Anda di halaman 1dari 23

SELF LEARNING REPORT

FORENSIK

I. Disaster Victim Identification


Disaster Victim Identification (DVI) adalah prosedur untuk mengidentifikasi
korban meninggal akibat bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan
secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI
Guideline (Prawestiningtyas,2009). DVI diperlukan untuk menegakkan Hak
Asasi Manusia sebagai bagian dari proses penyidikan jika identifikasi visual
diragukan dan sebagai penunjang kepentingan hukum seperti asuransi, warisan,
status perkawinan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Setiap bencana massal yang menimbulkan banyak korban jiwa, baik akibat
Natural Disaster ataupun Man Mad Disaster. Natural Disaster contohnya seperti
tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sejenisnya. Sedangkan Man
Made Disaster merupakan bencana akibat dari kelalaian manusia itu sendiri
seperti kecelakaan udara, laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat
ulah manusia yang telah direncanakannya seperti pada kasus terorisme, memiliki
spesifikasi tertentu yang berbeda antara kasus yang satu dengan yang lain.
Perbedaan ini menyebabkan tindakan pemeriksaan identifikasi dengan skala
prioritas bahan yang akan diperiksa sesuai dengan keadaan jenazah yang
ditemukan. (Slamet,2004).
Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal
adalah untuk mengenali korban. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat
dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan kepada
keluarganya. Proses identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk
menganalisis penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi
keluarga dengan adanya kepastian identitas korban.
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya
identifikasi korban bencana massal akibat aksi teroris yaitu bencana Bom Bali
yang terjadi pada bulan Oktober 2002. Pada bencana tersebut terdapat korban

1
meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi yang berjalan kurang
lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99% yang
teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang
dapatdipertanggungjawabkan.
Kementerian Kesehatan bersama Kepolisian RI sejak tahun 1999 melakukan
kegiatan Pembentukan Tim DVI di Indonesia yaitu Tim DVI Nasional, Tim DVI
Regional dan Tim DVI Provinsi. Tim DVI Nasional berkedudukan di ibu kota
Negara dan mempunyai tugas membina dan mengkoordinasikan semua usaha
serta kegiatan identifikasi, sesuai aturan dan prosedur yang berlaku secara
nasional maupun Internasional pada korban-korban mati massal akibat bencana.
Tim DVI berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), dan di Provinsi dengan Badan Daerah Penanggulangan Bencana
(BDPB). Kementerian Kesehatan bersama dengan Kepolisian RI sejak tahun
1999 telah melakukan kerjasama dalam penanganan korban mati dengan
beberapa kegiatan yang telah dilakukan, antara lain penerbitan buku Pedoman
Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada bencana.
Tim DVI terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli anthropology
yaitu ilmu yang mempelajari tentang tulang, kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.
Tugas Utama DVI secara umum adalah sebagai berikut:
1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk
melakukan evakuasi korban meninggal dari tempat kejadian
2. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat/rumah sakit tempat
rujukan korban meninggal
3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya
yang ada
4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan
5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait

2
DVI dalam menjalalankan tugasnya memiliki dasar hukum berikut ini:
1. UU Kepolisian No. 2 TH 2002 ttg polri
2. UU No.24 TH 2007, ttg Penanggulangan Bencana
3. UU no 23 tentang kesehatan
4. PP 21 TH 2008, tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
5. Resolusi Interpol No. AGN/65/Res/13 tahun 1996 tentang Disaster Victim
Identification
6. Mou POLRI dan DEPKES TH 2003 dan 2004
7. Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No.
1087/Menkes/SKB/IX/2004 tentang penatalaksanaan korban mati
8. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. Pol Kep/40/IX/2004 tentang
Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal
Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan
operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan
fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang
lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada
man made disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan
keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan
aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan
beberapa tim dari berbagai institusi.
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan
kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam masing‐
masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang
berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim
DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai
pengalaman di TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensic atau dokter
gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenazah.

