HIFEMA TRAUMATIKA
Oleh:
Pembimbing:
dr. Nur Aisyah, M.Kes
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
ini dengan sebaik-baiknya.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini, khususnya kepada dr. Nur Aisyah
selaku pendamping yang telah memberi bimbingan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Laporan kasus ini dengan judul “Hifema Traumatika”. Pada program
dokter Internship di RSUD Bangkinang dalam penyusunan laporan kasus ini
penulis masih merasa banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharap kritik dan
saran yang membangun guna perbaikan ke depan.
Penulis berharap laporan kasus ini dapat memberi banyak manfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca sekalian pada umumnya. Semoga makalah ini
dapat memberi masukan bagi rekan-rekan yang ingin mengetahui judul terkait.
Penulis
ii
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................2
2.1 Anatomi Mata..................................................................................................2
A. Vaskularisasi Bola Mata..............................................................................4
2.2 Definisi Hifema...............................................................................................5
2.3 Epidemiologi Hifema......................................................................................6
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Hifema.................................................................6
2.5 Klasifikasi Hifema...........................................................................................6
2.6 Patogenesis dan Patofisiologi Hifema.............................................................8
2.7 Kriteria Diagnosis Hifema..............................................................................9
2.8 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................10
2.9 Tatalaksana Hifema.......................................................................................11
2.10 Komplikasi dan Prognosis.............................................................................14
BAB III........................................................................................................................15
3.1 Identitas Pasien..............................................................................................15
3.2 Anamnesis.....................................................................................................15
3.3 Pemeriksaan Fisik..............................................................................................15
3.4 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................17
3.5 Resume..........................................................................................................17
3.6 Diagnosis Kerja.............................................................................................17
3.7 Komplikasi....................................................................................................17
3.8 Tatalaksana....................................................................................................17
3.9 Prognosis.......................................................................................................18
3.10 Follow-up......................................................................................................18
BAB IV........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................20
iii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1..............................................................................................................2
GAMBAR 2..............................................................................................................3
GAMBAR 3..............................................................................................................4
GAMBAR 4..............................................................................................................5
GAMBAR 5..............................................................................................................7
GAMBAR 6..............................................................................................................8
GAMBAR 7..............................................................................................................17
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
yang transparan atau kornea. Sklera merupakan jaringan ikat padat fibrosa dan tampak putih.
Sklera juga ditembus oleh n. ciliaris dan pembuluh balik yang terkait yaitu v.vorticosae.
Sklera langsung tersambung dengan kornea di depannya pada batas limbus. Kornea yang
transparan, mempunyai fungsi utama merefraksikan cahaya yang masuk ke mata. Tersusun
atas lapisan-lapisan berikut ini dari luar ke dalam adalah: (1) epitel kornea (epithelium
anterius) yang bersambung dengan epitel konjungtiva (2) substansia propria, terdiri atas
jaringan ikat transparan (3) lamina limitans posterior dan (4) endothel (epithelium posterius)
yang berhubungan dengan aqueous humour.1,3
2. Lamina Vasculosa
Dari belakang ke depan disusun oleh: (1) choroidea (terdiri atas lapis luar berpigmen
dan lapis dalam yang sangat vaskular) (2) corpus ciliare (ke belakang bersambung dengan
choroidea dan ke anterior terletak di belakang tepi perifer iris) terdiri atas corona ciliaris,
procesus ciliaris dan musculus ciliaris (3) iris (adalah diafragma berpigmen yang tipis dan
kontraktil dengan lubang di pusatnya yaitu pupil) iris membagi ruang diantara lensa dan kornea
menjadi bilik mata depan dan bilik mata belakang, serat- serat otot iris bersifat involunter dan
terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier.1,3
3
3. Tunica Sensoria (retina)
Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di dalamnya. Permukaan
luarnya melekat pada choroidea dan permukaan dalamnya berkontak dengan corpus vitreum.
Tiga perempat posterior retina merupakan organ reseptornya. Ujung anterior membentuk
cincin berombak, yaitu ora serrata, di tempat inilah jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior
retina bersifat non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan epitel silindris
di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi procesus ciliaris dan bagian belakang iris.1,3
A. Vaskularisasi Bola Mata
Pemasok utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri ophtalmica, yaitu
cabang besar pertama arteri karotis interna bagian intrakranial. Cabang ini berjalan di
bawah nervus optikus dan bersamanya melewati kanalis optikus menuju ke orbita.
