusinasi
a. Delusion of control yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar
b. Delusion of influence yaitu waham tentang dirinya dipengaruhi
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar
c. Delusion of passivity yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya
dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar
d. Delusion perception yaitu pengalaman indrawi yang tak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat
3. Halusinasi
a. Suara yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien atau
b. Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri atau
c. Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh.
4. Waham-waham menetap lainnya
Yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu
yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu,
atau kekuatan dan kemampuan
di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahluk asingdari dunia lain).
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
1. Halusinasi yang menetap dari pancaindera apa saja, apabila disertai
baik oleh wahm yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus.
2. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang
tidak relevan atau neologisme.
3. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing) atay fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dan stupor.
4. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons
emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunya kinerja sosial,
tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neureptika.
 Adanya gejala-gejala khas tersebut telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal)
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dakam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut
dalam diri sendirim dan penarikan diri secara sosial.

Perjalanan gangguan skizofrenia dapat diklasifikasikan dengan menggunakan


kode lima karakter sebagai berikut :
 x0 Berkelanjutan
 .x1 Episodik Dengan Kemunduran Progresif
 .x2 Episodik Dengan Kemunduran Stabil
 .x3 Episodik Berulang
 .x4 Remisi Tak Sempurna
 .x5 Remisi Sempurna
 .x8 Lainnya

F. Subtipe Skizofrenia
1. Skizofrenia Paranoid (F20.0)
Kejadian skizofrenia paranoid paling sering terjadi dibandingkan
subtipe skizofrenia lainnya. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid
terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau kebesaran. Pasien
skizofrenia paranoid biasanya mengalami episode pertama penyakit pada
usia yang lebih tua dibanding pasien skizofrenia hebefrenik dan katatonik.
Pasien yang skizofrenianya terjadi pada akhir usia 20-an atau 30-an
biasanya telah memiliki kehidupan sosial yang mapan yang dapat
membantu mengatasi penyakitnya, dan sumber ego pasien paranoid
cenderung lebih besar dibanding pasien skizofrenia hebefrenik atau
katatonik.
Pasien skizofrenia paranoid menunjukkan regresi kemampuan
mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan
pasien skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid biasanya tegang,
mudah curiga, berjaga-jaga, berhati-hati, dan terkadang bersikap
bermusuhan atau agresif, namun mereka kadang-kadang dapat
mengendalikan diri mereka secara adekuat pada situasi sosial. Inteligensi
mereka dalam area yang tidak dipengaruhi psikosisnya cenderung tetap
utuh. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan
skizoid, mudah tersinggung, suka menyendiri dan kurang percaya pada
orang lain. Adapun pedoman diagnostik skizofrenia paranoid menurut
PPDGJ III :
 Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
 Sebagai tambahan :
o Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
- Suara-suara halusinasi satu atau lebih yang saling berkomentar
tentang diri pasien, yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa.
- Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual
mungkin ada tetapi jarang menonjol.
- Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas.
o Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta
gejalakatatonik secara relatif tidak nyata / tidak menonjol.

Diagnosa Banding skizofrenia paranoid:

