Anda di halaman 1dari 28

SKIZOFRENIA

PSIKIATRI KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN JIWA


RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO
PROVINSI JAWA TENGAH

Pembimbing Klinis : dr. Rihadini,Sp.KJ


dr. Sri Woroasih, Sp.KJ
dr. Hesti Anggriani, Sp.KJ, MM
dr. Linda Kartika Sari, Sp.KJ
dr. Siti Badriyah, Sp.KJ,M.Kes
dr. Muflihatunnaimah, M.Kes, Sp.KJ
dr. Witrie Sutaty MR, Sp.KJ

Institusi Pendidikan : Universitas Abdurrab

Nama : Zafitri Asrul


NIM : 2011901055
Periode Kepaniteraan Klinik : 08 November 2021 – 04 Desember 2021
BAB I PENDAHULUAN

Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di seluruh dunia
adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa semakin modern dan
indsutrial suatu masyarakat, semakin besar pula stressor psikososialnya, yang pada gilirannya
menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampu mengatasinya. Salah satu penyakit itu
adalah gangguan jiwa skizofrenia.
Gangguan jiwa merupakan gangguan pada pikiran, perasaan, atau perilaku yang
mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Skizofrenia adalah
sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai
perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang
kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata
atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas
intelektual biasanya tidak terganggu.
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk
di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul
pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun
dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila
dibandingkan dengan perempuan. Onset setelah umur 40 tahun jarang terjadi.1
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti “terpisah” atau “pecah”,
dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara
afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga
golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental dengan karakter
abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas. Abnormalitas persepsi dapat
berupa gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering terjadi pada dewasa muda,
ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak
dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi
penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh
genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental
dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau
tumpul (blunted), kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang
kemudian.
Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun
hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya. Menurut Eugen Bleuler,
skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni
atara proses pikir, perasaan, dan perbuatan.
2.2. Epidemiologi
John McGrath PhD dari Pusat Penelitian Kesehatan Mental Queensland, Wacol,
Australia, dalam simposium bertema Psychosis Round the World, yang membahas data terbaru
epidemiologi skizofrenia, memberikan presentasi sistematik untuk memandang kejadian
skizofrenia. Ia mengatakan, kejadian skizofrenia pada pria lebih besar daripada wanita.
Kejadian tahunan berjumlah 15,2% per 100.000 penduduk, kejadian pada imigran dibanding
penduduk asli sekitar 4,7%, kejadian pada pria 1,4% lebih besar dibandingkan wanita. Di
indonesia, menurut dr.Irmasyah, hampir 70% mereka yang dirawat di bagian psikiatri karena
skizofrenia. Angka di masyarakat berkisar 1-2% dari seluruh penduduk pernah mengalami
skizofrenia dalam hidup mereka.2
2.3. Etiologi
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak dulu.
Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan patogenesisnya masih minim
diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya skizofrenia, antara lain :
1. Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita
skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah
0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita
skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 2-15%; bagi kembar satu ttelur (monozigot) 61-86%.
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia
(bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga
lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi
manifestasi skizofrenia atau tidak.
2. Endokrin
Dahulu dikira bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh gangguan endokrin. Teori ini
dikemukakan karena skizofrenia sering timbul pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau
puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan.
3. Metabolisme
Ada orang yang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan oleh gangguan metabolisme,
karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat. Ujung extremitas agak
sianotik, nafsu makan berkurang dan berat menurun. Hipotesis ini tidak dibenarkan oleh banyak
sarjana. Belakangan ini teori metabolisme mendapat perhatian lagi karena penelitian dengan
memakai obat halusinogenik, seperti meskalin dan asam lisergik diethilamide (LSD-25). Obat-
obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala skizofrenia, tetapi
reversibel. Mungkin skizofrenia disebabkan oleh suatu inborn error of metabolism, tetapi
hubungan terakhir belum ditemukan.
Teori-teori tersebut di atas ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok teori
somatogenik, yaitu teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam kelainan badaniah.
Kelompok teori lain adalah teori psikogenik, yaitu skizofrenia diaggap sebagai suatu
gangguan fungsional dan penyebab utama adalah konflik, stress psikologis dan hubungan
antarmanusia yang mengecewakan.
Kemudian muncil teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu sindrom yang
dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyebab, antara lain keturunan, pendidikan yang
salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badani seperti lues otakm atherosclerosis otak dan
penyakit lain yang belum diketahui.
Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu suatu gangguan psikosomatis, gejala-
gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan dasar yang psikogenik, atau merupakan
manifestasi somatic dari gangguan psikogenik. Tetapi pada skizofrenia justru kesukarannya
adalah untuk menentukan mana yang primer dan mana yang sekunder, mana yang merupakan
penyebab dan mana yang hanya akibat saja.
4. Neurokimia
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh overaktivitas pada
jaras dopamine mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan bahwa amfetamin, yang kerjanya
meningkatkan pelepasan dopamine, dapat menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan
obat antipsikotik (terutama antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal/klasik)
bekerja dengan memblok reseptor dopamine, terutama reseptor D2.2,3
2.4. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Adanya halusinasi atau waham tidak mutlak untuk diagnosis skizofrenia; gangguan pada pasien