3
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-
mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Proses DVI meliputi 5 fase yang memiliki keterkaitan antara satu dengan yang
lain yaitu Initial Action at the Disaster Site , Collecting Post Mortem Data,
Collecting Ante Mortem Data, Reconciliation, dan Returning to the Family.
Berikut penjabarannya (Singh,2008):
1. Initial Action at the Disaster Site
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa
(TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama
adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Dalam
kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi
secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu yaitu kepala tim DVI, ahli patologi
forensik dan petugas polisi harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk
mengevaluasi situasi yang meliputi:
a. Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat
untuk area bencana.
b. Perkiraan jumlah korban.
c. Keadaan mayat.
d. Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
e. Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
f. Metode untuk menangani mayat.
g. Transportasi mayat.
h. Penyimpanan mayat.
i. Kerusakan properti yang terjadi.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs
bencana, ada tiga langkah utama. Berikut penjabarannya:
1. To Secure
Pada langkah ini organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi
rusak dan terkontaminasi. Langkah – langkah tersebut yaitu:

4
a. Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan
b. Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
c. Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
d. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol
siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
e. Memeriksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan
tujuan kehadiran
f. Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana.
2. To Collect
Pada langkah ini dilakukan pengumpulan korban – korban bencana
dan properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan
untuk kepentingan identifikasi korban.
3. Documentation
Pada langkah ini dilakukan dokumentasi kejadian bencana dengan cara
memfoto area bencana dan korban. Kemudian memberikan nomor dan
label pada korban. Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban
yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat
untuk kemudian dievakuasi.

2. Collecting Post Mortem Data


Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska
kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh
organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai
pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat
data selengkap – lengkapnya mengenai korban. Prinsipnya adalah
pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari yang
sederhana sampai yang rumit.

5
1. Metode sederhana
a. Visual
Cara visual dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara
ini mudah karena identitas dikenal melalui penampakan luar baik
berupa profil tubuh atau muka. Akan tetapi, cara ini tidak dapat
diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, atau termutilasi karena
harus mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban
b. Property
Identititas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan
tersebut seperti pakaian, perhiasan, surat jati diri masih melekat
pada tubuh korban.
c. Dokumentasi
Foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain
sebagainya.
2. Metode Ilmiah
a. Body Tagging and Bagging
Pelabelan tubuh masing-masing dengan nomor identifikasi
yang unik, diikuti oleh penempatan di dalam kantong kedap air
tubuh dilakukan oleh tim DIV.
b. Fingerprinting
Identifikasi fingerprinting mengunakan teknik bubuk yang
memerlukan aplikasi hati-hati dan lembut, dimana prosesnya
menabur bedak kering ke ujung jari dengan kuas, disertai
permukanan dari kulit longgar di bagian distal dari jari-jari yang
berisi lipatan kulit yang unik, teknik ini bekerja dengan cukup
sukses

6
c. Forensic Pathology
Setiap tubuh berlabel dan sidik jarinya diperiksa oleh tim 4
anggota DVI, yang terdiri dari ahli patologi forensik, seorang
teknisi anatomis, seorang penulis dan seorang fotografer. Sebuah
prosedur yang disederhanakan karena itu didirikan untuk
mempercepat pemeriksaan apa yang ribuan tubuh yang sangat
busuk. Prosedur ini terdiri langkah-langkah berikut:
1) Tubuh dikirm ke kamar mayat oleh bagian sidik jari.
2) Penulis menerima dan menandatangani formulir pelacakan.
3) Ahli patologi dan juru tulis mengkomfirmasikan nomor tubuh,
menggunakan formulir PM merah muda DVI
4) Nomor tubuh difoto.
5) Teknisi mengangkat dan mencuci pakaian korban apabila
masih ada untuk menampilkan masing- masing merek,
ukuran, warna dan desain, pakaian itu kemudian difoto dan
dicatat.
6) Semua efek perhiasan dicuci, difoto dengan tubuh tempat
terpasangnya perhiasan , dijelaskan dan direkam. Kemudian
ditempatkan dalam kantong tertutup
7) Sebuah pemeriksaan luar tubuh dilakukan antara lain untuk
menentukan jenis kelamin, tinggi, usia diperkirakan, melihat
tato, bekas luka, fisik kelainan dan karakteristik lainnya
dicatat.
8) Membuat sayatan pada garis tengah untuk memeriksa ada
tidaknya kantong empedu, usus buntu, genitalia interna
wanita, dan bukti visum lain.
9) Bukti dari setiap penyakit lain diidentifikasi, dicari dan
dicatat.

