Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH DISKUSI KELOMPOK PEMICU 2

Stroke Hemoragik
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III (KMB III)
Semester V Tahun Ajaran 2018/2019

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2 PSIK A 2016

1. ZULFA NURMANITA L. (11161040000003)


2. IRMA HARDIYANTI S.N. (11161040000012)
3. SHAVIRA ALDINAH (11161040000020)
4. RIZKIYAH AYU W. (11161040000025)
5. CHOLISA ERLANI OBEY (11161040000027)
6. DWI NUR ROYHA (11161040000079)
7. AKROMUL IKHSAN B. (11161040000082)
8. DAWDA KAIRABA KIJERA (11161040000089)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
SEPTEMBER 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita berbagai macam
nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan, baik
kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua
cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen Modul KMB III
kami yang telah membantu kami, sehingga makalah Diskusi Kelompok pemicu 2 ini
terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa maupun
dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian, yang kadangkala
hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang
membangun untuk lebih menyempurnakan makalah kami dilain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa
yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang
ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari makalah ini,
sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Ciputat, 17 September 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................... 3
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 5
BAB II : PEMBAHASAN .............................................................................................. 7
2.1 Anatomi Fisiologi ......................................................................................... 7
2.2 Fraktur ......................................................................................................... 20
2.1.1 Definisi ...................................................................................... 20
2.1.2 Etiologi ...................................................................................... 20
2.1.3 Klasifikasi ................................................................................. 23
2.1.4 Manifestasi Klinis ..................................................................... 23
2.1.5 Komplikasi ................................................................................ 24
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik ............................................................ 27
2.1.7 Patofisiologi .............................................................................. 27
2.1.8 Penatalaksanaan ........................................................................ 29
2.3 Hukum Islam tentang Tata Cara Sholat bagi Orang yang Sakit ................. 30
2.4 Asuhan Keperawatan .................................................................................. 35
2.1.1 Pengkajian ................................................................................. 35
2.1.2 Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 35
2.1.3 Diagnosa Keperawatan ............................................................. 35
2.1.4 Rencana keperawatan ................................................................ 36
BAB III : PENUTUP .................................................................................................... 38
3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 38
3.2 Saran ........................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 39

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh,
yang biasanya disebabkan oleh trauma /ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan
luasnya trauma (Lukman dan Nurma, 2009 : 26). Fraktur femur didefinisikan sebagai
hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur
femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung
pada paha (Zairin, 2012 : 508).

Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan umur dibawah
45 tahun dan sering berhubungan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor (Lukman dan Nurma, 2009 : 26). Data yang diperoleh dari
RSUD kabupaten jombang di paviliun Asoka pada tahun 2014, tercatat 101 pasien dengan
diagnosa medis fraktur femur. Pada Bulan Januari terdapat 8 pasien dengan diagnosa fraktur
femur (7,9 %), Bulan Februari terdapat 8 pasien (7,9 %), Bulan Maret 5 pasien (4,9 %),
Bulan April 13 paiesn (12,9 %), Bulan Mei 11 pasien (10,9 %), Bulan Juni 9 pasien (8,9 %),
Bulan Juli 14 pasien (13,9 %), Bulan Agustus 9 pasien (8,9%), Bulan September 6 pasien
(5,9 %), Bulan Oktober 7 pasien (6,9 %), Bulan November 8 pasien (7,9 %), Bulan Desember
3 pasien (2,9 %).

Fraktur dapat terjadi akibat :1) Peristiwa trauma tunggal. Sebagian besar fraktur
disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan,
pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau
penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan
jaringan lunak juga pasti rusak. 2). Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik).
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu lemah (misalnya oleh tumor)
atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit paget) (Zairin, 2012 : 508).

Ada beberapa dampak yang dapat terjadi apabila fraktur femur tidak mendapatkan
penanganan secara tepat antara lain : 1) Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan

4
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bias menyebabkan menurunnya oksigenasi. Hal ini
biasanya terjadi pada fraktur. 2) Kerusakan arteri, pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai
oleh: tidak adanya nadi: CRT (Capillary Refil Time) menurun: sianosis bagian distal:
hematoma yang lebar: serta dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi pembidaian, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
3) Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi dijebaknya otot, tulang, saraf,
dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau
perdarahan yang menekan otot, syaraf, dan pembuluh darah. 4) Infeksi, system pertahanan
rusak bila ada trauma pada jaringan. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bisa juga karena bahan lain dalam pembedahan seperti pin (Open Reduction Internal Fixation
dan Open Reduction Eksternal Fixation) atau plat. 5) Avascular nekrosis (AVN)