 Epilepsi dan Psikosis yang diinduksi oleh obat-obatan


 Keadaan paranoid involusional (F22.8)
 Paranoia (F22.0)
2. Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)
Skizofrenia tipe hebefrenik atau disorganized ditandai dengan
regresi nyata ke perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan
tidak adanya gejala yang memenuhi kriteria tipe katatonik. Onset subtipe
ini biasanya dini, sebelum usia 25 tahun. Pasien hebefrenik biasanya aktif
namun dalam sikap yang nonkonstruktif dan tak bertujuan. Gangguan
pikir menonjol dan kontak dengan realitas buruk. Gangguan psikomotor
seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan.
Penampilan pribadi dan perilaku sosial berantakan, respons emosional
mereka tidak sesuai dan tawa mereka sering meledak tanpa alasan jelas.
Seringai atau meringis yang tak pantas lazim dijumpai pada pasien ini.
Adapun pedoman diagnostik skizofrenia hebefrenik adalah :
 Diagnosis hebefrenik biasanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
 Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendri, namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
 Untuk diagnosis hebefrenik yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk
memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan :
o Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat
diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk
selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa
tujuan dan hampa perasaan;
o Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar
(inappropriate), sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau
perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (self-
absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner),
tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli
secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan
ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);
o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu (rambling) serta inkoheren.
o Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan
proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham
mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and
fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan
kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita
memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless)
dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu
preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap
agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar
orang memahami jalan pikiran pasien.
3. Skizofrenia Katatonik (F20.2)
Pasien dengan skizofrenia katatonik biasanya bermanifestasi salah
satu dari dua bentuk skizofrenia katatonik, yaitu stupor katatonik dan
excited/gaduh gelisah/kegembiraan katatatonik. Pada katatonik stupor,
pasien akan terlihat diam dalam postur tertentu (postur berdoa,
membentuk bola), tidak melakukan gerakan spontan, hampir tidak
bereaksi sama sekali dengan lingkungan sekitar bahkan pada saat defekasi
maupun buang air kecil, air liur biasanya mengalir dari ujung mulut
pasien karena tidak ada gerakan mulut, bila diberi makan melalui mulut
akan tetap berada di rongga mulut karena tidak adanya gerakan
mengunyah, pasien tidak berbicara berhari-hari, bila anggota badan pasien
dicoba digerakkan pasien seperti lilin mengikuti posisi yang dibentuk,
kemudian secara perlahan kembali lagi ke posisi awal. Bisa juga didapati
pasien menyendiri di sudut ruangan dalam posisi berdoa dan berguman
sangat halus berulang-ulang.
Pasien dengan excited katatonik, melakukan gerakan yang tanpa
tujuan, stereotipik dengan impulsivitas yang ekstrim. Pasien berteriak,
meraung, membenturkan sisi badannya berulang ulang, melompat,
mondar mandir maju mundur.Pasien dapat menyerang orang disekitarnya
secara tiba-tiba tanpa alasan lalu kembali ke sudut ruangan, pasien
biasanya meneriakka kata atau frase yang aneh berulang-ulang dengan
suara yang keras, meraung, atau berceramah seperti pemuka agama atau
pejabat.Pasien hampir tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan
sekitar, biasanya asik sendiri dengan kegiatannya di sudut ruangan, atau
di kolong tempat tidurnya.
Walaupun pasien skizofrenia katatonik hanya memunculkan salah
satu dari kedua diatas, pada kebanyakan kasus gejala tersebut bisa
bergantian pada pasien yang dalam waktu dan frekuensi yang tidak dapat
diprediksi.Seorang pasien dengan stupor katatonik dapat secara tiba-tiba
berteriak, meloncat dari tempat tidurnya, lalu membantingkan badannya
ke dinding, dan akhirnya dalam waktu kurang dari satu jam kemudian
kembali lagi ke posisi stupornya.
Selama stupor atau excited katatonik, pasien skizofrenik
memerlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai
dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan
karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang
disebabkan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat
didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :
o Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan
dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak
berbicara):
o Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
o Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil
dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau
aneh);
o Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau
pergerakkan kearah yang berlawanan);
o Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan dirinya);
o Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota
gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
o Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan
secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata
serta kalimat-kalimat.
o Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku
dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus
ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya
gejala-gejala lain.
o Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat
dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol
dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
4. Depresi Pasca Skizofrenia (F20.4)
Pedoman diagnostik depresi pasca skizofrenia menurut PPDGJ III :
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
 Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis
umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
 Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
 Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu.
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas
dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai.
5. Skizofrenia Residual (F20.5)
Pasien dalam keadaan remisi dari keadaan akut tetapi masih
memperlihatkan gejala-gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek
datar atau tak serasi, perilaku eksentrik, asosiasi melonggar, atau pikiran
tak logis). Jika waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak
menonjol dan tidak disertai afek yang kuat. Jenis ini adalah keadaan
kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu episode psikotik
yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah gejala negatif yang lebih
menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan
aktivitas, penumpula afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan
pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya
perawatan diri dan fungsi sosial.
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, menurut PPDGJ III
persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
 Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul,
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
 Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
 Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom
“negative” dari skizofrenia;
 Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negative tersebut.
6. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F20.3)
Seringkali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien
tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostik menurut PPDGJ III
yaitu:
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi
pasca skizofrenia.
7. Skizofrenia Simpleks (F20.6)
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa
pubertas. Gejala utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi
dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar
ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini
timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita
mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari
pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran
dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang
menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat
didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :
 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan
dan progresif dari :
o Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari
episode psikotik, dandisertai dengan perubahan-perubahan
perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai
kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa
tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
o Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan
subtipe skizofrenia lainnya.
8. Skizofrenia lainnya (F20.8)
 Bouffe Delirante (acute delusional psychosis)
Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3
bulan, kriteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR. 40% dari
pasien yang didiagnosa dengan bouffe delirante akan progresif dan
akhirnya diklasifikasikan sebagai pasien skizofren
 Oneiroid
Pasien dengan keadaan terperangkap dalam dunia mimpi, biasanya
mengalami disorientasi waktu dan tempat.Istilah oneiroid digunakan
pada pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan
mengesampingkan keterlibatan dunia nyata.
 Early onset schizophrenia
Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia anak-anak. Perlu
dibedakan dengan retardasi mental dan autisme
 Late onset schizophrenia
Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun). Lebih sering
terjadi pada wanita dan pasien-pasien dengan gejala paranoid.
9. Skizofrenia YTT (F20.9)

