Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

Penanganan Jenazah DVI di Luar Negeri

Diajukan kepada Dosen Pembimbing Klinik:


dr. Asri Megaratri Pralebda, Sp.F

Disusun Oleh:
Eva Yana Febriyanti (2011901012)
Exaudi (2011901056)
Remaldi Gozandi (2011901013)
Zafitri Asrul (2011901055)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK.I R. SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB
JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Pengertian bencana massal yang paling mendasar adalah bencana massal


adalah suatu peristiwa, termasuk saluran udara, saluran air, gempa bumi dan
banyak lagi, yang mengakibatkan atau pada akhirnya sebagai akibatnya
menyebabkan timbulnya korban dalam jumlah yang begitu besar, yang perlu
diketahui oleh pihak berwajib dan merupakan kerabat dari penyidikan hukum
medis.1
Identifikasi para korban dari peristiwa-peristiwa ini dianggap sebagai tanda
penghormatan yang penting tidak hanya bagi jenazah tetapi juga bagi keluarga
dan teman-teman yang masih hidup. Selain itu, identifikasi mungkin diperlukan
secara hukum, misalnya untuk membantu proses pidana, memfasilitasi
penyelesaian warisan, atau hak pasangan untuk menikah kembali. Akibatnya,
proses khusus telah dikembangkan untuk memfasilitasi identifikasi jenazah.2
Untuk memformalkan proses identifikasi setelah bencana massal, The
International Criminal Police Organization (INTERPOL) mengembangkan
pedoman dan protokol khusus untuk disaster victim identification (DVI) yang
melibatkan pengumpulan dan perbandingan data antemortem (AM) dan
postmortem (PM).2
Tujuan utama dari disaster victim identification (DVI) adalah untuk
memulihkan semua sisa-sisa fragmentasi manusia, mengidentifikasi orang yang
meninggal, dan mengesahkan penyebab dan cara kematian mereka.3
Pada tahun 1984, international police network International Criminal
Police Organization (INTERPOL) pertama kali mengeluarkan guidline DVI
secara tertulis. Panduan DVI INTERPOL diterbitkan dan diperbarui secara
berkala oleh kelompok kerja DVI yang disarankan oleh empat kelompok sub-
kerja ilmiah yang terkait dengan bidang keahlian forensik yang umumnya
dikonsultasikan dalam operasi DVI: odontologi, patologi/ antropologi, ridgeologi
(sidik jari), dan biologi molekuler (DNA). Pembedahan DVI di seluruh dunia
biasanya mengikuti panduan INTERPOL DVI dan menggunakan panduannya
formulir dokumentasi. Formulir dokumentasi telah terbukti efektif dalam bencana
dengan tubuh yang relatif utuh, tetapi mungkin tidak sesuai bila digunakan untuk
operasi DVI yang kompleks dengan sisa-sisa yang terpisah dan rusak.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
WHO mendefinisikan bencana sebagai suatu peristiwa, yang dapat berupa
alam atau buatan manusia yang memiliki dampak sedemikian rupa pada orang-
orang yang tinggal di daerah yang terkena bencana, sehingga hanya tindakan
pencegahan yang dapat mengembalikan mereka ke suatu tempat yang setara
dengan situasi sebelum bencana.4
Bencana sebagaimana dikatakan oleh Dr. Rasha Haddad dapat
didefinisikan sebagai serangkaian peristiwa serius yang menimbulkan ancaman
dan kerusakan parah terhadap harta benda dan prasarana serta penduduk di
wilayah tersebut, yang terkena dampaknya.4
Bencana massal didefinisikan sebagai kondisi di mana jumlah korban
tewas yang terjadi selama bencana melampaui kapasitas penanganan otoritas lokal
dan yurisdiksi, yang terlibat dalam tugas identifikasi dan penyelidikan forensik.4
Pengertian bencana massal selanjutnya adalah sebagai peristiwa bencana
dimana jumlah korban meninggal melebihi kapasitas yang dapat ditangani oleh
wilayah hukum setempat.4
Disaster victim identification (DVI) adalah proses mengidentifikasi korban
yang meninggal akibat bencana. Kematian akibat bencana dapat diklasifikasikan
sebagai korban bencana terbuka dan korban bencana tertutup. Dalam bencana
terbuka proses identifikasi lebih sulit. Berdasarkan peraturan hukum, identifikasi
dimaksudkan untuk memenuhi hak asasi manusia atas identitas, martabat dan
status sosial, hak otonomi seperti warisan, status perkawinan, agama, asuransi
atau masalah hukum dan sosial lainnya.5
2.2 Pentingnya Identifikasi Korban Bencana4
a) Identifikasi korban bencana merupakan aspek penting karena memungkinkan
para penyelidik untuk mengetahui tentang modus dalam kasus bencana
buatan manusia.
b) Menetapkan identitas pribadi korban dengan mencocokkan catatan post dan
peri mortem untuk mengetahui identitas sebenarnya dari individu tersebut dan
kemudian mengetahui tentang kemungkinan alasan terjadinya bencana dalam
kasus-kasus tertentu.
c) Rekonstruksi tempat kejadian dapat dilakukan dengan mengetahui identitas
korban, luka-luka ketika diidentifikasi sebagai ante mortem atau post mortem
atau kemungkinan penyebab kematian, dampak bencana dapat diketahui dan
dengan intensitas ledakan atau letusan atau gempa bumi dapat diketahui,
memungkinkan rekonstruksi tempat kejadian.
d) Mengetahui jumlah korban jiwa yang telah terjadi dan daftar jumlah orang
hilang.
e) Mengetahui sejauh mana kerugian yang telah terjadi pada aset, termasuk
properti.
2.3 Hal-hal yang Harus Diperhatikan Saat Menyelidiki TKP4
a) Membatasi pergerakan orang yang tidak berwenang di tempat kejadian, karena
mereka dapat merusak bukti atau bahkan dapat terluka, seperti dalam kasus
analisis pasca ledakan mungkin ada bahan kimia yang tidak terbakar atau
terbakar sebagian.
b) Memelihara catatan yang tepat tentang waktu relatif terhadap entri dan keluar
dari otoritas yang berwenang.
c) Kondisi jenazah yang ditemukan dari tempat kejadian dan sisa-sisa yang
ditemui dari tempat kejadian harus dilestarikan sebagaimana mestinya dan
sesegera mungkin.
d) Meskipun proses dasar untuk menyelidiki akan tetap sama, tetapi divisi dan
jumlah spesialis yang terlibat bervariasi sesuai dengan tempat kejadian dan
tingkat kerusakan yang ditimbulkan.
2.4 Tahapan Identifikasi Korban Bencana4
1. Tahap 1: Kunjungan ke Tempat Kejadian
Setelah terjadinya bencana hal yang paling pertama adalah kunjungan
ke tempat kejadian. Tempat terjadinya bencana harus ditangani dengan hati-
hati dan barang bukti serta sisa-sisa manusia harus dibawa dengan hati-hati.
Metode pencarian yang tepat harus dipertimbangkan. Sebagian besar
dalam kasus, seperti bencana pesawat, metode grid digunakan untuk
pencarian. Jika analisis pasca ledakan akan dilakukan, sampel yang tidak
terbakar dapat ada ditempat kejadian dan oleh karena itu harus dilakukan
dengan hati-hati. Dokumentasi TKP harus dilakukan; foto-foto tempat
kejadian harus diambil sebelum ada perubahan di lokasi bencana. Korban
yang terluka harus diarahkan ke rumah sakit segera setelah ditemui. Sisa-
sisa yang ditemui harus diperiksa apakah manusia atau bukan. Penomoran
setiap aspek harus dilakukan untuk memudahkan penyelidikan (Gambar 1).