Pada kasus, seorang perempuan 30 tahun mengalami kecelakaan fraktur femur dextra
terbuka komplit. Pemeriksaan Airway, Breathing, Circulation baik. GCS 15. Palpasi, sensori
dan motorik masih baik, dengan nyeri +, skala 7. Klien direncanakan dilakukan ORIF, telah
mendapat terapi tramadol 2x1 ampul, sudah dilakukan debridemen pada luka, dan skintraksi.
Pasien hanya dapat berbaring tidur, sementara pasien diwajibkan sholat 5 waktu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi dan fisiologi ekstremitas bawah khusus nya femur?
2. Apa yang dimaksud dengan fraktur?
3. Apa saja penyebab fraktur?
4. Apa saja klasifikasi dari fraktur?
5. Apa saja manifestasi klinis dari fraktur?
6. Apa saja komplikasi dari fraktur?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari fraktur?
8. Bagaimana patofisiologi dan tahap penyembuhan fraktur?
9. Apa saja penatalaksanaan pasien dengan fraktur?
10. Bagaimana hukum Islam dalam tata cara sholat bagi orang yang sakit?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan tentang anatomi dan fisiologi ektremitas bawah (femur)
2. Menjelaskan tentang definisi fraktur
3. Menjelaskan tentang etiologi fraktur

5
4. Menjelaskan tentang klasifikasi fraktur
5. Menjelaskan tentang manifestasi klinis fraktur
6. Menjelaskan tentang komplikasi fraktur
7. Menjelaskan tentang pemeriksaan diagnostik fraktur
8. Menjelaskan tentang patofisiologi dan tahap penyembuhan fraktur
9. Menjelaskan tentang penatalaksanaan pasien dengan fraktur
10. Menjelaskan tentang hukum Islam dalam melaksanakan sholat bagi orang yang sakit

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi, Fisiologi dan Histologi


1. Anatomi, fisiologi dan histologi
Dalam hal ini, penulis akan membahas beberapa sistem antara lain (1) sistem
tulang, (2) sistem sendi, (3) sistem otot, (4) sistem saraf.

a. Sistem tulang
1) Os. Femur
Merupakan tulang panjang dalam tubuh yang dibagi atas Caput Corpus
dan collum dengan ujung distal dan proksimal. Tulang ini bersendi dengan
acetabulum dalam struktur persendian panggul dan bersendi dengan tulang
tibia pada sendi lutut (Syaifudin, B.AC 1995). Tulang paha atau tungkai atas
merupakan tulang terpanjang dan terbesar pada tubuh yang termasuk
seperempat bagian dari panjang tubuh. Tulang paha terdiri dari 3 bagian, yaitu
epiphysis proximalis, diaphysis, dan epiphysis distalis

- Epiphysis Proksimalis
Ujung membuat bulatan 2/3 bagian bola disebut caput femoris yang punya
facies articularis untuk bersendi dengan acetabulum ditengahnya terdapat
cekungan disebut fovea capitis. Caput melanjutkan diri sebagai collum femoris
yang kemudian disebelah lateral membulat disebut throcantor major ke arah
medial juga membulat kecil disebut trochantor minor. Dilihat dari depan,
kedua bulatan major dan minor ini dihubungkan oleh garis yang disebut linea
intertrochanterica (linea spiralis). Dilihat dari belakang, kedua bulatan ini

7
dihubungkan oleh rigi disebut crista intertrochanterica. Dilihat dari belakang
pula, maka disebelah medial trochantor major terdapat cekungan disebut
fossa trochanterica.

- Diaphysis
Merupakan bagian yang panjang disebut corpus. Penampang melintang
merupakan segitiga dengan basis menghadap ke depan. Mempunyai dataran
yaitu facies medialis, facies lateralis, facies anterior. Batas antara facies
medialis dan lateralis nampak di bagian belakang berupa garis disebut linea
aspera, yang dimulai dari bagian proximal dengan adanya suatu tonjolan kasar
disebut tuberositas glutea. Linea ini terbagi menjadi dua bibit yaitu labium
mediale dan labium laterale, labium medial sendiri merupakan lanjutan dari
linea intertrochanrterica. Linea aspera bagian distal membentuk segitiga
disebut planum popliseum. Dari trochantor minor terdapat suatu garis disebut
linea pectinea. Pada dataran belakang terdapat foramen nutricium, labium
medial lateral disebut juga supracondylaris lateralis/medialis.

- Epiphysis distalis
Merupakan bulatan sepasang yang disebut condylus medialis dan condylus
lateralis. Disebelah proximal tonjolan ini terdapat lagi masing-masing sebuah
bulatan kecil disebut epicondylus medialis dan epicondylus lateralis.
Epicondylus ini merupakan akhir perjalanan linea aspera bagian distal dilihat
dari depan terdapat dataran sendi yang melebar disebut facies patelaris untuk
bersendi dengan os. patella. Intercondyloidea yang dibagian proximalnya
terdapat garis disebut linea intercondyloidea.

2) Os. Patella
Terjadi secara desmal. Berbentuk segitiga dengan basis menghadap proximal
dan apex menghadap ke arah distal. Dataran muka berbentuk convex. Dataran
belakang punya dataran sendi yang terbagi dua oleh crista sehingga ada 2
dataran sendi yaitu facies articularis lateralis yang lebar dan facies articularis
medialis yang sempit.

