Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN TUTORIAL BLOK

PSIKIATRI FORENSIK MEDIAKOLEGAL

Disusun Oleh:

Grace Br Simanungkalit

219210028

Grup Tutor A4

Diketahui Oleh:

Fasilitator

(dr. Novrina Situmorang, M.Biomed )

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA

2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan hasil laporan
tutorial Blok Psikiatri Forensik Mediakolegal ini sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Dalam penyusunan laporan tutorial Blok Psikiatri Forensik Mediakolegal penulis
menyadari sepenuh nya banyak terdapat kekurangan di dalam penyajiannya. Hal ini disebabkan
terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, penulis menyadari bahwa tanpa
adanya bimbingan dan bantuan dari semua pihak tidaklah mungkin hasil laporan tutorial Blok
Psikiatri Forensik Mediakolegal ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan dengan baik.
2. dr.Novrina Situmorang, M.Biomed selaku dosen atas segala masukkan, bimbingan dan
kesabaran dalam menghadapi segala keterbatasan penulis.
Akhir kata, segala bantuan serta amal baik yang telah diberikan kepada penulis,
mendapatkan balasan dari Tuhan, serta laporan Tutorial Blok Psikiatri Forensik Mediakolegal ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca umumnya.

Medan, 08 Februari 2022

Grace Br Simanungkalit

Pemicu
Pesawat terbang CASA 212 telah jatuh disekitar Bukit lawang pada tanggal 29 September 2011
dengan membawa penumpang 25 orang besera Kru 4 orang yang terdiri dari 1 orang pilot 1
orang co pilot dan 2 orang pramugari

Setelah pesawat ditemukan dapat di evakuasi 29 orang yang sudah meninggal dunia kemudian di
lakukan identifikasi kepada penumpang, pilot dan Co pilot nya diminta untuk dibuatkan
visumnya.

I. Klarifikasi Istilah
Visum et repertum adalah keterangan tertulis yang di buat dokter atas permintaan tertulis
(resmi) penyuduk tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup
maupun meninggal untuk kepentingan peradilan dan hokum

II. Identifikasi Masalah


Pesawat CASA 212 telah jatuh di sekitar bukit lawing dan di temukan 29 orang yang
telah meninggal dunia, dan di minta untuk di lakukan pembuatan visumnya untuk pilot
dan co pilot.

III. Analisa Masalah


1. Pembuatan visum memerlukan adanya identifikasi forensik untuk membantu
penyidik dan juga dokter yang bertugas
2. Melakukan autopsi mayat untuk mengidentifikasi identitas daripada mayat yang di
temukan
3. Memberikan identitas pada pasien, maka perlu di catat apa saja yang ada di tubuh
pasien ( rambt, pakaian, perhiasan )

IV. Kerangka Konsep


Pesawat CASA 212 telah jatuh di sekitar bukit lawing dan
di temukan 29 orang yang telah meninggal dunia, dan di
minta untuk di lakukan pembuatan visumnya untuk pilot
dan co pilot.

1. Melakukan cross check data


penumpang pesawat dengan mayat
yang ada
2. Melakukan identifikasi forensic
seperti autopsi untuk membantu
melakukan penyidik dan dokter

Disaster victim identification ( DVI )

V. Learning ObjectivE
1. Definisi dari DVi
2. Apakah Prosedur tragedi pada scenario membutuhkan team DVi
3. Jelaskan fase fase dan prosedur kerja masing masing anggota yang terlibat dalam fase
tersebut
4. Jelaskan sesuai prosedur DVi
5. Apa isitilah yang dipakai untuk lokasi jatuhnya pesawat terbang dan siapa saja yg
dapat bertugas di tempat tersebut
6. Jelaskan pembuatan prosedur pembuatan visum et referum, pilot dan co pilot

VI. Pembahasaan Learning Objective


1. Definisi dari DVi
DVI atau Disaster Victim Identification adalah suatu defenisi yang diberikan
sebagai prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara
ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mangacu pada standar baku Interpol.
Dalam melakukan proses identifikasi terdapat bermacam-macam metode dan teknik
identifkasi yang dapat digunakan. Namun demik
ian Interpol menentukan Primary Identifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental
Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Propertydan
Photography.