G. Tata Laksana
1. Fase Akut
- Farmakoterapi
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya
atau orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi
beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi,
agresi dan gaduh gelisah.
 Langkah Pertama: Berbicara kepada pasien dan memberinya
ketenangan.
 Langkah Kedua: Keputusan untuk memulai pemberian obat.
Pengikatan atau isolasi hanya dilakukan bila pasien berbahaya
terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta usaha restriksi
lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh
untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk
memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan
obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat
serta hilangnya gejala dengan segera perlu dipertimbangkan.
 Obat injeksi:
a) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat
diulang setiap 2 jam, dosis maksimum 30mg/hari.
b) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25
mg/hari), intramuskulus.
c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat
diulang setiap setengah jam, dosis maksimum 20mg/hari.
d) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis
maksimum 30mg/hari
 Obat oral:
Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman
pasien sebelumnya dengan antipsikotika misalnya, respons
gejala terhadap antipsikotika, profil efek samping,
kenyamanan terhadap obat tertentu terkait cara pemberiannya.
Pada fase akut, obat segera diberikan segera setelah diagnosis
ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan
perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1 – 3 minggu,
sampai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala
 Berikut daftar obat anti psikotik, dosis, dan sediaanya :
Tabel 2.1 Daftar Obat Anti Psikotik

- Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan,
stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan
ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui
komunikasi yang baik. memberikan dukungan atau harapan,
menyediakan lingkunganyang nyaman, toleran perlu dilakukan.
- Terapi lainnya
ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada Skizofrenia katatonik
dan Skizofrenia refrakter.

2. Fase Stabilisasi
- Farmakoterapi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau
untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi
kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan
(recovery). Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut
dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke
tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotika
jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu.
- Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang
dengan skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak
pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala,
merawat diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan.
Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.