7
10) Pembersihan mandibula untuk memfasilitasi selanjutnya
pemeriksaan gigi forensik. Tubuh akhirnya disampaikan ke
bagian gigi.
d. Forensic Odontology
Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan gigi dan radiologi gigi.
Tim dari odontology diawasi oleh seorang odontologist senior.
Pada bagian pemeriksaan gigi, satu dokter gigi memeriksa gigi,
sementara yang lain mendokumentasikan hasil. Jumlah tim bisa
sampai dengan 4 orang yang bisa bekerja di bagian ini pada waktu
itu.
Data yang telah didapatkan oleh Interpol ditentukan adanya Primary
Identifier yang terdiri dari Finger Print (FP), dental record (DR), dan DNA
serta Secondary Identifier yang terdiri dari medical (M), property (P) dan
photography (PG). Primary Identifier mempunyai nilai yang sangat tinggi bila
dibandingkan dengan Secondary Identifier (Prawestiningtyas,2009). Selain
mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga dilakukan tindakan
untuk mencegah perubahan – perubahan paska kematian pada jenazah,
misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk
memperlambat pembusukan.
3. Collecting Ante Mortem Data
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum
kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang
yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban
semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah seperti tattoo, tindikan
dan bekas luka, rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban
semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi
lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi.
4. Reconciliatioin
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data
ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses

8
identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai
dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah.
Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi
positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok
maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap
disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan
post mortem jenazah.
5. Returning to the Family
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan
jenazah yang meliputi antara lain:
a) Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b) Pengawetan jenazah
c) Perawatan sesuai agama korban
d) Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas
khusus dari Komisi Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan
yang penting pada proses serah terima jenazah antara lain:
a) Tanggal dan jamnya
b) Nomor registrasi jenazah
c) Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga
dengan korban.
d) Dibawa kemana atau dimakamkan dimana
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur
Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang
dibantu oleh keluarga korban. File record dan segala informasi yang telah
dibuat harus dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Supaya apabila ada
suatu kepentingan, datanya dapat diakses untuk dilihat atau direview
kasusnnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan
dengan baik dan penuh perhatian.

9
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah
tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan
temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung
jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan
kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi
tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.

II. Kedokteran Gigi Forensik


Kedokteran gigi forensic adalah salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang
bertujuan untuk mencari keadilan dan kebenaran yang berhubungan dengan
pengambilan sampel, pemeriksaan dan evaluasi bukti perkara berupa gigi (dental
evidence) yang menjadi bukti dalam suatu masalah hukum dan kejahatan atau
korban bencana dan kecelakaan massal. (Lukman,2006)
Kedokteran gigi forensik mulai dikenal pada saat terjadinya kebakaran hebat
pada tahun 1897 di Le Bazar de La Chante Paris yang menewaskan 126 orang
dimana sebagian besar dapat di identifikasi dengan mengkombinasikan gigi yang
ada dengan data ante mortem yang tercatat dengan baik. Penggagas pemeriksa ini
adalah Oscar Amoedo, oleh karena itu dianggap sebagai Bapak dari kedokteran
gigi forensic (Wahjuningsih,2006)
Data ante mortem adalah data gigi geligi yang merupakan keterangan tertulis,
catatan atau gambaran pada kartu perawatan gigi, keterangan keluarga atau
teman dekat. Kartu perawatan gigi tertulis ini berisi: (Ardan,1997)
1. Tanggal perawatan
2. Gigi yang dirawat
3. Permukaan yang direstorasi
4. Bahan restorasi yang digunakan
5. Protesa yang digunakan
Selain itu dapat juga dari foto rontgen, model gigi, perangkat prostetik, dan
keterangan dan pernyataan orang terdekat dibawah sumpah mengenai ciri-ciri
fisik korban dan perawatan gigi yang pernah dilakukan.

10
Sumber data ante mortem tentang perawatan gigi dapat diperoleh dari klinik
gigi rumah sakit pemerintah, TNI-Polri dan swasta, Puskesmas, Rumah Sakit
Pendidikan Universitas atau Fakultas Kedokteran Gigi, klinik gigi swatsa, serta
praktek pribadi dokter gigi.
Data post mortem gigi adalah data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan gigi
dari dokter gigi forensik atau dokter gigi yang terlatih terhadap jenazah korban.
Data post mortem meliputi (Cottone,1982)
1. Gigi yang ada dan tidak ada
2. Restorasi gigi dengan klasifikasi kavitas dan bahan yang dipakai
3. Protesa termasuk jumlah gigi yang diganti dan bahan yang dipakai
4. Karies gigi
5. Malposisi dan rotasi gigi
6. Kelainan bentuk mahkota
7. Oklusi dan klasifikasi angle
8. Pengobatan saluran akar gigi dengan menggunakan foto rontgeb
9. Pola tulang alveolar dilihat dengan foto rontgen
10. Keadaan patologis dalam mulut termasuk ddidalammnya torus, kelainan
llidah, keadaan gusi, dan kista
11. Perubahan yang terjadi pada gigi seperti atrisi dan abrasi
Hasil pemeriksaan akan maksimal atau representatif agar dapat diungkap
kondisi gigi geligi dari rahang atas dan rahang bawah, menyelesaikan tugas
secepetnya atau sesuai dengan hasil yan tepat, melindungi atau menjaga semua
bukti yang ada untuk kepentingan forensik umum maupun kedokteran forensic,
mengingat akan kepentingan keluarga korban (Budi,2014)
Identifikasi dengan sarana gigi dilakukan dengan cara membandingkan data
gigi yang diperoleh dari pemeriksaan gigi jenazah yang tidak dikenal (data
postmortem) dengan data gigi yang pernah dibuat sebelumnya dari orang yang
diperkirakan (data ante mortem). Identifikasi dengan cara membandingkan data
ini akan dapat memberikan hasil identifikasi sampai tingkat individual, yaitu
dapat menunjuk siapa orang yang diidentifikasi. Data gigi berupa rekam medik