didiagnosis sebagai skizofrenia apabila pasien menunjukkan dua gejala yang terdaftar sebagai
gejala 3 sampai 5 pada kriteria A (1.waham 2. Halusinasi 3. Bicara kacau 4. Perilaku yang
sangat kacau/katatonik 5. Gejala negatif, yaitu: afek medatar, alogia, atau anhedonia). Hanya
dibutuhkan satu gejala kriteria A bila wahamnya bizare atau halusinasinya terdiri atas suara
yang terus-menerus memberi komentar terhadap perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau
lebih suara yang saling bercakap-cakap. Kriteria B membutuhkan adanya hendaya fungsi, meski
tidak memburuk, yang tampak selama fase aktif penyakit. Gejala harus berlangsung selama
paling tidak 6 bulan dan diagnosis gangguan skizoafektif atau gangguan mood harus
disingkirkan. Setidaknya salah satu hal ini harus ada:
1. Gema pikiran (thought echo)
2. Waham kendali, pengaruh, atau pasivitas
3. Suara-suara halusinasi yang terus-menerus mengomentari perilaku pasien atau saling
mendiskusikan pasien, atau suara halusinasi lain yang berasal dari bagian tubuh tertentu; dan
4. Waham persisten jenis lain yang secara budaya tidak sesuai dan sangat tidak masuk akal.
Diagnosis juga dapat ditegakkan bila setidaknya dua hal berikut ada:
1. Halusinasi persisten dalam modalitas apapun, bila terjadi setiap hari selama sekurangnya 1
bulan, atau bila disertai waham
2. Neologisme, kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan menggabungkan
suku kata atau dari kata-kata lain.
3. Perilaku katatonik, seperti eksitasi, postur atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme,
dan stupor
4. Gejala negatif, seperti apatis yang nyata, miskin isi pembicaraan, dan respons emosional
tumpul serta ganjil (harus ditegaskan bahwa hal ini bukan disebabkan depresi atau
pengobatan antipsikotik).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Status fisik
Sifat keluhan pasien penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya suatu
pemeriksaan fisik lengkap. Gejala fisik seperti nyeri kepala dan palpitasi memerlukan
pemeriksaan medis yang menyeluruh untuk menentukan bagian dari proses somatik. Bila ada,
yang berperan menyebabkan penderitaan tersebut. Hal yang sama dapat digunakan pada gejala
mental misalnya depresi, ansietas, halusinasi, dan waham kejar, yang bisa jadi merupakan
ekspresi dan proses somatik. Terkadang keadaan menyebabkan kita perlu menunda
pemeriksaan medis lengkap. Misalnya, pasien dengan waham atau panik dapat menunjukkan
perlawanan sikap bertahan atau keduanya. Pada keadaan ini, riwayat medis harus diperoleh dari
anggota keluarga bila memungkinkan. Namun, kecauali ada alasan mendesak untuk
melanjutkan pemeriksaan fisik, hal itu sebaiknya ditunda sampai pasien menurut.
3. Pemeriksaan Neurologis
Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat kesadaran dan atensi pasien
terhadap detil pemeriksaan, pemahaman, ekspresi wajah, cara bicara, postur, dan cara berjalan
perlu diperhatikan. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan pertama dicapai
melalui pemeriksaan neurologis rutin, yaitu terutama dirancang untuk mengungkap asimetri
fungsi motorik, persepsi, dan refleks pada kedua sisi tubuh yang disebabkan oleh penyakit
hemisferik fokal. Tujuan kedua tercapai dengan mencari untuk memperoleh tanda yang selama
ini dikaitkan dengan disfungsi otak difus atau penyakit lobus frontal. Tanda ini meliputi refleks
mengisap, mencucur, palmomental, dan refleks genggam serta menetapnya respons terhadap
ketukan di dahi. Sayangnya, kecuali refleks genggam, tanda seperti itu tidak berkaitan erat
dengan patologi otak yang mendasari.2
4. Status mental
a. Deskripsi umum
1. Penampilan
Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien skizofrenia dapat
berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-jerit, dan teragitasihingga
orang yang terobsesi tampil rapi, sangat pendiam, dan imobil.
2. Perilaku dan aktivitas psikomotor yang nyata
Kategori ini merujuk pada aspek kuantitatif dan kualitatif dari perilaku motorik
pasien. Termasuk diantaranya adalah manerisme, tik, gerakan tubuh, kedutan,
perilaku streotipik, ekopraksia, hiperaktivitas, agitasi, sikap melawan, fleksibilitas,
rigiditas, gaya berjalan, dan kegesitan.
3. Sikap terhadap pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat dideskripsikan sebagai kooperatif,
bersahabat, penuh perhatian, tertarik, balk-blakan, seduktif, defensif, merendahkan,
kebingungan, apatis, bermusuhan, suka melucu, menyenangkan, suka mengelak,
atau berhati-hati.
b. Mood dan afek
Mood didefinisikan sebagai emosi menetap dan telah meresap yang mewarnai persepsi
orang tersebut terhadap dunia.
Afek didefinisikan sebagai responsivitas emosi pasien saat ini, yang tersirat dari
ekspresi wajah pasien, termasuk jumlah dan kisaran perilaku ekspresif.
c. Kakteristik gaya bicara
Pasien dapat digambarkan sebagai banyak bicara, cerewet, fasihm pendiam, tidak
spontan, atau terespons normal terhadap petunjuk dari pewawancara. Gaya bicara dapat cepat
atau lambat, tertekan, tertahan, emosional, dramatis, monoton, keras, berbisik, cadel, terputus-
putus, atau bergumam. Gangguan bicara, contohnya gagap, dimasukkan dalam bagian ini.
d. Persepsi
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau lingkungannya,
dapat dialami oleh seseorang. Sistem sensorik yang terlibat (contohnya: auditorik, visual,
olfaktorik, atau taktil) dan isi ilusi atau halusinasi tersebut harus dijelaskan.
e. Halusinasi senestik
Halusinasi senestik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya keadaan organ tubuh
yang terganggu. Contoh halusinasi senestik mencakup sensasi terbakar pada otak, sensasi
terdorong pada pembuluh darah, serta sensasi tertusuk pada sumsum tulang.
f. Ilusi
Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distorsi citra yang nyata,
sementara halusinasi tidak didasarkan pada citra atau sensasi yang nyata. Ilusi dapat terjadi
pada pasien skizofrenik selama fase aktif, namun dapat pula terjadi dalam fase prodromal dan
selama periode remisi.
g. Isi pikir dan kecenderungan mental
1. Proses pikir (bentuk pemikiran)
Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin ide. Dapat terjadi
proses pikir yang cepat, yang bila berlangsung sangat ekstrim, disebut flight of ideas. Seorang
pasien juga dapat menunjukkan cara berpikir yang lambat atau tertahan. Gangguan kontinuitas
pikir meliputi pernyataan yang bersifat tangensial, sirkumstansial, meracau, suka mengelak,
atau perseveratif.
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu ide selesai
diungkapkan. Sirkumstansial mengisyaratkan hilangnya kemampuan berpikir yang mengarah ke
tujuan dalam mengemukakan suatu ide, pasien menyertakan banyak detail yang tidak relevan
dan komentar tambahan namun pada akhirnya mampu ke ide semula. Tangensialitas merupakan
suatu gangguan berupa hilangnya benang merah pembicaraan pada seorang pasien dan