Gambar 1. Contoh metode grid pada bencana pesawat


Metode yang tepat harus digunakan oleh koordinator tempat
kejadian untuk melindungi, menangani dan mengangkut barang bukti dan
sisa-sisa manusia dan kerusakan yang disebabkan properti sesegera
mungkin, dengan catatan yang tepat untuk hal yang sama. Pelabelan
catatan post mortem juga harus dilakukan untuk memudahkan
penyelidikan.
2. Tahap 2: Tahap Post-Mortem
Jenazah dan korban yang ditemukan dari tempat kejadian dibawa ke
kamar jenazah untuk pemeriksaan lebih lanjut. Penting untuk menyimpan
catatan dan mencatat setiap detail yang ditemukan dalam otopsi dan
pemeriksaan visual.6 Karena sebagian besar bukti fisik dan bukti tidak
langsung dapat ditemukan pada tahap ini, maka perlu ada pengamatan yang
kuat agar semua bukti ada di tangan. Bukti fisik yang dapat ditemui antara
lain bukti medis dan gigi serta temuan laboratorium mengenai jejak alkohol,
obat-obatan atau bahan kimia seperti karbon monoksida. Pemeriksaan luar
umum seperti pemeriksaan sidik jari dan pemeriksaan luka.
Sidik jari korban diambil untuk mengidentifikasi korban dari catatan
ante mortem. Radiologi memainkan peran penting, karena memungkinkan
diagnosis yang benar dari tingkat keparahan cedera dan usia korban dapat
diidentifikasi dengan analisis radiologis. Odontologi juga memainkan peran
penting dalam identifikasi korban bencana, seperti dalam kasus di mana
fitur wajah dan sidik jari tidak mungkin dikumpulkan, seperti dalam
pembakaran, jaringan gigi manusia yang terkalsifikasilah yang
memungkinkan identifikasi karena daya tahannya yang tinggi. Identifikasi
dapat dilakukan atas dasar anomali gigi tertentu atau catatan gigi
sebelumnya.7
Pengenalan visual: Pengenalan visual meskipun valid tetapi tidak
semua kasus di mana wajah korban tidak terlihat atau di mana tubuh yang
dimutilasi terlibat. Meskipun penerapan pengenalan visual dapat
dipertimbangkan dalam kasus-kasus tertentu tetapi dikatakan bahwa itu saja
tidak dapat berfungsi sebagai dasar identifikasi karena ketidakakuratannya.
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah pakaian korban. Isi dalam
saku juga harus diperiksa karena dapat berfungsi sebagai metode
identifikasi. Ada satu hal yang perlu diperhatikan bahwa jika suatu benda
yang dilekatkan secara longgar pada tubuh itu mungkin milik orang lain,
karena pengaruh tempat kejadian dan itulah sebabnya barang-barang pribadi
dianggap sebagai barang bukti tidak langsung dan perlu dikuatkan dengan
bukti-bukti lain, sehingga mencapai suatu kesimpulan.8
Pemeriksaan luar : Hal pertama yang harus dilakukan segera setelah
korban mencapai kamar mayat adalah memotret tubuh dan mencari luka dan
tanda pribadi pada korban, termasuk tahi lalat, tanda lahir, tanda tato, bekas
luka yang dapat memungkinkan identifikasi. Cedera harus dicatat dengan
hati-hati karena memungkinkan kita untuk membedakannya sebagai cedera
ante dan post mortem dan juga dapat memberikan petunjuk tentang
penyebab kematian. Fitur seperti warna mata dan rambut dapat
memungkinkan identifikasi (Gambar 2).9

Gambar 2. Pemeriksaan luar untuk identisikasi dengan barang pribadi


seperti tato
Pada kasus keracunan, perubahan warna pada wajah dan tubuh dapat
menjadi indikasi dari agen penyebab yang digunakan, sehingga
memudahkan pemeriksaan. Pakar sidik jari mengambil cetakan punggungan
pada korban untuk mempromosikan identifikasi. Bahkan sampai saat ini jika
ada cetakan ante dan post mortem ridge, mereka dianggap sebagai metode
teraman yang digunakan untuk identifikasi (Gambar 2).
Pemeriksaan dalam: Di negara-negara tertentu, hanya pemeriksaan
eksternal yang dianggap meyakinkan untuk mengidentifikasi korban tetapi
dalam kasus di mana identifikasi tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan
eksternal seperti dalam kasus di mana sidik jari antemortem tidak ada atau
barang pribadi tidak dapat ditemukan. Untuk mengidentifikasi korban
tersebut dilakukan otopsi untuk menetapkan identifikasi.4
Identifikasi korban merupakan aspek penting dalam penyelidikan
bencana massal. Dalam kasus di mana bencana kimia terlibat, analisis
serologis dan toksikologis terhadap korban perlu dilakukan untuk
mengetahui bahan kimia yang berperan sebagai agen penyebab bencana.
Identifikasi juga dapat dilakukan dengan menemukan fraktur sebelumnya
atau riwayat operasi atau organ yang hilang, atau, riwayat implan.
Departemen antropologi berperan penting dalam mengidentifikasi dan
memeriksa rincian penting mengenai korban. Dengan melihat formasi
jahitan dan fusi tulang, usia korban dapat diperkirakan, dengan
pemeriksaan yang cermat terhadap ciri-ciri jenis kelamin, penentuan ras
dapat dilakukan. Bagian antropologi juga berperan untuk memeriksa apakah
sisa-sisa yang ditemui adalah manusia atau bukan (Gambar 3).4