11
gigi atau dental record yang merupakan data antemortem adalah syarat utama
yang harus ada apabila identifikasi dengan cara membandingkan akan
diterapkan. (Murniwati,2006).
Rekam medik menurut Undang-Undang No.29 tahun 2004 adalah berkas yang
berisi catatan dan dokumen tentang identifikasi pasien, pemeriksaan, pengobatan,
tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medik
gigi minimal memuat identitas pasien, pemeriksaan fisik intra oral dan ekstra oral
yang dilengkapi dengan odontogram, diagnosis atau masalah, tindakan atau
pengobatan, pelayanan lain yang diberikan kepada pasien dan persetujuan atau
Informed Consent. (Depkes,2007).
Keunggulan teknik identifikasi ini bukan saja disebabkan karena ketepatannya
yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi
karena kenyataan bahwa gigi dan tulang adalah material biologis yang paling
tahan terhadap perubahan lingkungan dan terlindung. Gigi merupakan sarana
identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan
benar.
Beberapa alasan dapat dikemukakan mengapa gigi dapat dipakai sebagai
sarana identifikasi adalah sebagai berikut (Lukman,2006)
1. Gigi geligi merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis, antropologis
dan morphologis mempunyai letak yang terlindungi dari otot-otot bibir dan
pipi sehingga apabila trauma mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.
2. Gigi geligi sukar untuk membusuk kecuali gigi tersebut sudah mengalami
nekrotik, biarpun dikubur umumnya organ-organ tubuh lain bahkan tulang
telah hancur tetapi gigi masih utuh.
3. Gigi geligi di dunia ini tidak ada yang sama
4. Gigi geligi mempunyai ciri-ciri yang khusus apabila ciri-ciri gigi tersebut
rusak atau berubah maka sesuai dengan pekerjaan dan kebiasaan
menggunakan gigi bahkan setiap ras mempunyai ciri yang berbeda.
5. Terkadang terdapat rahang dan anomali gigi yang khas

12
6. Gigi geligi tahan panas, apabila terbakar sampai 400o C gigi tidak akan
hancur kecuali di kremasi karena mencapai 1000o C. Gigi menjadi abu
sekitar suhu lebih dari 649o C apabila gigi tersebut menggunakan amalgam
maka akan terbakar oada suhu lebih dari 871o C dan bila memakai mahkota
logam atau inlay alloy emas maka bila terbakar menjadi abu pada suhu 871o-
1093o C.
7. Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya memakai gigi
palsu dengan berbagai macam model gigi palsu dan gigi palsu tersebut dapat
ditelusuri atau di identifikasi. Gigi palsu akan terbakar menjadii abu pada
538o-649o C.
8. Gigi tahan terhadap asam keras
Namun, odontology forensic juga memiliki beberapa keterbatasan yang
meliputi: (Rai, 2013)
1. Rugae palatal tidak bisa digunakan pada kasus edentulus, ketika tidak ada
data antemortem, ketika ada patologi di palatal, dan jika korban terbakar,
mengalami dekomposisi, dan skeletonisasi karena rugae sering hancur.
2. Sidik bibir tidak bisa digunakan 20 jam setelah kematian, jika ada patologi di
bibir seperti mukokel, dan cleft atau jika ada perubahan postoperaso dari
bibir, ada scar, dan lain-lain.
3. Bite mark tidak bisa digunakan 3 hari setelah kematian atau jika sudah
dekomposisi atau jika korban terbakar.
4. Bisa terjadi kesalahan ketika mengambil foto dan radiograf. Kesalahan dapat
terjadi saat pengambilan sampel, proses, dan interpretasi. Kontaminasi
bakteri dan DNA orang lain dapat mengubah interpretasi.
5. Mayoritas masyarakat Indonesia jarang berobat ke dokter gigi dan dokter
gigi pun belum tentu melakukan pencatatan data gigi bahkan penyimpanan
yang tertata baik. Akibatnya, ketika diperlukan sebagai data pembanding jika
terjadi suatu musibah, tidak dapat diperoleh data gigi yang tepat
.