kemudian ia mengikuti pikiran tangensial yang dirangsang oleh berbagai stimulus eksternal atau
internal yang tidak relevan dan tidak pernah kembali ke ide semula. Gangguan proses pikir
dapat tercermin dari word salad (hubungan antarpemikiran yang tidak dapat dipahami atau
inkoheren), clang association (asosiasi berdasarkan rima), punning (asosiasi berdasarkan
makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh pasien melalui kombinasi
atau pemadatan kata-kata lain).
2. Isi pikir
Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi, fobia, rencana, niat,
ide berulang mengenai bunuh diri atau pembunuhan, gejala hipokondriakal, dan kecenderungan
antisosial tertentu.
h. Sensorium dan kognisi
Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi pasien,
kemampuan berpikir abstrak, serta derajat tilikan dan daya nilai.
1. Kesadaran
Gangguan kesadaran biasanya mengindikasikan adanya kerusakan organik pada otak.
2. Orientasi dan memori
Ganggaun orientasi biasanya dibagi berdasarkan waktu, tempat, dan orang.
3. Konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien terganggu karena berbagai allasan. Gangguan kognitif, ansietas,
depresi, dan stimulus internal, seperti halusinasi auditorik, semuanya dapat berperan
menyebabkan gangguan konsentrasi.
4. Membaca dan menulis
5. Kemampuan visuospasial
Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya bagian depan jam dinding atau
segilima bertumpuk.
6. Pikiran abstrak
Kemampuan untuk menangani konsep-konsep. Pasien mungkin memiliki gangguan
dalam membuat konsep atau menangani ide.
7. Informasi dan inteligensi
i. Impulsivitas, Kekerasan, Bunuh diri, dan Pembunuhan
Pasien mungkin tidak dapat mengendalikan impuls akibat suatu gangguan kognitif atau
psikotik atau merupakan hasil suatu defek karakter yang kronik, seperti yang dijumpai pada
gangguan kepribadian.
Perilaku kekerasan lazim dijumpai di antara pasien skizofrenik yang tidak diobati.
Waham yang bersifat kejar, episode kekerasan sebelumnya, dan defisit neurologis merupakan
faktor resiko perilaku kekerasan atau impulsif. Kurang lebih 50 persen pasien skizofrenik
mencoba bunuh diri, dan 10 sampai 15 persen pasien skizofrenia meninggal akibat bunuh diri.
Mungkin faktor yang paling tidak diperhitungkan yang terlibat dalam kasus bunuh diri pasien
ini adalah depresi yang salah diagnosis sebagai afek mendatar atau efek samping obat. Faktor
pemicu lain untuk bunuh diri mencakup perasaan kehampaan absolut, kebutuhan melarikan diri
dari penyiksaan mental, atau halusinasi auditorik yang memerintahkan pasien mebunuh diri
sendiri.
Saat seorang pasien skizofrenik benar-benar melakukan pembunuhan, hal itu mungkin
dilakukan dengan alasan yang aneh atau tak disangka-sangka yang didasarkan pada halusinasi
atau waham.
j. Daya nilai dan tilikan
Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian sosial. Dapatkah
pasien meramalkan apa yang akan dilakukannya dalam situasi imajiner. Contohnya: apa yang
akan pasien lakukan ketika ia mencium asap dalam suasana gedung bioskop yang penuh sesak?
Tilikan : tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya. Pasien dapat
menunjukkan penyangkalan total akan penyakitnya atau mungkin menunjukkan sedikit
kesadaran kalau dirinya sakit namun menyalahkan orang lain, faktor eksternal, atau bahkan
faktor organik. Mereka mungking menyadari dirinya sakit, namun menganggap hal tersebut
sebagai sesuatu yang asing atau misterius dalam dirinya.
k. Realiabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan kemampuan untuk
melaporkan keadaanya secara akurat. Contohnya, bila pasien terbuka mengenai penyalahgunaan
obat tertentu secara aktif mengenai keadaan yang menurut pasien dapat berpengaruh buruk
(mislnya, bermasalah dengan hukum), psikiater dapat memperkirakan bahwa realiabilitas pasien
adalah baik.2,3
5. Pemeriksaan tambahan
Tes psikologis: tes inteligensi, tes kepribadian, tes ketangkasan atau bakat, dan tes
neuropsikologis.
1. Tes inteligensi
Dapat ditentukan HI (hasil bagi inteligensi) atau IQ (Intelligence Quotient) sebagai
suatu cara numerik untuk menyatakan taraf inteligensi. Rumusnya sebagai berikut :
Umur mental
HI= x 100
Umur kalender
Umur mental didapat dari tes inteligensi. Umur kalender diambil paling tinggi 15 (biarpun
sebenarnya lebih), karena tes inteligensi yang ada sekarang sukar untuk mengukur
perbedaan inteligensi di atas umur 15 tahun.
2. Tes kepribadian
Tes kepribadian lebih sukar dibuat, dipakai dan dinilai sehingga reliabilitas dan
validitas kurang dari tes inteligensi. Hal ini disebabkan antara lain karena begitu
banyaknya sifat kepribadian manusia dan sukarnya mencari parameter atau indikatro
yang tepat dan dapat diukur untuk suatu sifat kepribadian tertentu. Kepribadian adalah
keseluruhan perilaku manusia atau perannya dalam hubungan antar manusia,
pribadinya dapat dibedakan dari pribadi lain. Peran ini bukan saja perilaku yang nyata,
tetapi juga sikap internal, kecenderungan bertindak dan hambatan. Kepribadian dapat
dievaluasi dengan cara observasi, wawancara, atau melalui daftar pertanyaan, tes
melengkapi kalimat atau tes proyeksi.
3. Tes neuropsikologis
Tes neuropsikologis merupakan tes yang mempelajari hubungan antara otak dan
perilaku dengan menggunakan prosedur tes yang terstandarisasi dan objektif. Tes ini
menguji kemampuan kognitif. Tujuan tes neuropsikologis adalah identifikasi,
kuantifikasi, dan deskripsi perubahan kognitif dan perilaku yang disebabkan oleh
disfungsi otak. Dalam hal ini, ranah (domain) yang dievaluasi adalah kemampuan
berbahasa, memori, penalaran dan pertimbangan intelektual, fungsi visual-motor,
fungsi sensori-perseptual, dan fungsi motorik.2,3
3. Pemeriksaan Penunjang
Meskipun pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan penunjang, tetapi peranannya
penting dalam menjelaskan dan menkuantifikasi disfungsi neurofisiologis, memilih pengobatan,
dan memonitor respon klinis. Hasil pemeriksaan laboratorik harus dapat diintegrasikan dengan
data riwayat penyakit, wawancara dan pemeriksaan psikiatrik untuk memperoleh gambaran
komprehensif tentang diagnosis dan pengobatan yang diperlukan oleh pasien.
Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai tes apa saja yang digunakan sebagai
penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk dipertimbangkan:
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Elektrolit serum
3. Glukosa darah
4. Tes fungsi hepar
5. Tes fungsi ginjal
6. Kalsium serum
7. Uji fungsi tiroid
8. Pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA)
9. Tes urin untuk obat terlarang.2,3
4. Gambaran klinis
Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan mereka berada
dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama (bertahun-tahun) dalam fase
residual yaitu fase yang memperlihatkan gambaran penyakit yang “ringan”. Selama periode
residual, pasien lebih menarik diri atau mengisolasi diri, dan “aneh”. Gejala-gejala penyakit