2. Apakah Prosedur tragedi pada scenario membutuhkan team DVi


Saat terjadi bencana yang menimbulkan banyak korban jiwa tim yang juga akan
menjadi sangat sibuk adalah Disater Victim Investigation (DVI). DVI merupakan
suatu prosedur yang telah ditentukan untuk mengindentifikasi korban mati secara
ilmiah dalam sebuah insiden atau bencana masal berdasarkan protocol interpol. Tim
ini sangat diperlukan karena pada banyak kasus identifikasi secara visual tidak dapat
diterapkan karena kondisi korban yang sudak rusak dan tidak mungkin lagi dikenal
oleh pengakuan visual.

3. Jelaskan fase-fase dan prosedur kerja masing masing anggota yang terlibat
dalam fase tersebut
a. Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan antara
korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang dapat
mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang
diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati diberikan label sebagai penanda.
Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor
tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan
selanjutnya.
b. Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat
berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para
ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan
untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan
terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat.
Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini
dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar interpol.
c. Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang
menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan
data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari
pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat,
bekas operasi, dan lainlain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter
gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta
sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA
korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data
Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar interpol.
d. Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase rekonsiliasi
apabila terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan
kriteria minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary
Identifiers.
e. Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil memuaskan maupun
tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada satu fase
lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan
setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat
dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua
hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik
sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi. Hal-hal baik apa yang
dapat terus dilakukan di masa yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan, hal-
hal apa yang tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa yang ditemui
dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang sama di
kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib dibahas pada saat debriefing.

4. Jelaskan sesuai prosedur DVi


Mengapa diterapkan prosedur DVI ini adalah dalam rangka mencapai identifikasi
yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sempurna dan paripurna dengan
semaksimal mungkin sebagai wujud dari kebutuhan dasar hak asasi manusia, dimana
seorang mayatpun mempunyai hak untuk ‘dikenali’. Kepentingan lainnya adalah pada
beberapa kasus jika terdapat bukti-bukti yang kuat dapat dijadikan sebagai awal dari
suatu penyidikan serta kepentingan civil legal aspect seseorang atau ahli warisnya,
seperti asuransi, warisan dan sebagainya. Secara universal, DVI merupakan tanggung
jawab dari kepolisian yang dalam pelaksanaannya memerlukan bantuan dari
tenagatenaga ahli. Sebagai salah satu negara anggota Interpol, dalam mengidentifikasi
mayat pada korban bencana massal, maka Indonesia turut menggunakan Interpol DVI
Guide yang telah dikeluarkan sejak tahun 1984 dan terus mengalami penyempurnaan.

5. Apa istilah yang dipakai untuk lokasi jatuhnya pesawat terbang dan siapa saja
yang dapat bertugas di tempat tersebut
Dasar Hukum
a. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
b. Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
c. Peraturan Kapolri No.14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana

Tujuan
Sebagai pedoman bagi petugas penanganan dan Olah TKP dalam melaksanakan
tindakan pertama tempat kejadian perkara (TPTKP) dan pengolahan TKP.

Persiapan

A. Anggota Tim Olah TKP


- Anggota Polri
- Penyidik / Penyidik Pembantu
- memiliki mentalitas yang baik, teliti, ulet dan cermat
- memiliki kemampuan teknik dan taktik pengolahan TKP
- memiliki sikap keingintahuan dan responsive
- menguasai perundang-undangan dan pengetahuan lainya
- komunikatif dan humanis dalam pelaksanaan tugasnya
- menguasai prosedur penanganan dan olah tempat kejadian perkara
- mampu bekerjasama dalam tim
B. Tim Olah TKP
- Ka Tim
- Penyidik
- Personil Inafis d) Personil Labfor (apabila di kesatuan ada pengemban fungsi
labfor)
- Instansi terkait ( Distamben, BP Migas, Kehutanan, Dinas Perkebunan, dll)