13
III. Peran Dokter Gigi dan Ruang Lingkupnya dalam Kedokteran Gigi Forensik
Peran dokter gigi sangat besar sekali dalam mengidentifikasi baik
untuk korban yang tidak dikenal maupun yang bisa dikenali. Untuk korban
yang bisa dikenali secara visual, dokter gigi berperan pada kejahatan yang
meninggalkan bekas gigitan maka dituntut untuk bisa membantu mengungkap
pelaku baik itu karena gigitan manusia atau bukan. Sesuai dengan bidang maka
dokter gigi mengidentifikasi korban dengan melihat gigi geligi, karena gigi
merupakan salah satu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila
rekaman data gigi dan rontgen foto gigi semasa hidup di simpan secara baik dan
benar.
Identifikasi dilakukan dengan melakukan penyikatan gigi-gigi sampai
bersih untuk dokumentasi fotografi. Foto Three Polaroid diambil, yang terdiri
dari pandangan frontal gigi anterior, pandangan oklusal rahang atas, dan
pandangan oklusi rahang bawah. Foto-foto ini diberi label dengan nomor tubuh.
Kemudian dilakukan pencatatan data post mortem dan gigi dipetakan dalam
bentuk DVI merah muda menggunakan interpol dental charting system.
Interpol dental charting system dipekerjakan oleh World Dental
Federation (FDI) yang memberikan penomoran gigi, yang membagi menjadi 4
kuadran dentitions, nomor 1 sampai 4. Kuadran kanan atas adalah 1, 2 kiri atas,
kiri bawah dan kanan bawah 3, 4. Gigi diberi nomor dari garis tengah ke
posterior. Gigi dilambangkan dengan kode 2-digit untuk kuadran dan gigi.
Selama pemeriksaan gigi, gigi-gigi tersebut akan dicocokan dan
dikembalikan atau disambung dengan saluran akarnya untuk diidentifikasi
untuk penyelidikan lebih lanjut mengunakan radiologi. Pada bagian radiologi
gigi, apabila ada data foto rontgen ante mortem maka akan dilakukan
pengambilan foto pada area yang sama supaya dapat dibandingkaan. Namun,
apabila foto rontgen ante mortem tidak ada, maka dilakukan pengambilan foto
bite wing dan periapikal. Setelah film telah selesai diproses, mereka diperiksa
untuk kualitas. Setiap informasi lebih lanjut mengungkapkan dengan radiografi
akan direkam dalam bentuk DVI merah muda.

14
Setelah radiograf dianggap memuaskan, akan dipilih satu gigi untuk
diekstraksi. Gigi itu akan menyediakan sumber DNA genom untuk profil DNA.
Gigi yang dipilih untuk di ekstraksi adalah gigi geraham, karena pulp mereka
lebih besar. Jika gigi seperti itu tidak tersedia, seperti pada orang tua atau bayi,
segmen poros tulang femur akan digunakan. Gigi yang dipilih ditempatkan
dalam wadah plastik steril, dan dikirim ke area pengumpulan DNA. Para,
dokter gigi, akan melaksanakan pemeriksaan final dari dokumen dan radiografi,
sebelum mengembalikan tubuh kedalam wadah pendingin. Meskipun ilmu gigi
forensik cukup memakan waktu, itu menghasilkan informasi yang mengarah
pada identifikasi yang relatif cepat dari sejumlah korban di tahap awal proses
DVI.
Dalam menjalankan tugasnya di kedokteran gigi forensik, dokter gigi
memiliki ruang lingkupnya sendiri. Berikut ini merupakan ruang lingkupnya
dalam kedokteran gigi forensic (Hartomo,2018):
1. Identifikasi ras
2. Identifikasi jenis kelamin
3. Identifikasi umur melalui benih gigi, gigi tetap, gigi sementara, dan gigi
campuran
4. Identifikasi melalui kebiasaan menggunakan gigi
5. Identifikasi dari pekerjaan yang mengggunakan gigi
6. Identifikasi golongan darah melalui pulpa gigi dan air liur
7. Identifikasi DNA melalui air liur dan jaringan dari sel dalam rongga mulut
8. Identifikasi melalui gigi palsu jika menggunakan
9. Identifikasi wajah melalui rekontruksi tulang rahang dan tulang facial
10. Identifikasi melalui gigitan pelaku, biasanya pada kasus pembunuhan.
11. Identifikasi melalui eksklusi pada korban massal
12. Radiologi ilmu kedokteran gigi forensic