biasanya terlihat lebih jelas oleh orang lain. Pasien dapat kehilangan pekerjaan dan teman
karena ia tidak berminat dan tidak mampu berbuat sesuatu atau karena sikapnya yang aneh.
Pemikiran dan pembicaraan mereka samar-samar sehingga kadang-kadang tidak dapat
dimengerti. Mereka mungkin mempunyai keyakinan yang salah yang tidak dapat dikoreksi.
Penampilan dan kebiasaan-kebiasaan mereka mengalami kemunduran serta afek mereka terlihat
tumpul. Meskipun mereka dapat mempertahankan inteligensia yang mendekati normal,
sebagian besar performa uji kognitifnya buruk. Pasien dapat menderita anhedonia, yaitu
ketidakmampuan merasakan rasa senang. Pasien juga mengalami deteorisasi yaitu perburukan
yang terjadi secara berangsur-angsur.
a. Gejala Positif dan Negatif
Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek mendatar
atu menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang merawat diri, kurang
motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.
b. Gangguan Pikiran
1. Gangguan proses pikir
Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering tidak dapat
dimengerti oleh orang lain dann terlihat tidak logis. Tanda-tandanya adalah:
a. Asosiasi longgar: ide pasien sering tidak menyambung. Ide tersebut seolah dapat
melompat dari satu topik ke topik lain yang tak berhubungan sehingga
membingungkan pendengar. Gangguan ini sering terjadi misalnya di pertengahan
kalimat sehingga pembicaraan sering tidak koheren.
b. Pemasukan berlebihan: arus pikiran pasien secara terus-menerus mengalami
gangguan karena pikirannya sering dimasuki informasi yang tidak relevan.
c. Neologisme: pasien menciptakan kata-kata baru (yang bagi mereka meungkin
mengandung arti simbolik)
d. Terhambat: pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan kalimat) dan
disambung kembali beberapa saat kemudian, biasanya dengan topik lain. Ini dapat
menunjukkan bahwa ada interupsi.
e. Klang asosiasi: pasien memilih kata-kata berikut mereka berdasarkan bunyi kata-
kata yang baru saja diucapkan dan bukan isi pikirannya.
f. Ekolalia: pasien mengulang kata-kata atau kalimat-kalimat yang baru saja diucapkan
oleh seseorang.
g. Konkritisasi: pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat buruk
kemampuan berpikir abstraknya.
h. Alogia: pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disengaja (miskin pembicaraan)
atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi sangat sedikit ide yang
disamapaikan (miskin isi pembicaraan).
2. Gangguan isi pikir
Waham: suatu kepercayaan palsu yang menetap yang taksesuai dengan fakta dan
kepercayaan tersebut mungkin “aneh” atau bisa pula “tidak aneh” tetapi sangat tidak mungkin dan
tetap dipertahankam meskipun telah diperlihaykan bukti-bukti yang jelas untuk mengkoreksinya.
Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik
sering ditemukan pada skizofrenia. Semakin akut skizofrenia semakin sering ditemui waham
disorganisasi atau waham tidak sistematis:
a. Waham kejar
b. Waham kebesaran
c. Waham rujukan
d. Waham penyiaran pikiran
e. Waham penyisipan pikiran
Tilikan
Kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu pasien tidak
menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhaap pengobatan, meskipun gangguan yang ada
pada dirinya dapat dilihat oleh orang lain.
3. Gangguan Persepsi
a. Halusinasi
Halusinasi paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa juga
berbentuk penglihatan, penciuman, dan perabaan. Halusinasi pendengaran dapat pula
berupa komentar tentang pasien atau peristiwa-peristiwa sekitar pasien. Komentar-
komentar tersebut dapat berbentuk ancaman atau perintah-perintah langsung ditujukan
kepada pasien (halusinasi komando). Suara-suara sering diterima pasien sebagai sesuatu
yang berasal dari luar kepala pasien dan kadang-kadang pasien dapat mendengar
pikiran- pikiran mereka sendiri berbicara keras. Suara-suara cukup nyata menurut pasien
kecuali pada fase awal skizofrenia.
b. Ilusi dan depersonalisasi
Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu adanya
misinterpretasi panca indera terhadap objek. Depersonalisasi yaitu adanya perasaan
asing terhadap diri sendiri. Derealisasi yaitu adanya perasaan asing terhadap lingkungan
sekitarnya misalnya dunia terlihat tidak nyata.
4. Gangguan Perilaku
Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah gejala katatonik
yang dapat berupa stupor atauh gaduh gelisah. Paien dengan stupor tidak bergerak,
tidak berbicara, dan tidak berespons, meskipun ia sepenuhnya sadar. Sedangkan pasien
dengan katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas motorik yang tidak terkendali.
Kedua keadaan ini kadang-kadang terjadi bergantian. Pada stupor katatonik juga bisa
didapati fleksibilitas serea dan katalepsi. Gejala katalepsi adalah bila suatu posisi
badan dipertahankan untuk waktu yang lama. Sedangkan fleksibilitas serea adalah bila
anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti pada lilin atau malam dan
posisi itu dipertahankan agak lama.
Gangguan perilaku lain adalah stereotipi dan manerisme. Berulang-ulang
melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap badan tertentu disebut stereotipi.
Misalnya, menarik- narik rambutnya, atau tiap kali bila mau menyuap nasi mengetuk
piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa
tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigrasi, kata atau kalimat diulang-ulangi,
hal ini sering juga terdapat pada gangguan otak orgnaik. Manerisme adalah stereotipi
tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau
keanehan berjalan dan gaya berjalan.
5. Gangguan Afek
Kedangkalan respons emosi, misalnya penderita menjadi acuh tak acuh terhadap
hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri sepertti keadaan keluarganya dan masa
depannya. Perasaan halus sudah hilang. Parathimi, apa yang seharusnya menimbulkan
rasa senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah. Paramimi,
penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis. Parathimi dan paramimi
bersama-sama dinamakan incongruity of affect dalam bahasa inggris dan inadequat
dalam bahasa belanda.
Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan,
misalnya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi mulutnya
seperti tertawa.semua ini merupakan gangguan afek dan emosi yang khas untuk
skizofrenia. Gangguan afek dan emosi lain adalah:
Emosi berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti pada penderita
sedang bersandiwara.
Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk
mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport). Karena itu sering kita tidak
dapat merasakan perasaan penderita. Karena terpecah-belahnya kepribadian, maka dual
hal yang berlawanan mungkin timbul bersama-sama, misalnya mencintai dan membenci
satu orang yang sama; menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan
ambivalensi afektif.1-3
Jenis – Jenis Skizofrenia