6. Jelaskan pembuatan prosedur pembuatan visum et repertum, pilot dan co pilot


Visum ini dibuat untuk menentukan penyebab, cara dan mekanisme kematiannya.
Jenazah yang akan di periksa harus memiliki label yang berisi indentitas mayat, di-lak
dengan diberi cap jabatan, yang dikaitkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh
lainnya. Pada permintaan Visum et Repertum haruslah jelas tertulis permintaan nya,
apakah pemeriksaan luar atau pemeriksaan bedah mayat (autopsy) sesuai dengan
KUHAP pasal 133 ayat 2. Jadi pemeriksaan jenazah terdiri dari :
- Visum et Repertum untuk pemeriksaan luar
Pemeriksaan ini dilakukan tanpa merusak keutuhan tubuh jenazah, pemeriksaan
dilakukan dengan teliti dan secara menyeluruh, dan dicatat secara terperinci,
mulai dari bungkus atau penutup jenazah , benda-benda disekitar jenazah,
perhiasan yang dipakai, ciri-ciri umum, ciri –ciri khusus,serta tanda kematian
(thanatology), juga harus dicatat dan di teliti luka atau cedera, jumlah gigi dan
kelainan yang ditemukan di seluruh tubuh bagian luar. Disini pada kesimpulan
dapat menyebutkan jenis luka, kealinan pada tubuh jenazah dan jenis kekerasan,
tapi tidak dapat menentukan penyebab kematian yang pasti.Dan lama kematian
dapat dicantumkan di bagian kesimpulan.11
- Visum et Repertum untuk pemeriksaan luar dan dalam
Pada pemeriksaan ini penyidik harus memberitahukan kepada keluarga korban
dan menerangkan maksud dan tujuan dilakukannya Autopsi, apabila keluarga
tidak keberatan dengan dibuktikan adanya surat persetujuan dari keluarga atau
bila dalam dua hari tidak ada tanggapan keluarga korban atau jenazah tidak
diketahui atau tidak diketemukan keluarganya (KUHAP pasal 134 ayat 2) maka
autopsi dapat dilaksanakan.Pada pasal 135 Jenazah yang di periksa dapat juga
berasal dari penggalian kubur. Pemeriksaan autopsy dilakukan secara
menyeluruh, selain itu perlu juga pemeriksaan – pemeriksaan lainnya. Dari
pemeriksaan tersebut diatas dapat disimpulkan sebab kematian korban, jenis luka
atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan perkiraan waktu kematian.
Ada beberapa syarat umum yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta
dokter untuk membuat Visum et Repertum.
a. Diketik diatas kertas putih dengan kop surat instansi pemeriksa
b. Bertanggal dan bernomor
c. Kata “Pro Justitia” dicantumkan dibagian atas kiri
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan
pemeriksaan.
f. Apabila penulisan kalimat berakhir tidak pada tepi kanan format, maka sesudah
tanda titik haris diberi garis hingga ke tepi kanan format.
g. Apabila diperlukan foto dapat diberikan dalam bentuk lampiran.
h. Diberi nama jelas dan ditandatangani .
i. Diberi stempel instansi pemeriksa tersebut.
j. Memperlakukannya sebagai surat yang harus dirahasiakan.
k. Diberikan hanya kepada penyidik peminta Visum et Repertum. Jika ada lebih dari
satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan
keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi Visum
et Repertum masing-masing asli.
l. Mengarsipkan salinannya dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan
disimpan sebaiknya hingga 20 tahun.

VII. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.

Herkutanto. Peningkatan kualitas pembuatan Visum et Repertum (VeR) kecederaan di Rumah


Sakit melalui pelatihan dokter Unit Gawat Darurat (UGD). JMPK.

Petrus A. Bahan ajar magister Kedokteran Klinis (MKK) forensik 2. USU Press. Medan, 2019.

Sampurna B, Gani MH. Ilmu kedokteran forensik, Visum et Repertum dan perundang-undangan
serta pembahasan. Kedokteran Forensik FK Universitas Andalas. Padang, 2003.

Hamdani N. Ilmu kedokteran kehakiman. Edisi Kedua. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 1992.

Anda mungkin juga menyukai