Gambar 3. Penentuan jenis kelamin dari gigi


Pemeriksaan gigi memainkan peran yang sangat penting sebagai metode
identifikasi positif. Dengan bantuan radiografi, Perkiraan usia dengan gigi juga
dapat dilakukan, karena gigi merupakan zat terkeras dalam tubuh manusia
sehingga lebih tahan terhadap kerusakan dibandingkan dengan organ lain
(Gambar 4).10
Gambar 4. Penentuan umur melalui gigi
Profil DNA dan identifikasi genetik memainkan peran berikutnya,
digunakan untuk menunjukkan hubungan genetik dengan anggota keluarga yang
dicurigai dan juga menemukan bagian-bagian tubuh dan memberikan keputusan
bahwa bagian-bagian tubuh itu milik individu yang sama, dalam kasus tubuh yang
dimutilasi. Dalam “kasus bencana pesawat sipil Spitsbergen, Agustus 1996”,
identifikasi korban dilakukan melalui profil DNA korban dan kerabat yang
dicurigai. Seperti dalam bencana yang dimutilasi organ dari 257 individu
ditemukan, 141 diidentifikasi dengan bantuan profil DNA dengan kerabat mereka.
Indikasi fisik, termasuk tanda tato, bekas luka, dan implan bedah memainkan
peran penting dalam identifikasi. Antropolog forensik memainkan peran penting
dalam mengidentifikasi korban bencana karena mereka memungkinkan pemetaan
rinci dari tubuh dan bagian tubuh dan karena memungkinkan identifikasi
berdasarkan pengerasan tulang, lebih menonjol dalam kasus bagian tubuh yang
terfragmentasi. Bidang penting berikutnya yang menjadi perhatian seorang
antropolog adalah menentukan apakah suatu fragmen tertentu adalah sisa-sisa
manusia atau bukan.4