a. Tipe paranoid
Skizofrenia tipe ini ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau
halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku spesifik yang sugestif untuk
tipe hebrefrenik atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid terutama ditandai
dengan adanya waham kejar atau kebesaran. Pasien skizofrenia paranoid biasanya
mengalami episode pertama penyakit pada usia yang lebih tua dibanding pasien
skizofrenia hebefrenik dan katatonik. Pasien yang skizofrenianya terjadi pada akhir usia
20-an atau 30-an biasanya telah memiliki kehidupan sosial yang mapan yang dapat
membantu mengatasi penyakitnya, dan sumber ego pasien paranoid cenderung lebih
besar dibanding pasien skizofrenia hebefrenik atau katatonik. Pasien skizofrenia paranoid
menunjukkna regresi kemampuan mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih
ringan dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid biasanya
tegang, mudah curiga, berjaga-jaga, berhati-hati, dan terkadang bersikap bermusuhan
atau agresif, namun mereka kadang-kadang dapat mengendalikan diri mereka secara
adekuat pada situasi sosial. Inteligensi mereka dalam area yang tidak dipengaruhi
psikosisnya cenderung tetap utuh.
b. Tipe disorganized
Skizofrenia tipe disorganized (sebelumnya disebut hebefrenik) ditandai dengan regresi
nyata ke perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak adanya gejala
yang memenuhi kriteria tipe katatonik. Onset subtipe ini biasanya dini, sebelum usia 25
tahun. Pasien hebefrenik biasanya aktif namun dalam sikap yang nonkonstruktif dan tak
bertujuan. Gangguan pikir menonjol dan kontal dengan realitas buruk. Penampilan
pribadi dan perilaku sosial berantakan, respons emosional mereka tidak sesuai dan tawa
mereka sering meledak tanpa alasan jelas. Seringai atau meringis yang tak pantas lazim
dijumpai pada pasien inim yang perilakunya paling baik dideskripsikan sebagai konyol
atau tolol.
c. Tipe katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari beberapa bentuk katatonia:
- Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap lingkungan atau
orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung di sekitarnya.
- Negativsme katatonik yaitu pasien melawan semua perintah-perintah atau usaha-
usaha untuk menggerakkan fisiknya.
- Rigiditas katatonik yaitu pasien secara fisik sangat kaku atau rigid.
- Postur katatonik yaitu pasein mempertahankan posisi yang tak biasa atau aneh.
- Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat
mengancam jiwanya (misalnya, karena kelelahan).
d. Tipe tak terinci
Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis aktif yang menonjol
(misalnya: kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia tetapi tidak dapat
digolongkan pada tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual, dan depresi pasca
skizofrenia.
e. Tipe residual
Pasien dalam keadaan remmsi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan gejala-
gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi, perilaku eksentrik,
asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).
f. Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks adalah sulatu diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinka karena
bergantung pada pemastian perkembangan yang berlangsung perlahan, progresif dari
gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa adanya riwayat halusinasi,
waham atau manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya, dan
disertai degan perubahan-perubahan yang bermakna pada perilaku perorangan, yang
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, kemalasan, dan penarikan diri
secara sosial.1,3
Patofisiologi