3) Os. Tibia
Terdiri 3 bagian yaitu epipysis proximalis, dialysis dan epiphysis distalis:

8
Epiphysis proximalis terdiri dari 2 bulatan disebut condylus medialis dan
condylus lateralis. Disebelah atas terdapat dataran sendi disebut facies
articularis superior, medial dan lateral. Tepi atas epiphysis melingkar yang
disebut infra articularis medialis dan lateralis oleh suatu peninggian disebut
eminentia intercondyloidea, yang disebelah lateral dan medial terdapat
penonjolan disebut tuberculum intercondyloideum terdapat cekungan disebut
fossa intericondyloidea anterior dan posterior. Tepi lateral margo infra
glenoidalis terdapat dataran disebut facies articularis fibularis untukbersendi
dengan os fibulae.

4) Os. Fibula
Tulang fibula terbentuk kecil dan hampir sama panjang dengan tibia, terletak
disebelah lateral dari tiga bagian yaitu epiphysis proximalis, diaphysis dan
epiphysis distalis, epiphysis proximalis membulat disebut capitullum fibula
yang proximal meruncing menjadi apex capitis fibula pada capitullum terdapat
dua dataran yang disebut facies articularis, capitullum fibula untuk bersendi
dengan tibia.

b. Arthrologi/sistem sendi
Sendi adalah hubungan antara dua tulang atau lebih dari sistem sendi, disini
meliputi sistem sendi panggul dan sendi lutut.

1) Sendi panggul
Sendi panggul dibentuk oleh facies lunata acetabullum dan caput femoris.
Facies lunata rongga sendi atau cavum articularis merupakan cekungan
bentuk simetris terbentang melampaui equator labium acetabuli, labium
acetabuli mengandung zat rawan fibrosa. Facies lunata dan labium menjadi
dua pertiga caput femoris lekuk tulang tidak lengkap dan bagian interior
ditutup oleh lig trasuersum, acetabuli, dimana terdapat bantalan lemak menuju
caput femoris. Kapsul sendi melekat pada tulang panggul sebelah luar labium
acetabuli sehingga labium aetabuli dengan bebas masuk ke rongga kapsul.
Sendi panggul diperkuat oleh ligamentum-ligamentum yang diantaranya:

9
a) Ligamentum Iliofemorale
Berbentuk Y, dasarnya melekat pada spinailiaca anterium dan interior
berfungsi mencegah gerakan extensi dan exirotasi tungkai atas yang
berlebihan pada sendi pangkal paha.

b) Ligamentum pubofemorale
Berbentuk segitiga, dasarnya ligamen pada ramus superior pubis, berfungsi
mencegah gerakan abduksi tungkai atas yang berlebihan.

c) Ligamentum ischiofemorale
Berbentuk spiral, melekat pada corpus ischium dekat tepi aetabulum.

d) Ligamentum transferum acetabuli


Dibentuk oleh labium acetabulare. Berfungsi mencegah keluarnya caput
femoris dari acetabuli.

e) Ligamentum cepitis femoris


Berbentuk gepeng dan segitiga melekat pada caput femoris. Berfungsi
sebagai tempat berjalan vasa dan saraf, meratakan sinovial pada
permukaan sendi.

2) Sendi Lutut
Sendi lutut dibentuk oleh tiga sendi yang berbeda dan dilindungi oleh kapsul
sendi. Sendi tersebut dibentuk oleh tulang femur dan patella yang mana pada
facet sendi terdiri dari tiga permukaan pada bagian lateral, yang mana pada
satu permukaan bagian medial otot vastus lateralis menarik patella ke arah
proximal sedangkan otot vastus medialis menarik patela ke arah medial,
sehingga patella stabil. Pada posisi 30o, 40o dari ekstansi, patellah tertarik oleh
mekanisme gaya kerja otot sangat kuat.

1.1 Lig. Pubofemorale


1.2 Canalis obturatorius
1.3 Membrana obturatoria
1.4 Trochanter minor
1.5 Trochanter major
1.6 Pars transversa Lig. iliofemorale
1.7 Pars descendens
1.8 M. rectum femoris, Tendo

10
1. Caput reflexum
2. Caput rectum
3. Lig. Iliofemorale
4. collum femoris
5. trochanter major
6. Tuberositas glutea
7. Trochanter minor
8. Lig. Ischio femorale
9. Lig. Sacrotuberale
10. Lig. sacrospinale

c. Sistem Otot
Otot yang akan dibahas hanya berhubungan dengan kondisi pasien post operasi
fraktur femur 1/3 medial dextra dengan pemasangan plate and screw adalah otot
yang berfungsi ke segala arah seperti regio hip untuk gerakan fleksi-ekstensi,
abduksi-adduksi dan eksternal rotasi-internal rotasi.

Untuk lebih terperincinya penulis menyertakan otot-otot yang berhubungan


dengan kondisi tersebut, yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.1

Otot Tungkai Atas Bagian Anterior (Richard, S. 1986)

No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi

1 Sartorius Spina iliace Permukaan Fleksi N.


anterior medial tibia abduis, femoralis
superior rotasi, lateral
(SIAS) arc coxae

2 Iliacus Fossa illiaca Throcantor Flexi N.


di dalam femur femoralis
abdomen

11
3 Quadricep
Femoralis
SIAS Tendon m. Flexi arc N.
a. Rectus quadriceps coxae femoralis
femoris pada patela,
vialigamentum
patellae ke
dalam
tuberositas
tibia