2.5 Tahap 3: Pengumpulan Data Ante-mortem


Ada dua daftar yang disusun berdasarkan identifikasi, yakni data jenazah
dan data orang hilang. Sesuai INTERPOL, formulir merah muda adalah formulir
post mortem yang memiliki informasi terkait dengan tubuh dan formulir kuning
mengumpulkan informasi tentang orang hilang.10
Cara dasar pengumpulan data ante-mortem meliputi, wawancara dengan
kerabat, memeriksa catatan medis korban, memeriksa asuransi dan dokumen
terkait identitas pribadi korban. Perlu dicatat bahwa jumlah orang hilang harus
dihitung dengan hati-hati karena ada berbagai kasus masa lalu yang melibatkan
variabilitas dalam jumlah orang hilang yang tercatat dan orang hilang yang
sebenarnya. Jika ditemukan informasi tentang orang yang hilang atau meninggal,
maka informasi tentang keberadaan korban harus segera diberitahukan kepada
keluarganya. Unit orang hilang harus sangat penting karena memungkinkan
komunikasi antara kerabat korban dan pihak berwenang terkait.4
Tugas unit ante-mortem: Pekerjaan dasar unit ante-mortem berkisar pada
pengumpulan informasi kerabat korban, tentang kehidupan sehari-harinya,
identitasnya. Gambar ante-mortem korban harus dikumpulkan untuk kemudahan
identifikasi (jika tersedia). Harus ada koordinasi yang baik antara kedua tim
sehingga memungkinkan prosedur identifikasi dengan cara yang lebih baik.
Harus ada bukti yang tepat untuk menetapkan identitas korban. Setelah bukti
dikumpulkan dengan cara yang tepat hingga jumlah yang cukup, laporan harus
dikirim ke departemen rekonsiliasi untuk pemeriksaan lebih lanjut, sehingga
cocok dengan catatan ante dan post mortem. Tanggung jawab utama koordinator
ante-mortem adalah menyusun daftar orang hilang dan memelihara daftar korban
meninggal dalam urutan yang benar dengan nomor urut masing-masing.4
2.6 Tahap 4: Prosedur Rekonsiliasi
Pengurus identifikasi korban dibagi lagi menjadi, unit orang hilang, unit
catatan AM, unit file identifikasi, unit catatan kamar mayat. Semua pekerjaan
tersebut di atas saling berkoordinasi untuk mengidentifikasi korban dan untuk
pelepasan jenazah.11
Tata cara yang dilakukan sebelum jenazah korban dilepas adalah sebagai
berikut:
 Catatan dari cabang kamar mayat, termasuk medis, gigi, foto, rontgen, sidik
jari dikumpulkan.
 Catatan dari unit orang hilang dan catatan unit Ante mortem juga diambil.
 Diagram induk dari semua catatan dibuat saat kompilasi dari catatan post
mortem.
 Sesi rekonsiliasi dilakukan, melibatkan diskusi dan penolakan atau
penerimaan tentang identitas korban.
 Pada konfirmasi identitas, dibuat diagram identifikasi akhir.
 Jika korban meninggal, akta kematian disiapkan dan jenazahnya dikeluarkan
dari kamar mayat.
Pusat Identifikasi memainkan peran penting dalam prosedur rekonsiliasi
karena berisi file dan informasi dari unit ante-mortem dan post-mortem dan unit
yang hilang juga merupakan subdivisi yang sama, sehingga memungkinkan
penyelidikan untuk dilakukan lebih cepat. File harus dibagi berdasarkan kriteria
tertentu; mereka dapat berupa ras korban atau usia atau jenis kelaminnya,
sehingga memudahkan prosedur pencarian dan identifikasi. 12 Fotografi identifikasi
seharusnya tidak hanya mengumpulkan gambar dari catatan post mortem tetapi
juga dari catatan ante-mortem korban. Bagian identifikasi sidik jari harus
memiliki bagian terpisah, seperti dalam kasus di mana sidik jari ante dan post
mortem untuk identifikasi. Bahkan sampai hari ini, sidik jari dianggap sebagai
salah satu metode yang paling dapat diandalkan untuk identifikasi.13
Metode identifikasi korban: Metode identifikasi korban, pada dasarnya
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu identifikasi primer dan identifikasi sekunder.
Identifikasi primer dalam pengertian yang paling dasar, melibatkan
identifikasi korban berdasarkan temuan yang biasanya ditemukan sebagai akibat
dari bencana pada korban. Bukti-bukti primer adalah beberapa faktor seperti
waktu sejak kejadian, tingkat kerusakan korban, perubahan kondisi mayat dengan
keterlambatan waktu penyidikan. Sebagian besar sidik jari DNA, analisis catatan
gigi dan analisis ridge ditemukan sebagai alternatif yang paling dapat diandalkan
untuk identifikasi.
Identifikasi sekunder pada dasarnya melibatkan barang-barang pribadi,
tanda tato, bekas luka, deskripsi pakaian korban dan perhiasan yang dikenakan,
catatan medis. Semua ini dapat dikuatkan dengan informasi yang dikumpulkan
dari identifikasi utama korban tetapi tidak dapat berdiri sendiri sebagai bukti
individu untuk mengidentifikasi korban.
Baik data sekunder dan data primer yang bernilai signifikan harus
ditemukan. Kualitas data ante-mortem dan post-mortem yang dikumpulkan perlu
diteliti dengan cermat untuk mendapatkan hasil yang dapat diandalkan.14
Pusat identifikasi:
a. Bagian properti pusat identifikasi berkaitan dengan pengumpulan dan
pencatatan properti korban. Mereka pada dasarnya mendokumentasikan setiap
barang yang dikumpulkan dari korban dalam bentuk foto dan mendaftarkannya
di buku milik korban buku catatan properti. Barang-barang tidak hanya ditemui
pada korban tetapi juga di TKP harus didokumentasikan dan difoto dan
ditempatkan di tas bernomor "E", tanggung jawab ini juga dari bagian properti.
b. Bagian medis pusat identifikasi berisi tanggung jawab perbandingan ciri fisik
korban berdasarkan catatan AM dan PM. Struktur anatomi dasar
dipertimbangkan dalam kasus penataan ulang korban, ketika ditemukan korban
yang dimutilasi. Setelah pengamatan umum, pencocokan bagian-bagian tubuh
harus dilakukan untuk kepemilikan mereka pada individu yang sama.
c. Departemen berikutnya meliputi departemen bagian gigi yang pada dasarnya
melibatkan perkiraan usia, kebiasaan individu, pencarian anomali dan bantuan
dalam penyelidikan. Jika ada rontgen antemortem atau catatan gigi, kedua
catatan tersebut dapat dicocokkan dan identifikasi korban dapat dilakukan
dengan mudah.
d. Bagian analisis DNA memainkan peran utama dalam mengidentifikasi individu