Neurobiologi
Terdapat peningkatan jumlah penelitian yang mengindikasikan adanya peran
patofisiologis area otak tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal, serebelum, dan
ganglia basalis. Keempat area ini saling terhubung sehingga disfungsi satu area dapat
melibatkan proses patologi primer di tempat lain. Pencitraan otak manusia hidup dan
pemeriksaan neuropatologi jaringan otak postmortem menyatakan sistem limbik sebagai
lokasi potensial proses patologi primer pada setidaknya beberapa, bahkan mungkin sebagian
besar, pasien skizofrenia.
Dua are yang menjadi subjek penelitian aktif adalh waktu ketika suatu lesi
neuropatologi terlihat di otak serta interaksi lesi tersebut dengan stresor sosial dan
lingkungan. Dasar penampakan abnormalitas otak mungkin terletak pada pembentukan
abnormal atau pada degenerasi neuron setelah pembentukan. Namun, fakta bahwa kembar
monozigotik memiliki angka kejadian bersama sebesar 50% menyiratkan adanya interaksi
yang masih sangat sedikit diketahui antara lingkungan dan timbulnya skizofrenia. Di
lainppihak, faktor yang mengatur ekspresi gen baru mulai dipahami. Meski kembar
monozigotik mempunyai informasi genetik yang sama, regulasi gen yang berbeda sepanjang
hidup mungkin menyebabkan salah satu kembar monozigotik mengalami skizofrenia,
sementara kembarannya tidak.
Neuroanatomik, Neurofungsional, dan Neurokognitif
CT-scan dan MRI secara konsisten menunjukkan peningkatan volume ventrikel
lateral dan ketiga pada pasien skizofrenia. Studi ini umumnya juga menunjukkan
pengurangan volume otak secara keseluruhan pasien skizofrenia dan pengurangan tertentu
dalam ukuran dari struktur lobus temporal medial, seperti amigdala dan hipokampus. Selain
itu, penelitian telah melaporkan penurunan ukuran dari thalamus dan kelainan pada garis
tengah daerah perkembangan. Tak satu pun dari perubahan ini spesifik untuk skizofrenia,
meskipun beberapa telah terbukti ada pada pasien dengan episode penyakit pertama dan tidak
menggunakan obat sebelumnya.
Teknik fungsional neuroimaging, seperti tomografi emisi positron (PET), menunjukkan
secara in vivo pengukuran metabolisme glukosa regional atau aliran darah otak, dimana keduanya
mencerminkan aktivitas neuron regional. Sebagian besar penelitian telah mendeteksi perubahan
aktivitas di korteks prefrontal, struktur ganglia basalis, daerah temporo-limbik, dan thalamus,
menunjukkan fungsi sirkuit cortico-striato-thalamo-kortikal yang terganggu. Penurunan aktivitas
dalam korteks prefrontal pada pasien skizofrenia sering diamati selama tugas aktivasi kognitif dan
memori kerja. Selama halusinasi pendengaran aktif, aktivasi abnormal thalamus, striatum, limbik, dan
daerah paralimbik telah terdeteksi. Pasien skizofrenia yang menampilkan kelainan pada bagian
prefrontal, thalamic, dan cerebellar, menunjukkan gangguan dalam sirkuit pontine-cerebellar-
thalamic-frontal.
Neurokimia
Penemuan menunjukkan bahwa disregulasi dopamin yang kompleks terjadi dengan
aktivitas hiperdopaminergik dalam proyeksi mesencephalic ke striatum limbik dan aktivitas
hipodopaminergik di neokorteks. Bukti dari kegiatan hiperdopaminergik termasuk hubungan
antara efektivitas dopamin reseptor yang mengikat obat dan pengurangan gejala positif serta
peningkatan reseptor D2 dalam studi postmortem dan PET.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa berbagai gejala positif berhubungan dengan
kelainan dalam penyimpanan dopamin presynaptic, pelepasan, transportasi, dan reuptake
dalam sistem mesolimbik. Hipo-aktivitas dari sistem dopamin ditunjukkan dari penemuan
penurunan onset dopamin pada pasien dengan gejala negatif, dan dalam beberapa penelitian
agonis dopamin telah terbukti memperbaiki gejala negatif. Pencitraan fungsional juga
menunjukkan bahwa hipo-frontalitas akan lebih parah pada pasien dengan gejala negatif.
Serotonergik, glutamatergic, dan sistem neurotransmitter lainnya (misalnya, gamma-
aminobutyric acid [GABA]) telah diselidiki pada skizofrenia, terutama mengacu pada
interaksi dengan sistem dopaminergik.. Dalam studi tentang sistem GABAergic, penurunan
dekarboksilase asam glutamat, enzim GABA-sintesis, telah diamati dalam korteks prefrontal
pada pasien skizofrenia, dan perubahan dalam subtipe neuron GABAergic telah dilaporkan.
Sistem opioid juga telah dianggap sebagai kandidat yang berpotensial yang terlibat
dalam skizofrenia, didasarkan terutama pada kesamaan antara efek farmakologis dari
terjadinya tanda opioid dan kejiwaan. Hipotesis telah diusulkan pada peningkatan maupun
penurunan level dari berbagai peptide opioid sebagai faktor yang mendasari sebagai
penyebab gejala skizofrenia. Namun, penelitian klinis berdasarkan hipotesis sering
menghasilkan hasil variable atau bermacam-macam.5
Differential Diagnose
Gangguan Psikotik Lain
Gejala psikotik pada skizofrenia dapat identik dengan gangguan skizofreniform,
gangguan psikotik singkat, gangguan skizoafektif, dan gangguan waham. Gangguan
skizofreniform berbeda dari skizofrenia berupa gejala yang berdurasi setidaknya 1 bulan tapi
kurang dari 6 bulan. Gangguan psikotik singkat merupakan diagnosis yang sesuai bila gejala
berlangsung setidaknya 1 hari tapi kurang dari 1 bulan dan bila pasien tidak kembali ke
keadaan fungsi pramorbidnya dalam waktu tersebut. Jika suatu sindrom manik atau depresif
terjadi bersamaan dengan gejala utama skizofrenia, gangguan skizoafektif adalah diagnosis
yang tepat. Waham nonbizar yang timbul selama sekurangnya 1 bulan tanpa gejala
skizofrenia lain atau gangguan mood patut didiagnosis sebagai gangguan waham.
Gangguan Kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian mungkin memiliki sebagian gambaran yang sama
dengan skizofrenia. Gangguan kepribadian skizotipal, skizoid, dan ambang adalah gangguan
kepribadian dengan gejala yang paling mirip. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif yang
parah dapat menyamarkan suatu proses skizofrenik yang mendasari. Tak seperti skizofrenia,
gangguan kepribadian memiliki gejala ringan dan riwayat terjadi seumur hidup pasien.
Gangguan ini juga tidak memiliki tanggal awitan yang dapat diidentifikasi.
Gangguan Waham
Konsep utama mengenai penyebab gangguan waham adalah perbedaanya dengan
skizofrenia dan gangguan mood. Gangguan waham lebih jarang daripada skizofrenia maupun
gangguan mood, onsetnya lebih lambat daripada skizofrenia dan dominasi perempuan kurang
nyata daripada gangguan mood. 3
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Waham.3
A. Waham tidak bizar ( melibatkan situasi yang terjadi dalam kehidupan nyata, seperti
merasa diikuti, diracuni, terinfeksi, dicintai dari jauh, atau dikhianati pasangan atau
kekasih, atau menderita suatu penyakit) sekurang-kurangnya 1 bulan.
B. Kriteria A skizofrenia tidak terpenuhi. Catatan: halusinasi taktil dan olfaktori dapat
terjadi gangguan waham jika sesuai dengan tema waham.
C. Berbeda dengan dampak waham atau hasil akhirnya, fungsi tidak terganggu secara nyata
dan perilaku tidak secara jelas, aneh, atau bizar.
D. Jika episode mood telah terjadi bersamaan dengan waham, durasi totalnya singkat
dibandingkan durasi periode waham.
E. Gangguan tidak disebabkan efek fisiologis suatu zat secara langsung (c/o:
penyalahgunaan, suatu obat) atau kondisi medis umum.

