Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

TUMOR TIROID

Oleh :
Zafitri Asrul
2011901055

Pembimbing:
dr. Bobby H.E Ferni Sihombing, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
RSUD BANGKINANG
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Tumor
Tiroid” yang diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti kepaniteraan klinik senior
Bagian Ilmu Bedah Program Studi Profesi Dokter Universitas Abdurrab.
Penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Bobby H.E Ferni
Sihombing, Sp.B atas bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di Bagian
Ilmu Bedah sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih terdapat banyak
kekurangan serta jauh dari kesempurnaan akibat keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan penulis. Oleh karenanya, penulis memohon maaf atas segala kekurangan
serta diharapkan kritik dan saran yang membangun dalam rangka perbaikan penulisan
referat. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak demi perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuuan.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, mudah-mudahan referat ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan.

Bangkinang, 17 September 2021

Zafitri Asrul, S.Ked

ii
I. PENDAHULUAN

Struma adalah tumor jinak akibat pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan
oleh penambahan jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini
ada yang menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak
mempengaruhi fungsi. Struma merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-
hari, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa
kelainan fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara tepat.
Survei epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, bukit barisan dan daerah
pegunungan lainnya. untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada
wanita dibanding pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1000 wanita,
sedangkan pria 1-5 dari 1000 pria.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TIROID


Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan
isthmus yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian
keempat yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis
tengah.lobus ini merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal,
kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25-30 gram dan terletak antara tiroidea dan
cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang
disebut true capsule.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid


Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari :
1. A. Tiroidea superior yang merupakan cabang dari A. carotis interna
2. A. Tiroidea inferior yang merupakan cabang dari A. Subclavia
3. A. Tiroidea intema yang merupakan cabang dari Arcus Aorta

2
3

Gambar 2. Vaskularisasi Tiroid


Saraf yang melewati tiroid adalah nervus rekurens. Saraf ini terletak di dorsal tiroid
sebelum masuk ke laring.
2.2 FISIOLOGI TIROID
Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan
hormon Tiroksin atau T4, Triiodotironin atau T3, dan kalsitonin. di dalam darah
sebagian besar T3, dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu albumin- Thyroxin
binding Pre Albumin TBPA dan Thyroxin binding globulin TGB. Sebagian kecil T3,
dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan dalam mengatur sekresi TSH.
Hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone TSH yang dihasilkan
lobus anterior glandula hypofise dan pelepasannya dipengaruhi oleh thyrotropine-
releasing hormone TRH . kelenjar thyroid juga mengeluarkan calcitonin dari
parafolicular cell yang dapat menurunkan kalsium serum berpengaruh pada tulang.
4

Fungsi hormon tiroid antara lain :


1. Peningkatkan kecepatan metabolisme
2. Efek kardiogenik
3. Simpatogenik
4. Pertumbuhan dan sistem saraf

Gambar 3. Pembentukan, Penyimpanan dan Sekresi Hormon Tiroid


5

Gambar 4. Regulasi Sekresi Hormon Tiroid


2.3 KLASIFIKASI STRUMA
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek
fisiologisnya klinis dan perubahan bentuk yang terjadi.
Struma dapat dibagi menjadi :
1. Struma Toksik yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh
Berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :
a. Difusa yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus seperti
yang ditemukan pada graves disease.
b. Nodusa yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah satu lobus
seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.
2. Struma Nontoksik yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada tubuh
Berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :
6

a. Difusa seperti yang ditemukan pada endemik goiter.