Extansi lutut
b. Vatus Ujung atas
lateralis dan batang N.
femur, femoralis
septum
facialis lat ke Extensi lutut,
c. Vatus dalam menstabilkan
medialis patela
Ujung atas N.
dan batang Extensi lutut femoralis
femur

d. Vatus
intermedius
Permukaan
N.
anterior dan
femoralis
lateral
batang femur

12
Tabel 2.2

Otot Tungkai Atas Bagian Posterior (Ricard, S. 1986)

No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi

1 Biceps Caput Permukaan Flexi Ramus tibialis


femoralis longum medial abduksi, N. ischiadicum
(tuber tibia rotasi lateral
isciadoleum) arc.Co xae
caput breve
(linea
aspera)
crista supra
condilair
Semi Ramus tibialis
lateral Flexi, rotasi,
tendonisosis Medial N.ischiadicum
batang medial
tibia
femur) sendi lutut
serta Arc.
Tuber
Coxae
ischiadikum

2 Semi Tuber Condylus Flex dan Ramus tibialis


membranosus ischiadikum medialis rotasi, N. ischiadicum
tibia medial
sendi lutut
serta extensi
serta extensi
Arc. Coxae

3 Adduktor Tuber Tiberculum Extensi Arc Ramus tibialis


magnus ischiadicum adduktor Coxae
N. Ischiadicum
femur

13
Tabel 2.3

Otot tungkai atas Regio Glutealis (Richar, S. 1986)

No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi

1 Gluteus Permukaan Tractus Extensi N. gluteus


maximus luar ilium, illiotibialis dan interior
sacrum, dan rotasi
ligamen duterositas laterale
sacrotuberale gluteo Arc.
femoris Coxae

2 Gluteus Permukana Lateral Extensi N. gluteus


Medius luar ilium throchantor dan superior
mayor rotasi
femoris

3 Gluteus Permukaan Anterior Abduksi N. gluteus


minimus luar ilium throchantor Arc. superior
mayor Coxae
femoris

4 Piriformis Permukaan Throchantor Rotasi N. Sacralis I


anterior mayor lateral dan II
sacrum femoris

5 Obturatorius Permukaan Tepian atas Rotasi Plexus sacralis


internus dalam throchantor lateral
membrana mayor
abturatoria femoris

14
Tabel 2.4

Otot Tuang Medial Paha

No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi

1 M. Gracilis Ramus Tuberositas Adduktor flexor, Ramus anterior


interior ossis tibia hip flexor dan N. obturatoria
pubis dan dibelakang internal rotator L2-4
ossis ischi tungkai bawah

2 M. adduktor Dataran M. sartorius Ramus anterior Adduktor,


langus anterior labium medial N. Abtoratorium flexor hip
ramus linea aspera L2-3
superior 1/3 medial
ossis pubis

3 M. adduktor Lateral Labium Adduktor flexor, Ramus anterior


brevis ramus medial linea internal rotasi dan posterior
interior ossis aspera hip N. abturatoria
pubis L2-4

4 M. adduktor Dataran Labium Adduktor dan Ramus


magnus anterior medial linea extensor hip posterior dan
ramus aspera N. tibialis dan
interfior ossi L2-5 dan S1
ischii dan
tuber
ischiadicum

5 M. Datarna Fossa External rotator Ramus


Obturatorius anterior throhantorica hip membantu muscularis
externus membrana femoris extensor hip plexus sacralis
abturatoria, S1-3
foramen
abturatroium

15
d. Sistem Persyarafan
Sistem persyarafan pada tungkai atas (paha) dibagi menjadi 4 yaitu:

1) Nervus femoralis
Merupakan cabang terbesar dari pleksus lumbalis. Nervus ini berisi dari tiga
bagian pleksus anterior yang berasal dari nervus lumbalis (L2, L3 dan L4).
Nervus ini muncul dari tepi lateral psoas di dalam abdomen dan berjalan ke
bawah melewati m. psoas dan m.iliacus ia terletak di sebelah fasia illiaca dan
memasuki paha lateral terhadap anterior femoralis dan selubung femoral di

16
belakang ligament inguinal dan pecah menjadi devisi anterior dan posterior
nervus femoralis mensyarafi semua otot anterior paha.

2) Nervus obturatorius
Berasal dari plexus lumbalis (L2, L3 dan L4) dan muncul pada bagian tepi m.
psoas di dalam abdomen, nervus ini berjalan ke bawah dan depan pada lateral
pelvis untuk mencapai bagian atas foramen abturatorium, yang mana tempat
ini pecah menjadi devisi anterior dan posterior. Devisi anterior memberi
cabang-cabang muscular pada m. gracilis, m. adduktor brevis dan longus.
Sedangkan devisi posterior mensyarafi articularis guna memberi cabang-
cabang muscular kepada m.obturatorius esternus, dan adduktor magnus.

3) Nervus gluteus superior dan inferior


Cabang nervus sacralis meninggalkan pelvis melalui bagian atas, dan bawah
foramen ischiadicus majus di atas m. piriformis dan mensyarafi m.gluteus
medius dan minimus serta maximus.

e. Sistem peredaran darah


Sistem peredaran darah tungkai atas (paha)

Di sini akan dibahas sistem peredaran darah dari sepanjang tungkai atas atau paha
yaitu pembuluh darah arteri dan vena.