15
IV. Peran Bitemark dan Lipmark dalam Kedokteran Gigi Forensik
A. Bite Mark
Bite mark adalah tanda gigitan dari pelaku yang tertera pada kulit
korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat dibawah
kulit sebagai akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku
melalui kulit korban. Bite mark mepunyai derajat perlukaan sesuai dengan
kerasnya gigitan, pada bite mark manusia terdapat 6 kelas yaitu (Lukman,
2006):
1. Kelas I : Bite mark terdapat jarak dari gigi insisivus dan kaninus.
2. Kelas II : Bite mark kelas II seperti bite mark kelas I, tetapi terlihat cusp
bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp lingualis tetapi
derajat bite marknya masih sedikit.
3. Kelas III : Bite mark kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yaitu
permukaan gigi insisivus telah menyatu akan tetapi dalamnya luka
gigitan mempunyai derajat lebih parah dari bite mark kelas II.
4. Kelas IV : Bite mark kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah
kulit yang sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat bite mark
irregular.
5. Kelas V : Bite mark kelas V terlihat luka yang menyatu bite mark
insisivus, kaninus dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.
6. Kelas VI : Bite mark kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh gigitan
dari rahang atas dan rahang bawah dan jaringan kulit serta jaringan otot
terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.

Metode analis bite mark melibatkan tiga tahap yaitu registrasi model
gigi dan bite mark, perbandingan model gigi dengan bite mark, dan evaluasi
titik kesamaan atau ketidaksamaan. Bite mark biasanya disebabkan oleh
enam gigi anterior, yaitu gigi seri dan lateral, dan gigi taring (Mamile,
2015).

16
Identifikasi dengan analisa bite marks sangat penting bagi kasus
forensic. Bite mark sering dianggap sebagai alternatif dalam penyelidikan
untuk sidik jari dan identifikasi DNA dalam ilmu forensik. Pengaturan
ukuran dan penyelarasan gigi manusia yang dimiliki oleh setiap orang
sangat berbeda-beda. Gigi dapat bertindak sebagai alat bukti, yang
meninggalkan bekas dan dapat dikenali tergantung pada pengaturan gigi,
maloklusi, kebiasaan, pekerjaan, fraktur gigi, dan hilang atau gigi ekstra.
Identifikasi bite mark didasarkan pada individualitas dari gigi, yang
digunakan untuk mencocokkan bite mark untuk tersangka.

Individualitas dari gigi manusia sering memungkinkan Forensik


Odonto-Stomatologist (FOS) untuk mendapat bukti yang kuat dalam kasus
identifikasi dan analisa bite mark. Analisis seperti itu sering dapat berguna
selama investigasi kejahatan kekerasan, terutama yang melibatkan
kekerasan seksual. Kualitas dan sudut dari foto-foto bite mark dan ketepatan
identifikasi sangat penting untuk forensik odontologi. Bite mark dapat
terdistorsi dengan sifat elastis dari jaringan kulit atau oleh lokasi anatomi.
Selain itu gigitan dari rahang atas dan rahang bawah dapat mengubah
tampilan tanda gigitan. Posisi tubuh pada saat mengigit dapat mempengaruh
Bite mark tersebut. (Rajshekar, 2012).

B. Lip Mark
Ilmu yang mempelajari sidik bibir dinamakan Cheiloscopy
(Sarashwati,2009). Sidik bibir didefinisikan sebagai gambaran alur pada
mukosa bibir atas dan bawah yang dinamakan figura linearum labiorum
rubrorum. Garis-garis normal atau alur pada bibir memiliki karakteristik
pada tiap individu sama seperti yang terdapat pada sidik jari. Sidik bibir
merupakan kumpulan lekukan yang terdapat pada tepian vermilion atau
bagian merah bibir. Lekukan-lekukan tersebut diantaranya dapat berupa
garis vertikal, pola bercabang, pola retikuler, dan pola perpotongan.
(North,2011)