karena dapat dicari dengan kerabat korban dengan kerabatnya dan identifikasi
dapat dilakukan. Sarung tangan pelindung harus dipakai sehingga kontaminasi
tidak perlu dilakukan. Harus menjadi perhatian yang signifikan bahwa sampel
harus dikumpulkan dari daerah yang paling sedikit terkena dampak, sehingga
penyelidikan tidak terpengaruh.
e. Bagian pelepasan jenazah sesuai dengan bagian kamar jenazah. Pengerjaan
pelepasan jenazah tidak hanya sebatas pelepasan jenazah saja tetapi sebelum
pelepasan pihak keluarga korban perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan
tertentu sesuai pedoman INTERPOL, seperti, tempat jenazah perlu
diberangkatkan, apakah jenazah akan dikremasi di tempat, jika harta benda itu
dikirimkan kepada keluarga dan dalam hal mayat diberikan persetujuan untuk
penguburan setempat, apakah ada barang milik korban yang harus dikuburkan
bersama.
2.2 Beberapa Kasus Penanganan Jenazah DVI
a. Serangan Teroris di Bandara Brussel 201615
Serangan di Brussel pada 22 Maret 2016 terjadi 7 hari setelah operasi
polisi Forest pada 15 Maret 2016, yang berujung pada penyerangan Salah
Abdeslam 3 hari kemudian di Molenbeek (salah satu dari 19 kota di Brussel).
Penyerangan ini mengikuti prosedur investigasi atas serangan yang terjadi
pada 13 November 2015 di Prancis.
Tanggal 22 Maret 2016 pukul 07:58, dua ledakan muncul di dalam aula
keberangkatan dari Bandara Internasional Brussel di Zaventem. Ledakan lain
terjadi pada 09:11 di metro Brussel di kereta yang meninggalkan stasiun
Maelbeek (di distrik Eropa) menuju Pusat Kota. Setelah bencana, 32 orang
tewas (tidak termasuk tiga pelaku bom bunuh diri) dan lebih dari 340 orang
terluka. DVI Belgia dibagi 2 tim:
 Tim antemortem (AM) bertanggung jawab dengan kerabat untuk
mengumpulkan semua elemen berguna dalam hal identifikasi seperti
parameter fisik korban. berat badan, tinggi badan, deskripsi pakaian yang
dikenakan, bekas luka, kelainan anatomi, kelainan bentuk, patah tulang
lama, tato, pengumpulan sampel DNA yang mungkin dari sisir, sikat
gigi, dll. Tim ini dapat didukung oleh anggota Palang Merah atau oleh
psikolog atau pekerja sosial.
 Tim PM menangani pemulihan jenazah, pemeriksaannya (pemeriksaan
luar dan otopsi), pengumpulan semua elemen yang mengarah ke
identifikasi fisik (lihat di atas), sampel biologis (toksikologi, DNA), dan
bukti jejak yang berguna untuk memahami mekanisme kematian.
Teknik grid serta penomoran yang digunakan dalam semua operasi
misalnya TKP dan mayat yang tidak teridentifikasi atau sisa-sisa kerangka
yang tersebar.
 Penomoran zona (Z1 ke Zn), biasanya 10 m2
 Penomoran lingkungan (Q1 ke Qn)
 Pelabelan MPO: tubuh (M1 sampai Mn), bagian tubuh (P1 sampai Pn),
dan benda (O1 sampai On), termasuk semua elemen yang dicurigai
terkait dengan alat peledak (dalam kasus ini, bom rakitan dengan paku,
baut sekrup, dan benda logam lainnya).
Pada Hari 0, dua ahli patologi forensik dan satu dokter medis yang
mempelajari patologi forensik tiba di TKP pada pukul 09:10. Penggeledahan
dan pemeriksaan jenazah bersama anggota DVI dan penyidik TKP dimulai
sejak pukul 09.15 WIB hingga tengah malam. Selain itu, DOVO (Belgian
Defence Department for clearing up and destroying explosives) dilibatkan.
Kedua ahli patologi forensik melanjutkan aktivitas mereka pada hari
berikutnya (Hari 1) antara pukul 08:30 dan 13:00. Asisten dalam kedokteran
forensik bergabung dengan tim PM di kamar mayat untuk melanjutkan
otopsi.
Penyelidik menentukan bahwa ada dua area ledakan yang terpisah di
aula keberangkatan ( Gambar 1). Ledakan pertama (pukul 07.58) terjadi di
hall 2 dekat konter check-in Delta Airlines dengan kawah ledakan
berdiameter 30 cm dan berjarak 3 m dari taman bermain anak-anak. (ditunjuk
sebagai “ Zona 11”). Ledakan kedua (pukul 07.59) terjadi di hall 1 dekat
patung “Flight in Mind” dan kedai kopi Starbucks (ditunjuk “Zona 4”). Zona
“Kiss & ride” sebelum pintu masuk aula dinamai “Zona A”, koridor antara
Zona 4 dan gerbang A bernama “Zona B”, dan kamar mayat sementara di
stasiun pemadam kebakaran bernama “Zona C”.
Gambar 5. Tinjauan TKP (pemulihan mayat).
Pada Hari 0, jasad 13 korban dan satu (terduga) pelaku bom
ditemukan di tempat kejadian: tiga di Zona A (dua di pintu masuk aula 2
dan satu di dekat pintu masuk aula 1), tiga di Zona 4 termasuk yang kedua
pengebom, satu di Zona B, dan tujuh di Zona 11. Akhirnya, mayat yang
diduga sebagai pengebom pertama yang termutilasi parah ditemukan
keesokan harinya (Hari 1) di puing-puing tembok yang runtuh di Zona 11.
Satu mayat dipindahkan ke kamar mayat sementara (Zona C).
Semua jenazah yang ditemukan (14 korban dan dua tersangka pelaku
bom) pertama kali menjalani pemeriksaan luar di lapangan dan temuan
dicatat menggunakan formulir quickscan (Gambar 2). Delapan korban
membawa dokumen pribadi yang mencantumkan nama mereka. Sebuah
kaki bagian bawah yang terpisah juga ditemukan di tempat kejadian, yang
kemudian terungkap berasal dari amputasi di tempat dari korban yang
selamat.
Gambar 6. Formulir quickscan postmortem.
15 mayat yang ditemukan pada Hari 0 dipindahkan ke kamar mayat
rumah sakit sepanjang sore dan malam itu. Bekas pengebom baru ditemukan
dan dipindahkan keesokan harinya. Dua korban lain yang masih belum
teridentifikasi meninggal di rumah sakit dan dipindahkan ke kamar mayat
selama 2 hari berikutnya.
Sementara itu, hakim yang mengambil alih investigasi kriminal
menugaskan kelompok yang tersisa untuk menyelesaikan identifikasi
korban bekerja sama dengan DVI ), melakukan otopsi pada semua tubuh
untuk menentukan penyebab kematian, dan mengumpulkan bukti forensik. .
Penugasan mengikuti prosedur standar mengenai otopsi forensik (ISO
17020), termasuk pengambilan sampel, histologi, PM CT scan (Gambar 3),
dan identifikasi. Semua personel administrasi kamar mayat dan departemen
terlibat dalam proses ini. Investigasi PM dilakukan terhadap total 16 korban
dan dua pelaku bom bunuh diri.