b. Nodusa seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :
1. Hiperplasia dan Hipertrofi
Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami kompensasi dengan
cara memperbesar dan memperbanyak jumlah selnya. Demikian juga dengan kelenjar
tiroid pada saat pertumnuhan akan dipacu untuk bekerja memproduksi hormon
tiroksin sehingga lama kelamaan akan membesar, misalnya saat pubertas dan
kehamilan.
2. Inflamasi atau infeksi
Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis akut tiroiditis
subakut (De Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto).
3. Neoplasma
Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar hormon
tiroid di dalam darah. kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid dalam kadar
berlebih atau biasa disebut hipertiroid maupun dalam kadar kurang dari normal atau
biasa disebut hipetiroid.
Gejala yang timbul pada hipertiroid adalah :
a. Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan
b. Tidak tahan panas dan hiperhidrosis
c. Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga
d. Menghasilkan tekanan nadi yang tinggi dan dalam jangka
e. Panjang dapat menjadi fibrilasi atrium
f. Tremor
g. Diare
h. Infertilitas menorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria
i. Eksoftalmus
Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :
a. Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah
7

b. Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik


c. Bradikardi tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah
d. Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah kelopak mata dan tungkai
INDEX WAYNE

Gejala
Angka Gejala objektif Ada Tidak
subjektif
Dyspnoe +1 Tiroid teraba +3 -3
d’effort
Palpitasi +2 Bruit diatas +2 -2
sistol
Lelah +2 Eksoftalmus +2 -
Suka panas -5 Lid retraction +2 -
Suka dingin +5 Lid lag +1 -
Keringat +3 Hiperkinesis +4 -2
banyak
Tremor +2 Tangan panas +2 -2
Tangan basah +1 Nadi
Tangan panas -1 80x/mnt - -3
Nafsu makan ↑ +3 80-90x/mnt -
Nafsu makan ↓ -3 >90x/mnt +3
BB ↑ -3
BB ↓ +3
Fibrilasi atrium +4
Gambar 5. Indeks Wayne
8

Gambar 6. Indeks New Castle


2.4 STRUMA DIFUSA TOKSIK
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s disease. Penyakit ini
juga biasa disebut basedow. Trias basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus
hipertiroid dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda
dengan gejala seperti berkeringat berlebihan tremor tangan menurunnya toleransi
terhadap panas penurunan berat badan ketidakstabilan emosi gangguan menstruasi
berupa amenorrhea, dan polidefekasi (sering buang air besar). Klinis sering ditemukan
adanya pembesaran kelenjar tiroid kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa
eksoftalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit graves tidak
diketahui pasti tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap
reseptor TSH yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid.
Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh
kelenjar tiroid.
2.4.1 PATOFISIOLOGI
Grave’s disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan
system imun dalam tubuh- di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid
9

Receptor Antibodies. zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan
menstimulasinya secara berlebihan sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya
dan kadar hormone tiroid dalam tubuh menjadi meningkat.
2.4.2 MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat
jelas. Peningkatan metabolism menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori- dan
seringkali asupan (intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi
penurunan berat badan secara drastis. Peningkatan metabolisme pada sistem
kardiovaskuler terlihat dalam bentuk peningkatan sirkulasi darah- antara lain dengan
peningkatan curah jantung /cardiac output sampai dua-tiga kali normal dan juga dalam
keadaan istirahat. irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga
menjadi pulsus celer. Penderita akan mengalami takikardia dan palpitasi. beban pada
miokard dan rangsangan saraf autonom dapat mengakibatkan kekacauan irama
jantung berupa ektrasistol fibrilasi atrium dan fibrilasi ventrikel. Pada saluran cerna
sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul polidefekasi dan diare.
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor penderita sulit
tidur- sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi
kegelisahan kekacauan pikiran dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat
menggangu. Pada saluran napas hipermetabolisme menimbulkan dyspnea dan takipnea
yang tidak terlalu mengganggu. kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal
biasanya cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan
oleh gangguan elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroid tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorrhea sekunder atau metrorhagia.
kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. jaringan ikat dan
jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot
mata terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola
mata akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.
10