Cabang intraorbital pertama adalah arteri sentralis retina, yang memasuki nervus
optikus sebesar 8-15 mm di belakang bola mata. Cabang-cabang lain arteri oftalmika
adalah arteri lakrimalis, yang memvaskularisasi glandula lakrimalis dan kelopak mata
atas, cabang- cabang muskularis ke berbagai otot orbita, arteri siliaris posterior longus
dan brevis, arteri palpebra medialis ke kedua kelopak mata, dan arteri supra orbitalis
serta supra troklearis.1,3
4
Iris sendiri diperdarahi oleh kompleks antara 2 arteri siliar posterior dan 7 arteri siliar
anterior. Arteri ini akan berabung membentuk greater arterial circle of iris dan kemudian
memperdarahi iris dan badan silier. Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena
oftalmika superior dan inferior, yang juga menampung darah dari vena verticoasae, vena
siliaris anterior, dan vena sentralis retina. Vena oftalmika berhubungan dengan sinus
kavernosus melalui fisura orbitalis superior dan dengan pleksus venosus pterigoideus melalui
fisura orbitalis inferior.1,3
5
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.1,2,3,4
Pasien akan mengeluh sakit, disertai dengan epifora dan blefarospasme. Pengihatan
pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul dibagian bawah
bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan.
Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.1,3,4
2.3 Epidemiologi Hifema
Diperkirakan sebanyak 12 kasus per 100.000 orang populasi. Anak-anak dan usia
remaja 10-20 tahun memiliki presentase penderita terbanyak, yaitu sebesar 70%. Hifema lebih
sering terjadi pada pria dibandingkan wanita dengan perbandingan 3:1.1
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Hifema
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena bola, batu,
peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga dapat terjadi karena kesalahan
prosedur operasi mata. Keadaan lain yang dapat menyebabkan hifema namun jarang terjadi
adalah adanya tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah
(contohnya juvenile xanthogranuloma).4
Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh kerusakan
jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan- robekan jaringan iris, korpus
siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan
menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang timbul dapat berasal dari kumpulan arteri utama
dan cabang dari badan ciliar, arteri koroid, vena badan siliar, pembuluh darah iris pada sisi
pupil. Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera anterior akan tampak dari luar.
Timbunan darah ini karena gaya berat akan berada di bagian terendah.4
2.5 Klasifikasi Hifema
a) Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:1,3,4
1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan pecahnya
pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma pada segmen anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata)
3. Hifema akibat inflamasi yang arah pada iris dan badan silier, sehingga pembuluh
darah pecah
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah
5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma)
b) Berdasarkan onset perdarahannya, hifema dibagi menjadi:
6
• Hifema primer terjadi langsung sampai 2 hari setelah trauma pada mata 2.
• Hifema sekunder terjadi 2-5hari setelah trauma pada mata
c) Berdasarkan darah yang terlihat, hifema diklasifikasikan menjadi:
• Makrohifema, perdarahan terlihat dengan mata telanjang
• Mikrohifema, perdarahan terlihat apabila menggunakan mikroskop
d) Berdasarkan pemenuhan darah dibilik mata depan, hifema dapat dibagi menjadi :
• Grade 1, darah mengisi kurang dari 1/3 bilik mata depan
• Grade 2, darah mengisi 1/3-1/2 bilik mata depan
• Grade 3, darah mengisis 1/2 – kurang dari seluruh bilik mata depan
• Grade 4, darah mengisi seluruh bilik mata depan, dikenal dengan total hyphema,
blackball atau 8-ball hyphema
7
Gambar 5. Grade Hifema
2.6 Patogenesis dan Patofisiologi Hifema
Terdapat 2 mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya hifema. Mekanisme
pertama adalah mekanisme dimana kekuatan trauma menyebabkan kontusi sehinga terjadi
robekan pada pembuluh darah iris dan badan silier yang rentan rusak. Mekanisme kedua adalah
trauma tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler akut sehingga menyebabkan
rupture pembuluh darah pada iris dan badan silier.4,5,6
8
Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan primer.
Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder biasanya timbul
pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih hebat daripada yang primer.
Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan
perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi daribekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga
pembuluh darah tak mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali.4,5,6
Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah merah
melalui sudut COA menuju kanal schlem sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui
permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah
ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat
penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea
menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang hanya dapat
ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang
penuh disertai glaukoma.4,5,6,7
Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis yang
berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata. Hal ini
menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot siliar. Resesi sudut mata
dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya glaukoma sekunder di
kemudian hari. Iritis traumatik, dengan sel-sel radang pada bilik mata depan, dapat ditemukan
pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun darah sudah
dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel kornea hingga
ruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10 % kasus.
Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi
lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan
vitreus, jejas retina (edema, perdarahan, dan robekan), dan ruptur koroid. Atrofi papil dapat
terjadi akibat peninggian tekanan intraokular.4,5,6
2.7 Kriteria Diagnosis Hifema
Adanya riwayat trauma yang mengenai matanya
Pada pemeriksaan ditemukan adanya perdarahan pada COA (dapat diperiksa dengan
flashlight), kadang ditemukan gangguan visus, ditemukan adanya tanda-tanda iritasi
dari konjungtiva dan perikorneal
9
Fotofobia (tidak tahan terhadap sinar)
Penglihatan ganda
Blefarospasme
Edema palpebra
Midriasis
Sukar melihat dekat
Bisa disertai gangguan umum yaitu letargi, disorientasi atau somnolen
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair
Penglihatan pasien akan sangat menurun
Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup
banyak
Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema
dapat memenuhi seluruh ruang COA
Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis)
Dapat terjadi pewarnaan darah (blood staining) pada kornea
Anisokor pupil.4,5,6,7
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah mengganggu
media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung dapat mengakibatkan
tekanan intra okuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan
tekanan intra okuler ini disebut glaucoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi
akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor
aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada di kamera
anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan
kornea.4,5,6,7
2.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus
dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.
2. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler
okuler, glaukoma.
3. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
4. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal
10
contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
5. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
6. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO normal atau
meningkat ringan.
7. Pupillary Reactions
8. Penlight Examination.2
2.9 Tatalaksana Hifema
Hifema yang mengisi lebih dari 5% bilik mata depan sebaiknya diistirahatkan.
Pemberian steroid tetes harus segera dimulai. Aspirin dan antiinflamasi non-steroid harus
dihindari. Dilatasi pupil dapat meningkatkan risiko perdarahan kembali sehingga mungkin
ditunda sampai hifema reda dengan penyerapan spontan. Oleh karena itu pemeriksaan dini
untuk mencari kerusakan segmen posterior mungkin memerlukan pemeriksaan ultrasonografi.
Mata sebaiknya diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder,
glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmen besi. Perdarahan ulang terjadi pada 16-
20% kasus dalam 2-3 hari. Komplikasi ini memiliki risiko tinggi menimbulkan glaukoma dan
pewarnaan kornea. Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa penggunaan asam
aminokaproat oral (100 mg/kgBB setiap 4 jam sampai maksimum 30 g/hari selama 5 hari)
untuk menstabilkan pembentukan bekuan darah sehingga menurunkan risiko perdarahan ulang.
Tatalaksana glaukoma meliputi terapi topikal dengan penyekat beta (misalnya timolol 0,25% 2
kali sehari), analog prostaglandin (misalnya latanoprost 0,005% malam hari), dorzolamide 2%
dua atau tiga kali sehari, atau apraclonidine 0,5% tiga kali sehari. Terapi oral dengan
acetazolamide 250 mg per oral 4 kali sehari, dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, dan
sorbitol) dapat pula digunakan bila terapi topikal tidak efektif. Bedah drainase glaukoma
mungkin diperlukan pada kasus yang sangat berat.4
Hifema harus dievakuasi secara bedah bila tekanan intraokular tetap tinggi (> 35
mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan nervus
optikus dan pewarnaan kornea, tetapi terdapat risiko terjadinya perdarahan kembali. Jika
pasien mengidap hemoglobinopati, besar kemungkinan terjadi atrofi optik glaukomatosa, dan
pengeluaran bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih awal. Instrumen-
instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan membilas (lavage)
bilik mata depan. Dimasukkan alat irigasi dan probe mekanis disebelah anterior limbus melalui
bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Jangan mencoba
11
mengeluarkan bekuan yang terdapat di sudut bilik mata depan atau di jaringan iris. Disini,
dilakukan iridektomi perifer. Cara lain untuk membersihkan bilik mata depan adalah dengan
evakuasi viskoelastik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan
viskoelastik, dan sebuah insisi yang lebih besar berjarak 180 derajat (dari insisi pertama) untuk
memungkinkan hifema didorong keluar.4
Glaukoma onset lambat dapat timbul setelah beberapa bulan atau tahun, terutama bila
terdapat penyempitas sudut bilik mata depan lebih dari satu kuadran. Pada sejumlah kasus yang
jarang, bercak darah di kornea menghilang secara perlahan lahan dalam jangka waktu hingga 1
tahun.4
Pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitui perawatan dengan cara
konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.
1. Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi
Tirah baring
Pemakaian obat-obatan : koagulansia, midriatika miotika, ocular hypotensive
Drug, Kortikosteroid dan antibiotik.4
2. Perawatan Operasi
Dilakukan jika ada glaukoma sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis
kornea, tidak ada pengurangan tinggi hifema dengan perawatan non operasi selama 3-5 hari,
untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata
maksimal >50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata maksimal > 35 mmhg selama 7
hari.
Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-
rata > 25 mmhg selama 6 hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.4
Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior perifer bila
hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari. Intervensi bedah
biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari keseluruhan indikasinya adalah sebagai
berikut:
1. Empat hari setelah onset hifema total
2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4 hari (untuk
mencegah atrofi optic)
4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari 3⁄4 COA selama 6 hari dengan
12
tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
5. Hifema mengisi lebih dari 1⁄2 COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk mencegah
peripheral anterior synechiae)
6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya dengan
tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika Tekanan Inta Ocular
menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari, pembedahan tidak boleh ditunda.
Suatu studi mencatat atrofi optic pada 50 persen pasien dengan total hifema ketika
pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan
sickle cell hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.4
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah:
1. Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan cairan/darah dari
bilik depan bola mata dengan teknik sebagai berikut : dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke
arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir
luka maka koagulum dari bilik mata depan akan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya
maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada
parasentesis tidak perlu dijahut. Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox
atau jika darah masih tetap terdapat dalam COA pada hari 5- 9.
2. Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka korneoskleranya
sebesar 120 derajat.4
2. Iridosiklitis
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan
iridosiklitis atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adamya
darah di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan
tajam penglihatan menurun.
Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topical. Bila terlihat
tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik. Sebaiknya pada mat aini diukur
tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan midriatika.1
13
2.10 Komplikasi dan Prognosis
1. Komplikasi
Perdarahan sekunder
Perdarahan ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan insidensinya sangat
bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini timbul karena iritasi pada iris akibat
traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan primernya.
Glaukoma sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh tersumbatnya
trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah. Adanya darah dalam COA dapat
menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur-unsur darah menutupi sudut COA dan
trabekula sehingga terjadinya glaukoma.Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi
badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran
cairan mata.
Hemosiderosis kornea
Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder disertai
kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karenahemosiderosis tidak selalu permanen,
tetapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (2 tahun). Insidensinya ±
10%.3 Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan
akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.
Sinekia posterior
Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini akibat dari
iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang mendapat terapi medikamentosa
dan karena peningkatan tekanan intraokuler.
2. Prognosis
Prognosis tergantung banyak darah yang tertimbun pada COA. Hifema dengan darah
yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan
diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari.4
Hifema yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar
glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan
telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk (malam) karena
dapat menyebabkan kebutaan.4
14
BAB III
LAPORAN KASUS
15
- Suhu : 36,7˚C
- SpO2 : 99%
Status Generalisata
Kepala : Normocephal, wajah simetris
Leher
- KGB : Pembesaran (-)
- Kaku kuduk : Negatif (-)
Dada
- Inspeksi : Normochest, pergerakan dinding dada simetris, iktus tidak
terlihat, retraksi iga (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
- Palpasi : Iktus kordis teraba di linea midclavicularis sinistra ICS V
- Perkusi : Tidak dilakukan
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), tambahan : rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Bunyi jantung : S1 S2 reguler, tambahan : mumur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Tampak datar, venektasi (-), massa (-), scar (-)
- Auskultas : Bising usus (+)
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak teraba.
- Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen.
Alat Kelamin : Laki-laki, pemeriksaan lanjutan tidak dilakukan.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2S.
Status Lokalis
Mata
- Inspeksi : Visus OD 1/300, Visus OS 6/6, CA (-/-), SI (-/-), Injeksi
Konjungtiva (+/-), Injeksi Siliar (+/-), COA OD tampak perdarahan ¼ ketinggian COA,
Pupil bulat, isokor 2mm/2mm, Refleks cahaya (+/+).
- Palpasi : Pemeriksaan TIO dengan metode digiti : TdigN
16
Gambar 7. Gambaran Klinis
3.4 Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium (-)
3.5 Resume
PBM ke IGD dengan keluhan mata kanan merah sejak 30 menit SMRS. Awalnya
keluhan dirasakan karena pasien bermain bersama temannya menggunakan mainan kertas
dengan ketapel karet, lalu tidak sengaja mengenai mata kanan pasien. Keluhan disertai
pandangan kabur (+), nyeri (+), dan panas dimata. Pasien tidak ada riwayat menggunakan
kacamata sebelumnya, Riwayat trauma (terbentur kepala) (-). Pada pemeriksaan fisik
kesadaran pasien composmentis, status lokalis terdapat pada inspeksi yaitu CA (-/-), SI (-/-),
Injeksi Konjungtiva (+/-), Injeksi Siliar (+/-), COA OD tampak perdarahan ¼ ketinggian COA,
Pupil bulat, isokor 2mm/2mm, Refleks cahaya (+/+). Pada palpasi pemeriksaan TIO dengan
metode digiti : TdigN, TIO Meningkat (-/-),Visus OD 1/300, Visus OS 6/6.