Gambar 7. CT-scan postmortem korban: benda asing yang tertembus


(pecahan peluru) dan avulsi parsial pada kaki bagian bawah. (A) Gambar
tiga dimensi dari kerangka total. (B) Gambaran radiologi konvensional
dari total tubuh.
Tiga jenazah yang tiba di kamar mayat pada Hari ke 0 pada sore hari
menjalani PM CT dan otopsi forensik lengkap, termasuk pemeriksaan
odontologi forensik. 12 mayat lainnya tiba pada malam hari dan PM CT
dilakukan sepanjang malam. Jenazah terakhir yang ditemukan diperiksa
keesokan harinya. Kedua korban yang semula dibawa ke rumah sakit
akhirnya diperiksa pada hari berikutnya.
Pada Hari 1, antara pukul 08:30 dan 17:30, satu rantai identifikasi
dimulai di ruang otopsi pertama. Ini termasuk ahli patologi forensik
eksternal dan peserta pelatihan mereka, ahli odontologi forensik, anggota
DVI untuk mengisi formulir PM, dan polisi ilmiah untuk
mendokumentasikan temuan (termasuk barang-barang pribadi dan
pakaian). Pemeriksaan luar ini, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan
odontologi di ruang terpisah, dilakukan pada 13 korban. Untuk tiga orang
yang diperiksa secara eksternal di pagi hari, pemeriksaan diselesaikan
dengan otopsi forensik lengkap di ruang otopsi kedua di ruang otopsi,sore
hari (sampai pukul 18:00). Ahli patologi forensik (WVdV) dan asisten
dokter yang paling berpengalaman melakukan pemeriksaan PM pada hari
yang sama pada sisa-sisa tubuh dan bagian dari dugaan pelaku bom bunuh
diri. Pada akhir Hari 1, semua formulir INTERPOL PM telah diisi kecuali
temuan internal dan diserahkan kepada DVI.
Pada Hari 2, otopsi forensik pada semua korban yang tersisa (dan
sebelumnya diperiksa secara eksternal) 10 korban dilakukan oleh dua tim
yang masing-masing terdiri dari supervisor ahli patologi forensik dan
seorang peserta pelatihan yang berpengalaman. Pukul 16:30, semua
investigasi PM 16 korban dan kedua pelaku berhasil diselesaikan. Identitas
kedua pengebom diperiksa oleh analisis sidik jari digital pada Hari 1 dan
dikonfirmasi pada Hari 4 dengan analisis DNA. Delapan kebangsaan
berbeda diwakili di antara 16 korban: Belgia (5), AS (4), Belanda (2), Cina
(1), Prancis (1) , Jerman (1), Peru (1), dan Swedia.
Temuan otopsi internal dapat berkontribusi pada identifikasi enam
korban, seperti tidak adanya testis, prostesis pinggul, tidak adanya rahim
dan ovarium (pasca histerektomi totalis et radikal), agenesis kongenital
ginjal kiri, prostesis okular, cincin kontrasepsi intravaginal, dan alat
kontrasepsi intrauterin.
Dua belas dari 14 korban yang meninggal di tempat kejadian
mengalami politrauma parah dan dapat ditemukan beberapa meter dari
pusat ledakan. perbedaan antara lesi primer, sekunder, tersier, kuaterner,
dan kuiner, lesi dalam semua kasus dapat diklasifikasikan sebagai luka
ledakan primer dan luka misil. Penetrasi sekunder, ditemukan sejumlah
besar perangkat logam seperti sekrup dan pelat logam dengan panjang
beberapa sentimeter (sesuai dengan bom paku yang meledak). Banyak dari
pecahan pecahan peluru ini disita sebagai bukti fisik (Angka 4 dan 5).
Sembilan korban yang terkait dengan ledakan pertama dan paling
kuat di hall 2 (Zona 11) meninggal karena trauma kraniocerebral perforasi,
sebagian besar dengan fraktur tengkorak yang kompleks. Ledakan paru-
paru terlihat di enam, amputasi parsial ekstremitas (tiga kaki bagian
bawah, satu paha, satu kaki, tiga lengan bawah, satu ibu jari) dan sebagian
besar fraktur terbuka, di samping cedera penetrasi rudal (dengan pepperin
Trauma perforasi toraks dan abdomen terlihat pada dua dan empat kasus,
masing-masing. Cedera muskulo kutaneus dan tulang yang parah pada
kaki adalah ciri yang menonjol, dan biasanya terlihat dalam perang dan
pemboman teroris [13, 14]. Ini berbeda dengan ledakan gas sipil, saat ini
tidak ada penjelasan pasti untuk lesi kaki yang lebih besar ini kecuali
dalam kasus ranjau darat [15 , 16]. Korban di Zona C (kamar jenazah
sementara di bandara) dipasang torniket di sekitar paha kiri karena
sebagian kaki bagian bawah diamputasi. Selanjutnya, pola cedera ini
konsisten dengan korban lain yang ditemukan di Zona 11.g atau
polycribblage) serta luka bakar di semua korban.
Kedua korban yang pulih dari area bom kedua (Zona 4) meninggal
karena trauma kranioserebral yang merusak, selain luka bakar dan cedera
muskulokutaneus dan tulang yang parah di kaki. Salah satu korban ini juga
mengalami luka ledakan di dada dan perut (Gambar 8).
Gambar 8. Pecahan peluru yang dihapus (perangkat logam yang tidak
ditentukan