2.4.3 PENATALAKSANAAN
Terapi penyakit graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas
hipertiroid dengan pemberian antitiroid, seperti propil- tiourasil (PTU) atau
karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang,
ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid
dengan hipertiroid dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal
dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan
kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroid dan
komplikasi yang minimal.
2.5 STRUMA NODUSA TOKSIK
2.5.1 DEFINISI
Struma nodusa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus
yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia
dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. bila tidak diobati dalam 15-20
tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit graves oleh
Plummer maka disebut juga Plummers disease.
2.5.2 PATOFISIOLOGI
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid
yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas namun jika tidak segera diobati dalam
15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor yang mempengaruhi perubahan
dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah menjadi
otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit autoimun) pemberian, hormon tiroid
dari luar- pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.
2.5.3 MANIFESTASI KLINIS
Saat anamnesis sulit untuk membedakan antara Graves disease dengan
Plummers disease karena sama-sama menunjukan gejala hipertiroid. yang
membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat
merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.
11

2.5.4 PENATALAKSANAAN
Terapi yang diberikan pada Plummers disease juga sama dengan Graves
disease yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/hipertiroid dengan
pemberian antitiroid seperti propil-tiourasil (PTU) atau karbimazol. Terapi definitif
dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium
radioaktif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroid dilakukan
terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar.
Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun
kadang dijumpai terjadinya hipotiroid dan komplikasi yang minimal.
2.6 STRUMA DIFUSA NONTOKSIK
2.6.1 DEFINISI
Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran kelenjar
tiroid yang terjadi pada suatu populasi dan diperkirakan berhubungan dengan
defisiensi diet dalam harian. Epidemologi endemik goiter diperkirakan terdapat kurang
lebih 5% pada populasi anak sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti
dari beberapa penelitian. Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet.
Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah pegunungan, seperti di Himalaya,
alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan pemberian yodium
tambahan belum terlaksana dengan baik.
2.6.2 PATOFISIOLOGI
Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya defisiensi
intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh kelainan sintesis
hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab goiter seperti intake
kalsium berlebihan maupun sayuran famili Brassica). Kurangnya iodin menyebabkan
kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu peningkatan
pelepasan TSH (Thyroid Stimulating Hormone) ke dalam darah sebagai efek
kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi
dari sel folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik.
Pembesaran ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik
12

tersebut kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti
defisiensi iodin endemic, pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit
yang ada. Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. derajat pembesaran
tiroid mengikuti level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.
GOITER DIFUS
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang
tampak tanpa membentuk nodul. bentuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik
(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat
juga disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya
dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik. goiter
endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya mengandung
sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah teresebut.
contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya.
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau
gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter. Pada goiter
simple, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi koloid. Pada fase
hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris, walaupun
pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150gr). Folikel-folikelnya dilapisi oleh
sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di
keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan
tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga
terbentuk folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik
tiroid akan terlihat cokelat dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat
bahwa folikel dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.
2.6.3 MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar
tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian
lagi mengalami keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-
13

anak dengan defek biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer
yodium.
2.6.4 PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan
mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada yaitu dengan pemberian Solusio Lugol
selama 4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan
kemudian tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak
juga mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan
tindakan operatif.
2.7 STRUMA NODUSA NONTOKSIK
2.7.1 DEFINISI
Struma nodusa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik
teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma
nodusa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang
menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. karena tidak disertai tanda-
tanda toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma
nodusa nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus
diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.
2.7.2 PATOFISIOLOGI
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi
10% populasi di daerah dengan defisiensi yodium maka goiter sporadis terjadi pada
seseorang yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya
sampai sekarang belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang
penting dalam sintesis hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung
litium, propiltiourasil, fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
2.7.3 MANIFESTASI KLINIS
Pada umumnya struma nodusa non-toksik tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak
adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada
14

palpasi dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya
tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada
saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar
tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodusa
dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodusa tidak
mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral.
Struma nodusa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke
arah kontra-lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan
pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai
akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat
di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga
terasa berat karena terfiksasi pada trakea.
2.7.4 PENATALAKSANAAN
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-
macam teknik operasinya antara lain :
a. Lobektomi yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3gr.
b. Isthmolobektomi yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus.
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid.
d. Tiroidektomi subtotal bilateral yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan
sebagian kiri, sisa jaringan 2-4gr di bagian posterior dilakukan untuk
mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau Rekurens laryngeus.
2.8 KARSINOMA TIROID
2.8.1 DEFINISI
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari
sel) yang terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah suatu keganasan pada tiroid
yang memiliki 4 tipe yaitu : papiler folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid
jarang menyebabkan pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan
15