1) Pembuluh darah arteri


Arteri membawa darah dari jantung menuju saluran tubuh dan arteri ini selalu
membawa darah segar berisi oksigen, kecuali arteri pulmonale yang membawa

17
darah kotor yang memerlukan oksigenisasi. Pembuluh darah arteri pada
tungkai antara lain yaitu:

a) Arteri femoralis
Arteri femoralis memasuki paha melalui bagian belakang ligament
inguinale dan merupakan lanjutan arteria illiace externa, yang terletak
dipertengahan antara SIAS (spina illiaca anterior superior) dan sympiphis
pubis. Arteria femoralis merupakan pemasok darah utama bagian tungkai,
berjalan menurun hampir bertemu ke tuberculum adductor femoralis dan
berakhir pada lubang otot magnus dengan memasuki spatica poplitea
sebagai arteria poplitea.

b) Arteria profunda femoralis


Merupakan arteri besar yang timbul dari sisi lateral arteri femoralis dari
trigonum femorale. Ia keluar dari anterior paha melalui bagian belakang
otot adductor, ia berjalan turun diantara otot adductor brevis dan
kemudian teletak pada otot adduktor magnus.

c) Arteria obturatoria
Merupakan cabang arteri illiaca interna, ia berjalan ke bawah dan ke
depan pada dinding lateral pelvis dan mengiringi nervus obturatoria
melalui canalis obturatorius, yaitu bagian atas foramen obturatum.

d) Arteri poplitea
Arteri poplitea berjalan melalui canalis adduktorius masuk ke fossa
bercabang menjadi arteri tibialis posterior terletak dalam fossa poplitea
dari fossa lateral ke medial adalah nervus tibialis, vena poplitea, arteri
poplitea.

2) Pembuluh darah vena


Pembuluh darah vena pada tungkai antara lain:

a) Vena femoralis
Vena femoralis memasuki paha melalui lubang pada otot adduktor magnus
sebagai lanjutan dari vena poplitea, ia menaiki paha mula-mula pada sisi
lateral dari arteri. Kemudian posterior darinya, dan akhirnya pada sisi
medialnya. Ia meninggalkan paha dalam ruang medial dari selubung

18
femoral dan berjalan dibelakang ligamentum inguinale menjadi vena iliaca
externa.

b) Vena profunda femoralis


Vena profunda femoris menampung cabang yang dapat disamakan dengan
cabang-cabang arterinya, ia mengalir ke dalam vena femoralis.

c) Vena obturatoria
Vena obturatoria menampung cabang-cabang yang dapat disamakan
dengan cabang-cabang arterinya, dimana mencurahkan isinya ke dalam
vena illiaca internal.

d) Vena saphena magna


Mengangkut perjalanan darah dari ujung medial arcus venosum dorsalis
pedis dan berjalan naik tepat di dalam malleolus medialis, venosum
dorsalin vena ini berjalan di belakang lutut, melengkung ke depan melalui
sisi medial paha. Ia bejalan melalui bagian bawah n. saphensus pada fascia
profunda dan bergabung dengan vena femoralis.

19
2.2 Fraktur

2.1.1 Definisi

Ada beberapa pengertian fraktur menurut para ahli adalah


a. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006).

b. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai


jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).

c. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur


akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit
seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis
(Mansjoer, 2002).

d. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa


nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan
krepitasi (Doenges, 2002).

e. Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan
fibulayang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis,
atau persendian pergelangan kaki ( Muttaqin, 2008)
Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa fraktur cruris
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya,
yang di sebabkan karena trauma atau tenaga fisik yang terjadi pada tulang tibia
dan fibula.

2.1.2 Klasifikasi Fraktur

1. Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan


tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:

a. Fraktur tertutup (closed)


Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi.

20
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera


jaringan lunak sekitarnya.

b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan


jaringan subkutan.

c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan


lunak bagian dalam dan pembengkakan.

d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang


nyata dan ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)

Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang
patah.

Derajat patah tulang terbuka :

1) Derajat I

Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.

2) Derajat II

Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi


fragmen jelas.

3) Derajat III

Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

21
2. Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2
yaitu:

a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)

Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang


lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang
dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.

b. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )

Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah


satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering
disebut green stick.

Menurut Price dan Wilson ( 2005) kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.

3. Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan


mekanisme trauma ada 5 yaitu:

a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang


dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut


terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi
juga.

c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di


sebabkan oleh trauma rotasi.

d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi


yang mendorong tulang kea rah permukaan lain.

22
e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.

4. Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 antara
lain:

a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.

c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.

2.1.3 Etiologi

Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:

1. Cidera atau benturan

2. Fraktur patologik

Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi


lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.

3. Fraktur beban

Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.

2.1.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,


pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna.

23
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.

2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung


bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.

3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena


kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang


yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai


akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
(Smelzter dan Bare, 2002).

2.1.5 Komplikasi

Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005)
antara lain:

1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak,


sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.

a. Syok

Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak


kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra

24
sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas,
thoraks, pelvis dan vertebra.

b. Sindrom emboli lemak

Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam


pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjasinya globula lemak pada aliran darah.

c. Sindroma Kompartement

Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot


kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia
yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan
yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena
edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah
(misalnya : iskemi,dan cidera remuk).

d. Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi,
CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.

e. Infeksi

Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.