3. Fase Rumatan
- Farmakoterapi
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis
minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi
akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah
berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan
sampai lima tahun bahkan seumur hidup.
- Psikoedukasi
Tujuan intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada
kehidupan masyarakat.Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya
remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi
vokasional, cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan
keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal,
sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya.
4. Penatalaksanaan Efek Samping
Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal
(distonia akut atau parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan
dosis antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi, berikan obat-obat
antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau
difenhidramin injeksi IM atau IV. Untuk efek samping tardif diskinesia,
turunkan dosis antipsikotika.Bila gejala psikotik tidak bisa diatasi dengan
penurunan dosis antipsikotika atau bahkan memburuk, hentikan obat dan
ganti dengan golongan antispikotika generasi kedua terutama
klozapin.Kondisi Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM) memerlukan
penatalaksanaan segera atau gawat darurat medik karena SNM merupakan
kondisi akut yang mengancam kehidupan.Dalam kondisi ini semua
penggunaan antipsikotika harus dihentikan.Lakukan terapi simtomatik,
perhatikan keseimbangan cairan dan observasi tanda-tanda vital (tensi,
nadi, temperatur, pernafasan dan kesadaran). Obat yang perlu diberikan
dalam kondisi kritis adalah : dantrolen 0.8 – 2.5 mg/kgBB/hari atau
bromokriptin 20-30 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Jika terjadi penurunan
kesadaran, segera dirujuk untuk perawatan intensif (ICU) (Kemenkes RI,
2015).
H. Prognosis
Dengan pengobatan di era modern seperti sekarang, apabila pasien
skizofrenia dating berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertaa, maka
kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh total. Sepertiga yang lain dapat
dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan
mereka masih harus sering periksa dan diobati selanjutnya. Yang sisanya
biasanya mempunyai prognosis yang buruk, mereka tidak dapat berfungsi
didalam masyarakat dan menuju ke kemunduran mental, sehingga mungkin
menjadi penghuni tetap di rumah sakit jiwa (Maramis & Maramis, 2012).
Dengan intervensi dini yang komprehensif angka kesembuhan skizofrenia
dapat ditingkatkan. Menurut Maramis & Maramis (2012), untuk menetapkan
prognosis, kita harus mempertimbangkan semua faktor dibawah ini:
1. Kepribadian prepsikotik
Bila pasien memiliki kepribadian schizoid dan hubungan antar
manusia kurang memuaskan, maka prognosisnya lebih buruk.
2. Onset
Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosis lebih daripada
bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
3. Subtipe skizofrenia
Jenis katatonik memiliki prognosis paling baik disbanding subtype
lainnya.
4. Usia
Makin muda usia permulaannya, makin buruk prognosisnya.
5. Pengobatan
Makin dini mendapatkan pengobatan, maka prognosisnya semakin
baik.
6. Faktor pencetus
Apabila pasien memiliki faktor pencetus, seperti penyakit fisik atau
stress psikologis, maka prognosisnya lebih baik.
7. Faktor keturunan
Prognosis menjadi lebih berat bila didalam keluarga terdapat
seorang atau lebih yang menderita skizofrenia.
III. KESIMPULAN

1. Skizofrenia memiliki berbagai ekspresi fenotip.


2. Skizofrenia merupakan penyakit psikotik yang paling sering dan
menimbulkan hendaya bagi penderitanya.
3. Etiologi skizofrenia meliputi pengaruh faktor neurobiologi, biokimia,
genetika, keluarga, model diatesis stress, dan psikososial.
4. Diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan berdasarkan PPDGJ III, DSM IV,
atau DSM V.
5. Subtype skizofrenia meliputi skizofrenia paranoid, skizofrenia herbefrenik,
skizofrenia katatonik, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual,
skizofrenia tak terinci, skizofrenia simpleks, skizofrenia lainnya dan
skizofrenia YTT.
6. Tatalaksana meliputi fase akut, fase stabilisasi, fase remisi, dan
penatalaksanaan efek samping obat.
7. Prognosis skizofrenia dipengaruhi oleh faktor kepribadian pre psikotik,
onset, subtype, usia, pengobaatan, faktor pencetus, dan faktor keturunan.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2013. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis


Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis
RI. Jakarta.
Elvira, S.D., Hadisukanto, G. 2013. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Eric, Q., et al. 2006. Annual Prevalence of Diagnosed Schizophrenia in USA.
Cambridge University Press. 50 : 1535- 1540.
GBD. 2016. Disease and Injury Incidence and Prevalence Collaborator. Global,
regional, and national incidence, prevalence, and years lived with disability
for 328 diseases and injuries for 195 countries, 1990–2016: a systematic
analysis for the Global Burden of Disease Study 2016. Lancet. 2017 (390) :
211-1253
Hawari, D. 2012. Skizofrenia Edisi 3- Pendekatan Holistik (BPSS) Bio-Psiko-
Sosial- Spiritual. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa.
Maramis, W. F., Albert A. M. 2012. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.
Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga.
Sadock, B. J. Buku Ajar Psikiatri Klinis edisi 2. Jakarta: EGC; 2010. Hal: 154-
155.
WHO. 2001. The World Health Report: Mental Health: New Understanding New
Hope. Geneva: WHO Library Cataloguing in Publication Data
Yuliana, B. 2013. Manajemen Psikotik dan Kegawatdaruratan Psikiatri di
Layanan Primer Edisi 5. Yogyakarta : Jendela Husada.

Anda mungkin juga menyukai