kecil (nodul) dalam kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak biasanya
kanker tiroid bisa disembuhkan. Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan
menyerap yodium dan membatasi kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi
kadang menghasilkan cukup banyak hormon tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.
2.8.2 KLASIFIKASI
a. Karsinoma Papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan
jenis paling umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada anak dan
dewasa muda dan lebih banyak pada wanita. Terkena radiasi semasa kanak
ikut menjadi sebab keganasan ini. Pertama kali muncul berupa benjolan teraba
pada kelenjar tiroid atau sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah leher.
Metastasis dapat terjadi melalui limfe ke daerah lain pada tiroid atau- pada
beberapa kasus ke paru.
b. Karsinoma Folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan
20-25% dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada
usia di atas 40 tahun. Karsinoma folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3
kali lebih sering daripada pria. Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-
kanak meningkatkan resiko jenis keganasan ini. Jenis ini lebih infasif daripada
jenis papiler.
c. Karsinoma Anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari
kanker tiroid. Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria. Metastasis terjadi
secara cepat, mula-mula disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian tubuh.
Pada mulanya orang yang hanya mengeluh tentang adanya tumor didaerah
tiroid. Dengan menyusupnya kanker ini disekitar timbul suara serak, stridor
dan sukar menelan. Harapan hidup setelah ditegakkan diagnosis biasanya
hanya beberapa bulan.
d. Karsinoma Parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik
diantara kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita
daripada pria dan paling sering di atas 50 tahun. Karsinoma ini dengan cepat
bermetastasis, sering ketempat jauh seperti paru- tulang- dan hati. Ciri khasnya
16

adalah kemampuannya mensekresi kalsitonin karena asalnya. Karsinoma ini


sering dikatakan herediter.
STADIUM

Gambar 7. Klasifikasi Stadium Berdasarkan AJCC Thyroid Cancer with Stage


Specific Survival Integrated from Lang et al.
17

2.8.3 PENATALAKSANAAN
18
19

Gambar 8. Bagan Penatalaksanaan CA Tiroid


2.9 PERBEDAAN NODUL TIROID JINAK dan GANAS
Sekitar 5% struma nodusa mengalami keganasan. Perlu dibedakan nodul tiroid
jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar
digerakkan- walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan
kemudian menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak walaupun nodul
yang mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa
yang sudah berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan walaupun
nodul ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis,
dan enoftalmus merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas
terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar
progresif
20

6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang m. Sternokleidomastoideus
(SCM) karena desakan pembesaran nodul (Berry’s Sign)
2.10 PENEGAKAN DIAGNOSIS STRUMA
2.10.1 ANAMNESIS
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa
benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau
hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali
lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan
gangguan menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru
ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu
juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui apakah
ada kecendrungan ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang dengan
keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih
jauh ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.
2.10.2 PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio colli anterior yang paling
pertama dilakukan adalah inspeksi- dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak,
timbul tanda-tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau
tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah benjolan tersebut benar
adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien
diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut
bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan
kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :
1. Lokasi : lobus kanan, lobus kiri, ismus
2. Ukuran dalam sentimeter, diameter panjang
21

3. Jumlah nodul satu (uninodusa) atau lebih dari satu (multinodusa)


4. Konsistensinya kistik, lunak, kenyal, keras
5. Nyeri ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. Mobilitas ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, m.
Sternokleidomastoideus (SCM)
7. Kelenjar getah bening di sekitar tiroid ada pembesaran atau tidak
2.10.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid
terbagi atas :
a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui
kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik
radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar
normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120mg/dl. Kadar normal untuk
T3, pada orang dewasa adalah 0,65-1,7mg/dl.
b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi terhadap
macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita dengan
penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating
hormon antibodi
c. Pemeriksaan Histopatologi
Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB). Pemeriksaan histopatologis
akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif
hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
22