3.6 Diagnosis Kerja
Hifema traumatika OD Grade 1-2
3.7 Komplikasi
- Glaukoma Sekunder
- Sinekia Posterior
3.8 Tatalaksana
Terapi IGD:
- Observasi 1 – 1.5 jam tanpa obat
- Pantau perdarahan
- Posisi pasien harus ½ duduk
- Tidak boleh banyak gerak
17
3.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
3.10 Follow-up
Tanggal SOAP
07/06/2023 S : PBM ke IGD dengan keluhan mata kanan merah sejak 30 menit
Rabu SMRS. Awal keluhan dirasakan karena pasien bermain bersama temannya
menggunakan mainan kertas dengan ketapel karet, lalu tidak sengaja
mengenai mata kanan pasien. Keluhan disertai pandangan kabur (+), nyeri
(+), dan panas dimata.
O : Kes : CM (E4V5M6)
KU : Baik
TD : 132/75mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36.70C
Inspeksi : Visus OD 1/300, Visus OS 6/6, Injeksi Konjungtiva (+/-),
Injeksi Siliar (+/-), COA OD tampak perdarahan ¼ ketinggian COA,
Pupil bulat, isokor 2mm/2mm, Refleks cahaya (+/+).
Palpasi : Pemeriksaan TIO dengan metode digiti : TdigN
A : Hifema Traumatika OD Grade 1-2
P : Konsul dr. Ranny, Sp. M via WA dan telfon jam 15.17 WIB, advice :
- Observasi 1 sampai 1.5 jam tanpa obat
- Pantau perdarahan
- Posisi harus ½ duduk
- Tidak boleh banyak gerak
07/06/2023 S : Setelah observasi 1.5 jam : pandangan kabur (-), nyeri (-), panas (-)
Rabu O : Kes : CM
KU : Baik
Inspeksi : Injeksi Konjungtiva (+/-), Injeksi Siliar (+/-), COA OD
tampak perdarahan ¼ ketinggian COA, Pupil bulat, isokor 2mm/2mm,
Refleks cahaya (+/+), Visus OD 5/6, Visus OS 6/6.
Palpasi : Pemeriksaan TIO dengan metode digiti : TdigN
A : Hifema Traumatika OD Grade 1-2
P : Konsul dr. Ranny, Sp. M via WA dan telfon jam 15.23 WIB, advice :
- Anjuran rawat (pasien menolak untuk dirawat)
- Ciprofloxacin 2x500mg tab
- Methylprednisolon 1x16mg tab
- Methylprednisolon 2x4mg tab
- Vitamin C 2x500mg tab
- LFX 6x1 tetes sehari OD Dextra
- Polidex 6x1 tetes sehari OD Dextra
- Cendotropin 0.5% 2x1 tetes sehari mata kanan
- Pasien tidak boleh banyak gerakan, kepala tidak boleh geleng-geleng
- Tidur dengan posisi kepala ditinggikan
- Tidak boleh banyak gerak sampai hari ke 7
- Jika mau sholat, hanya boleh berbaring di tempat tidur
- Jika pasiennya mau BAK, ditampung ditempat tidur
- Kontrol ke poli mata setelah hari ke 7 tanggal 17 Juni 2023
- Jika pasien ada keluhan sebelum hari ke 7 langsung ke poli mata.
18
BAB IV
PEMBAHASAN
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2014..
2. AAO (American Academy of Opthamology). Basic Opthamology. San
Francisco: American Academy of Opthamology. 2016
3. Ilyas S. Hifema. Dalam Kedaruratan dalam Ilmu penyakit Mata. Edisi 5. Balai Penerbit
FKUI: Jakarta. 2014
4. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. General ophthalmology.16
ed.USA:McGraw- Hill
5. Kuhn F, Pieramici D. Mechanical Globe Injuri: Anterior Chamber. Dalam: Ocular
trauma principles and practice. New York: Thieme. 2002.
6. Kuhn F. Anterior Chamber. Dalam: Ocular Traumatology USA: Springer. 2008.
7. Behbehani A, Abdelmoaty S, Aljazaf A. Traumatic Hyphema. Dalam Studi Journal
og Ophtalmology, Volume 3, No. 3 July-September.2006
20