Gambar 9 . Trauma sekunder: luka tembus rudal

Gambar 10. Cedera paru ledakan divisualisasikan oleh (A) makroskopi,


dan (B) mikroskop (HE,20)
Satu-satunya korban di Zona B, antara area bom kedua dan
gerbang, terlihat di video pengawasan jatuh pada saat dan pada jarak dari
ledakan kedua di Zona 4.
Mayat kedua pembom sebagian terganggu. Bomber 1 (Zona 11)
mengalami kerusakan kranioserebral lengkap dan amputasi keempat
ekstremitas, yang mengakibatkan beberapa organ yang robek. Bomber 2
(Zona 4) terbakar parah dan sebagian berkarbonisasi dengan gangguan
pada perut, avulsi lengkap panggul dan pinggul kanan, dan avulsi kulit
lengkap pada kaki kanan dan paha kiri. Analisis DNA menghubungkan
102 fragmen tubuh yang ditemukan dari tempat kejadian dengan
pembom 1 (Zona 11) dan 81 dengan pembom 2 (Zona 4). Analisis
toksikologi darah, otak, dan paru-paru mengungkapkan adanya aseton
peroksida di kedua pembom (berbeda dengan tidak adanya sampel
kontrol korban), menunjukkan penerapan triaseton trioksida eksplosif
(TATP). Jumlah korban dan temuan PM konsisten dengan ledakan
pertama di aula 2 (Zona 11) lebih kuat daripada yang kedua di aula 1
(Zona 4), dan dengan sebagian besar korban berada di sekitar langsung
(dalam meter) dari pusat ledakan.
Mayat kedua pembom sebagian terganggu. Bomber 1 (Zona 11)
mengalami kerusakan kranioserebral lengkap dan amputasi keempat
ekstremitas, yang mengakibatkan beberapa organ yang robek. Bomber 2
(Zona 4) terbakar parah dan sebagian berkarbonisasi dengan gangguan
pada perut, avulsi lengkap panggul dan pinggul kanan, dan avulsi kulit
lengkap pada kaki kanan dan paha kiri. Analisis DNA menghubungkan
102 fragmen tubuh yang ditemukan dari tempat kejadian dengan
pembom 1 (Zona 11) dan 81 dengan pembom 2 (Zona 4). Analisis
toksikologi darah, otak, dan paru-paru mengungkapkan adanya aseton
peroksida di kedua pembom (berbeda dengan tidak adanya sampel
kontrol korban), menunjukkan penerapan triaseton trioksida eksplosif
(TATP). Jumlah korban dan temuan PM konsisten dengan ledakan
pertama di aula 2 (Zona 11) lebih kuat daripada yang kedua di aula 1
(Zona 4), dan dengan sebagian besar korban berada di sekitar langsung
(dalam meter) dari pusat ledakan.
b. Serangan teroris 11 September di World Trade Center3
Pada 11 September 2001, sembilan teroris menerbangkan pesawat
penumpang American Airlines 11 dan United Airlines 175 ke menara
utara dan selatan World Trade Center di New York City. Dalam 2 jam,
kedua menara runtuh, menewaskan hampir semua warga sipil, responden
pertama, dan personel darurat di dalamnya. Lokasi bencana mencakup
64500 m2, kedalaman 43m, dan memiliki tiga “titik panas” terbakar
selama hampir 3 bulan. Butuh waktu hampir 9 bulan untuk menyisir
puing-puing dan memulihkan sekitar 22.000 fragmen sisa-sisa korban.
Sisa-sisa manusia ini sangat terfragmentasi, membusuk, terbakar, dan
bercampur. Diperlukan lebih dari 3 tahun untuk menyelesaikan daftar
orang hilang. Pada Agustus 2019, 14.696 fragmen manusia telah
diidentifikasi dan dicocokkan dengan 1.637 dari 2.749 korban. Operasi
kamar mayat utama berlangsung sekitar 11 bulan dan dilakukan oleh tim
multidisiplin pemeriksa medis, antropolog, pemeriksa sidik jari
Departemen Kepolisian New York, odontolog forensik, teknisi sinar-X,
penyelidik medikolegal, analis DNA, dan ratusan sukarelawan.
c. American Airlines 5873
Pada 12 November 2001, pesawat penumpang American
Airlines 587 jatuh di lingkungan perumahan di Queens, New York
kurang dari 2 menit setelah lepas landas. Semua 260 orang di dalamnya,
bersama dengan lima orang di darat, tewas. Dewan Keselamatan
Transportasi Nasional menetapkan penyebab kecelakaan itu adalah
kombinasi dari kesalahan desain maskapai dan kesalahan pilot. Selama
beberapa hari, 2.100 fragmen sisa-sisa manusia ditemukan dari
permukaan tanah, dan 305 cukup utuh untuk dilakukan otopsi. Sisa-sisa
beberapa individu menunjukkan cedera termal dari kebakaran yang
disebabkan oleh bahan bakar. Jenazah manusia dikirim ke Kantor
Kepala Pemeriksa Medis di New York City, kantor yang sama yang
mengerjakan identifikasi World Trade Center, dan proses DVI yang
sama digunakan. Otopsi selesai dalam 7 hari, dan hampir 1800 fragmen
diproses dalam 12 hari. Semua korban diidentifikasi dalam 28 hari.
d. The “Black Saturday” bushfires3
Pada tanggal 7 Februari 2009, negara bagian Victoria, Australia
mengalami panas yang ekstrim dan angin kencang. Dikombinasikan
dengan saluran listrik yang terlalu tinggi, pembakaran, dan sambaran
petir, peristiwa ini menyebabkan total lebih dari 300 kebakaran hutan
di 4.500 km2 yang mengakibatkan kematian 173 orang. Sangat sedikit
mayat utuh yang ditemukan, dan banyak mayat sering ditemukan di
satu lokasi. Semua jenazah diperiksa di Institut Kedokteran Forensik
Victoria oleh ahli patologi forensik, yang secara substansial dibantu
oleh ahli radiologi, antropolog forensik, odontolog, dan (dalam kasus
tertentu) spesialis sidik jari.
e. Kecelakaan Malaysia Airlines 173
Pada 17 Juli 2014, penerbangan penumpang Malaysia Airlines
17 dari Amsterdam ke Kuala Lumpur ditembak jatuh saat terbang di
atas Ukraina, menewaskan semua 283 penumpang dan 15 awak di
dalamnya [9]. Konflik bersenjata di lokasi bencana menunda operasi
pemulihan dan mengharuskan pengiriman jenazah ke Hilversum,
Belanda, di mana operasi DVI internasional dipimpin oleh tim DVI
Belanda. Tim DVI multinasional termasuk spesialis sidik jari, ahli
patologi forensik, antropolog, ahli radiologi, odontolog, dan ahli DNA.
Pada musim semi 2015, ribuan sisa-sisa manusia, sebagian besar
kerangka juga ditemukan dan diperiksa, yang meningkatkan jumlah
sampel DNA menjadi lebih dari 8.000 dari 296 dari jumlah korban
keseluruhan 298 korban [2,10,11]. Pada Oktober 2019, operasi DVI
secara resmi masih berlangsung, dengan temuan sporadis sisa-sisa
manusia.
f. Kecelakaan pertunjukan udara Shoreham3
Pada 22 Agustus 2015, 11 orang tewas ketika sebuah jet Hawker
Hunter jatuh ke jalur lalu lintas ganda selama pertunjukan udara di
West Sussex, Inggris. Dampak dari jet menyebabkan gangguan besar,
dengan penyebaran dan bercampurnya bagian tubuh di area yang luas.
Pencarian dan pemulihan jenazah memakan waktu sekitar 3 minggu.
Meskipun jumlah korban relatif kecil, lebih dari 1.200 bagian tubuh
ditemukan dan pemeriksaan berlangsung sekitar 6 minggu, dengan
banyak pemeriksaan ulang diperlukan karena percampuran dan potensi
kontaminasi silang. Semua individu diidentifikasi. Seorang antropolog
forensik dan arkeolog membantu di tempat kejadian. Seorang ahli
patologi forensic memimpin pemeriksaan kamar mayat selama 5 hari
pertama memeriksa penyebab kematian dan bagian tubuh yang lebih
besar. Seorang antropolog bertanggung jawab untuk pemeriksaan 5
minggu berikutnya, dibantu oleh teknisi patologi anatomi dan tim DVI.
g. Serangan Paris November 20153
Pada malam 13 November 2015, tiga kelompok pria
meluncurkan enam serangan terpisah bom bunuh diri dan penembakan
massal di pusat kota Paris dan pinggiran utara Saint-Denis. Total 130
korban tewas. Banyak mayat utuh ditemukan bersama dengan 129
bagian tubuh yang terpisah-pisah dan bercampur. Tim spesialis
multidisiplin yang terdiri dari ahli patologi forensik, ahli odontologi,
ahli radiologi, spesialis sidik jari, dan satu ahli antropologi forensik
memeriksa semua tubuh dan bagian tubuh. Semua individu
diidentifikasi dalam 1 minggu, sebagian besar menggunakan DNA.
Lima hari setelah serangan itu, dua pelaku yang melarikan diri
ditangkap, pada saat itu mereka meledakkan rompi bom, membunuh
diri mereka sendiri dan seorang komplotannya. Sekitar 90 bagian tubuh
dari individu-individu ini dianalisis oleh tim DVI sebagai peristiwa
terpisah, dan identivikasi mereka memakan waktu sekitar 6 bulan.
h. Blok kebakaran apartemen Rue Erlanger3
Pada 5 Februari 2019, sekitar tengah malam, kebakaran di blok
apartemen Paris menewaskan 10 orang dan melukai 40 lainnya.
Kebakaran itu diduga dilakukan dengan sengaja. Delapan puluh lima
tubuh/bagian tubuh yang terfragmentasi dan hangus ditemukan di
bawah pengawasan antropolog forensik dan odontolog. Tubuh dan
bagian tubuh yang hangus pertama kali di-CT-scan, setelah itu ahli
radiologi dan antropolog memilah sisa sisanya. Jenazah kemudian
diperiksa oleh tim multidisiplin ahli patologi forensik, odontolog, dan
antropolog forensik bekerja sama erat dengan unit polisi DVI. Semua
individu diidentifikasi selama 4 hari. Sebagian besar korban
diidentifikasi menggunakan DNA.
i. Bencana Uttarakhand4
Tanggal kejadian: 17 Juni 2013-26 Juni 2013
Perkiraan Korban: 5748 tewas, 4120 hilang
Paling dikenal sebagai “Dev Bhoomi”, Uttarakhand adalah
tempat yang banyak dikunjungi oleh para peziarah dan juga turis karena
medannya yang berbukit. Sejak 17 Juni hingga 26 Juni 2013, terjadi
hujan lebat di wilayah tersebut dan awan yang meletus pada 17 Juni
2013, meningkatkan bencana dan ketinggian air di wilayah tersebut
yang mengakibatkan kondisi banjir, jauh di luar kapasitas wilayah.
Aliran air yang sampai ke sungai Mandakini dan Alaknanda,
mengancam para peziarah di sana.
Misi penyelamatan dimulai sekitar 24 jam, dengan bantuan odari
negara bagian lain dan dengan bantuan NDMA sesuai pedoman
INTERPOL. Daftar korban pertama yang antara lain, daftar hilang
4.120 orang termasuk sekitar 92 WNA, karena intensitas bencana
semua korban diduga tewas.
Bantuan dari TNI AD, TNI AL dan ITBP juga dikerahkan untuk
mengintensifkan tanggap darurat sehingga memungkinkan identifikasi
secara cepat. Misi penyelamatan yang dilakukan oleh IAF
menyelamatkan sekitar 18424 orang hingga 30 Juni 2013 dan sekitar
33009 peziarah dalam 15 hari yang sesuai. Referensi Tim tanggap
memiliki tugas untuk mengumpulkan sampel DNA dan memindahkan
serta mengkremasi mayat yang ditemukan di TKP dan untuk
mengurangi kemungkinan kejadian serupa di masa depan.
Setiap mayat yang ditemui di tempat kejadian diberi nomor
identifikasi khusus untuk membantu manajemen dan memudahkan
identifikasi.
j. Gempa Haiti4
Tanggal kejadian: 12 Januari 2010
Waktu kejadian: 02:33
Perkiraan korban: 220000
Gempa berkekuatan 7,0 melanda pantai timur Haiti
menyebabkan kerugian besar pada aset baik termasuk nyawa dan harta
benda pada 12 Januari 2010. Perkiraan korban jiwa diperkirakan sekitar
220.000 orang. Kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa yang
menyebabkan sekitar 1000.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Fasilitas PBB di Port-Au-Prince juga rusak.
Misi penyelamatan dimulai dalam 24 jam setelah insiden terjadi.
Almarhum diangkut ke unit pendingin dalam waktu 2 hari. Rantai
penahanan disiapkan dengan melibatkan semua bukti yang ada di
tempat kejadian. Identifikasi almarhum dilakukan melalui perbandingan
catatan gigi, analisis DNA dan catatan sidik jari. Barang-barang pribadi
juga dikumpulkan untuk membantu identifikasi. Sebagian besar korban
tewas kecuali 51 korban teridentifikasi. Sisanya dikuburkan sesuai
pedoman yang diberikan oleh INTERPOL.
BAB III
KESIMPULAN