25
f. Avaskuler nekrosis

Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang


rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di
awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare,
2001).

2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan non union.

a. Malunion

Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah


sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

b. Delayed Union

Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan


dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.

c. Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan


memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis.

Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang (Price dan
Wilson, 2006).

26
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges ( 2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien


fraktur antara lain:

1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur

2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan


mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak

3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi)


atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh
pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress
normal setelah trauma.

4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens


ginjal.

Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple, atau
cedera hati.

2.1.7 Fase Penyembuhan Tulang

Kriteria penyembuhan fraktur menurut Rasjad (2007):

1) Klinis : ada tidaknya pergerakan antar fragmen, tidak adanya rasa sakit,
adanya konduksi yaitu adanya kontinuitas tulang
2) Radiologi : trabekula tampak melewati garis patahan dan terbentuk kalus.
Perkiraan penyembuhan tulang pada orang dewasa membutuhkan waktu 6-16
minggu.

perkiraan penyembuhan fraktur orang dewasa

lokasi Waktu penyembuhan


Metacarpal/metatarsal/kosta/ falang 3-6 minggu
Distal radius 6 minggu

27
Diafisis ulna dan radius 12 minggu
Humerus 10- 12 minggu
Klavikula 6 minggu
Panggul 10-12 minggu
Femur 12-16 minggu
Kondilus femur/tibia 8-10 minggu
Tibia/fibula 12-16 minggu
Vertebra 12 minggu

Proses penyembuhan tulang menurut Cormack (2000) dalam Astuti, 2011


ada 3 fase :

1) Fase inflamasi
Terjadi pada minggu ke 1 dan ke 2, diawali oleh reaksi inflamasi.
Terjadi aliran darah yang menimbulkan hematom pada fraktur yang segera
diikuti invasi dari sel-sel peradangan yaitu : netrofil, magrofag dan sel
fagosit.
2) Fase reparative
Fase ini berlangsung selama beberapa bulan. Di tandai dengan
differensiasi dari sel mesenkim pluripotensial. Hematom dari fraktur
kemudian diisi oleh kondroblas dan fibroblast yang akan menjadi tempat
dari matrik kalus. Awalnya terbentuk kalus lunak yang terdiri dari jaringan
fibrosa dan kartilago dengan sebagian kecil jaringan tulang. Osteoblast
kemudian mengakibatkan mineralisasi kalus lunak menjadi kalus keras dan
meningkatkan stabilitas fraktur. Dilihat secara radiologis gars fraktur
mulai tidak tampak.
3) Fase remodeling
Fase ini terjadi dalam waktu beberapa bulan hingga tahunan.
Aktifitas osteoblast dan osteoklas yang menghasilkan perubahan jaringan
immature menjadi matur, terbentuknya tulang lamellar sehingga
menambah stabilitas pada daerah fraktur.

28
2.1.8 Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.

1) Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat 16 fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan
diskontinuitas integritas rangka. 2
2) Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk
memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal.
Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka.
Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai
mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3) Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode
fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang
brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah
alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian
proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain
dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan
untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).

29
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan
pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin
tersebut dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau
rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan
sebagai temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive
treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak (Muttaqin, 2008).
4) Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari
atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan
latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi
(Mansjoer, 2000).

2.1.9 Pandangan islam

Syari’at Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani.
Tidak ada satu pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya.
Allah Azza wa Jalla sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:

‫سا إِّ هَل ُو ْسعا اها‬


ً ‫َّللاُ نا ْف‬
‫ف ه‬ ُ ‫اَل يُك ِّال‬

Artinya : “Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya” [al-Baqarah/ 2:286]

HUKUM-HUKUM BERHUBUNGAN DENGAN SHALAT ORANG SAKIT


Di antara hukum-hukum shalat bagi orang yang sakit adalah sebagai berikut :

1) Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan melaksanakannya
menurut kemampuannya , sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
firman-Nya:

30
‫َّللاا اما ا ْستا ا‬
‫ط ْعت ُ ْم‬ ‫فااتهقُوا ه‬

Artinya : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut


kesanggupanmu” [at-Taghâbun/ 64:16].

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Imran Bin Husain
Radhiyallahu ‘anhu:

‫ص ِّل قاا ِّئ ًما فاإِّ ْن لا ْم تا ْست ِّاط ْع فاقاا ِّعدًا فاإِّ ْن لا ْم تا ْست ِّاط ْع فا اعلاى‬ ‫سله ام اع ْن ال ه‬
‫ص اَل ِّة فاقاا ال ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ اعلا ْي ِّه او ا‬ ‫سأ ا ْلتُ النه ِّب ه‬
‫ي ا‬ ‫ير فا ا‬ ْ ‫كاان‬
ُ ‫ات ِّبي اب اوا ِّس‬
‫اج ْنب‬

Artinya : “Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak
mampu juga maka berbaringlah” [HR al-Bukhari no. 1117]

2) Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka diperbolehkan
menjama’ (menggabung) shalat , shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ baik
dengan jama’ taqdim atau ta’khir , dengan cara memilih yang termudah baginya.
Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat
sebelum dan sesudahnya. Di antara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas
Radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi :

‫ااء بِّ ْال امدِّينا ِّة فِّي اغي ِّْر خ ْاوف او اَل ام ا‬
‫طر قاا ال‬ ِّ ‫ب او ْال ِّعش‬
ِّ ‫ص ِّر او ْال ام ْغ ِّر‬
ْ ‫الظ ْه ِّر او ْالعا‬
ُّ ‫سله ام بايْنا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ اعلا ْي ِّه او ا‬ ‫سو ُل ه‬
‫َّللاِّ ا‬ ُ ‫أاب ُْو ( اج ام اع ار‬
‫قُ ْلتُ َِّلب ِّْن اعبهاس ِّل ام فاعا ال ذالِّكا قاا ال اك ْي اَل يُحْ ِّر اج أ ُ همتاهُ ) ُك اريْب‬

Artinya : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan
Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib
rahimahullah berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhu : Mengapa
beliau berbuat demikian? Beliau Radhiyallahu ‘anhu menjawab: Agar tidak menyusahkan
umatnya.” [HR Muslim no. 705]

Dalam hadits di atas jelas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan


kita menjama’ shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (Masyaqqah) dan sakit

31
adalah Masyaqqah. Ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit dengan orang
yang terkena istihadhoh yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta
mempecepat Isya’.

3) Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi apapun
selama akalnya masih baik.
4) Orang sakit yang berat shalat jama`ah di masjid atau ia khawatir akan menambah dan atau
memperlambat kesembuhannya jika shalat dimasjid, maka dibolehkan tidak shalat
berjama’ah . Imam Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada perbedaan
pendapat di antara ulama bahwa orang sakit dibolehkan tidak shalat berjama’ah karena
sakitnya. Hal itu karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di
Masjid dan berkata:

‫ُم ُروا أاباا با ْكر فا ْليُ ا‬


ِّ ‫ص ِّل بِّالنه‬
‫اس‬

Artinya : “Perintahkan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu agar mengimami shalat”


[Muttafaqun ‘Alaihi]

TATA CARA SHALAT BAGI ORANG YANG SAKIT

Tata cara shalat bagi orang sakit adalah sebagi berikut :

a. Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan
tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib
merupakan rukun shalat. Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun
dengan menggunakan tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan tiang,
berdasarkan hadits Ummu Qais Radhiyallahu ‘anha yang berbunyi:

‫س هن او اح ام ال الله ْح ام ات ه اخذا اع ُمودًا فِّي ُم ا‬


‫ص هَلهُ يا ْعت ِّامدُ اعلا ْي ِّه‬ ‫سله ام لا هما أ ا ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ اعلا ْي ِّه او ا‬ ُ ‫أ ا هن ار‬
‫سو ال ه‬
‫َّللاِّ ا‬

32
Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia
lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran” [HR
Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shohihah 319]

b. Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud , ia tetap wajib
berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan rukuk dengan menundukkan
badannya. Bila ia tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka
cukup dengan menundukkan lehernya, Kemudian duduk, lalu menundukkan badan
untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa
mungkin.

c. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya dengan duduk,
berdasarkan hadits ‘Imran bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudâmah
rahimahullah menyatakan, “Para ulama telah berijma’ bahwa orang yang tidak
mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk”.

d. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara
melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri,
dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah n
dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain Radhiyallahu ‘anhu :

‫ص ِّل قاائِّ ًما فاإ ِّ ْن لا ْم ت ا ْست ِّاط ْع فاقاا ِّعدًا فاإ ِّ ْن لا ْم ت ا ْست ِّاط ْع فاعالاى اج ْنب‬
‫ا‬

Artinya : “Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila
tidak mampu juga maka berbaringlah” [HR al-Bukhâri no. 1117]

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada
sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama
adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu yang
lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih
utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih
utama.

33
Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke dada,
ketentuannya , sujud lebih rendah dari ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan
kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:

a) Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila ruku’ maka ia memejamkan


matanya sedikit kemudian mengucapkan kata (\ُ‫س ِّم اع هللاُ ِّل ام ْن اح ِّمداه‬
‫ ) ا‬lalu membuka
matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.
b) Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.
c) Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat kedua dengan


menyatakan, “yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja,
karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan, tetap tidak
gugur, karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman :

e. Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang
dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara
berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan
kakinya di arah barat.
f. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau
membantu mengarahkannya, maka hendaklan ia shalat sesuai keadaannya tersebut.
g. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai
keadaannya.
h. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas
(Ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan
matanya), hendaknya ia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan
selama akal seorang masih sehat.
i. Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak
mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib melaksanakan
shalatnya dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak
perlu mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.