Jenis-jenis waham.3
Waham erotomania Pada tipe waham ini, orang lain, biasanya dengan status lebih
tinggi, jatuh cinta kepada dirinya.
Pada tipe waham ini, terdapat kekuatan, pengetahuan,
penghargaan, identitas yang berlebihan atau hubungan khusus
Waham kebesaran
terhadap orang yang terkenal atau dewa.
Waham cemburu Pada tipe waham ini, pasangan seksual seseorang dianggap tidak
setia.
Waham kejar Pada tipe waham ini, orang (atau seseorang yang dekat) dianggap
diperlakukan dengan kasar.
Waham somatik Pada tipe waham ini, orang mempunyai beberapa cacat fisik atau
kondisi medis umum.
Waham campuran Pada tipe waham ini ciri khas lebih dari satu tipe di atas tetapi tidak
ada tema yang menonjol.
Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan
kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.
Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan
gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama:
antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama terhadap
gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama. Pertama, hanya presentase
kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat memulihkan fungsi mental normal secara
bermakna. Kedua, antagonis reseptor dopamin dikaitkan dengan efek samping yang
mengganggu dan serius. Efek yang paling sering mengganggu aalah akatisia adan gejala lir-
parkinsonian berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda
dan sindrom neuroleptik maligna.
Antagonis Serotonin-Dopamin
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada, berinteraksi
dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding antipsikotik standar, dan
mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek
samping neurologis dan endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam
menangani gejala negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik
atipikal ini tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas
dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan ini
setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala positif skizofrenia, secara unik
efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal.
Beberapa SDA yang telah disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin,
sertindol, kuetiapin, dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis
reseptor dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan skizofrenia.
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen antipsikotik, pada
subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah penggunaan antipsikotik. Pada
banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan mengobati keadaan skizofrenia.2,3,6
Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.4
Nama Obat
Haloperidol Untuk manajemen psikosis. Juga untuk saraf motor dan suara pada anak
(Haldol) dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas ditentukan, tetapi
diseleksi oleh competively blocking postsynaptic dopamine (D2)
reseptor dalam sistem mesolimbic dopaminergic; meningkatnya
dopamine turnover untuk efek tranquilizing. Dengan terapi subkronik,
depolarization dan D2 postsynaptic dapat memblokir aksi antipsikotik.
Risperidone Monoaminergic selective mengikat lawan reseptor D2 dopamine
(Risperdal) selama 20 menit, lebih rendah afinitasnya dibandingkan reseptor 5-
HT2. Juga mengikat reseptor alpha1-adrenergic dengan afinitas lebih
rendah dari H1-histaminergic dan reseptor alpha2-adrenergic.
Memperbaiki gejala negatif pada psikosis dan menurunkan kejadian
pada efek ekstrpiramidal.
Olanzapine Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang melintasi sistem
(Zyprexa) reseptor (seperti serotonin, dopamine, kolinergik, muskarinik, alpha
adrenergik, histamine). Efek antipsikotik dari perlawanan dopamine
dan reseptor serotonin tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan psikosis
dan gangguan bipolar.
Clozapine Reseptor D2 dan reseptor D1 memblokir aktifitas, tetapi nonadrenolitik,
(Clozaril) antikolinergik, antihistamin, dan reaksi arousal menghambat efek
signifikan. Tepatnya antiserotonin. Resiko terbatasnya penggunaan
agranulositosis pada pasien nonresponsive atau agen neuroleptik klasik
tidak bertoleransi.
Quetiapine Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang. Mampu
(Seroquel) melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan lebih awal
antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan kurangnya distonia,
parkinsonism, dan tardive diskinesia.
Aripiprazole Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia. Mekanisme
(Abilify) kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya berbeda dari antipsikotik
lainnya. Aripiprazole menimbulkan partial dopamine (D2) dan
serotonin (5HT1A) agonis, dan antagonis serotonin (5HT2A).

Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran


Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari
Risperidone Tab. 1 – 2 – 3 mg 2 – 6 mg/hari
(Risperdal)
Olanzapine (Zyprexa) Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100 mg 25 – 100 mg/hari
Quetiapine (Seroquel) Tab. 25 – 100 mg 50 – 400 mg/hari
200 mg
Aripiprazole (Abilify) Tab. 10 – 15 mg 10 – 15 mg/hari
Profil Efek Samping
Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:
 Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
 Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut
kering, kesulitan miksi&defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut,akathisia, sindrom parkinson:
tremor, bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice),
hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian panjang.
Efek samping ini ada yang dapat di tolerir pasien, ada yang lambat, ada yang
sampai membutuhkan obat simptomatik untuk meringankan penderitaan pasien.
Efek samping dapat juga irreversible : Tardive dyskinesia (gerakan berulang
involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada
waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka
panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak
berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis.
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin lengkap, fungsi hati,
fungsi ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.
Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat
overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat
yang kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lacage lambung” bila obat
belum lama dimakan.
Interaksi Obat

 Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik


meningkat (hati-hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus,
penyakit jantung).
 Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus
dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat.
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih
besar. Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah antipsikosis
Haloperidol.
 Antipsikosis + antasida = efektivitas obat antipsikosis menurn disebabkan
gangguan absorpsi.
Terapi Psikososial
- Pelatihan keterampilan sosial
Peatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi
keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat mendukung dan
berguna untuk pasien bersama dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang
biasa tampak pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas
terlihat melibatkan hubungan orang tersebut dengan orang lain, termasuk
kontak mata yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi
wajah yang aneh, kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, serta persepsi
yang tidak akurat atau kurangnya persepsi emosi pada orang lain. Pelatihan
keterampilan perilaku diarahkan ke perilaku ini melalui penggunaan video
tape berisi orang lain dan si pasien, bermain drama dalam terapi, dan tugas
pekerjaan rumah untuk keterampilan khusus yang dipraktekkan.
- Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya berfokus
pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok
dapat berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau
suportif.
- Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk
memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas, serta mengoreksi
kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi yang
membaik pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini. Pasien yang
mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya aalah yang memiliki
tilikan terhadap penyakitnya.
- Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk
membangun hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman. Reliabilitas
terapis, jarak emosionalantaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis
sebagaimana yang diartikan oleh pasien, semuanya mempengaruhi
pengalaman terapeutik. Psikoterapi untuk pasien skizofrenia sebaiknya
dipertimbangkan untuk dilakukan dalamm jangka waktu dekade, dan
bukannya beberapa sesi, bulan, atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan
peneliti menekankan bahwa kemampuan pasien skizofrenia utnuk
membentuk aliansi terapeutik dengan terapis dapat meramalkan hasil akhir.
Pasien skizofrenia yang mampu membentuk aliansi terapeutik yang baik
cenderung bertahan dalam psikoterapi, terapi patuh pada pengobatan, serta
memiliki hasil akhir yang baik pada evaluasi tindak lanjut 2 tahun. Tipe
psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal merupakan bentuk
penanganan individual untuk pasien skizofrenia yang baru-baru ini terbentuk.
Tujuannya adalah meningkatkan penyesuaian personal dan sosial serta
mencegah terjadinya relaps. Terapi ini merupakan metode pilihan
menggunakan keterampilan sosial dan latihan relaksasi, psikoedukasi,
refleksi diri, kesadaran diri, serta eksplorasi kerentanan individu terhadap
stress. 2,3
Komplikasi
Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan
mengalami kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang
skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami
penderita yang tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi
sosial, dimana penderita dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga
menjadi korban kekerasan dan melukai diri sendiri. Pada komplikasi depresi,
penderita dapat melakukan tindakan bunuh diri. Disamping bunuh diri karena
depresi dan halusinasi, penderita skizofrenia yang tadinya tidak merokok, banyak
menjadi perokok berat ini diperkirakan karena faktor obat, yang memblok satu
reseptor dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin yang menimbulkan rasa senang,
pikiran jernih, mudah menangkap sesuatu. Akibatnya penderita skizofrenia
mencari kompensasi dengan mengambil nikotin dari luar, dari rokok. Dan resiko
dari perokok memperpendek usia, karena adanya penyakit saluran pernapasan,
kanker, jantung, dan penyakit fisik lainnya.
Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada tekanan terhadap hormon
estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi tulang sehingga
dapat terjadi osteoporosis.4
Prognosis
Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun
setelah rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-
20% persen yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari
50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat
inap berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan
bunuh diri. Namun, skizofrenia tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang
memburuk dan sejumlah faktor dikaitkan dengan prognosis yang baik. Angka
pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10-60%, dan taksiran yang masuk akal
adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami gejala sedang, dan 40-60% pasien
tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut selama
hidup mereka.3
Pencegahan
Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak
bisa dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini
penting, terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini,
bila telah didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah
terjadinya gejala skizofrenia berkelanjutan.4
BAB III KESIMPULAN

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental


dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas.
Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya skizofrenia, antara lain
genetik, metabolisme, neurokimia. Pada Skizofrenia terdapat gejala positif dan
gejala negatif. Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif
meliputi afek mendatar atu menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara,
bloking, kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara
sosial. Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk
mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik
mencakup dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-
dopamin. Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak
bisa dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini
penting, terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini, bila
telah didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah
terjadinya gejala skizofrenia berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N. Skizofrenia. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku


ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010.h.170-94.
2. Amir N. Skizofrenia. Semijurnal farmasi & kedokteran Feb 2006;24:31-40.
3. Muttaqin H, Sihombing RNE, penyunting. Skizofrenia. Dalam: Sadock BJ,
Sadock VA. Kaplan & sadock’s concise textbook of clinical psychiatry.
Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2010.h.147-75.
4. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi ke-2. Surabaya:
Airlangga University Press; 2009.h.195-277.
5. Sobell JL, Mikesell MJ, Mcmurray CT. Genetics and etiopathophysiology of
schizophrenia. Mayo Clin Proc Oct 2005;77:1068-82.
6. Safitri A, penyunting. Obat antipsikosis. Dalam: Neal MJ. Medical
pharmacology at a glance. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.h.60-1.

Anda mungkin juga menyukai