17
Beberapa peneliti melakukan identifikasi dan mengklasifikasikan pola
sidik bibir, namun belum ada kesepakatan mengenai pola sidik bibir yang
digunakan sebagai acuan internasional. Lekukan pada bibir dibagi menjadi
4 tipe yaitu garis lurus, garis bergelombang, garis bersudut, dan garis
berbentuk sinus (Santos, 1967).
Penelitian tentang sidik bibir sampai sekarang belum banyak
dilakukan. Salah satu faktor penyebabnya kemungkinan adalah sidik bibir
merupakan lapangan studi yang baru dikembangkan. Hal lainnya adalah
belum adanya kesepakatan mengenai metode pencetakan antara satu peneliti
dengan peneliti lainnya. Namun, Salah satu peneliti dari Jepang yang
bernama Suzuki telah meneliti sidik bibir untuk identifikasi forensik dan
studi pewarisan sifat. .(Juniastuti,2010)
Teknik pembuatan gambaran atau cetakan sidik bibir masih
memerlukan perbaikan melalui percobaan lebih lanjut, demikian pula
dengan penyimpanannya sehingga diperoleh cetakan yang akurat. Beberapa
metode pengambilan sidik bibir diantaranya yaitu menggunakan kertas
karton tipis dan pewarna bibir, lateks, scotch tape, fotografi, bahan cetak
gigi, kaca preparat, dan fingerprint hinge lifter. Berdasarkan hasil
pengambilan sidik bibir, pengambilan sidik bibir yang paling mudah
dilakukan yaitu dengan menggunakan kertas karton tipis dan hasil yang
didapatkan cukup jelas (Septadina,2015).
Pola sidik bibir bersifat stabil dan tidak mengalami perubahan oleh
perbedaan iklim atau adanya penyakit di sekitar mulut. Kondisi bibir dalam
keadaan terbuka, tersenyum, dan mengecup tetap menghasilkan pola yang
unik pada setiap individu. Hal ini tidak mengalami perubahan walaupun
individu mengalami trauma, penyakit, serta perawatan bedah yang bias
mengubah bentukm dan warna bibir. Meskipun masih kontroversi, pola
sidik bibir masih dapat digunakan sebagai metode alternative identifikasi
individu karena polanya sangat unik (Juniastuti,2010).

18
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa pola sidik bibir dapat
digunakan untuk mengidentifikasi jenis kelamin individu. Pola garis
vertikal lebih umum ditemukan pada perempuan dan pola berpotongan lebih
banyak ditemukan pada laki-laki. Identifikasi sidik bibir lebih mudah
dilakukan pada kelompok usia 21-40 tahun karena perubahan usia dapat
memengaruhi ukuran dan bentuk bibir sehingga dapat mengubah bentuk
pola sidik bibir yang dihasilkan. Tidak ada satupun pola sidik bibir yang
memiliki kesamaan, sehingga pengelompokan dapat dilakukan lebih mudah.
Variasi juga ditemukan untuk membedakan jenis kelamin.(Singh,2010)
Beberapa sifat telah diturunkan dari seorang induk pada anaknya,
termasuk sidik bibir baik bersifat dominan, maupun resesif. Sidik bibir
bersifat tetap sejak lahir, seperti halnya sidik jari. Sidik bibir dapat diamati
mulai anak berusia empat bulan. Pertambahan usia tidak menyebabkan
perubahan yang berarti pada sidik bibir, namun terjadi pengurangan volume
dan unsur penunjang seperti kehilangan gigi atau terjad resesi gusi. Sidik
bibir bersifat genetik dan individual. Anak-anak memiliki pola sidik bibir
yang sama dengan orang tua mereka walaupun berada pada kuadran bibir
yang berbeda (Fenglan,1999)

19
V. Lampiran Kasus
Pada pesawat Garuda Boeing 737-400 yang memiliki rute Jakarta-
Jogjakarta terjadi kecelakaan saat melakukan pendaratan. Pesawat tersebut
membawa 133 penumpang dan 7 awak pesawat. Kecelakaan ini menewaskan
21 penumpang dan 1 awak pesawat. Hanya satu 1 dari 21 jenazah yang
ditemukan utuh dan tidak terbakar. Akan tetapi, seluruh jenazah dapat
diidentifikasi dengan tepat dan segera diserahterimakan pada keluarga.
Jenazah yang utuh dilakukan teknik idientifikasi melalui metode
sederhana yaitu visual yang dikonfirmasi dengan Secondary Identifier dari
medis dan property. 14 jenazahh yang telah separuh terbakar dapat
diidentifikasi melalui Primary Identifier berdasarkan dental records. 4 jenazah
dilakukan identifikasi kombinasi melalui Primary Identifier berdasarkan dental
records dan Secondary Identifier melalui property. 2 jenazah sisanya
diidentifikasi melalui Primary Identifier berdasarkan dental records dan
Secondary Identifier melalui medical
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kasus pemeriksaan
jenazah pada kecelakaan pesawat Garuda Boeing 737-400 masih dapat
dilakukan Primary Identifier secara optimal yaitu melalui dental records.
Sehingga forensic odontology sangat berperan pada proses identifikasi. Proses
identifikasi jenazah dapat dengan cepat dilakukan karena korban kecelakaan
termasuk dalam masyarakat kelas menengah keatas sehingga dental records
tercatat dengan baik.