34
2.3 Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesa
nama : Ny X
Usia : 30 Tahun
Keluhan : Nyeri Fraktur femur dex
timbul keluhan : kecelakaan (terjatuhdari motor)
b. Pemeriksaan fisik
i. Kesadaran : composmentis (Gus : 15)
ii. TTU
iii. Pemeriksaan fisik regional (daerah fraktur)
1. Cook : kaji luka terbuka/ tertutup, ada kerusakan pada arteri
atau ldk dan beberapa lusa jaringan yang rusak
2. Feel : adanya keluhan nyeri tekan dankrepitasi
3. Move : pasien terlihat tdak mampu menggerakkan bagian kaki
yang patah ( femur dex)
2. Pemeriksaan penunjang
Menurut Doenges ( 2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur
antara lain:
1) Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2) Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak
3) Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple, atau
cedera hati.
3. Diagnosa keperawatan
Data Masalah Etiologi
DS : nyeri akut agen pencedera fisik
 mengeluh nyeri tungkai (trauma)
kanan atas
 jatuh dari motor

35
DO :
 nyeri +, skala 7
 tamoak luka patahan
keluar dari kulit
 fraktur femur dextra
Dx I : nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma)
DS : Gangguan mobilotas kerusakan integritas
 jatuh dari motor fisik struktur tulang
 hanya bisa berbaring
DO :
 fraktur femur dextra
 deformitas

Dx II : Gangguan mobilotas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang
DS : Kerusakan integritas faktor mekanis (patah
 jatuh dari motor jaringan tulang)
DO :
 tampak luka patahan
keluar dari kulit
 fraktur femur dextra
terbuka
Dx III : kerusakan integritas jaringan b.d faktor mekanis (patah tulang)

4. Rencana Keperawatan
Dx NOC NIC
I Pain Level Pain Management
Setelah dilakukan tindakan  lakukan pengkajian nyeri secara
keperawatan selama 2 x 24 jam komprehensif
diharapkan tingkat nyeri pasien  observasi reaksi
berkurang, dengan kriteria hasil : ketidaknyamanan
 melaporkan bahwa nyeri  ajarkan teknik nonfarmakologi
berkurang  berikan analgetik untuk

36
 mampu mengenali nyeri mengurangi nyeri
 menyatakan rasa nyaman  tingkatkan istirahat
setelah nyeri berkurang  evaluasi keefektifan kontrol nyeri
II 1. rencanakan penoda istirahat yang
Setelah dilakukan tindakan cukup
keperawatan selama 3 x 24 jam 2. berikan latihan aktifitas secara
diharapkan pasien dapat memenuhi bertahap
kebutuhan sehari-hari diharapkan 3. bantu pasien memenuhi
integritas jaringan pasien membaik kebutuhan
,dengan kriteria hasil 4. kaji responpasien setelah latihan
1. pasien cukup energi aktifitas
beraktifitas
2. pasien mampu melakukian
beberapa aktifitas tempo
dibantu / dengan dibantu
3. koordinasi otot tulang dan
anggota badan
III Presure ulcer prevention wound care
Setelah dilakukan tindakan  jaga kulit agar tetap bersih dan
keperawatan selama 5 x 24 jam kering
diharapkan  mobilisasi pasien setiap 2 jam
, dengan kriteria hasil : sekali
 perfusi jaringan normal  monitor kulit akan adanya
 tidak ada tanda-tanda infeksi kemerahan
 ketebalan dan tekstur jaringan  monitor aktivitas dan mobilisassi
normal pasien
 menunjukkan pemahaman  observasi luka : lokasi, dimensi,
dalam proses perbaikan kulit kedalaman luka, jaringan nekrotik
dan mencegah terjadinya  ajarkan keluarga tentang luka dan
cidera berulang perawatan luka
 menunjukkan terjadinya proses  monitor tanda-tanda infeksi
penyembuhan luka

37
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh,
yang biasanya disebabkan oleh trauma /ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan
luasnya trauma (Lukman dan Nurma, 2009 : 26). Fraktur femur didefinisikan sebagai
hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur
femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung
pada paha (Zairin, 2012 : 508).

Berdasarkan data dan kasus yang ada, kami mendapatkan 3 diagnosa keperawatan,
yaitu : nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma), Gangguan mobilotas fisik b.d kerusakan
integritas struktur tulang, dan kerusakan integritas jaringan b.d faktor mekanis (patah tulang).

3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini kami menyarankan agar pembaca dapat memahami
tentang gejala, penyebab, klasifikasi, penatalaksanaan, komplikasi, dan asuhan keperawatan
pasien dengan fraktur femur, sehingga dapat membuat kita lebih hati-hati dalam bekerja
ataupun melakukan aktifitas sehari-hari serta dapat membantu pasien fraktur. Terutama
dalam lalu lintas, agar mematuhi peraturan yang ada.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta


Salemba Medika.
2. Rasjad Chairuiddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : Yarsif
Watampore.
3. Muttaqin, Arif. 2012. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal: Aplikasi Pada
Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta : EGC.
4. Ircham Machfoedz. 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau
di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya.
5. Anderson, Paul D. 2008. Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta : EGC.
6. Helmi, N Z. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba
Medika.
7. Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.
8. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Indikator Diagnostik Ed. 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta : DPP PPNI.
9. Nurarif, A. N. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosis Medis
dan NANDA NIC-NOC. Jogjakarta : MediAction.

39

Anda mungkin juga menyukai