Gambar 9. Gambaran Grave’s Disease

Gambar 10. Gambaran Karsinoma Papiler Tiroid


23

Gambar 11. Gambaran Karsinoma Folikuler Tiroid

Gambar 12. Gambaran Karsinoma Meduler Tiroid


24

d. Pemeriksaan Radiologis
1. Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau pembesaran struma
retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto
rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.
2. USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul membedakan
antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan kanker yang tidak
menangkap iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid.
3. Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I131 yang
didistribusikan tiroid. dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk lokasi
dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam kelenjar).
uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scnning tiroid dapat
dibedakan, bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal
dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah
dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule
bila uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama
dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari
normal, berarti aktifitasnya berlebih dan jarang pada neoplasma.
25

Gambar 13. MRI Pasien dengan CA Thyroid Anaplastik.


2.11 TINDAKAN PEMBEDAHAN
Indikasi operasi pada struma adalah :
1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodusa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Kontraindikasi pada operasi struma :
1. Struma toksik yang belum dipersiapkan sebelumnya
2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang belum
terkontrol
26

3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan
yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe
anaplastik yang jelek prognosisnya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan
lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah nodul
tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut suspek
maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi
insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek maligna
yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan isthmolobektomi atau
lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi tersebut jinak maka operasi
selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan terlebih dahulu jenis karsinoma yang
terjadi.
2.12 TIROIDEKTOMI
2.12.1 Pengertian
Tiroidektomi adalah sebuah operasi yang melibatkan operasi
pemindahan semua atau sebagian dari kelenjar tiroid. Klasifikasi dari
tiroidektomi adalah total tiroidektomi dan nyaris total tiroidektomi. Indikasi
dilakukan tiroidektomi adalah gondok, kanker tiroid, hipertiroidisme, dan
gejala obstruksi. Ada beberapa istilah yang berhubungan dengan tiroidektomi
yang biasa digunakan :
1. Tiroidektomi, yaitu pengangkatan kelenjar tiroid.
2. Lobektomi, yaitu pengangkatan satu lobus kelenjar tiroid.
3. Ismolobektomi, yaitu pengangkatan satu lobus kelenjar tiroid
besertaisthmusnya.
27

4. Subtotal Tiroidektomi, yaitu mengangkat sebagian besar tiroid


kedualobus (kiri-kanan) dengan menyisakan jaringan tiroid
masing masing 2-4gr.
5. Near Total Tiroidektomi, yaitu ismolobektomi dekstra dgn
subtotallobektomi sinistra dan sebaliknya, sisa jaringan tiroid
masing masing 1-2gr.
6. Total tiroidektomi, yaitu pengangkatan &seluruh kelenjar tiroid.
2.12.2 Klasifikasi Tiroidektomi
Tiroidektomi terbagi atas 2 yaitu sebagai berikut :
1. Tiroidektomi Total
Tiroidektomi total yaitu mengangkat seluruh kelenjar tiroid. Klien yang
menjalani tindakan ini harus mendapat terapi hormone pengganti yang besar
dosisnya beragam pada setiap individu dan dapat dipengaruhi oleh usia,
pekerjaan, dan aktivitas.
2. Tiroidektomi Sub Total
Tiroidektomi subtotal yaitu mengangkat sebagian kelenjar tiroid.
Lobus kiri atau kanan yang mengalami pembesaran diangkat dan diharapkan
kelenjar yang masih tersisa masih dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan
hormone-hormon tiroid sehingga tidak diperlukan terapi penggantian hormon.
2.12.3 Pencegahan Tiroidektomi
1. Penggunakan garam beryodium untuk membantu pen)egahan
terjadinya gondok yang sifatnya endemik.
2. Jangan mengkonsumsi makanan yang bisa mengurangi hormon
tiroksin, misalnya adalah kol, kacang kedelai, kacang tanah, bayam,
stroberi, dan kacang polong.
3. Lakukanlah operasi untuk mencegah terjadinya gondok semakin
membesar.
28