20
Sumber:
Prawestiningtyas, E., Mochammad, A., 2009, Identifikasi Forensik
Berdasarkan Pemeriksaan Primer dan Sekunder sebagai Penentu Identitas
Korban pada Dua Kasus Bencana Masal, Jurnal Kedokteran Brawijaya,
Vol. XXV (2).

21
DAFTAR PUSTAKA

Ardan, R., 1997, Peranan Data Gigi Untuk Identifikasi dalam Ilmu Kedokteran Gigi
Forensik, Jurnal Kedokteran Gigi UNPAD.

Budi, 2014, Peran Restorasi Gigi dalam Proses Identifikasi Korban, Jurnal PDGI,
63(2): 42.

Cottone, P. G., 1982, Outline of Forensic Dentistry, Year Book Medical Publisher
Incorporaion, Chicago.

Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, 2007, Standar
Nasional Rekam Medik Kedokteran Gigi, Cetakan II, Departemen Kesehatan
RI : Jakarta.

Fenglan, Z., et al, 1999, Character analysis of viger lip prints in Xinjiang, Chinese
Journal of Anatomy, 24(5):7

Hartomo, B., 2018, Forensik Kedokteran Gigi, Lecture, Fakultas Kedokteran


Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Juniastuti, M., Sutisna, I., 2005, Perbandingan antara Pola Sidik Bibir Posisi Normal
dengan Posisi Bibir Terbuka, Tersenyum dan Mengecup, Indonesian Journal
of Dentistry, 12(2): 10.

Lukman D., 2006, Buku Ajar: Ilmu Kedokteran Gigi Forensik, Jilid 2, CV Sagung
Seto : Jakarta.

Mamile, H., 2015, Analisis "Bite Mark" dalam Identifikasi Pelaku Kejahatan, Skripsi,
Universitas Hasanuddin, Makasar.

Murniwati, 2012, Peran Rekam Medik Gigi Sebagai Sarana Identifikasi, Majalah
Kedokteran Andalas, 36(2):164.

North Gupta S, Gupta K, Gupta O, 2011, A study of morphological patterns of lip


prints in relation to gender of Indian population, JOBCR, 1(1): 8

22
Prawestiningtyas, E., Algozi, A.M., 2009, Identifikasi Forensik Berdasarkan
Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada
Dua Kasus Bencana Massal, Jurnal Kedokteran Brawijaya, 25(2):87.

Rai, B., Kaur, J., 2013, Evidence-Based Forensic Dentistry, Heidelberg: Springer.

Rajshekar, M., Kruger, E., 2012, Tennant M. Bite-mark: Understanding the Role of
General Practitioners in Orensic Identification, Int Oral Health J, 4(2).

Rhandawa, K., Narang, R.S., Arora, P.C., 2011, Study of the effect of age changes
on lip prints pattern and its reliability in sex determination, J Forensic
Odontososmatol, 29: 49

Saraswathi, T., Mishra, G., Ranganathan, K., 2009, Study of lip prints, J Forensic
Dent Sci, 1: 28

Septadina, I. S., 2015, Identifikasi Individu dan Jenis Kelamin Berdasarkan Pola
Sidik Bibir, Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 2(2) : 235.

Singh, Surjit, 2008, Penatalaksanaan Identifikasi Korban, Majalah Kedokteran


Nusantara, 41(4): 254-255

Singh, N.N., Brave, V., Kahanna, S., 2010, Natural dyes versus lysochrome dyes in
cheiloscopy: a comparative studies evaluation. J Forensic Dent Sci, 2 : 9

Slamet P., et al, 2004, Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada
Bencana Massal, Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia : Jakarta.

Vahanwala, S., Nayak, C., Pagar, S.,2005, Study of lip prints as aid for sex
identification, Medico-legal update, 5: 10

Wahjuningsih, E., Sucahyo, B., 2006,Peran Dokter Gigi Dalam Identifikasi Forensik.
Jurnal Kedokteran Gigi, (1):3

23

Anda mungkin juga menyukai