Dengan menggunakan protokol yang tepat dan teknik identifikasi modern


dan semua petugas yang terkait dengan menyelidiki tempat kejadian,
kemungkinan penyelidikan cepat dapat ditingkatkan. Penggunaan teknik forensik
seperti radiografi yang digunakan dalam pemeriksaan gigi dan oleh antropolog
dapat mempercepat prosedur penyelidikan. Sidik jari DNA korban dan kerabat
yang dicurigai dapat memungkinkan identifikasi. Dalam analisis residu pasca
ledakan, analis forensik dapat menentukan lokasi yang tepat dari bahan peledakan
yang terlibat dan jenis bahan peledak yang digunakan dengan melihat
intensitasnya.dari ledakan. Analisis antropologi tidak hanya memungkinkan kita
untuk mengetahui usia, jenis kelamin, dan komunitas korban, tetapi juga memberi
tahu kita tentang gaya hidup korban sehingga memudahkan penyelidikan. Oleh
karena itu, untuk mempercepat penyelidikan dan mengurangi kemungkinan
terjadinya bencana lebih lanjut di wilayah tersebut, pasangan tim identifikasi
korban bencana dan tim analisis forensik dapat menjadi tolak ukur emas untuk
meningkatkan kapasitas penyelidikan dan memberikan keadilan kepada orang
yang meninggal. serta korban bencana yang masih hidup.
Format setiap operasi DVI ditentukan oleh konteks acara, termasuk jenis
insiden, jumlah korban, kondisi jenazah, dan keputusan yang dibuat oleh otoritas
lokal, yang biasanya mencakup pejabat pemerintah seperti perencana darurat dan
anggota dewan, penyelidik/jaksa, polisi, dan layanan darurat lainnya.
Komunikasi antara otoritas lokal dan spesialis forensik sangat penting
untuk memastikan upaya identifikasi yang tepat waktu dan efisien. Kesepakatan
harus dicapai mengenai peran spesialis forensik yang relevan di tempat kejadian
dan di kamar mayat, dan rencana yang fleksibel harus dirumuskan untuk jaminan
kualitas,pemulihan, pemeriksaan, dan pemulangan jenazah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jain N. Ante Mortem Dental Records and Forensic Significance. 2013; 7:


42-44.
2. Hans H. de Boer, Soren Blau, Tania Delabarde & Lucina Hackman. The
role of forensic anthropology in disaster victim identification (DVI):
recent developments and future prospects. Forensic Sciences Research.
2019, Vol. 4, NO. 4, 303–315
3. Hans H. de Boer, Julie Roberts, Tania Delabarde, Amy Z. Mundorff and
Soren Blau. Disaster victim identification operations with fragmented,
burnt, or commingled remains: experience-based recommendations.
Forensic Sciences Research. 2020, Vol. 5, No. 3, 191–201
4. Isha Chauhan, Pooja Puri and SK Skhula. Disaster Victim Identification:
A Strand that Connects to Forensics. Austin Journal of Forensic Science
and Criminology. 2020; 7(1): 1082.
5. Taufik Suryadi, Kulsum Kulsum. Disaster Victim Identification (Dvi)
Training For Medical Student. The Indonesian Journal Of Medical
Education. 2020; 9(2): 95-102
6. Interpol.int. Disaster Victim Identification (DVI). 2020.
7. Taylor & Francis. The Role of Forensic Anthropology in Disaster Victim
Identification (DVI): Recent Developments and Future Prospects. 2020.
8. Anzpaa.org.au. Disaster Victim Identification - ANZPAA Website. 2020.
9. Australian Federal Police. Explaining the Disaster Victim Identification
Process. 2020.
10. Ellis P. Modern Advances in Disaster Victim Identification. 2020.
11. Valk e & pol j. Mass disaster victim identification. 2020.
12. 25 yrs on, an earthquake still feels like clear & present danger in
Latur villages | India News - Times of India. 2020.
13. Kumar p. Recent Seismological Investigations in India. 2020.
14. Indian Ocean tsunami of 2004 | Facts & Death Toll. 2020.
15. Franc¸ois Beauthiera, Wim Van de Voorde b, Philippe Lefevreb and Jean-
Pol Beauthier. Belgium experience in disaster victim identification applied
in handling terrorist attack at Brussels Airport 2016. Forensic Sciences
Research. 2020, Vol. 5, No. 3, 223–231

Anda mungkin juga menyukai