2.12.4Pengobatan Tiroidektomi
A. Pre-Operasi
Pengobatan yang tepat dapat dilakukan pada pasian pre-oprerasi
pada tiroidektomi
adalah :
1. Kadar hormon tiroid harus diupayakan dalam keadaan normal.
2. Pemberian obat anti tiroid masih tetap dipertahankan disamping
menurunkan kadar hormon darah.
3. Masalah jantung juga sudah harus teratasi.
4. Kondisi nutrisi harus optimal, diet tinggi protein dan karbohidrat.
5. Latih klien cara batuk yang efektif dan latih napas dalam.
6. Ajarkan cara mengurangi peregangan pada luka operasi akibat
rangsangan batuk dengan menahan di bawah, insisi dengan kedua tangan.
7. Beri tahu pasien kemungkinan suara menjadi serak setelah operasi
jelaskan bahwa itu adalah hal yang wajar dan dapat kembali seperti semula.
B. Pasca Operasi
Perawatan yang dapat dilakukan pada pasien pasca operasi pada
tiroidektomi adalah :
1. Monitor tanda-tanda vital setiap 15menit sampai stabil dan kemudian
lanjutkan setiap 30 menit selama 6 jam.
2. Gunakan bantal pasir atau bantal tambahan untuk menahan posisi
kepala tetap ekstensi sampai klien sadar penuh.
3. Bila sadar, berikan posisi semi fowler, apabila memindahkan klien
hindarkan penekanan pada daerah insisi.
4. Berikan obat analgesik sesuai program terapi.
5. Bantu klien batuk dan napas dalam setiap 30 menit.
6. Gunakan penghisap oral atau trachea sesuai kebutuhan.
7. Monitor komplikasi yang terjadi pada pasca operasi tiroidektomi.
III. KESIMPULAN

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat
penting untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat
untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan
kadar hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang
dapat diketahui secara dini. Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang
yang tepat untuk menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. dengan
menegakkan diagnosis pasti maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi
struma yang dialami oleh pasien. Apakah memerlukan tindakan pembedahan, atau
cukup diberi pengobatan dalam jangka waktu tertentu.

29
IV. DAFTAR PUSTAKA

1. Widjosono, jaritno- Sistem endokrin : buku Ajar ilmu bedah. editor Syamsuhidayat
R.jong WB, edisi revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.
2. Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma nodusa non Toksik L Hipertir*idisme :
buku Ajar ilmu Penyakit dalam, edisi ketiga, Penerbit FKUI Jakarta, 1996 :757-778.
3. Schteingert David E., Penyakit kelenjar Tiroid, Patofisiologi, edisi keempat- buku
dua, EGC Jakarta- 1995 : 1071-1075.
4. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks ilmu bedah, jilid Satu, Penerbit
kinarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.
5. AME/AACE guideline.2006. American Association of Clinical Endocrinologists
and Association Medici Endocrinologi, Medical Guidelines for Clinical practice for
the diagnosis and management of thyroid nodule. ENDOCRINE PRACTICE VOL 12.
NO 1. January/February2006.
http://www.aace.com.pub/pdf/guidelines/thyroid_nodule.pdf.
6. Daniel.2008. Jeli dan Praktis Menghadapi Kelainan Tiroid.
http://www.farmacia.com/rubrik/one_news_print.asp.
7. Jamson, L.2005. Diseases of Tyroid Gland. Harrisons Principles of internal
medicine, 12th edition, Mcgraw-Hill medical Publishing division.
8. Johan, S. M. 2006. Nodul tiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III- Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI
6. Djokomoeljanto, R. 2006. kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Buku
Ajar Penyakit Dalam Jilid III, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit
Dalam FKUI
17. Sjamsuhidajat., Jong, W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah Sistem endokrin. Jakarta :
EGC
18. Solymosi. 2007. Therapy for nontoxic nodular goiter..
http://www.thyroidmanager.org/Chapter17/ch01s10.html.

30

Anda mungkin juga menyukai